"Lagi nunggu ojol?" tanya Abian yang keluar dari gedung. Kanza langsung menoleh cepat, jika di pikir-pikir apa Abian selalu pulang paling akhir, sudah jalan tiga minggu Kanza pulang akhir tapi ternyata Abian yang pulang akhir.
"Iya." Jawab Kanza singkat.
"Batalin aja."
"Hah?!"
Abian menatap Kanza dengan ekspresi datarnya, "Batalin aja ojolnya. Kamu pulang sama saya." Lanjut Abian seenaknya.
"T-tapi..."
"Orang ojolnya dari tadi gak jalan-jalan." Abian menunjuk dengan dagunya, melihat ponsel Kanza menyala dan terlihat bahwa ojol yang Kanza pesan masih belum jalan.
Kanza menoleh bingung pada ponselnya, tapikan Kanza tidak mau pulang dengan Abian. Dia berusaha menghindar dari Abian, tapi setelah dirasa, Abian seperti balas dendam kepada dirinya.
"Kelamaan mikir, keburu di tutup gerbangnya." Ucap Abian meninggalkan Kanza yang dilema. Masa bodoh, Kanza terpaksa. Okay. Terpaksa.
"Tungguin, Pak!" seru Kanza akhirnya mengekor di belakang Abian menuju parkiran.
Kanza terdiam setelah beberapa saat berhenti di depan sebuah motor yang sepertinya milik Abian. Buktinya Abian berjalan menuju arah motor tersebut, yang menjadi permasalahannya ia bingung. Dia naik motor besar milik Abian bagaimana, ia belum pernah naik motor besar. Jika tahu, Kanza lebih baik menolak.
"Kenapa diem?" tanya Abian menuju motor satu yang terparkir di sebelah motor besar tadi. Senyum Kanza mengembang, ia benar-benar lega. Ternyata motor Abian adalah motor matic, bukan motor besar.
Kanza menggeleng, "Gak papa, Pak."
Abian membuka jok motornya, mengeluarkan jaket dan helm yang tersimpan di dalam jok motor tersebut.
"Kamu heran kenapa saya bawa motor? Apa kamu ilfeel?" Abian menyerahkan kedua barang itu kepada Kanza.
Sontak Kanza menggeleng cepat mendengar pertanyaan Abian, "Enggak. Ngapain ilfeel . Lagi pula saya juga sering naik ojol, mana ada ilfeel." Bantah Kanza tegas seraya memakai helm dan jaket yang di berikan Abian. Walaupun dengan segudang pertanyaan mengapa ada helm dan jaket di dalam jok motornya.
"Lah itu muka kamu ngrenyit-nyrenyit risih." Tuduh Abian masih tidak mau kalah.
Kanza menghela nafas, "Bukan risih pak, orang saya tu mikir, kirain itu motor gede itu punyanya bapak, saya mikir naiknya gimana. Ternyata enggak. Gitu bapak mah suudzon terus, heran saya."
Mendengar penjelasan Kanza, Abian memilih tak mengubris perkataan Kanza. Ia bergegas menyalakan motornya diikuti oleh Kanza yang langsung membonceng. Tak lama mereka langsung pergi dari aera parkiran membelah jalanan kota.
Kanza tidak mengharap jika di jalan akan terasa asik, bercanda sekedar basa basi. Sesuai ekspektasi Kanza, sepanjang perjalanan pun hanya hening tanpa ada yang memulai pembicaraan. Sampai-sampai tiba-tiba motor Bian berbelok ke salah satu tukang sate pinggir jalan yang tampak ramai. Disamping tukang sate ada angkringan, pecel lele, lamongan dan masih banyak berjajar di sepanjang jalan.
Setelah memarkirkan motor dan mematikan mesin motornya, Kanza langsung turun. Ia menduga-duga mungkin Abian ingin membelikan oleh-oleh untuk anaknya atau istrinya. Entahlah yang jelas Kanza ikut makan.
"Doyan sate, 'kan?" tanya Abian tiba-tiba meminta helm untuk di letakkan di motornya.
Kanza mengrenyit, "Doyan. Bapak gak beli untuk di bawa pulang?" tanya Kanza mengekor Abian masuk ke dalam tenda pedagang sate.
"Mas dua makan sini. Pedes gak?" tanya Abian membuat Kanza semakin terbingung namun Kanza tetap menggeleng, artinya tidak pedas.
"Minumnya?"
"Air putih anget." Jawab Kanza begitu saja.
"Yang satu pedes, minumnya air putih anget dua." Lanjut Abian memesan pada tukang satenya. Selesai memesan, Abian memilih duduk di lesehan pojok yang kosong diikuti Kanza di belakangnya. Kemudian duduk berhadapan seperti pembeli lainnya.
Keheranan Kanza masih belum pergi, ia masih betah menatap Abian dengan aneh. Aneh saja, Abian yang galaknya seperti itu tiba-tiba berubah baik. Merasa diperhatikan Bian lantas membalas menatap Kanza dengan raut datar andalannya.
"Kenapa muka kamu masih kayak gitu?" tanya Abian to the point.
Kanza menggaruk kepalanya, "Bapak aneh. Saya kirain bapak mau beli buat istri anak bapak."
Abian terkekeh pelan, bahkan saking pelannya Kanza tidak tahu. Lucu saja mendengar penuturan Kanza yang gamblang, berbeda dengan 10 tahun yang lalu. Hm, lagi pula dulu dia masih sangat kecil.
Beberapa saat terdiam, terlintas di benak Abian ingin menanyakan hal ini sedari awal, "Kamu inget saya?"
Ada raut terkejut di wajah Kanza, tapi sepertinya Kanza tidak kaget jika pertanyaan ini mungkin terlontar dari mulut Abian. Hanya saja Kanza tak menduga secepat ini, padahal Kanza berharap Abian lupa.
"Ingat." Jawab Kanza singkat dan Abian tahu jika Kanza menghindari topik ini tapi maaf sepertinya tidak untuk Abian.
"Yang saya ingat dulu kamu gendut, sekarang kurus? Diet ya?"
Mereka berdua kompak mengangguk ketika pesanan yang mereka pesan datang, "Mas satu lagi pedes di bungkus ya." Ujar Abian pada Mas-Mas yang mengantarkan pesanan.
"Oke Siap Mas." Jawabnya lalu pergi membuatkan pesanan Abian.
Kanza masih menunda menjawab pertanyaan Abian dengan meminum air putihnya, "Gak diet cuma ngurangin makan."
Bian mengangguk, "Baguslah, uang saya gak mubatzir."
"Saya kan gak minta di jajanin." Jawab Kanza sambari mendengus melirik kesal, sebenarnya kenapa Abian malah tambah menjengkelkan, dari cara bicara, tingkahnya pokoknya Kanza kesal.
Kanza menyuapkan potongan lontong ke mulutnya, "T-tuapi kalo di traktir gak nolak." lanjut Kanza kembali menyantap satenya.
"Emang bapak inget saya?" tanya Kanza mengambil tisu dan membersihkan area bibirnya yang terasa belepotan.
Abian mengangguk, "Yang banyak tingkah itu, 'kan?"
Kanza melongo, ia ingin melayangkan protes dari mana Kanza banyak tingkah? Perasaan dulu ia sedikit banyak tingkah, ya kadang agak cewek kadang agak cowok tapi tidak parah.
"Bapak cuma ketemu saya 5 hari, langsung bilang saya banyak tingkah dari mana?" protes Kanza tidak terima
"Kamu yang naik kursi itu, 'kan?" tanya Bian membuat Kanza terdiam sambil berfikir.
"Kalau gak salah, hari ke-4 saya ke kampus ngambil acc-an skripsi. Kamu naik kursi sambil gibahin saya."
Uhuk
Kanza langsung mengambil air minum dan meminumnya setelah tersedak air liurnya sendiri. Astaga, kenapa bisa Abian tahu tentang itu.
"Hahaha mana ada pak, bapak salah ingat kali. Murid bapak kan banyak, gak cuma saya." Kilah Kanza dengan senyum garingnya.
Abian menyantap satenya dengan mengangguk pelan, setelah kunyahannya selesai dan jeda beberpa saat Abian kembali berucap, "Hm masa sih temen saya bohong. Saya waktu itu juga ngecek cctv kelas. Yang pakek jaket biru kayaknya cuma kamu."
Kanza memutar otaknya, berfikir apalagi untuk mengelak. Kalau seperti ini sama saja ia tertangkap basah karena dulu membenci Abian lantaran terpaksa di tunjuk mewakili lomba sains tingkat nasional. Padahal dia tidak tahu apa-apa, istilahnya ia terkena culture shock.
"Itukan sudah 10 tahun yang lalu pak, mungkin ingatan bapak sedikit kabur. Atau bagaimana, heheeh."
Abian meletakkan sendoknya dan menatap Kanza lamat, "Saya gak mungkin salah. Soalnya murid yang paling aneh dan banyak tingkah cuma kamu, Kanza."
Dalam keramaian sekitar, keheningan tiba-tiba menghantam rungunya setelah mendengar perkataan Bian yang terkesan sangat lembut dan serius tanpa adanya ejekan seperti biasanya. Kanza mematung di tempat, mengamati terpaku atas tafsiran kata yang ia tangkap. Matanya tak henti mengamati pria di depannya itu. Yang Kanza ragukan, ia tak salah dengarkan? Tapi tetap saja Kanza dibilang banyak tingkah, bukan banyak tingkah sih lebih tepat tidak bisa diam dan anggun seperti kebanyakan wanita.
"Kenapa jadi masuk kejurusan fisika?" tanya Abian membuyarkan lamunan Kanza.
"Kena karma seseorang." Ucap Kanza kembali memakan satenya.
"Padahal saya doakan kamu masuk geologi seperti saya."
Uhuk!!
Kanza kembali terbatuk lantaran terkejut apa yang baru saja Abian katakan, "Maksud bapak?" tanya Kanza setelah menetralkan terbatuknya dengan minum.
Abian mengangkat bahunya, "Kali aja kamu kena karma karena gak suka sama saya."
Damn!! Gue masuk fisika juga gara-gara kena karma lo.
Kanza terkena skakmat bertubi-tubi hari ini. Benar-benar menyesal ikut pulang bersama dengan Abian, Abian dengan santainya malah mengenang masa lalu yang menurut Kanza menjengkelkan jika diingat.
"Jahat. Coba bapak di posisi saya waktu itu. Gak tahu apa-apa langsung ditunjuk ikut lomba, rasanya dongkol pak."
"Kenapa gak nolak?"
"Gak ada kuasa." Jawab Kanza ketus. "Lagian guru saya cuma asal nunjuk tahu." Keluh Kanza dongkol setengah mati mengingat hal itu.
"Tapi kamu nyatanya bisa masuk tingkat provinsi."
"Iya gak tahu kenapa bisa. Ih bapak ngapain sih ngungkit itu lagi. Itu kenangan bisa dibilang baik bisa dibilang buruk."
"Baiknya?" benar-benar kenapa Abian jadi cerewet seperti ini.
Kanza menghela nafas, "Lolos tahap provinsi."
"Buruknya?"
Kanza menundukkan kepalanya dengan bahu terlihat merosot, "Gak lolos tahun berikutnya. Saya terasa diasingkan oleh guru yang tadinya asal memilih saya. Gak enak aja."
Abian mengangguk paham mendengarkan penuturan Kanza, ia faham betul dengan apa yang Kanza rasakan. Terlebih ia sudah banyak mengajarkan bermacam-macam murid.
"Itu karena gak ada saya."
Agaknya Abian ingin mencairkan suasana, dan pernyataan Abian membuat Kanza mendengus tersenyum.
"Yayaya.. Terserah bapak aja."
"Tapi saya masih penasaran kenapa kamu benci saya?"
"Kalau itu rahasia."
- To be continued -
"Kamu disana malah gendutan ya pantes aja gak nikah-nikah.""Za kurangin ngemil lo, leher lo ada dua gitu.""Yang udah kerja pasti banyak duit. Tambah gemuk aja.""Ihh kak Kanza tambah gemuk nek!!""Di jaga tubuhmu. Jangan banyak jajan, jangan banyak ngemil, kalo kamu gemuk susah yang suka sama kamu. Gak nikah-nikah nanti." Sejak 5 hari setelah Kanza video call dengan keluarga besar yang sedang berkumpul di rumah neneknya ia berubah menjadi murung. Niat ingin melepas rindu, dengan mungkin dibumbui pujian karena ia berhasil bekerja di yang ia cita-citakan, malah berakhir dengan unt
"Gak makan siang?" tanya Abian saat masuk ke ruangan dan kini berhenti di samping meja Kanza. Kanza menoleh sejenak lalu menggeleng ia kembali menatap monitor komputernya. Semenjak kejadian 2 hari yang lalu dimana ia pingsan, Kanza lebih pendiam. Kanza tahu jika Abian yang membawa ke klinik bersama Bu Nuri, dan ia juga tahu jika mereka berdua tidak ember penyebab Kanza pingsan. Hanya saja mood Kanza tidak kunjung membaik ditambah keluarga besarnya yang semakin kemari semakin menyebalkan. "Ayo saya temenin makan. Saya gak mau liat anggota tim saya pingsan lagi." Ucap Abian terkesan tegas dan datar. "Makasih Pak sebelumnya, tapi saya gak bakal pingsan lagi." Jawab Kanza. Abian mendengus, "Saya gak mau ada anggota yang ngrepotin saya
Abian bingung harus bagaimana menghadapi wanita yang marah terhadapnya. Baru kali ini ia merasa pusing sendiri dengan sikap orang yang marah terhadapnya. Biasanya ia akan cuek dan tidak mempedulikan karena semua yang ia katakan, ia utarakan itu lebih dari logis. Maka dari itu lawan bicara sering kalah telak jika berdebat dengannya. Tapi kenapa ia sekarang menjadi kepikiran ketika beberapa hari lalu Kanza marah padanya, sampai-sampai berani melempar buku menimbulkan suara nyaring. Apa ia terkena Karma karena mulutnya sering kelewat tajam hingga sekarang marahnya Kanza membuat Abian uring-uringan dan moodnya ikut buruk. Satu lagi, ajakan keluar kemarin ditolak mentah-mentah oleh Kanza. Padahal ini merupakan pertama kali Abian sampai mendatangi rumah seseorang untuk minta maaf dan menebus kesalahannya. Hari ini pun Abian melihat Kanza ha
Burhan masuk ruangan Tim Cirrus dengan tersenyum lebar. Suasana hatinya sangat senang, tak sabar ia membawa kabar baik yang akan ia sampaikan kepada Tim Cirrus. Walaupun hal pribadi tapi setidakknya ia ingin berbagi kebahagiannya. "Selamat siang semua." Sapa Burhan kini masuk dan berjalan menuju depan sana. Semua langsung berdiri menyapa Burhan dengan hangat dan ramah. Bahkan semua langsung menghentikan aktivitas mereka dan berdiri untuk menghormati kedatangan Burhan. Termasuk Abian yang langsung keluar ruang kerjanya. "Wah kayaknya bapak ada kabar gembira nih." Ujar Hasan setelah melihat raut wajah Burhan yang berseri-seri. Burhan tersenyum malu, "Kamu tahu aja Hasan." "I
Kanza mengrenyit melihat Abian benar-benar menjemputnya. Dalam hati ia sudah menggerutu sebal, lama kelamaan Abian itu seenaknya sendiri tidak di kantor, di luar pun juga sulit dibantah. Bodohnya Kanza juga tidak bisa membantah, mungkin karena dulu gurunya jadi ia benar-benar harus menghormati. Tapi tetap saja menjengkelkan kalau dipikir-pikir. Dan Kanza melihat Abian sudah berdiri di samping mobilnya dengan wajah datar andalannya. Huft, Kanza penasaran kenapa Abian jarang sekali tersenyum. Tapi, tunggu... "Loh istri bapak gak ikut?" tanya Kanza melihat bangku depan kosong dari kaca depan. Ia jadi was-was kalau ternyata Abian sudah punya calon atau istrikan bisa gawat. Ia tidak ingin dilabrak tiba-tiba disangka pelakor. Tunggu, memang Kanza berulah apa saja sampai berpikiran jauh seperti itu. Tapi semua bisa terjadi, contoh saja Panca
Setelah memutuskan untuk pulang, akhirnya Kanza kembali satu mobil dari Abian. Ia menghela nafas berfikir agar tidak terlalu canggung. Kalau sebelumnya saat ia membonceng Abian dengan motor maka tidak secanggng ini karena bisa alasan ia tidak mendengar ucapan Abain karena berisiknya sekitar, tapi jika didalam mobil seperti ini bisa-bisa ia mati karena canggung. Tidak. Bercanda. Di dalam mobil mereka berdua hanya terdiam, Gibran yang kelelahan pun jatuh tertidur di kursi belakang. Baru beberapa menit, Abian membelokkan stirnya ke salah satu market kecil. Di situ juga ada beberapa jajanan seperti cilok, siomay dan batagor. Ada juga es buah, es cendol di sekitaran situ."Bentar saya mau beli batagor. Saya laper."Sontak membawa keterkejutan pada Kanza, "Loh bapak belum makan? Tadi gak makan?"
Pagi ini Kanza datang dengan sedikit bertanya-tanya. Saat masuk ruangannya terlihat sedikit ramai, ada pegawai yang tadi malam jadwalnya shift bersama dengan timnya. Ia melihat tanda merah di salah satu layar besar seperti monitor didepannya itu. Layar untuk memantau wilayah Indonesia. Disitu ada Abian yang sudah sibuk memantau bersama pegawai yng bershift malam. Lagi dan lagi Kanza melihat tanda merah yang masih hidup disalah satu titik wilayah. Mata Kanza menatap layar tanpa kedip, ia melihat bahwa tadi pagi terjadi gempa bumi di salah satu wilayah Yogyakarta. Tercatat magnitudo 5.3, titik kedalaman 48 km di bawah permukaan laut dan tidak berpotensi tsunami, setidaknya itu yang Kanza tangkap. Sedangkan hatinya mendadak tidak karuan mengingat keluarganya tinggal di Yogyakarta. "Perhatian!" suara Abian mengintrupsi semua anggota timnya termasuk nenyadarkan Kanza dari pikiran yang mulai kacau. "Tim Cirrus ambil alih pantauan mulai sekarang. Meski gempa tidak b
Tok tok tok"Mas Al?" Saras mengetuk pintu kamar Abian dengan pelan."Masuk gak dikunci." Ujar Abian dari dalam.Saras membuka pintu kamar Abian, kepalanya menyembul sejenak sekedar memastikan apakah kakaknya itu sibuk tidak. Ternyata kakaknya sedang tiduran dan bermain ponsel, tumben sekali tidak sibuk."Mas sibuk gak?" tanya Saras kini masuk ke dalam kamar dan mendekat kearah ranjang yang Abian tempati."Udah kelar sih, kenapa?" tanya Abian mendudukkan dirinya dan meletakkan ponselnya.
Dua minggu lamanya Kanza benar-benar mengabaikan pesan dari Abian, dan sudah terhitung satu minggu terakhir Abian tidak mengubungi Kanza lagi setelah ia mengirim pesan yang terakhir untuk menjelaskan alasan apa yang terjadi. Suasana menjadi sangat kacau, banyak sekali rumor yang tidak masuk akal termasuk menyangkut dirinya. Kanza sudah tidak peduli dengan semua orang, karena semua orang itu palsu, bermuka dua dan tidak dapat dipercaya. Yang tidak bisa ia pikirkan sebenarnya Kanza harus menunggu apa? Dan lagi Abian pindah tim? Benar-benar pria gila. Kanza membereskan barangnya untuk segera pulang karena jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Harinya sama, sama-sama melelahkan bagi Kanza. "Kanza mau pulang?" tanya Samuel, Ketua Tim Kanza yang akhir-akhir ini mendekati Kanza. Bukan ada maksud apa-apa menurutnya semua yang menjadi anggotanya menjadi tanggung jawabnya. Ia hanya ingin lebih dekat dengan anggotanya. Entah sekedar menawari untuk pulang bersama atau mencoba meng
From : Bapak Abian YTH Kamu gak mau liat keadaan saya? Tanggung jawab punggung saya sakit. . Kanza menghembuskan nafas lelah, jujur memang ia tidak bisa mengunjungi Abian kemarin dikarenakan shift. Dan sekarang ia sedang menuju rumah sakit tentu saja mengunjungi Abian meski dengan perasaan yang campur aduk. Ia tidak tahu apakah nanti bisa mengendalikan emosinya atau malah akan menangis keras, yang jelas pikiran Kanza masih kacau. Tentang keterangan Abian tidak masuk yaitu dengan alasan salah otot sehingga pinggang Abian cedera. Abian tidak memberitahu bahwa ia kena insiden yang tidak perlu ia sebutkan, yang ada malah menjadi berita yang tidak-tidak. Menerima pesan tadi Kanza sudah berdiri di depan pintu ruang inap Abian, ia sudah berdiri selama kurang 15 menit. Entah mengapa ia harus menyiapkan dirinya, mungkin karena merasa bersalah mendalam. Bahkan ia masih ingat detail bagaimana kejadian itu, rasanya begitu sesak mengingatnya. Kanza menggelengkan kep
Lorong rumah sakit nampak cukup sepi. Setelah kejadian tadi, Kanza hanya terdiam di depan kamar rawat setelah membersihkan diri tadi. Wajah Kanza masih terlihat bengkak sedikit pucat, tangannya juga masih bergetar. Ia masih terlalu kaget dengan kejadian ini, menyesali segalanya. Di dalam kamar rawat ada Saras yang masih menunggui kakaknya itu siuman, sedangkan Seno mengurus Panca di kantor polisi. Penyerangan akan memberatkan tuntutannya. Drrt drrt Suara getar ponsel Kanza terdengar, ia mengeluarkan ponsel dari saku. Ada panggilan masuk dari Jihan membuat seketika ia menghela nafas berat sebelum menerima. Cukup lama ia hanya memandang kosong layar ponsel bercantumkan nama Jihan tiba-tiba Saras keluar dengan tergesa dan sontak membuat Kanza otomatis langsung berdiri. "Mbak, mbak kenapa belum pulang?" tanya Saras cukup ketus. Saras masih belum bisa berpikir rasional sekarang, ia masih syok juga atas kejadian yang menimpa kakaknya. "Pak Abi
Setelah Seno berbincang dengan Abian hanya sekitar 10 menit, Abian langsung mengirimkan pesan ke Kanza untuk mengirimkan lokasinya sekarang juga. Boleh jadi sekarang ia bertemu dengan Panca. Kira-kira ini obrolan sebelum Abian menancapkan gas motor menuju lokasi yang Kanza kirimkan. "Lo denger gue gak sih, Al?" Abian melirik sejenak, "Denger.""Terus kenapa lo malah main hp?"Tidak menanggapi pertanyaan Seno, Abian kembali mengecek pesan masuk dari Kanza tetapi nihil."Al?!" Seno emosi sendiri karena Abian sedari tadi seperti tidak memperhatikan ia bicara.Abian menghela nafas kasar, "Gue tahu. Gue tahu dari lama, lo pikir gue gak mastiin Kanza balik sesuai permintaan lo? Makanya gue lagi—"Suara notifikasi masuk ke dalam ponsel milik Abian. Kanza mengirimkan lokasi yang tidak jauh dari Kafe Seno. Tidak menghiraukan Seno yang tengah mengomel panjang, Abian langsung mengambil kunci motor dan langsung bergegas menuju lokasi meninggalkan Seno yang men
Kanza membuka matanya terkejut ketika mimpi buruk itu seolah ingin menangkapnya. Peluh berjatuhan, nafasnya tersenggal. Ia lantas mendudukkan dirinya mencoba menetralkan nafas, tangan Kanza meraih ponsel guna melihat pukul berapa sekarang. Masih pukul 3 pagi. Kanza mengambil gelas disamping meja dan meminum sekali tandas.Akhir-akhir ini ia merasa gelisah, bahkan ia sering mimpi buruk kejadian itu terulang lagi. Tapi sebelum-sebelumnya ia menyangkal jika hanya pikirannya saja yang penuh. Kanza menghela nafas lalu kembali merebahkan dirinya. Ia menatap langit-langit menerawang jauh memikirkan kondisinya. Ia merasa baik-baik saja, tapi terkadang ia merasa sangat kacau. Kanza sedikit takut jika ia harus menemui psikolog karena kondisi psikis yang akibatnya berdampak pada kondisi perut. Sejak kejadian itu, perut Kanza menjadi sangat sensitif, dari sering melilit atau paling parah yaitu kram. Padahal ia sudah cek ke dokter dan tidak ada apa-apa. Dokter hanya bilang itu dikarenakan
Kanza tersenyum cerah ketika tidak sengaja tadi melihat sekelompok mahasiswa di ruang sebelah setelah ia dari kamar mandi. Ia langsung bergegas menuju ruangannya untuk bersiap menyambutnya. Dibanding harus terlihat seperti orang yang keren saat bekerja, Kanza justru malah ingin berinteraksi dengan mereka tapi tidak bisa karena hanya dia saja yang merasa begitu yang lain begitu fokus dengan pekerjaan mereka. Tentang Nata, mereka sama sekali tidak bertegur sama semenjak kemarin. Masa bodoh, Kanza tidak peduli. "Selamat siang semuanya," suara Bapak Humas Instansi menyapa semua orang di ruangan Cirrus. Sontak semuanya menoleh dan membalas sapaan dari Bambang si Humas yang membawa kelompok mahasiswa tersebut. Abian yang tadinya di dalam ruangannya lantas keluar menghampiri Bambang untuk menyambut mereka. Kanza tersenyum cerah ketika melihat para Mahasiswa di luar, beberapa anak mengintip dan tersenyum ke arahnya. "Baik semuanya, karena ada sekitar 7 orang
Obrolan kemarin sore baik Abian dan Kanza mulai menjaga jarak, bahkan hanya bertegur sapa singkat dan bekerja sesuai dengan jadwalnya. Gosip tentang Kanza pun belum mereda, masih banyak yang menyinggung jadwal shift yang ditetapkan. Mungkin prinsip Kanza sekarang ia akan bekerja dan dibayar lalu pulang, tidak mencampuri urusan lain ataupun ikut nongkrong apapun. Dia akan biasa tidak akan terlalu dekat dengan rekan kantor karena tidak ada yang dapat dipercaya.Ia harus fokus kembali tujuan awal yaitu mencari uang untuk adiknya sekolah dan dirinya. Hanya itu. Ia harus mengingat jika ada orang yang perlu ia bahagiakan yaitu keluarganya.Agaknya beberapa kali Abian mencuri pandang ke arah dimana Kanza bekerja. Wanita itu tengah fokus dengan dahi yang berkerut, rambut pendek sebahu yang ia kucir satu menyisakan beberapa helai anak rambut, gurat wajahnya yang terlihat lelah dan sepertinya bertambah kurus. Pipi chubby saat pertama kali ia kemari berkurang.Abian menghe
Mungkin bagi Kanza, menjadi anak perempuan pertema sekaligus cucu pertama yang bisa memenuhi permintaan mendiang Kakeknya itu adalah hal yang luar biasa. Beban ia langsung terangkat begitu saja sehingga pundaknya menjadi ringan. Bagi Kanza itu semua dilakukan dengan mudah, tidak banyak mengeluh dan mengiyakan perkataan orang tua.Lalu bagaimana cara dia bertahan dan menjadi kuat?Pura-pura adalah jawabannya. Kanza terbiasa berpura-pura untuk menjadi lebih kuat disaat dia pada titik terendah. Dia juga terbiasa berpura-pura untuk baik-baik saja karena ia yakin besok akan baik-baik saja, padahal pikirannya berbanding terbalik. Kanza selalu menekan kelelahan secara psikisnya hanya dengan tidur karena ia percaya dengan begitu ketika bangun ia bisa kembali berlindung dalam kata 'pura-pura', seolah tidak terjadi apa-apa.Seolah menutup telinganya rapat, Kanza keluar dari bilik kamar mandi setelah beberapa orang tadi pergi. Kanza menghela nafas berat, topik
Mungkin jika saat itu tidak berakhir, maka kedua insan itu masih merasakan bagaimana letupan-letupan rasa bahagia dalam hati mereka. Menciptakan banyak kenangan dari masa ke masa. Namun keadaan yang memaksa mereka untuk berhenti, berhenti mencintai satu sama lain sehingga meninggalkan sebuah kenangan yang tidak berarti dan hanya terasa seperti luka tidak mengering. Bersikap layaknya tidak terjadi apa-apa bahkan menjaga jarak merupakan yang mereka sekarang. Sebuah formalitas membingkai setiap pertemuan mereka. Dan terus sampai begitu. Apakah bisa seperti dulu? Mungkinkah? Entahlah. Wanita berparas cantik itu tersenyum ketika seorang pria berseragam pegawai itu berjalan menghampiri dirinya di luar ruangan. Dari dulu sampai sekarang menurutnya pria itu tidak berubah, paras dingin, langkah tegap, penampilan rapi selalu menjadi kesukaannya. Mungkin jika dulu ia bisa melihat senyum tipis terpatri pada wajah tegas pria itu sekarang tidak. Senyum yang jujur saja ia rindukan menghila