warning! Harsh word!
.
Karena lapar setelah menonton acara musik itu, Jihan dan Kanza memutuskan untuk singgah di kafe dekat disitu sebentar. Sembari mengobrol banyak hal. Jihan dan Kanza duduk di salah satu meja kosong, sudah malam tapi masih cukup ramai.
"Za? Lo masih diet?" tanya Jihan kini melahap nasi goreng telur yang ia pesan.
Kanza dan Jihan sama-sama memesan menu yang sama, untuk makan yaitu nasi goreng telur satu pedas untuk Jihan dan satu pedasnya sedang untuk Kanza, kentang goreng satu dan minumnya greentea.
Kanza menyeruput minum sejenak, "Lo pikir?"
Jihan terkekeh pelan, "Ya gak salah sih tante Rina nitipin lo ke gue."
"Gue udah susah-susah diet eh ketemu lo mana bisa gue diet." Timpal Kanza kini ikut tertawa kecil begitu pula dengan Jihan.
"You know me so well Za."
Kanza kembali melahap makanannya dengan tenang, "Adik lo udah isi?" tanya Kanza tiba-tiba membuat Jihan memutar bola matanya malas.
"Gak tahu gue. Gue blokir nomernya kemarin."
"Gilanya another level sih kalo adek lo." Jihan mengangguk setuju, pasalnya dibanding Jihan adiknya Jihan itu menikah terlebih dahulu dan ya kehidupan mereka tidak cukup baik.
"Adik lo sendiri? Jadi kuliah dimana?"
"Gue suruh di Jogja aja biar kalo balik deket. Biar gue disini cari duit."
"Anjirr tipe kakak idaman banget sih lo hahaha."
"Gimana lagi ya alesan juga sih, males gue balik."
"Lo sama gue mah sebenernya sama masalahnya. Beda dikit sih you still on your rule sedangkan gue kemana mana."
"I hope be better, kalo lo mau berubah sih gue seneng aja. Gue cuma temen lo, tapi lo juga udah gue anggep keluarga gue sendiri Ji. Kasihan jiwa lo capek."
"I hope so."
Baru mereka menikmati obrolan ringan mereka tiba-tiba seseorang menghampiri mereka dan duduk begitu saja. Sontak keduanya menoleh. Jihan langsung tersedak ketika melihat presensi pria yang kini duduk disamping mereka dengan senyum yang menurut Kanza creepy.
"Kamu ngapain disini?" tanya Jihan setelah selesai dengan batuknya. Memandang pria itu dengan heran dan kaget juga.
"Harusnya aku yang nanya, kamu ngapain disini?"
Panca menatap Jihan menuntut penjelasan. Ini yang Kanza tidak suka, hubungan mereka itu benar-benar toxic dan lihatlah cara Panca menatap Kanza seperti ingin menguliti. Kanza sendiri memilih melanjutkan makanannya yang tertunda, ia mengabaikan tatapan Panca yang beralih menatap dengan terkesan mendiskriminasi nya.
"Kamu gak perlu tahu. Kita udah putus kalo kamu lupa." ujar Jihan ketus. Jihan merutuki dirinya sendiri, ia baru ingat jika cafe yang ia singgahi ini milik temannya Panca. Mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur.
Panca tersenyum miring, "Itu keputusan sepihak, aku bahkan belum ngasih jawaban ya."
"Terserah aku muak sama kamu."
Panca menoleh ke arah Kanza, "Aku heran, sebenernya apa yang cewek ini kasih ke kamu sampai-sampai kamu prioritasin dia dibanding aku. Kamu gak curiga kalo dia mau nyakitin kamu?" tanya Panca kembali mengalihkan pandangannya ke Jihan yang menatapnya tidak mengerti.
"Aneh kamu. Dari dulu alasan kamu makin gak masuk akal, jadi gak usah libatin Kanza di hubungan kita." Tegas Jihan membuat Panca mengeraskan rahangnya.
Kanza sedari tadi diam ikut emosi mendengar perkataan Panca yang tidak rasional, bahkan sampai ia menggenggam sendok dan sendok itu tanpa sadar sudah bengkok saking dirinya menahan emosi.
"Kamu sadar gak sih? Sejak kedatangan cewek ini, hubungan kita jadi renggang!"
"Panca!"
Starr
Panca dan Jihan menoleh bersamaan ketika Kanza membanting sendok tadi di atas meja hingga mengenai piring dan terdengar sangat nyaring. Itu cukup menarik perhatian orang sekitar.
Kanza berdiri, "Ji ayo pulang." Ajak Kanza kini menarik tangan Jihan untuk berdiri untuk pulang.
Semakin Jihan meneladeni Panca, semakin Panca gila bahkan akan mencari-cari alasan atas ketidakterimaan bahwa hubungan mereka putus. Jihan mengangguk ketika tangan Kanza sudah menggandengnya tapi belum juga melangkah lengan Jihan sudah ditahan oleh Panca.
"Lo apa-apaan sih! Lo siapa seenaknya mutus omongan kita?!" Sentak Panca begitu Kanza menggandeng Jihan berniat menyudahi percakapan yang tidak ada ujungnya.
Suara Panca mulai meninggi dan Jihan dengan keras melepaskan cekalan lengan Panca. Setelah terlepas Jihan langsung menarik tangan Kanza untuk pergi, sayangnya wanita itu tidak bergeming malah menatap Panca tajam.
"Gue temennya Jihan."
"Lo cuma temen, lo gak ada hak ikut campur urusan kita." Gurat emosi sudah terlihat di wajah Panca.
Kanza mendengus, "Dan lo cuma mantan kalo lo lupa, urusan lo sama Jihan udah selesai. Dari awal gue gak ikut campur urusan kalian, lo yang nyeret-nyeret nama gue di hubungan lo."
"Karena gue tahu lo lesbi!" potong Panca membuat Kanza dan Jihan terkejut.
"Hah?!" seru Kanza terkejut bukan main.
"Lo suka sama Jihan dan lo mau ngrebut Jihan dari gue iya, ‘kan?!"
"Sinting! Lo itu obsesi Panca! Sampai nunding gue Lesbi sama Jihan, gila. Lo udah gila, hubungan lo itu toxic karena obsesi lo, lo sadar gak s—"
Kanza memalingkan muka dan memejamkan matanya ketika hampir saja tangan Panca mendarat di pipinya jika seseorang tidak menahannya.
"Weitss bro gak gini caranya."
---
Akhirnya acara busking mereka selesai, bukan busking sih lebih tepatnya hanya untuk senang-senang dan bernostalgia. Tidak buruk juga mereka bermain setelah berapa tahun. Dibantu Henry mereka kembali ke cafe Henry.
"Makan apa nih biar pegawai gue yang buatin?" tanya Henry ketika mereka semua sampai di cafe Henry. Ternyata cukup lelah juga, apa karena faktor umur ya.
"Apa aja, ayam boleh deh. Eh Hen, kalo ada cetingan mending cetingan aja biar Bram bisa nambah." Ujar Jevan yang dibalas gelak tawa oleh mereka.
"Ye si anjir. Tapi gak papa sih Hen, ngirit juga biar Seno gak kebanyakan bayarnya." Balas Bram yang membuat Seno menggelengkan kepalanya kecil.
"Saras sama Genta mau samain atau mau pesen yang lain?" tanya Seno kepada mereka berdua.
"Samain aja. Biar gak ribet." Jawab Genta yang disertai anggukan setuju dari Saras.
Jevan, Wildan dan Bram mulai menghisap batang nikotin sesekali mengobrol dan bertukar cerita tadi saat busking. Tadinya Seno juga ijut menimpali, tapi ia melirik Abian yang sedari tadi diam seperti mengamati seseorang.
"Lo ngliatin siapa dari tadi Al?" tanya Seno membuat ketiga temannya ikut menoleh ke arah Abian lalu mengikuti arah pandang Abian.
Henry tiba dengan minum yang mereka pesan dan beberapa kentang goreng yang ia sajikan, "Kenapa Al?"
Abian menggeleng pelan, tapi Henry ikut mengikuti arah pandang Abian.
"Oh mereka..." Henry lantas duduk setelah meletakkan piring kentang goreng terakhir dari nampannya.
"Yang cowok itu Panca temen gue, dan yang cewe ngadep sini itu pacarnya." Jelas Henry tiba-tiba.
"Panca? Bukannya dia anak Band juga ya?" tanya Jevan kembali mengisap rokoknya.
"Iya, lo tahu?"
"Tahu lah dia dulu kan saingan Moonrise."
"Ohh yang Band asal Jakarta itu, apa namanya?" Bram mencoba mengingat-ingat nama Band Panca dulu.
"Gak tahu lupa. Pokoknya problematic semua." Jawab Jevan menjentikan rokoknya ke dalam asbak.
"Mereka lagi berantem keliatannya." Tambah Wildan.
"Udah lama sih gitu, selain temperamental Panca buruk, dia itu obsesif. Gila aja dia cemburu sama cewek yang ngebelakangin kita itu. Temen ceweknya." Jelas Henry.
"Segitunya?" tanya Abian sedikit terkejut akan penjelasan Henry.
"Wah susah sih ketemu orang obsesif sampai segitunya... Wei ANJIR MAU NGAPAIN!" Seru Bram terkejut ketika pertengkaran mereka semakin memanas bahkan mereka bisa melihat jika Panca seperti ingin mencabik-cabik wanita di depan nya itu. Fokus mereka benar-benar terpusat kepada pertengkaran mereka.
"WEI ANJING!!" seru Jevan dan Bram bersamaan ketika tangan Panca hampir melayang ke wanita di depan nya itu jika Seno tidak menahan tangan Panca segera.
Sebentar, sejak kapan Seno berjalan kesana? Bahkan saking fokusnya Abian tak menyadari jika Seno sudah berjalan kesana. Tadinya Abian ingin menghampiri mereka karena salah atau dari mereka Abian mengenalnya dengan baik, tapi langkahnya tertahan ketika Seno sudah lebih dulu disana. Dan sekarang disusul Henry.
"Weits bro gak gini caranya." Ujar Seno menahan tangan Panca. Panca menoleh dan menatap tajam ke arah Seno dia menghempaskan tangannya kasar.
"Lo gak usah ikut campur!" tegas Panca tak membuat Seno takut. Seno menatap sama tajamnya meski dengan senyum remehnya.
"Sorry tapi lo ganggu penglihatan gue. Gue paling benci sama cowok yang gunain kekerasan apalagi sama cewek, ganggu pemandangan gue. Gak gentle."
"Ca lo lebih baik pulang. Gue gak mau cafe gue didatengi polisi malem-malem gara-gara kayak gini." Ucap Henry membuat Panca membuang nafas kasar dan berbalik memilih pergi meninggalkan mereka dengan emosi yang sebenarnya memuncak.
Jihan menghela nafas lega, "Lo gak papa Za?" tanya Jihan sangat khawatir dengan Kanza yang mengangguk tersenyum. Jihan tahu sebenarnya Kanza juga takut, apalagi tangan yang Jihan genggam sampai berkeringat dingin.
"Lo gak papa?" tanya Seno membuat Jihan mengangguk.
"Temen gue gak papa kok. Makasih." Jawab Jihan.
Seno tersenyum tipis, "Lo sendiri?"
Jihan mengernyit, "Oh gak papa makasih ya. Sorry ngerusuh di tempat lo."
"Gak papa. Lo berdua pulang gih, gue rasa besok lo selesein sama Panca biar gak berlarut-larut." Ujar Henry memberi saran kepada Jihan.
"Thanks gue balik dulu, yuk Za." Jihan menggandeng erat tangan Kanza keluar dari cafe.
Disisi lain Bram dan yang lain menghela nafas lega, Seno dan Henry juga kembali ke meja mereka. Hanya saja pandangan Abian masih tidak lepas dari arah keluar cafe. Ia menghembuskan nafas pelan, lalu mengambil satu batang tembakau itu untuk sekedar menenangkan pikirannya yang tiba-tiba penuh.
- To be continued -
"Lagi nunggu ojol?" tanya Abian yang keluar dari gedung. Kanza langsung menoleh cepat, jika di pikir-pikir apa Abian selalu pulang paling akhir, sudah jalan tiga minggu Kanza pulang akhir tapi ternyata Abian yang pulang akhir."Iya." Jawab Kanza singkat."Batalin aja.""Hah?!"Abian menatap Kanza dengan ekspresi datarnya, "Batalin aja ojolnya. Kamu pulang sama saya." Lanjut Abian seenaknya."T-tapi...""Orang ojolnya dari tadi gak jalan-jalan." Abian menunjuk dengan dagunya, melihat ponsel Kanza menyala dan terlihat bahwa ojol yang Kanza pesan masih belum jalan.Kanza menoleh bingung pada ponselnya, tapikan Kanza tidak mau pulang dengan Abian. Dia berusaha menghindar dari Abian, tapi setelah dirasa, Abian seperti balas dendam kepada dirinya."Kelamaan mikir, keburu di tutup gerbangnya." Ucap Abian meninggalkan Kanza
"Kamu disana malah gendutan ya pantes aja gak nikah-nikah.""Za kurangin ngemil lo, leher lo ada dua gitu.""Yang udah kerja pasti banyak duit. Tambah gemuk aja.""Ihh kak Kanza tambah gemuk nek!!""Di jaga tubuhmu. Jangan banyak jajan, jangan banyak ngemil, kalo kamu gemuk susah yang suka sama kamu. Gak nikah-nikah nanti." Sejak 5 hari setelah Kanza video call dengan keluarga besar yang sedang berkumpul di rumah neneknya ia berubah menjadi murung. Niat ingin melepas rindu, dengan mungkin dibumbui pujian karena ia berhasil bekerja di yang ia cita-citakan, malah berakhir dengan unt
"Gak makan siang?" tanya Abian saat masuk ke ruangan dan kini berhenti di samping meja Kanza. Kanza menoleh sejenak lalu menggeleng ia kembali menatap monitor komputernya. Semenjak kejadian 2 hari yang lalu dimana ia pingsan, Kanza lebih pendiam. Kanza tahu jika Abian yang membawa ke klinik bersama Bu Nuri, dan ia juga tahu jika mereka berdua tidak ember penyebab Kanza pingsan. Hanya saja mood Kanza tidak kunjung membaik ditambah keluarga besarnya yang semakin kemari semakin menyebalkan. "Ayo saya temenin makan. Saya gak mau liat anggota tim saya pingsan lagi." Ucap Abian terkesan tegas dan datar. "Makasih Pak sebelumnya, tapi saya gak bakal pingsan lagi." Jawab Kanza. Abian mendengus, "Saya gak mau ada anggota yang ngrepotin saya
Abian bingung harus bagaimana menghadapi wanita yang marah terhadapnya. Baru kali ini ia merasa pusing sendiri dengan sikap orang yang marah terhadapnya. Biasanya ia akan cuek dan tidak mempedulikan karena semua yang ia katakan, ia utarakan itu lebih dari logis. Maka dari itu lawan bicara sering kalah telak jika berdebat dengannya. Tapi kenapa ia sekarang menjadi kepikiran ketika beberapa hari lalu Kanza marah padanya, sampai-sampai berani melempar buku menimbulkan suara nyaring. Apa ia terkena Karma karena mulutnya sering kelewat tajam hingga sekarang marahnya Kanza membuat Abian uring-uringan dan moodnya ikut buruk. Satu lagi, ajakan keluar kemarin ditolak mentah-mentah oleh Kanza. Padahal ini merupakan pertama kali Abian sampai mendatangi rumah seseorang untuk minta maaf dan menebus kesalahannya. Hari ini pun Abian melihat Kanza ha
Burhan masuk ruangan Tim Cirrus dengan tersenyum lebar. Suasana hatinya sangat senang, tak sabar ia membawa kabar baik yang akan ia sampaikan kepada Tim Cirrus. Walaupun hal pribadi tapi setidakknya ia ingin berbagi kebahagiannya. "Selamat siang semua." Sapa Burhan kini masuk dan berjalan menuju depan sana. Semua langsung berdiri menyapa Burhan dengan hangat dan ramah. Bahkan semua langsung menghentikan aktivitas mereka dan berdiri untuk menghormati kedatangan Burhan. Termasuk Abian yang langsung keluar ruang kerjanya. "Wah kayaknya bapak ada kabar gembira nih." Ujar Hasan setelah melihat raut wajah Burhan yang berseri-seri. Burhan tersenyum malu, "Kamu tahu aja Hasan." "I
Kanza mengrenyit melihat Abian benar-benar menjemputnya. Dalam hati ia sudah menggerutu sebal, lama kelamaan Abian itu seenaknya sendiri tidak di kantor, di luar pun juga sulit dibantah. Bodohnya Kanza juga tidak bisa membantah, mungkin karena dulu gurunya jadi ia benar-benar harus menghormati. Tapi tetap saja menjengkelkan kalau dipikir-pikir. Dan Kanza melihat Abian sudah berdiri di samping mobilnya dengan wajah datar andalannya. Huft, Kanza penasaran kenapa Abian jarang sekali tersenyum. Tapi, tunggu... "Loh istri bapak gak ikut?" tanya Kanza melihat bangku depan kosong dari kaca depan. Ia jadi was-was kalau ternyata Abian sudah punya calon atau istrikan bisa gawat. Ia tidak ingin dilabrak tiba-tiba disangka pelakor. Tunggu, memang Kanza berulah apa saja sampai berpikiran jauh seperti itu. Tapi semua bisa terjadi, contoh saja Panca
Setelah memutuskan untuk pulang, akhirnya Kanza kembali satu mobil dari Abian. Ia menghela nafas berfikir agar tidak terlalu canggung. Kalau sebelumnya saat ia membonceng Abian dengan motor maka tidak secanggng ini karena bisa alasan ia tidak mendengar ucapan Abain karena berisiknya sekitar, tapi jika didalam mobil seperti ini bisa-bisa ia mati karena canggung. Tidak. Bercanda. Di dalam mobil mereka berdua hanya terdiam, Gibran yang kelelahan pun jatuh tertidur di kursi belakang. Baru beberapa menit, Abian membelokkan stirnya ke salah satu market kecil. Di situ juga ada beberapa jajanan seperti cilok, siomay dan batagor. Ada juga es buah, es cendol di sekitaran situ."Bentar saya mau beli batagor. Saya laper."Sontak membawa keterkejutan pada Kanza, "Loh bapak belum makan? Tadi gak makan?"
Pagi ini Kanza datang dengan sedikit bertanya-tanya. Saat masuk ruangannya terlihat sedikit ramai, ada pegawai yang tadi malam jadwalnya shift bersama dengan timnya. Ia melihat tanda merah di salah satu layar besar seperti monitor didepannya itu. Layar untuk memantau wilayah Indonesia. Disitu ada Abian yang sudah sibuk memantau bersama pegawai yng bershift malam. Lagi dan lagi Kanza melihat tanda merah yang masih hidup disalah satu titik wilayah. Mata Kanza menatap layar tanpa kedip, ia melihat bahwa tadi pagi terjadi gempa bumi di salah satu wilayah Yogyakarta. Tercatat magnitudo 5.3, titik kedalaman 48 km di bawah permukaan laut dan tidak berpotensi tsunami, setidaknya itu yang Kanza tangkap. Sedangkan hatinya mendadak tidak karuan mengingat keluarganya tinggal di Yogyakarta. "Perhatian!" suara Abian mengintrupsi semua anggota timnya termasuk nenyadarkan Kanza dari pikiran yang mulai kacau. "Tim Cirrus ambil alih pantauan mulai sekarang. Meski gempa tidak b
Dua minggu lamanya Kanza benar-benar mengabaikan pesan dari Abian, dan sudah terhitung satu minggu terakhir Abian tidak mengubungi Kanza lagi setelah ia mengirim pesan yang terakhir untuk menjelaskan alasan apa yang terjadi. Suasana menjadi sangat kacau, banyak sekali rumor yang tidak masuk akal termasuk menyangkut dirinya. Kanza sudah tidak peduli dengan semua orang, karena semua orang itu palsu, bermuka dua dan tidak dapat dipercaya. Yang tidak bisa ia pikirkan sebenarnya Kanza harus menunggu apa? Dan lagi Abian pindah tim? Benar-benar pria gila. Kanza membereskan barangnya untuk segera pulang karena jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Harinya sama, sama-sama melelahkan bagi Kanza. "Kanza mau pulang?" tanya Samuel, Ketua Tim Kanza yang akhir-akhir ini mendekati Kanza. Bukan ada maksud apa-apa menurutnya semua yang menjadi anggotanya menjadi tanggung jawabnya. Ia hanya ingin lebih dekat dengan anggotanya. Entah sekedar menawari untuk pulang bersama atau mencoba meng
From : Bapak Abian YTH Kamu gak mau liat keadaan saya? Tanggung jawab punggung saya sakit. . Kanza menghembuskan nafas lelah, jujur memang ia tidak bisa mengunjungi Abian kemarin dikarenakan shift. Dan sekarang ia sedang menuju rumah sakit tentu saja mengunjungi Abian meski dengan perasaan yang campur aduk. Ia tidak tahu apakah nanti bisa mengendalikan emosinya atau malah akan menangis keras, yang jelas pikiran Kanza masih kacau. Tentang keterangan Abian tidak masuk yaitu dengan alasan salah otot sehingga pinggang Abian cedera. Abian tidak memberitahu bahwa ia kena insiden yang tidak perlu ia sebutkan, yang ada malah menjadi berita yang tidak-tidak. Menerima pesan tadi Kanza sudah berdiri di depan pintu ruang inap Abian, ia sudah berdiri selama kurang 15 menit. Entah mengapa ia harus menyiapkan dirinya, mungkin karena merasa bersalah mendalam. Bahkan ia masih ingat detail bagaimana kejadian itu, rasanya begitu sesak mengingatnya. Kanza menggelengkan kep
Lorong rumah sakit nampak cukup sepi. Setelah kejadian tadi, Kanza hanya terdiam di depan kamar rawat setelah membersihkan diri tadi. Wajah Kanza masih terlihat bengkak sedikit pucat, tangannya juga masih bergetar. Ia masih terlalu kaget dengan kejadian ini, menyesali segalanya. Di dalam kamar rawat ada Saras yang masih menunggui kakaknya itu siuman, sedangkan Seno mengurus Panca di kantor polisi. Penyerangan akan memberatkan tuntutannya. Drrt drrt Suara getar ponsel Kanza terdengar, ia mengeluarkan ponsel dari saku. Ada panggilan masuk dari Jihan membuat seketika ia menghela nafas berat sebelum menerima. Cukup lama ia hanya memandang kosong layar ponsel bercantumkan nama Jihan tiba-tiba Saras keluar dengan tergesa dan sontak membuat Kanza otomatis langsung berdiri. "Mbak, mbak kenapa belum pulang?" tanya Saras cukup ketus. Saras masih belum bisa berpikir rasional sekarang, ia masih syok juga atas kejadian yang menimpa kakaknya. "Pak Abi
Setelah Seno berbincang dengan Abian hanya sekitar 10 menit, Abian langsung mengirimkan pesan ke Kanza untuk mengirimkan lokasinya sekarang juga. Boleh jadi sekarang ia bertemu dengan Panca. Kira-kira ini obrolan sebelum Abian menancapkan gas motor menuju lokasi yang Kanza kirimkan. "Lo denger gue gak sih, Al?" Abian melirik sejenak, "Denger.""Terus kenapa lo malah main hp?"Tidak menanggapi pertanyaan Seno, Abian kembali mengecek pesan masuk dari Kanza tetapi nihil."Al?!" Seno emosi sendiri karena Abian sedari tadi seperti tidak memperhatikan ia bicara.Abian menghela nafas kasar, "Gue tahu. Gue tahu dari lama, lo pikir gue gak mastiin Kanza balik sesuai permintaan lo? Makanya gue lagi—"Suara notifikasi masuk ke dalam ponsel milik Abian. Kanza mengirimkan lokasi yang tidak jauh dari Kafe Seno. Tidak menghiraukan Seno yang tengah mengomel panjang, Abian langsung mengambil kunci motor dan langsung bergegas menuju lokasi meninggalkan Seno yang men
Kanza membuka matanya terkejut ketika mimpi buruk itu seolah ingin menangkapnya. Peluh berjatuhan, nafasnya tersenggal. Ia lantas mendudukkan dirinya mencoba menetralkan nafas, tangan Kanza meraih ponsel guna melihat pukul berapa sekarang. Masih pukul 3 pagi. Kanza mengambil gelas disamping meja dan meminum sekali tandas.Akhir-akhir ini ia merasa gelisah, bahkan ia sering mimpi buruk kejadian itu terulang lagi. Tapi sebelum-sebelumnya ia menyangkal jika hanya pikirannya saja yang penuh. Kanza menghela nafas lalu kembali merebahkan dirinya. Ia menatap langit-langit menerawang jauh memikirkan kondisinya. Ia merasa baik-baik saja, tapi terkadang ia merasa sangat kacau. Kanza sedikit takut jika ia harus menemui psikolog karena kondisi psikis yang akibatnya berdampak pada kondisi perut. Sejak kejadian itu, perut Kanza menjadi sangat sensitif, dari sering melilit atau paling parah yaitu kram. Padahal ia sudah cek ke dokter dan tidak ada apa-apa. Dokter hanya bilang itu dikarenakan
Kanza tersenyum cerah ketika tidak sengaja tadi melihat sekelompok mahasiswa di ruang sebelah setelah ia dari kamar mandi. Ia langsung bergegas menuju ruangannya untuk bersiap menyambutnya. Dibanding harus terlihat seperti orang yang keren saat bekerja, Kanza justru malah ingin berinteraksi dengan mereka tapi tidak bisa karena hanya dia saja yang merasa begitu yang lain begitu fokus dengan pekerjaan mereka. Tentang Nata, mereka sama sekali tidak bertegur sama semenjak kemarin. Masa bodoh, Kanza tidak peduli. "Selamat siang semuanya," suara Bapak Humas Instansi menyapa semua orang di ruangan Cirrus. Sontak semuanya menoleh dan membalas sapaan dari Bambang si Humas yang membawa kelompok mahasiswa tersebut. Abian yang tadinya di dalam ruangannya lantas keluar menghampiri Bambang untuk menyambut mereka. Kanza tersenyum cerah ketika melihat para Mahasiswa di luar, beberapa anak mengintip dan tersenyum ke arahnya. "Baik semuanya, karena ada sekitar 7 orang
Obrolan kemarin sore baik Abian dan Kanza mulai menjaga jarak, bahkan hanya bertegur sapa singkat dan bekerja sesuai dengan jadwalnya. Gosip tentang Kanza pun belum mereda, masih banyak yang menyinggung jadwal shift yang ditetapkan. Mungkin prinsip Kanza sekarang ia akan bekerja dan dibayar lalu pulang, tidak mencampuri urusan lain ataupun ikut nongkrong apapun. Dia akan biasa tidak akan terlalu dekat dengan rekan kantor karena tidak ada yang dapat dipercaya.Ia harus fokus kembali tujuan awal yaitu mencari uang untuk adiknya sekolah dan dirinya. Hanya itu. Ia harus mengingat jika ada orang yang perlu ia bahagiakan yaitu keluarganya.Agaknya beberapa kali Abian mencuri pandang ke arah dimana Kanza bekerja. Wanita itu tengah fokus dengan dahi yang berkerut, rambut pendek sebahu yang ia kucir satu menyisakan beberapa helai anak rambut, gurat wajahnya yang terlihat lelah dan sepertinya bertambah kurus. Pipi chubby saat pertama kali ia kemari berkurang.Abian menghe
Mungkin bagi Kanza, menjadi anak perempuan pertema sekaligus cucu pertama yang bisa memenuhi permintaan mendiang Kakeknya itu adalah hal yang luar biasa. Beban ia langsung terangkat begitu saja sehingga pundaknya menjadi ringan. Bagi Kanza itu semua dilakukan dengan mudah, tidak banyak mengeluh dan mengiyakan perkataan orang tua.Lalu bagaimana cara dia bertahan dan menjadi kuat?Pura-pura adalah jawabannya. Kanza terbiasa berpura-pura untuk menjadi lebih kuat disaat dia pada titik terendah. Dia juga terbiasa berpura-pura untuk baik-baik saja karena ia yakin besok akan baik-baik saja, padahal pikirannya berbanding terbalik. Kanza selalu menekan kelelahan secara psikisnya hanya dengan tidur karena ia percaya dengan begitu ketika bangun ia bisa kembali berlindung dalam kata 'pura-pura', seolah tidak terjadi apa-apa.Seolah menutup telinganya rapat, Kanza keluar dari bilik kamar mandi setelah beberapa orang tadi pergi. Kanza menghela nafas berat, topik
Mungkin jika saat itu tidak berakhir, maka kedua insan itu masih merasakan bagaimana letupan-letupan rasa bahagia dalam hati mereka. Menciptakan banyak kenangan dari masa ke masa. Namun keadaan yang memaksa mereka untuk berhenti, berhenti mencintai satu sama lain sehingga meninggalkan sebuah kenangan yang tidak berarti dan hanya terasa seperti luka tidak mengering. Bersikap layaknya tidak terjadi apa-apa bahkan menjaga jarak merupakan yang mereka sekarang. Sebuah formalitas membingkai setiap pertemuan mereka. Dan terus sampai begitu. Apakah bisa seperti dulu? Mungkinkah? Entahlah. Wanita berparas cantik itu tersenyum ketika seorang pria berseragam pegawai itu berjalan menghampiri dirinya di luar ruangan. Dari dulu sampai sekarang menurutnya pria itu tidak berubah, paras dingin, langkah tegap, penampilan rapi selalu menjadi kesukaannya. Mungkin jika dulu ia bisa melihat senyum tipis terpatri pada wajah tegas pria itu sekarang tidak. Senyum yang jujur saja ia rindukan menghila