Abian turun dari lantai dua, setelah mendapatkan pesan beruntun dari temannya, ia bergegas mengganti pakaiannya. Saras yang sedang menonton tv di ruang tengah pun mengernyit heran melihat penampilan kakaknya itu tengah rapi berbalut kemeja kotak merah dan kaos hitam di dalamnya. Tidak lupa celana jeans, dan tas yang disampirkan dipundak.
"Mas mau kemana? Dandan kayak anak muda gitu?" tanya Saras meneliti penampilan Abian yang sangat santai, apalagi rambutnya disisir tidak terlalu rapi seperti saat akan ke kantor.
"Busking. Mau ikut?"
Saras sontak berdiri, "Sumpah? Mauuuu ikutt."
"Ya udah sana ganti baju."
Saras langsung mengangguk, ia mematikan televisi dan langsung bergegas naik menuju kamarnya. Cukup 10 menitan Saras keluar dengan memakai sweater warna beige dan jeans juga tas selempang kecil. Ia sangat bersemangat malam ini.
"Mas beneran mau busking? Sama anak Band Mas?" tanya Saras mengekori Abian yang kini memakai sepatu converse warna hitam sedangkan Saras memakai kets warna putih.
"Iya."
"Wah udah lama banget gak sih hak liat kalian manggung bareng."
Pasalnya dari dulu Saras suka sekali dengan penampilan Band mereka semenjak di Malang. Band milik Abian terbentuk saat dibangku kuliah. Sedangkan waktu itu posisinya Saras di Yogyakarta, tapi Band Abian tak jarang ikut event yang ada di Yogyakarta sehingga Saras sering datang menonton kakaknya itu.
Nama Bandnya yaitu Moonrise, terdiri dari lima anggota yaitu, Jevan, Seno, Bram, Wildan dan Abian. Untuk Jevan dulu memegang gitar electric dan vokal, Seno gitar akustik kadang electric dan vokal. Bram sendiri Bass dan vokal juga komposer lagu mereka, dan Wildan sendiri synthesizer juga vokal, nah untuk Abian sebagai drummer.
Sudah berapa tahun Saras tidak melihat mereka bersama karena kesibukan mereka, terlebih posisi mereka pisah-pisah. Hanya Abian dan satu temannya yang satu Domisili, yaitu Seno.
"Cajon nya mana Mas?" tanya Saras ketika akan masuk ke mobil Abian.
Abian terkekeh pelan, "Di mobil. Perasaan yang mau busking Mas, kenapa kamu yang semangat dek?"
"Yakan udah lama gak nonton." Saras menutup pintu mobil dan memakai sabuk pengamannya. "Lagian ya Mas, menurutku Moonrise itu Band terbaik yang pernah aku tonton, setelah Moonrise gak manggung aku jadi males kepo-in selain Moonrise." oceh Saras dengan sangat semangat.
"Ya soalnya ada Wildan." Timpal Abian membuat Saras menoleh melayangkan tatapan protes.
"Serius Mas! Ck dari dulu Mas Wildan mulu perasaan."
"Ngomong-ngomong kapan kalian latihan? Tumben banget, Mas Jevan, Mas Bram, Mas Wildan lagi ada urusan di Jakarta?"
Abian mengangguk, "Sebenernya udah lama sih kita mau ketemu sekalian bahas proyek."
"Proyek?"
"Iya. Jadi karena kemarin Bang Jevan tiba-tiba ngirim beberapa screenshoot beberapa komentar di twitter Moonrise kalo pada kangen. Kita ngide mau buat semacam cafe gitu di Jakarta sama Malang, cafe Moonrise. Tapi baru kasaran sih konsepnya." Jelas Abian kepada Saras.
"Wah bagus dong kalo gitu, terus ide busking ini dadakan?" Abian mengangguk lagi.
"Hell, emang udah pada gak lupa kunci gitu? Biasanya Mas Wildan lupa lirik."
Abian terkekeh pelan, "Kemarin kita latihan bentar kok. Ya kalo lupa ya biarin yang penting bukan Mas."
"Iyalah, Mas mah cuma nabuh cajon gitu sedangkan yang lain nyanyi." Abian tersenyum, ia lantas kembali fokus ke jalanan.
Jujur ia juga sama semangatnya dengan Saras, sudah terhitung berapa tahun mereka tidak bermain bersama. Lucunya masih belum ada yang sold out diantara mereka berlima, hmm mungkin Jevan sedang dalam tahap serius ataupun Bram juga dalam tahap serius. Entahlah Abian juga bingung kenapa teman-temannya betah dengan hubungan seperti itu.
Sesampai di salah satu parkiran cafe milik Henry temannya Seno, Abian dan Saras turun dari mobil tak lupa Abian yang mengeluarkan cajon miliknya. Mereka berdua lantas masuk ke cafe dimana teman-temannya sudah berkumpul disana. Letak cafe ini di sebelah taman kota sehingga cukup strategis.
"Wih siapa nih yang dateng?!" seru Bram langsung berdiri menghampiri Abian dan menepuk pundak Abian cukup keras, sebagai penyambutan.
"Apa kabar Bang?" tanya Abian meletakkan cajon tersebut dan berjabat ria ala pria.
"Baik gue! Gila lo udah tua juga." Tambah Bram bergurau. Abian tertawa pelan.
"Ngaca bang." Timpal Abian singkat padat, menusuk, tapi membuat mereka sukses tergelak.
"Anjir lama banget gue gak liat lo Al!" giliran Jevan yang kini berdiri menyambut Abian dengan salaman ala anak pria. Begitu juga dengan Wildan dan Seno serta Henry yang ada disitu.
"Anjir perasaan baru kemarin kita ketemu, latihan juga kalo kalian lupa." Ucap Wildan mengernyit risih melihat drama barusan.
"Biar drama gitu lah Wil. Eh iya Saras kan ya?" Tanya Bram yang kini beralih ke Saras.
Saras tersenyum mengangguk, "Iya Mas."
"Udah gede juga, semester berapa?"
"Semester tiga." Jawab Saras sedikit malu karena hanya dia yang perempuan.
Tapi beruntung kakaknya itu menjaga dia dengan baik. Ia menyuruh Saras duduk diantara Seno dan dirinya karena Abian tahu pasti lumayan canggung karena sudah lama tidak bertemu, kalau dengan Seno itu sering. Jadi Saras tidak canggung.
"Tuh Wil, lo kalo nunggu Saras keburu lo jompo. Saras juga gak mau kali sama lo." Celetuk Jevan.
Nah ini yang membuat Saras itu cukup sensi mendengar nama Wildan atau membahas Wildan. Saras tahu itu hanya bercanda toh sudah lama dari jaman ia kecil kalo Wildan itu suka dengan Saras. Ya mana mungkin juga, jarak umur mereka jauh. Lagi pula Saras tahu kalau hanya bercanda, dan Saras sudah menganggap teman Abian itu kakak dia. Jadi garis bawahi, bercanda.
"Kan gue cuma bercanda, lagian Saras juga adek gue ya." Jawab Wildan tidak terima.
"Ini mulai jam berapa nih? Udah mulai rame nih kalo gue liat." Ucap Seno kepada mereka.
"Bentar cewek gue lama banget dah di kamar mandi." Jawab Bram yang kini beranjak dari duduknya ingin menyusul ke kamar mandi.
"Lo sama cewek lo Bang? Mbak Genta tumben ikut." tanya Abian.
"Ho.oh, dia libur jadi ngikut. Oh, itu..." Semua menoleh ke arah Genta yang tengah mempercepat jalannya ke arah mereka sehabis dari kamar mandi.
"Kamu lama banget, masih sakit perut gak?" tanya Bram pada Genta yang menggeleng.
"Hehe udah kok. Udah pada dateng semua?" tanya Genta sambari mengedarkan pandangannya disitu sudah ada Abian yang mengangguk kecil sekedar memberi salam kearahnya.
"Iya nih, ya udah yuk." Mereka semua beranjak dari tempat duduk mereka. Lantas mengambil beberapa instrumen yang sudah mereka bawa dibantu Henry.
"Ta, kamu sama Saras ya nontonnya, biar ada temennya." Ucap Bram ketika Genta mengikuti Bram kekuar dari cafe.
"Oh iya mana anaknya?"
Begitu menoleh kebelakang, Genta melihat wanita yang tengah mengekori Abian. Ia sontak tersenyum lebar ketika kedua mata mereka bertemu.
"Saras sama aku ya, biar aku ada temen juga." Ujar Genta saat Saras sudah sampai disampingnya.
Saraa mengangguk senang, "Iya Mbak, ngomong-ngomong ..."
Mereka akhirnya memilih tempat yang cukup ramai orang berlalu lalang dan cukup luas untuk duduk juga sehingga bisa menikmati dengan santai, yaitu pendopo taman kota. Sebelumnya mereka sudah izin memakai dan diperbolehkan. Saat mereka memasang beberapa mic dan kabel sudah banyak orang yang tertarik melingkar disitu. Genta dan Saras keduanya sudah asik bertukar cerita sembari duduk tak jauh dari mereka. Dan untuk pertama setelah beberapa tahun, mereka kembali mengisi malam dengan suara indah mereka.
---
Malamnya Jihan benar-benar sudah siap, mau tidak mau Kanza harus bersiap-siap juga padahal tanggung sekali nonton dramanya. Tapi ya sudahlah, siapa tahu Jihan mengajak tempat yang bagus. Berangkat dengan mobil Jihan mereka sampai di pusat kota. Sekedar berjalan-jalan di sepanjang jalan Jakarta.
"Za liat deh keknya ada acara musik."
Jihan menunjuk salah satu tempat outdor yang sudah mulai banyak orang duduk mengelilingi suatu grup yang tengah mempersiapkan acara. Yaitu Pendopo. Memakirkan mobilnya, Jihan dan Kanza bergegas turun dan menuju tempat tersebut. Jihan menarik Kanza untuk duduk tak jauh dari mereka. Sekitar 5 - 6 meter karena tempat depan sudah mulai penuh.
"Lama banget gue gak nonton kayak gini." Kanza menatap lurus ke arah Pendopo dimana beberapa orang sedang bersiap-siap untuk tampil.
Jihan mengunyah beberapa makanan yang ia beli tadi, "Emang lo pernah nonton?"
Kanza mendelik, "Pernah anjir. Satu kali itu aja di Malioboro."
Jihan terkikik, "Ucucucu, ya udah sekarangkan udah nonton. Gue denger anak yang busking nya ganteng-ganteng."
"Lo tahu dari mana?" tanya Kanza heran.
"Nguping mbak-mbak depan." Jihan berbisik sembari menunjuk kecil dua perempuan yang duduk di depannya. Kanza mendecih seraya menggeleng pelan, ada-ada aja temannya satu ini.
"Halo selamat malam semuanya~".
Begitu sang vokalis menyapa suara riuh penonton terdengar keras. Kanza bahkan sedikit terkejut, ternyata yang menonton lumayan banyak, dan rata-rata seperti pengunjung taman. Oh iya Kanza baru ingat sekarang malam minggu pantas saja.
"Za!! Beneran ganteng." Pekik Jihan sembari menggoyang-goyangkan lengan Kanza.
"Apasih. Lo kayak gak pernah cowok ganteng aja. Orang biasa aja." Ketus Kanza, ya lagi pula se tampan apapun kalau Kanza tidak suka ya pasti bilang biasa aja.
"Ah lo mah gak asik. Pantesan jomblo."
"Emang lo enggak?" sewot Kanza yang dibalas cengiran lebar oleh Jihan. Kanza menghela nafas sabar, terserah lah untung Jihan teman Kanza. Kalau bukan sudah Kanza buang ke sungai mungkin.
Drrt drrt
Kanza mengeluarkan ponsel nya yang bergetar karena sebuah pesan masuk dari seseorang. Dahi Kanza mengernyit melihat satu nama yang ingin ia enyahkan sehari ini saja. Malah tiba-tiba mengirimkan pesan kepadanya.
From : Bapak Abian YTH.
Arah jam satu.
Kanza mengrenyit, tapi beberapa saat ia mengerti. Kepala ia langsung celigukan kesana kemari, sambari beberapa kali mengecek ponselnya.
From : Bapak Abian YTH.
Pendopo arah jam satu. Nyari aja lama.
Kanza menghela nafas kasar, kalau Kanza tidak sayang dengan ponselnya mungkin dia sudah membanting nya. Masa bodohlah, Abian tidak jelas. Jika diladeni malah mood nya jadi jelek.
"Perkenalkan yang memegang cajon bernama Al."
"Selamat malam semua." Sapanya setelah nama ia dipanggil.
"Woahhh."
Hah?
"Za!! Abian itu bukan? Eh tapi kok …" Jihan menepuk-nepuk lengan Kanza.
"Apa?"
"Itu Abian atasan lo bukan, budeg!!"
"Hah? Mana?!!"
Kanza mencari-cari menoleh kesana kemari, mencari sosok yang barusan mengirimi ia pesan. Jihan dengan gemas langsung mengeplak paha Kanza sehingga sang empu mengaduh.
"Itu yang jadi dudukin cajon, DODOL HIH."
Kanza memusatkan pandangannya ke pendopo, matanya langsung menuju arah jam satu dimana seseorang yang duduk di cajon dengan kemeja kotak-kotak warna merah, bahkan Kanza terkejut melihat penampilan atasannya itu sangat berbeda. Seketika Kanza membelalak terkejut, ia juga menutup mulutnya yang terbuka lantaran terkejut. Hiperbola memang tapi memang begitu Kanza saat melihat Abian.
Seperti melihat apa saja.
"Gimana dong, mana tadi dia nge-chat gue." Panik Kanza seketika membuat ekspresi Jihan berubah datar.
"Ya gak gimana-gimana, lo kayak ketemu penagih utang aja."
"Ji~~". Rengek Kanza.
"Udah nikmatin aja, kapan lagi lo liat atasan lo busking gini. Mana masih kayak ABG gitu." Ujar Jihan menaik turunkan alisnya.
T-tapikan...
- To be continued -
warning! Harsh word! . Karena lapar setelah menonton acara musik itu, Jihan dan Kanza memutuskan untuk singgah di kafe dekat disitu sebentar. Sembari mengobrol banyak hal. Jihan dan Kanza duduk di salah satu meja kosong, sudah malam tapi masih cukup ramai. "Za? Lo masih diet?" tanya Jihan kini melahap nasi goreng telur yang ia pesan. Kanza dan Jihan sama-sama memesan menu yang sama, untuk makan yaitu nasi goreng telur satu pedas untuk Jihan dan satu pedasnya sedang untuk Kanza, kentang goreng satu dan minumnya greentea. Kanza menyeruput minum sejenak, "Lo pikir?" Jihan terkekeh pelan, "Ya gak salah sih tante Rina nitipin lo ke gue." "Gue udah susah-susah diet eh ketemu lo mana bisa gue diet." Timpal Kanza kini ikut tertawa kecil begitu pula dengan Jihan. "You know me so well Za." Kanza kembali melahap makanannya dengan tenang, "Adik lo udah isi?" tanya Kanza tiba-tiba membuat
"Lagi nunggu ojol?" tanya Abian yang keluar dari gedung. Kanza langsung menoleh cepat, jika di pikir-pikir apa Abian selalu pulang paling akhir, sudah jalan tiga minggu Kanza pulang akhir tapi ternyata Abian yang pulang akhir."Iya." Jawab Kanza singkat."Batalin aja.""Hah?!"Abian menatap Kanza dengan ekspresi datarnya, "Batalin aja ojolnya. Kamu pulang sama saya." Lanjut Abian seenaknya."T-tapi...""Orang ojolnya dari tadi gak jalan-jalan." Abian menunjuk dengan dagunya, melihat ponsel Kanza menyala dan terlihat bahwa ojol yang Kanza pesan masih belum jalan.Kanza menoleh bingung pada ponselnya, tapikan Kanza tidak mau pulang dengan Abian. Dia berusaha menghindar dari Abian, tapi setelah dirasa, Abian seperti balas dendam kepada dirinya."Kelamaan mikir, keburu di tutup gerbangnya." Ucap Abian meninggalkan Kanza
"Kamu disana malah gendutan ya pantes aja gak nikah-nikah.""Za kurangin ngemil lo, leher lo ada dua gitu.""Yang udah kerja pasti banyak duit. Tambah gemuk aja.""Ihh kak Kanza tambah gemuk nek!!""Di jaga tubuhmu. Jangan banyak jajan, jangan banyak ngemil, kalo kamu gemuk susah yang suka sama kamu. Gak nikah-nikah nanti." Sejak 5 hari setelah Kanza video call dengan keluarga besar yang sedang berkumpul di rumah neneknya ia berubah menjadi murung. Niat ingin melepas rindu, dengan mungkin dibumbui pujian karena ia berhasil bekerja di yang ia cita-citakan, malah berakhir dengan unt
"Gak makan siang?" tanya Abian saat masuk ke ruangan dan kini berhenti di samping meja Kanza. Kanza menoleh sejenak lalu menggeleng ia kembali menatap monitor komputernya. Semenjak kejadian 2 hari yang lalu dimana ia pingsan, Kanza lebih pendiam. Kanza tahu jika Abian yang membawa ke klinik bersama Bu Nuri, dan ia juga tahu jika mereka berdua tidak ember penyebab Kanza pingsan. Hanya saja mood Kanza tidak kunjung membaik ditambah keluarga besarnya yang semakin kemari semakin menyebalkan. "Ayo saya temenin makan. Saya gak mau liat anggota tim saya pingsan lagi." Ucap Abian terkesan tegas dan datar. "Makasih Pak sebelumnya, tapi saya gak bakal pingsan lagi." Jawab Kanza. Abian mendengus, "Saya gak mau ada anggota yang ngrepotin saya
Abian bingung harus bagaimana menghadapi wanita yang marah terhadapnya. Baru kali ini ia merasa pusing sendiri dengan sikap orang yang marah terhadapnya. Biasanya ia akan cuek dan tidak mempedulikan karena semua yang ia katakan, ia utarakan itu lebih dari logis. Maka dari itu lawan bicara sering kalah telak jika berdebat dengannya. Tapi kenapa ia sekarang menjadi kepikiran ketika beberapa hari lalu Kanza marah padanya, sampai-sampai berani melempar buku menimbulkan suara nyaring. Apa ia terkena Karma karena mulutnya sering kelewat tajam hingga sekarang marahnya Kanza membuat Abian uring-uringan dan moodnya ikut buruk. Satu lagi, ajakan keluar kemarin ditolak mentah-mentah oleh Kanza. Padahal ini merupakan pertama kali Abian sampai mendatangi rumah seseorang untuk minta maaf dan menebus kesalahannya. Hari ini pun Abian melihat Kanza ha
Burhan masuk ruangan Tim Cirrus dengan tersenyum lebar. Suasana hatinya sangat senang, tak sabar ia membawa kabar baik yang akan ia sampaikan kepada Tim Cirrus. Walaupun hal pribadi tapi setidakknya ia ingin berbagi kebahagiannya. "Selamat siang semua." Sapa Burhan kini masuk dan berjalan menuju depan sana. Semua langsung berdiri menyapa Burhan dengan hangat dan ramah. Bahkan semua langsung menghentikan aktivitas mereka dan berdiri untuk menghormati kedatangan Burhan. Termasuk Abian yang langsung keluar ruang kerjanya. "Wah kayaknya bapak ada kabar gembira nih." Ujar Hasan setelah melihat raut wajah Burhan yang berseri-seri. Burhan tersenyum malu, "Kamu tahu aja Hasan." "I
Kanza mengrenyit melihat Abian benar-benar menjemputnya. Dalam hati ia sudah menggerutu sebal, lama kelamaan Abian itu seenaknya sendiri tidak di kantor, di luar pun juga sulit dibantah. Bodohnya Kanza juga tidak bisa membantah, mungkin karena dulu gurunya jadi ia benar-benar harus menghormati. Tapi tetap saja menjengkelkan kalau dipikir-pikir. Dan Kanza melihat Abian sudah berdiri di samping mobilnya dengan wajah datar andalannya. Huft, Kanza penasaran kenapa Abian jarang sekali tersenyum. Tapi, tunggu... "Loh istri bapak gak ikut?" tanya Kanza melihat bangku depan kosong dari kaca depan. Ia jadi was-was kalau ternyata Abian sudah punya calon atau istrikan bisa gawat. Ia tidak ingin dilabrak tiba-tiba disangka pelakor. Tunggu, memang Kanza berulah apa saja sampai berpikiran jauh seperti itu. Tapi semua bisa terjadi, contoh saja Panca
Setelah memutuskan untuk pulang, akhirnya Kanza kembali satu mobil dari Abian. Ia menghela nafas berfikir agar tidak terlalu canggung. Kalau sebelumnya saat ia membonceng Abian dengan motor maka tidak secanggng ini karena bisa alasan ia tidak mendengar ucapan Abain karena berisiknya sekitar, tapi jika didalam mobil seperti ini bisa-bisa ia mati karena canggung. Tidak. Bercanda. Di dalam mobil mereka berdua hanya terdiam, Gibran yang kelelahan pun jatuh tertidur di kursi belakang. Baru beberapa menit, Abian membelokkan stirnya ke salah satu market kecil. Di situ juga ada beberapa jajanan seperti cilok, siomay dan batagor. Ada juga es buah, es cendol di sekitaran situ."Bentar saya mau beli batagor. Saya laper."Sontak membawa keterkejutan pada Kanza, "Loh bapak belum makan? Tadi gak makan?"
Dua minggu lamanya Kanza benar-benar mengabaikan pesan dari Abian, dan sudah terhitung satu minggu terakhir Abian tidak mengubungi Kanza lagi setelah ia mengirim pesan yang terakhir untuk menjelaskan alasan apa yang terjadi. Suasana menjadi sangat kacau, banyak sekali rumor yang tidak masuk akal termasuk menyangkut dirinya. Kanza sudah tidak peduli dengan semua orang, karena semua orang itu palsu, bermuka dua dan tidak dapat dipercaya. Yang tidak bisa ia pikirkan sebenarnya Kanza harus menunggu apa? Dan lagi Abian pindah tim? Benar-benar pria gila. Kanza membereskan barangnya untuk segera pulang karena jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Harinya sama, sama-sama melelahkan bagi Kanza. "Kanza mau pulang?" tanya Samuel, Ketua Tim Kanza yang akhir-akhir ini mendekati Kanza. Bukan ada maksud apa-apa menurutnya semua yang menjadi anggotanya menjadi tanggung jawabnya. Ia hanya ingin lebih dekat dengan anggotanya. Entah sekedar menawari untuk pulang bersama atau mencoba meng
From : Bapak Abian YTH Kamu gak mau liat keadaan saya? Tanggung jawab punggung saya sakit. . Kanza menghembuskan nafas lelah, jujur memang ia tidak bisa mengunjungi Abian kemarin dikarenakan shift. Dan sekarang ia sedang menuju rumah sakit tentu saja mengunjungi Abian meski dengan perasaan yang campur aduk. Ia tidak tahu apakah nanti bisa mengendalikan emosinya atau malah akan menangis keras, yang jelas pikiran Kanza masih kacau. Tentang keterangan Abian tidak masuk yaitu dengan alasan salah otot sehingga pinggang Abian cedera. Abian tidak memberitahu bahwa ia kena insiden yang tidak perlu ia sebutkan, yang ada malah menjadi berita yang tidak-tidak. Menerima pesan tadi Kanza sudah berdiri di depan pintu ruang inap Abian, ia sudah berdiri selama kurang 15 menit. Entah mengapa ia harus menyiapkan dirinya, mungkin karena merasa bersalah mendalam. Bahkan ia masih ingat detail bagaimana kejadian itu, rasanya begitu sesak mengingatnya. Kanza menggelengkan kep
Lorong rumah sakit nampak cukup sepi. Setelah kejadian tadi, Kanza hanya terdiam di depan kamar rawat setelah membersihkan diri tadi. Wajah Kanza masih terlihat bengkak sedikit pucat, tangannya juga masih bergetar. Ia masih terlalu kaget dengan kejadian ini, menyesali segalanya. Di dalam kamar rawat ada Saras yang masih menunggui kakaknya itu siuman, sedangkan Seno mengurus Panca di kantor polisi. Penyerangan akan memberatkan tuntutannya. Drrt drrt Suara getar ponsel Kanza terdengar, ia mengeluarkan ponsel dari saku. Ada panggilan masuk dari Jihan membuat seketika ia menghela nafas berat sebelum menerima. Cukup lama ia hanya memandang kosong layar ponsel bercantumkan nama Jihan tiba-tiba Saras keluar dengan tergesa dan sontak membuat Kanza otomatis langsung berdiri. "Mbak, mbak kenapa belum pulang?" tanya Saras cukup ketus. Saras masih belum bisa berpikir rasional sekarang, ia masih syok juga atas kejadian yang menimpa kakaknya. "Pak Abi
Setelah Seno berbincang dengan Abian hanya sekitar 10 menit, Abian langsung mengirimkan pesan ke Kanza untuk mengirimkan lokasinya sekarang juga. Boleh jadi sekarang ia bertemu dengan Panca. Kira-kira ini obrolan sebelum Abian menancapkan gas motor menuju lokasi yang Kanza kirimkan. "Lo denger gue gak sih, Al?" Abian melirik sejenak, "Denger.""Terus kenapa lo malah main hp?"Tidak menanggapi pertanyaan Seno, Abian kembali mengecek pesan masuk dari Kanza tetapi nihil."Al?!" Seno emosi sendiri karena Abian sedari tadi seperti tidak memperhatikan ia bicara.Abian menghela nafas kasar, "Gue tahu. Gue tahu dari lama, lo pikir gue gak mastiin Kanza balik sesuai permintaan lo? Makanya gue lagi—"Suara notifikasi masuk ke dalam ponsel milik Abian. Kanza mengirimkan lokasi yang tidak jauh dari Kafe Seno. Tidak menghiraukan Seno yang tengah mengomel panjang, Abian langsung mengambil kunci motor dan langsung bergegas menuju lokasi meninggalkan Seno yang men
Kanza membuka matanya terkejut ketika mimpi buruk itu seolah ingin menangkapnya. Peluh berjatuhan, nafasnya tersenggal. Ia lantas mendudukkan dirinya mencoba menetralkan nafas, tangan Kanza meraih ponsel guna melihat pukul berapa sekarang. Masih pukul 3 pagi. Kanza mengambil gelas disamping meja dan meminum sekali tandas.Akhir-akhir ini ia merasa gelisah, bahkan ia sering mimpi buruk kejadian itu terulang lagi. Tapi sebelum-sebelumnya ia menyangkal jika hanya pikirannya saja yang penuh. Kanza menghela nafas lalu kembali merebahkan dirinya. Ia menatap langit-langit menerawang jauh memikirkan kondisinya. Ia merasa baik-baik saja, tapi terkadang ia merasa sangat kacau. Kanza sedikit takut jika ia harus menemui psikolog karena kondisi psikis yang akibatnya berdampak pada kondisi perut. Sejak kejadian itu, perut Kanza menjadi sangat sensitif, dari sering melilit atau paling parah yaitu kram. Padahal ia sudah cek ke dokter dan tidak ada apa-apa. Dokter hanya bilang itu dikarenakan
Kanza tersenyum cerah ketika tidak sengaja tadi melihat sekelompok mahasiswa di ruang sebelah setelah ia dari kamar mandi. Ia langsung bergegas menuju ruangannya untuk bersiap menyambutnya. Dibanding harus terlihat seperti orang yang keren saat bekerja, Kanza justru malah ingin berinteraksi dengan mereka tapi tidak bisa karena hanya dia saja yang merasa begitu yang lain begitu fokus dengan pekerjaan mereka. Tentang Nata, mereka sama sekali tidak bertegur sama semenjak kemarin. Masa bodoh, Kanza tidak peduli. "Selamat siang semuanya," suara Bapak Humas Instansi menyapa semua orang di ruangan Cirrus. Sontak semuanya menoleh dan membalas sapaan dari Bambang si Humas yang membawa kelompok mahasiswa tersebut. Abian yang tadinya di dalam ruangannya lantas keluar menghampiri Bambang untuk menyambut mereka. Kanza tersenyum cerah ketika melihat para Mahasiswa di luar, beberapa anak mengintip dan tersenyum ke arahnya. "Baik semuanya, karena ada sekitar 7 orang
Obrolan kemarin sore baik Abian dan Kanza mulai menjaga jarak, bahkan hanya bertegur sapa singkat dan bekerja sesuai dengan jadwalnya. Gosip tentang Kanza pun belum mereda, masih banyak yang menyinggung jadwal shift yang ditetapkan. Mungkin prinsip Kanza sekarang ia akan bekerja dan dibayar lalu pulang, tidak mencampuri urusan lain ataupun ikut nongkrong apapun. Dia akan biasa tidak akan terlalu dekat dengan rekan kantor karena tidak ada yang dapat dipercaya.Ia harus fokus kembali tujuan awal yaitu mencari uang untuk adiknya sekolah dan dirinya. Hanya itu. Ia harus mengingat jika ada orang yang perlu ia bahagiakan yaitu keluarganya.Agaknya beberapa kali Abian mencuri pandang ke arah dimana Kanza bekerja. Wanita itu tengah fokus dengan dahi yang berkerut, rambut pendek sebahu yang ia kucir satu menyisakan beberapa helai anak rambut, gurat wajahnya yang terlihat lelah dan sepertinya bertambah kurus. Pipi chubby saat pertama kali ia kemari berkurang.Abian menghe
Mungkin bagi Kanza, menjadi anak perempuan pertema sekaligus cucu pertama yang bisa memenuhi permintaan mendiang Kakeknya itu adalah hal yang luar biasa. Beban ia langsung terangkat begitu saja sehingga pundaknya menjadi ringan. Bagi Kanza itu semua dilakukan dengan mudah, tidak banyak mengeluh dan mengiyakan perkataan orang tua.Lalu bagaimana cara dia bertahan dan menjadi kuat?Pura-pura adalah jawabannya. Kanza terbiasa berpura-pura untuk menjadi lebih kuat disaat dia pada titik terendah. Dia juga terbiasa berpura-pura untuk baik-baik saja karena ia yakin besok akan baik-baik saja, padahal pikirannya berbanding terbalik. Kanza selalu menekan kelelahan secara psikisnya hanya dengan tidur karena ia percaya dengan begitu ketika bangun ia bisa kembali berlindung dalam kata 'pura-pura', seolah tidak terjadi apa-apa.Seolah menutup telinganya rapat, Kanza keluar dari bilik kamar mandi setelah beberapa orang tadi pergi. Kanza menghela nafas berat, topik
Mungkin jika saat itu tidak berakhir, maka kedua insan itu masih merasakan bagaimana letupan-letupan rasa bahagia dalam hati mereka. Menciptakan banyak kenangan dari masa ke masa. Namun keadaan yang memaksa mereka untuk berhenti, berhenti mencintai satu sama lain sehingga meninggalkan sebuah kenangan yang tidak berarti dan hanya terasa seperti luka tidak mengering. Bersikap layaknya tidak terjadi apa-apa bahkan menjaga jarak merupakan yang mereka sekarang. Sebuah formalitas membingkai setiap pertemuan mereka. Dan terus sampai begitu. Apakah bisa seperti dulu? Mungkinkah? Entahlah. Wanita berparas cantik itu tersenyum ketika seorang pria berseragam pegawai itu berjalan menghampiri dirinya di luar ruangan. Dari dulu sampai sekarang menurutnya pria itu tidak berubah, paras dingin, langkah tegap, penampilan rapi selalu menjadi kesukaannya. Mungkin jika dulu ia bisa melihat senyum tipis terpatri pada wajah tegas pria itu sekarang tidak. Senyum yang jujur saja ia rindukan menghila