Mata Renata melebar. Tak percaya dengan penglihatannya sendiri.“Bi ... Bibi Galuh,” desisnya tercekat. Ia mengerjap, memastikan tidak sedang terjebak dalam ilusi.Sosok Ratu Galuh Triwardhani tersenyum. Berjalan anggun ke arahnya.“Kau sudah besar, Nak,” ucap wanita itu lantas memeluk erat.Sekejapan Renata membeku, sibuk mencerna apa yang tengah terjadi.Ratu Galuh melepas pelukan kemudian tersenyum lembut. Sungguh, tak ada yang berubah darinya. Ia tetap secantik bidadari seperti dalam ingatan lawasnya.Tapi otak Renata segera kembali ke fungsi normal. Menghimpun berbagai tanya dengan cekatan. Bukankah Bibi Galuh sudah meninggal? Apa ini arwahnya? Atau ia sedang bermimpi? Tapi kenapa terasa begitu nyata?“Ini bukan mimpi, sayang,” ucap Ratu Galuh seperti bisa membaca isi kepala sang gadis.“Lantas apa?” tanya Renata masih dengan kebingungan yang kental.Ratu Galuh tersenyum lembut.“Bibi tahu hari ini akan tiba. Karena itu Bibi sengaja menyegel sebagian energi Bibi dan menyimpanny
Dua sosok berjubah di atas batu melayang turun. Berdiri tegak di depan rombongan Samudera Biru yang sudah turun dari unicorn masing-masing.“Ck, kau selalu terlambat, adik kecil,” decak salah satu sosok yang sudah membuka penutup wajahnya.“Aku bukan adikmu, sialan,” balas Samudera Biru sambil membawa Renata turun dari atas unicorn.Sosok yang ternyata Pangeran Hyang Sagara dan Cyrila itu menurunkan tudung jubah.Cyrila segera membungkuk penuh hormat pada Samudera Biru kemudian memeluk Renata erat.“Kau baik-baik saja Nona Renata?”“Sangat baik,” sahut Renata sambil tersenyum senang bertemu dengan wanita cantik yang keibuan tersebut.“Kak Sagara!” Sierra Sion tiba-tiba berlari memeluk Hyang Sagara. Gadis itu dengan santai mengecup pipinya kanan dan kiri.“Hais, bocah ini tidak pernah berubah,” gerutu Hyang Sagara sambil menoyor kepala Sierra Sion hingga sang gadis memberengut. Kenzio dan Shiny sontak tertawa puas. Sementara Cyrila mengerutkan dahi, menatap wanita yang asal mencium le
Padang batu gegap gempita oleh geram dan lengking ribuan makhluk.Rama dan Ratansa yang melihat dari kejauhan mengeratkan gigi. Menahan diri untuk tak terjun ke dalam pertempuran karena Samudera Biru belum memberi instruksi.Pangeran peri itu mewanti-wanti agar mereka tidak bertindak gegabah. Sebisa mungkin tetap menyembunyikan diri bila tak terlalu genting.Bukan tanpa alasan Samudera Biru bersikap demikian. Ia tak ingin pasukan yang diam-diam dibentuk selama bertahun-tahun itu diketahui musuh, terutama oleh para tetua dan pejabat kerajaan.Jika mereka tahu maka ia akan dijerat dengan berbagai tuduhan terutama tuduhan makar.Lain Rama dan Ratansa lain lagi sosok-sosok berbaju hitam. Mereka yang semula terbilang anteng kini mulai bergerak agresif melancarkan berbagai serangan-serangan mematikan.Namun tak satu pun yang berhasil naik ke atas batu tertinggi karena Hyang Sagara dan Sierra Sion menghadang tanpa ampun. Keduanya berkelebat mengelilingi batu tertinggi laksana badai di teng
“Maaf, Anda siapa Nona?” Renata tersenyum getir. Pertanyaan Singgih Wirayudha seperti sembilu yang mengiris hatinya hingga luka dan berdarah.Namun gadis itu bisa mengerti, Singgih Wirayudha pergi saat usianya masih sangat kecil. “Aku ... aku putrimu, Ayah,” ucap Renata bergetar, sebisa mungkin menahan sedu yang sudah mencapai tenggorokan.Mata Singgih Wirayudha melebar. Menatap lekat Renata, menelisik dari ujung kaki hingga ujung kepala.“Pu ... putriku? Renata? Kau ... kau Renata putri kecilku?” tanya Singgih Wirayudha terbata.Renata mengangguk. Ia mengeluarkan pedang giok perak. Dalam sekali sentak wujud pedang berubah dari tali pinggang menjadi sebilah pedang tipis.Mata Singgih Wirayudha seketika berembun. Itu sudah lebih dari sebuah bukti. Di dunia ini hanya keturunan utama Wirayudha yang bisa menggunakan pedang giok perak.“Rena ... kau memang Renata, putriku.”“Ya, itu aku ayah.”Renata menghambur memeluk Singgih Wirayudha. Tangisnya pecah bersahutan dengan tangis lelaki te
Kastil gerbang lotus utara yang biasanya terlihat muram dan kaku kini tampak lebih semarak.Atas instruksi Samudera Biru seluruh lampu sengaja dinyalakan, berbagai hidangan sengaja disajikan untuk merayakan kembalinya Singgih Wirayudha.Dan berita kembalinya lelaki itu menyebar begitu cepat. Satu per satu bangsawan gerbang lotus yang tercerai-berai berdatangan menyambut kepulangan pemimpin mereka yang telah lama menghilang.Renata yang semenjak awal tak pernah mau jauh-jauh dari sang ayah terpaksa mengalah. Membiarkan lelaki itu bernostalgia dengan rekan-rekan seperjuangannya.“Kau senang?”Renata menoleh. Samudera Biru berjalan mendekat ke arahnya dengan senyum terkembang.“Terima kasih,” jawab gadis itu sambil menyambut uluran lengan Samudera Biru.“Kebahagianmu tujuanku, sayang,” bisik Samudera Biru sambil mengecup lembut pipi Renata.“Kau ini,” keluh Renata tersipu karena keintiman mereka menyita perhatian begitu banyak mata termasuk Singgih Wirayudha.Samudera Biru terkekeh dan
Renata melepas pelukan. Menatap dua pengawal Samudera Biru.“Kenapa mereka ingin menangkap Kenzio?” tanyanya cemas sekaligus heran.Rama dan Ratansa kembali saling tatap ragu.“Ada masalah apa? Berhubungan dengan si bodoh Lintang Timoer?” tanya Samudera Biru dengan mata terpicing.Kedua peri itu mengangguk.“Apa yang dilakukannya kali ini?”“Dia mencuri persik putih ribuan tahun di lembah persemayaman pedang.”Rahang Samudera Biru seketika mengeras. Mata cemerlangnya berkilat. “Jadi itu tujuannya sejak awal,” desisnya geram. “Tidak mungkin!!”Semua mata menoleh ke arah sumber suara. Kenzio berderap diiringi Sierra Sion. Mereka yang tanpa sengaja melihat iring-iringan pasukan sengaja mencari Samudera Biru untuk melapor.“Kakakku tidak mungkin melakukan itu,” tegas Kenzio berapi-api.“Mungkin tidaknya kita lihat saja nanti,” sahut Samudera Biru sinis.Kenzio mengeratkan gigi namun tak bisa menampik. Semua masih belum jelas. Bagaimana jika Lintang Timoer benar mencuri persik tersebut?
Lintang Timoer terseok. Jalan setapak yang dipijaknya begitu licin. Membuatnya beberapa kali tersungkur mencium tanah setengah basah.Aroma tak sedap dari bangkai manusia dan hewan yang tergeletak sembarang membuat paru-parunya seperti tercekik. “Sial, aku bisa mati sebelum sampai,” gerutunya dengan napas memburu.Ia berhenti di depan pohon besar. Menatap mayat-mayat manusia yang tergantung dengan leher terjerat. Semua terlihat kering seperti ikan asin di bawah terik matahari.Dalam sekali lihat Lintang Timoer paham penyebab kematian mereka. Kondisi yang sama persis seperti mayat gadis-gadis peliharaannya seusai memadu cinta bersamanya. Kehilangan sari hidup.Lintang Timoer menarik napas. Merasa sedikit kasian. Bahkan setelah mati jasad mereka tak diperlakukan dengan baik. Ia tak mengklaim dirinya bermoral tapi setidaknya masih punya sedikit nurani untuk menghargai mereka yang sudah membantu memperpanjang usianya dengan memberi pemakaman layak. “Hah, apa yang kupikirkan,” desis Lin
Renata membuka mata. Menatap langit-langit yang sangat dikenalnya dengan kesadaran tak utuh. Saat mencoba bangkit rasa sakit tiba-tiba mendera kepalanya tanpa ampun.“Argh, pusing sekali,” keluh gadis itu sambil mengerjap dan terdiam sejenak.Ingatan mulai berlarian di otaknya, menghasilkan satu umpatan kesal saat menyadari sudah diperdaya.“Dasar peri sialan, lihat saja bagaimana aku mengurusmu,” gerutu Renata sambil beringsut dari atas ranjang.“Kak, kau sudah bangun?” Renata mengangkat wajah dan langsung mendapat sebuah terjangan.“Jangan menangis, aku baik-baik saja, Shiny.” Renata mengelus kepala Shiny.“Bagaimana aku tidak menangis Kakak tidak sadarkan diri sehari semalam,” ucap Shiny sambil mengelap air mata dengan ujung baju.“Sehari semalam? Sungguh aku pingsan selama itu?” “Iya. Kata Pangeran Sagara seharusnya Kakak baru sadar dua hari lagi.”“Oh, astaga.” Renata memijat pelipis, semakin geram dengan Samudera Biru yang ingin dia pingsan berhari-hari. Sambil bersungut ia m