"Apa kau yakin aku tidak perlu ikut terbang ke London? Aku mencemaskan kalian."
Pertanyaan Argon lekas mendapat respons dari Xevia berupa gelengan. Jawaban yang tetap sama ditunjukkan oleh wanita itu, sejak kemarin malam dikonfirmasinya.
"Maafkan aku terus menolak. Tapi, kau di sini juga punya kesibukan. Kalau, kau ikut berangkat, waktumu akan terbuang."
"Kenapa kau berpikiran begitu? Kalian lebih penting untukku dibanding bisnis."
Argon menanti segera jawaban dari Xevia, namun wanita itu hanya tersenyum. Argon pun menarik kesimpulan bahwa Xevia tak ingin terjadi perdebatan di antara mereka.
"Baiklah. Aku percaya." Argon pun berkata, kemudian. Memilih mengalah.
"Aku percaya kau akan bisa menjaga Jevon dengan baik, tanpa diriku," imbuh Argon.
Dua puluh menit lagi.
Ya, jadwal keberangkatan ke London akan dimulai tepat pukul empat sore. Tersisa tak sampai setengah jam waktu Argon bersama Xevia dan juga bayi kecil mereka.
Sejak sampai di bandara, Argon tak pernah melepaskan gendongan dari Jevon. Putranya yang berusia enam bulan itu pun anteng saja. Tidak merengek dalam dekapannya.
Argon juga sesering mungkin menggenggam tangan Xevia. Tak ada penolakan dari wanita yang sebentar lagi akan menyandang status sebagai mantan istrinya.
Ya, Argon menepati janji yang sudah dibuat dengan Xevia sebelum mereka menikah.
Perceraian dilakukan pun sesuai akan waktu yang sudah disepakati mereka berdua.
Argon jelas berat memilih jalan perpisahan ini. Ia ingin tetap menikah dengan Xevia.
Membangun kehidupan rumah tangga yang harmonis. Apalagi, mereka sudah dikaruniai seorang anak. Kebahagiaan bagi Argon pun sempurna. Namun, tak bisa dipertahankan.
"Kau memikirkan apa? Mau ceritakan?"
Argon memang memandang Xevia terus, tapi pikirannya menerawang jauh. Sejumlah hal muncul di kepala bak benang kusut.
Setelah pengajuan pertanyaan dari sang istri dengan nada yang cemas, makan lamunan Argon pun seketika menghilang.
Lalu, diberikan tanggapan. Ia menggeleng. Tanpa mengeluarkan sepatah kata. Tapi, tak akan cukup meyakinkan Xevia.
Wanita itu malah memandang semakin lekat dirinya. Mata sang istri pun menunjukkan jelas besar rasa ingin tahu yang masih ada.
Argon pun menimang apakah ia akan mau menuruti ucapan Xevia. Atau lebih baik tak mengatakan kerisauan hatinya.
Argon memang tidak cukup tenang untuk menyembunyikan beberapa hal pada Xevia. Namun, ia ingin melakukannya, kali ini.
"Aku hanya sedikit sedih."
"Sedih? Ada apa?" Xevia pun buru-buru saja menanggapi. Ia semakin penasaran.
"Kita akan tinggal di negara yang berbeda. Bahkan, benua yang tidak sama lagi."
Argon sendiri tak paham, kenapa luncuran kalimat demikian keluar dari mulutnya. Ia mengeluarkan dengan refleks begitu saja.
Kini, Argon mendapatkan reaksi dari Xevia yang bagi dirinya terlihat tak mengenakan. Sorot mata wanita itu memudar.
Sebelum Xevia berkata, Argon sudah lebih dulu menciumnya. Memagut dengan lembut. Namun, tidak lama.
"Aku berjanji, aku akan mengunjungimu dan Jevon, setiap satu bulan sekali."
Xevia enggan terbawa perasaan. Tapi, tidak bisa dicegah matanya berkaca-kaca. Ia tentu masih berupaya dalam mengendalikan diri agar tak mengeluarkan air mata lebih deras.
"Terima kasih untuk semua kebaikan yang kau lakukan selama ini." Xevia berujar lirih.
"Maaf, aku belum bisa membalas. Dan, aku rasa tidak akan pernah bisa melakukannya."
"Kau cukup harus bahagia dan semangat dengan bisnismu, Sayang. Itu akan menjadi balasan bagus untuk aku terima."
Argon mengeratkan dekapan. Tatapan pada Xevia terus intens. "Walaupun kita berpisah, kau akan selalu ada di hatiku, Xe."
"Aku selalu mencintaimu, Sayang."
"Aku pakai mobil SUV warna merah," ujar Xevia sembari membuka jendela kendaraan roda empatnya."Baiklah. Aku akan mencarimu.""Kau harus keluar dulu. Nanti kau pasti akan melihat mobilku. Oke?""Baik. Trims sudah mau repot menjemputku ke bandara. Aku rindu kalian.""Aku merindukanmu." Xevia berucap lirih. Ia mengangkat kedua ujung bibir, lantas."Aku ingin bertemu segera denganmu.""Maksudku BJ juga." Xevia buru-buru meralat agar tidak terjadi salah paham."Anak kita merindukanmu." Xevia pun mempertegas kembali sembari dilirikkan mata ke arah Jevon Davis, sang putra.Balita berusia tiga tahun itu sedang duduk anteng di pangkuannya dan makan es krim.Tentu, Jevon mendengarkan pembicaraan antara dirinya dan Argon karena panggilan dalam mode speaker."Daddy datang Mommy?"
California, 02:00 P.M.Xevia hanya membutuhkan kurang dari satu menit untuk mengubah angka-angka pada jarum-jarum jam di arlojinya, mengikuti zona waktu kota kelahirannya.Lalu, difokuskan kembali atensi pada sosok sang putra kecil, Jevon Davis, berada dalam gendongannya.Xevia menarik kedua ujung bibir yang tinggi hingga membentuk senyuman lebar.Diperuntukkan untuk Jevon. "Sudah mengantuk, Nak?"Xevia iseng saja bertanya karena melihat bagaimana sepasang mata sang putra mulai sayu dan memerah.Namun, didapatkan gelengan kepala dari Jevon. Xevia pun tertawa. Gemas akan ketidakjujuran Jevon."Belum, Mommy."Xevia lantas mengangguk, ingin ditunjukkan kepercayaan akan jawaban sang buah hati.Kontras akan tindakannya yang menyandarkan kepala Jevon ke bahu kiri, dalam gerakan pelan-pelan saja.Lalu, d
California, 04:00 P.M.Xevia menghitung dengan benar, menit demi menit yang telah berganti lewat arloji di tangannya.Sudah hampir satu jam pula, ia dan Jevon bersama Argon di restoran, dalam rangka makan bersama.Belum ada tanda-tanda bahwa pertemuan di antara mereka akan segera disudahi. Walau, ia sangat ingin.Dan, Xevia enggan mengedepankan ego demi mendapat apa yang dirinya kehendaki. Masih dipikirkan Jevon.Xevia tidak akan tega mengakhiri momen yang membuat sang putra bergembira.Jevon sangat menikmati acara makan dengan Argon. Bisa dilihat jelas dari ekspresi buah hatinya itu.Xevia menerapkan pemikiran logis yang dibarengi dengan berupaya memahami perasaan Jevon juga.Sudah enam bulan lamanya, sang putra dan Argon tidak melakukan perjumpaan secara langsung.Buah hatinya pasti merasakan kerinduan
Sejak bangun dari tidur, Xevia hanya sendiri dan tak ada Argon bersamanya. Kasur serta kamarnya kosong. Terasa begitu sunyi.Xevia jelas ingin tahu dimana keberadaan Argon, tapi lebih dulu ia bergegas untuk mandi karena lengket oleh keringat hasil dari percintaan panas mereka selamat.Xevia mandi kilat saja. Tak ingin lama-lama di kamar mandi. Lalu, berganti baju dan juga berias. Lebih, tepat memakai sedikit pelembab wajah serta bibir.Barulah, Xevia keluar dari kamar. Suasana sepi menyambut saat pintu dibukanya. Tak tampak sang kekasih. Tapi, tetap dicari."Selamat pagi, Sayang."Xevia langsung menyunggingkan senyuman lebar dan terbaik yang bisa pamerkan pada sang kekasih hati, Argon Davis.Sementara, kedua kakinya belum berhenti berjalan. Masih ada jarak empat meter lagi yang harus dipangkas untuk bisa berdiri dekat dengan sang kekasih."Selamat pagi juga." Xevia membalas."Maafkan aku bangun lebih siang dibanding kau. Aku ti
Xevia merasakan kegugupan besar. Debaran jantung sangat kencang. Padahal, ia belum bertemu dengan kekasih hatinyaXevia sendiri tengah berdiri di depan pintu apartemen Argon. Ia sudah memencet bel agar kekasih hatinya itu segera keluar.Argon ada di dalam. Namun, ia tidak tahu apa yang pria itu sedang lakukan sekarang.Xevia pun tak memberi tahu Argon akan kedatangannya. Sebab, ia pun tidak ada niat untuk berkunjung hari ini.Rencana menemui Argon dilakukan secara mendadak. Xevia ingin menyampaikan hal penting pada pria itu. Argon wajib tahu.Xevia menarik napas panjang. Lalu, dibuang cepat, saat pintu apartemen dibuka Argon. Sang kekasih membelalakan mata.Seakan tidak percaya jika dirinya datang.Memanglah sejak mereka bertengkar soal pernikahan, sekitar satu minggu lalu, agak sedikit berantakan komunikasi di antara mereka. Walau, ia dan Argon sudah saling berupaya membangun kemesraan kembali."Hai." Xevia menyapa lebih
"Bagaimana perasaanmu?"Pertanyaan singkat Argon yang bagi Xevia terdengar lembut dan penuh perhatian. Saat memandang ke sosok sang suami, ia pun mendapatkan tatapan teduh."Perasaanku? Masih campur aduk. Tapi, aku sangat bahagia bisa melahirkan anak kita."Xevia merasakan matanya basah. "Bagiku, semua ini masih mimpi. Aku belum bis--"Xevia tak bisa melanjutkan ucapan karena menerima ciuman di bibir dari Argon. Kilat namun lembut. Xevia tidak bisa tunjukkan balasan. Walau, menginginkan."Terima kasih banyak, Sayang."Cara Argon begitu tulus dan juga serius, tak gagal menambah rasa haru Xevia. Ia begitu senang diperlakukan seperti ini oleh sang suami. Xevia merasa sangat dicintai."Terima kasih, sudah memberikanku anak, ya. Hadiah yang bagiku istimewa."Dua jam lalu, telah lahir buah hati Xevia dan Argon dengan sehat dan selamat. Berjenis
California, 04:00 P.M.Xevia menghitung dengan benar, menit demi menit yang telah berganti lewat arloji di tangannya.Sudah hampir satu jam pula, ia dan Jevon bersama Argon di restoran, dalam rangka makan bersama.Belum ada tanda-tanda bahwa pertemuan di antara mereka akan segera disudahi. Walau, ia sangat ingin.Dan, Xevia enggan mengedepankan ego demi mendapat apa yang dirinya kehendaki. Masih dipikirkan Jevon.Xevia tidak akan tega mengakhiri momen yang membuat sang putra bergembira.Jevon sangat menikmati acara makan dengan Argon. Bisa dilihat jelas dari ekspresi buah hatinya itu.Xevia menerapkan pemikiran logis yang dibarengi dengan berupaya memahami perasaan Jevon juga.Sudah enam bulan lamanya, sang putra dan Argon tidak melakukan perjumpaan secara langsung.Buah hatinya pasti merasakan kerinduan
California, 02:00 P.M.Xevia hanya membutuhkan kurang dari satu menit untuk mengubah angka-angka pada jarum-jarum jam di arlojinya, mengikuti zona waktu kota kelahirannya.Lalu, difokuskan kembali atensi pada sosok sang putra kecil, Jevon Davis, berada dalam gendongannya.Xevia menarik kedua ujung bibir yang tinggi hingga membentuk senyuman lebar.Diperuntukkan untuk Jevon. "Sudah mengantuk, Nak?"Xevia iseng saja bertanya karena melihat bagaimana sepasang mata sang putra mulai sayu dan memerah.Namun, didapatkan gelengan kepala dari Jevon. Xevia pun tertawa. Gemas akan ketidakjujuran Jevon."Belum, Mommy."Xevia lantas mengangguk, ingin ditunjukkan kepercayaan akan jawaban sang buah hati.Kontras akan tindakannya yang menyandarkan kepala Jevon ke bahu kiri, dalam gerakan pelan-pelan saja.Lalu, d
"Aku pakai mobil SUV warna merah," ujar Xevia sembari membuka jendela kendaraan roda empatnya."Baiklah. Aku akan mencarimu.""Kau harus keluar dulu. Nanti kau pasti akan melihat mobilku. Oke?""Baik. Trims sudah mau repot menjemputku ke bandara. Aku rindu kalian.""Aku merindukanmu." Xevia berucap lirih. Ia mengangkat kedua ujung bibir, lantas."Aku ingin bertemu segera denganmu.""Maksudku BJ juga." Xevia buru-buru meralat agar tidak terjadi salah paham."Anak kita merindukanmu." Xevia pun mempertegas kembali sembari dilirikkan mata ke arah Jevon Davis, sang putra.Balita berusia tiga tahun itu sedang duduk anteng di pangkuannya dan makan es krim.Tentu, Jevon mendengarkan pembicaraan antara dirinya dan Argon karena panggilan dalam mode speaker."Daddy datang Mommy?"
"Apa kau yakin aku tidak perlu ikut terbang ke London? Aku mencemaskan kalian."Pertanyaan Argon lekas mendapat respons dari Xevia berupa gelengan. Jawaban yang tetap sama ditunjukkan oleh wanita itu, sejak kemarin malam dikonfirmasinya."Maafkan aku terus menolak. Tapi, kau di sini juga punya kesibukan. Kalau, kau ikut berangkat, waktumu akan terbuang.""Kenapa kau berpikiran begitu? Kalian lebih penting untukku dibanding bisnis."Argon menanti segera jawaban dari Xevia, namun wanita itu hanya tersenyum. Argon pun menarik kesimpulan bahwa Xevia tak ingin terjadi perdebatan di antara mereka."Baiklah. Aku percaya." Argon pun berkata, kemudian. Memilih mengalah."Aku percaya kau akan bisa menjaga Jevon dengan baik, tanpa diriku," imbuh Argon.Dua puluh menit lagi.Ya, jadwal keberangkatan ke London akan dimulai tepat pukul em
"Bagaimana perasaanmu?"Pertanyaan singkat Argon yang bagi Xevia terdengar lembut dan penuh perhatian. Saat memandang ke sosok sang suami, ia pun mendapatkan tatapan teduh."Perasaanku? Masih campur aduk. Tapi, aku sangat bahagia bisa melahirkan anak kita."Xevia merasakan matanya basah. "Bagiku, semua ini masih mimpi. Aku belum bis--"Xevia tak bisa melanjutkan ucapan karena menerima ciuman di bibir dari Argon. Kilat namun lembut. Xevia tidak bisa tunjukkan balasan. Walau, menginginkan."Terima kasih banyak, Sayang."Cara Argon begitu tulus dan juga serius, tak gagal menambah rasa haru Xevia. Ia begitu senang diperlakukan seperti ini oleh sang suami. Xevia merasa sangat dicintai."Terima kasih, sudah memberikanku anak, ya. Hadiah yang bagiku istimewa."Dua jam lalu, telah lahir buah hati Xevia dan Argon dengan sehat dan selamat. Berjenis
Xevia merasakan kegugupan besar. Debaran jantung sangat kencang. Padahal, ia belum bertemu dengan kekasih hatinyaXevia sendiri tengah berdiri di depan pintu apartemen Argon. Ia sudah memencet bel agar kekasih hatinya itu segera keluar.Argon ada di dalam. Namun, ia tidak tahu apa yang pria itu sedang lakukan sekarang.Xevia pun tak memberi tahu Argon akan kedatangannya. Sebab, ia pun tidak ada niat untuk berkunjung hari ini.Rencana menemui Argon dilakukan secara mendadak. Xevia ingin menyampaikan hal penting pada pria itu. Argon wajib tahu.Xevia menarik napas panjang. Lalu, dibuang cepat, saat pintu apartemen dibuka Argon. Sang kekasih membelalakan mata.Seakan tidak percaya jika dirinya datang.Memanglah sejak mereka bertengkar soal pernikahan, sekitar satu minggu lalu, agak sedikit berantakan komunikasi di antara mereka. Walau, ia dan Argon sudah saling berupaya membangun kemesraan kembali."Hai." Xevia menyapa lebih
Sejak bangun dari tidur, Xevia hanya sendiri dan tak ada Argon bersamanya. Kasur serta kamarnya kosong. Terasa begitu sunyi.Xevia jelas ingin tahu dimana keberadaan Argon, tapi lebih dulu ia bergegas untuk mandi karena lengket oleh keringat hasil dari percintaan panas mereka selamat.Xevia mandi kilat saja. Tak ingin lama-lama di kamar mandi. Lalu, berganti baju dan juga berias. Lebih, tepat memakai sedikit pelembab wajah serta bibir.Barulah, Xevia keluar dari kamar. Suasana sepi menyambut saat pintu dibukanya. Tak tampak sang kekasih. Tapi, tetap dicari."Selamat pagi, Sayang."Xevia langsung menyunggingkan senyuman lebar dan terbaik yang bisa pamerkan pada sang kekasih hati, Argon Davis.Sementara, kedua kakinya belum berhenti berjalan. Masih ada jarak empat meter lagi yang harus dipangkas untuk bisa berdiri dekat dengan sang kekasih."Selamat pagi juga." Xevia membalas."Maafkan aku bangun lebih siang dibanding kau. Aku ti