"Euughh.... Siapa Mas yang telepon? Kamu berisik banget." Zoya sangat mengantuk tapi kalau ada suara-suara seperti tadi ya bakal terganggu. Apalagi terdengar Gama sedikit sewot. "Itu tadi Dito. Hanya ingin mengabari aku tentang nenek-nenek itu." Gama masuk ke dalam selimut kemudian mendekap tubuh Zoya. "Hmm... Ya udah tidur dulu, Mas. Besok lagi dipikirannya." Zoya berbalik kemudian membalas pelukan Gama. Keduanya pun tertidur tanpa memikirkan yang terjadi saat ini dengan Nenek. Di rumah sakit Wanita tua yang sangat ingin cucunya pulang itu tengah terbaring lemas di ranjang pesakitan. Tekanan darah beliau tinggi hingga membuat beliau pun sakit kepala dan akhirnya kesehatan mulai terganggu. Di sana beliau ditunggu oleh Bara dan juga sang istri yang ikut mengurus Ibu mertua. Hanya saja tetap beliau kepikiran dengan Gama dan sangat ingin melihat Gama pulang. "Sudah jangan dipikirkan terus masalah itu, Bu. Nanti kalau sudah butuh juga akan pulang. Ibu terlalu memikirkan a
"Aku nggak bohong, Mas. Aku buatkan kopi untuk kamu, oke!" ujar Zoya menyangkal pertanyaan Gama. Cup Zoya pun berlalu setelah mengecup bibir Gama. Satu kecupan itu untuk menenangkan sang suami yang sedang curiga padanya. Zoya pun memilih untuk menyiapkan sarapan sekalian. Sesekali membantu Bibi meskipun tujuan yang sebenarnya itu adalah untuk meredam hatinya yang gelisah. Apa salahnya? Kenapa masih sulit sekali memiliki keturunan? Manusia punya batas kesabaran. Bagaimana jika Gama habis kesabaran karena dia yang tak kunjung memberikan anak? Zein saja bisa berubah. Mungkin Gama pun juga. Terlebih Gama sudah sangat menginginkan. "Bi, dulu Bibi pas punya anak itu, jeda berapa lama setelah menikah, Bi?" tanya Zoya pada Bibi yang kemudian terlihat berpikir setelah mendapatkan pertanyaan darinya. "Cepet kayaknya Nyonya. Eemm... Dua atau tiga bulan gitu udah isi. Alhamdulillah anak lima jedanya nggak lama. Jadi begitu Bibi stop kemudian menunggu mereka besar dan memutuskan ke
Sampai di dalam Zoya lebih banyak diamnya, tapi dia memutuskan untuk mengikuti pemeriksaan karena penasaran. Sebenernya tidak ada keluhan apa-apa. Hanya saja, mana tau jika ada sesuatu. Beberapa lama di dalam, akhirnya mereka mendapatkan hasil dari pemeriksaan yang mana keduanya dinyatakan sehat. Gama seolah tau, terlihat dari senyumannya yang berbeda. Hanya saja kegelisahan Zoya seolah terbaca oleh Gama hingga pria itu berinisiatif untuk memeriksakan diri. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bapak dan Ibu sehat. Mungkin sedang diminta untuk lebih dulu menghabiskan waktu berdua dengan pacaran." Dokter tersebut tersenyum pada mereka. Kata-kata beliau begitu menenangkan tetapi Zoya tidak dengan serta merta lantas bisa tenang. "Tapi saya menikah sudah lama, Dok." Akhirnya Zoya pun buka suara akan itu. Dia menatap penuh harap tanpa menoleh ke arah Gama yang lebih tenang menyikapi ini semua. "Tapi Ibu sehat, insyaallah akan segera mendapatkan momongan, tapi kembali lagi, kita
[Apa kamu tuli, Zoya? Sudah aku katakan jangan datang ke acara itu , tapi kamu masih saja nekat. Pulang kamu sekarang juga!] Zoya menghela nafas berat saat membaca pesan yang suaminya kirimkan. Dia pun bergegas untuk segera pamit pulang pada rekan kerjanya yang lain. Pesan dari Zein menjadi teguran dan perintah yang menakutkan yang mana tak bisa Zoya abaikan. Dia bergegas keluar dari tempat itu tetapi saat hendak membuka pintu ballroom, seseorang yang merupakan rekan kerjanya juga sedikit berlari menghentikan langkahnya. "Zoya, kamu mau kemana?" tanyanya dengan wajahnya panik. "Aku mau pulang. Duluan ya, aku buru-buru soalnya. Suami aku udah nungguin. Salam sama yang lain," jawab Zoya yang sekalian pamit kemudian segera pergi dari sana tapi kembali langkahnya tertahan. "Eh tunggu dulu! Aku tadi lihat Pak Gama sakit. Kamu cepetan ke sana. Beliau ada di kamar nomor 125. Kasihan banget, Zoy." "Emangnya sakit apa?" tanya Zoya bingung. Mana dia sedang buru-buru. "Nggak ng
Siapa yang tak kecewa? Siapa yang tak takut? Siapa yang tak patah hatinya? Dia sudah menikah, tetapi berkhianat dengan pria yang sangat ia kenal. Perlahan Zoya kembali melangkah menuju pintu, langkahnya tertatih merasakan miliknya yang masih sangat nyeri. Entah berapa lama Gama menggempurnya semalam. Yang jelas, rasanya seperti saat malam pertama. Begitu sangat menyakitkan dan terasa mengganjal setelahnya. "Zoya." Zoya menghentikan lagi langkahnya dan kali ini sengaja memberikan kesempatan untuk Kakak iparnya berbicara. Namun, Zoya enggan untuk menoleh ke arah pria itu. Dia muak dengan Gama yang semalam sudah memaksanya. Entah setan apa yang sudah membuat Gama kelewat batas. Zoya yakin ada yang tidak beres dengan Kakak iparnya tapi apa? Yang Gama lakukan semalam itu sudah menghancurkan harga dirinya. "Anggap tidak terjadi apa-apa, Gama! Kamu sudah menghancurkan kepercayaanku. Kamu tidak lebih dari pecundang di mataku, Kak!" sentak Zoya. Rasanya dia sudah tidak ingin lagi b
“Semalam aku menginap di rumah temanku, Mas. Sungguh, aku tidak ber_" Belum sempat Zoya menyelesaikan ucapannya, Zein telah lebih dulu kembali menarik rambut Zoya dan mendorong tubuh istrinya itu hingga terhempas jatuh tepat di depan sepatu seseorang yang baru saja menginjakkan kakinya di rumah. “Ada apa ini?” Jantung Zoya seakan ingin lepas mendengar suara pria yang sangat ingin ia hindari. Pria yang telah menghabiskan malam panas dengannya hingga tidak pulang dan berujung pertengkaran dengan suaminya. Perlahan kepala Zoya terangkat menatap Gama hingga kedua mata mereka bertemu dengan perasaan yang tak menentu. Gama hanya terdiam menatap ke arahnya. Tatapannya tajam seperti menelisik penampilannya yang semakin berantakan kemudian mengangkat kedua alisnya menatap ke arah Zein. Pria itu seakan bertanya tetapi tak ada jawaban apa-apa dari Zein. Sampai di mana Gama kembali menunduk menatapnya dengan tatapan yang Zoya tak mengerti. Apa mungkin saat ini Gama tengah mengasiha
“Butuh bantuan untuk berpisah darinya?” Zoya terdiam saat ingin membuka pintu kamar. Dia tak menoleh ke asal suara, karena jelas suara yang familiar itu milik Gama. Sejenak mengurungkan niatnya untuk bergerak masuk. Melihat Gama yang berdiri diam menatapnya penuh tanya. Zoya pun melengos membuang muka. Namun sebelum Zoya benar-benar masuk, dia sempatkan untuk berbicara pada Gama. "Jangan sok menjadi pahlawan, Kak! Kamu tidak ada bedanya dengan Zein!" Hal yang tertutup rapat terumbar karena suatu perkara. Tak dapat ia sangkal jika kali ini melebihi dari sebelumnya dan bisa-bisanya Gama ingin membantunya untuk bercerai padahal di mata Zoya, Gama tidak ada bedanya dengan Zein. Sama-sama buruk setelah malam itu. Zein memang pria yang sedikit temperamen. Zoya sudah tau dan paham akan itu. Dia pun mengerti tanpa mengeluh. Sebab, bukannya jodoh saling melengkapi dan dan menutup kekurangan pasangannya masing-masing? Itu yang Zoya tau dan berharap sikap Zein lambat laun bisa beru
Zoya terdiam di undakan tangga saat mendengar panggilan dari Gama. Zoya menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. Dia tau siapa yang memanggilnya hingga ia tak ingin menoleh dan lebih memilih untuk menunduk. Egois sedang mendominasi diri Zoya sampai dimana dia mengabaikan sopan santun. "Jangan katakan apapun, Kak! Zoya tau apa yang akan kakak pertanyakan." "Bagaimana dengan jejak di tubuh…." "Kak aku mohon! Jangan ungkit itu lagi!" pinta Zoya lalu melangkah panjang meninggalkan Gama yang diam dengan helaan nafas berat. Namun setelahnya pria itu mengedikkan pundak dan masuk kamar tanpa beban. Zoya tak terima apapun sikap Gama padanya. Bagi Zoya itu hanya akan memperkeruh suasana. Mereka harus memiliki batasan jika perlu menjadi asing agar lebih nyaman melanjutkan hidup masing-masing. Walaupun Zoya tau perangai Gama yang sebenarnya baik tetapi setelah malam itu, pandangannya pada Gama tak lagi sama. Zoya nampak ragu untuk masuk kamar. Rasa takut membu
Sampai di dalam Zoya lebih banyak diamnya, tapi dia memutuskan untuk mengikuti pemeriksaan karena penasaran. Sebenernya tidak ada keluhan apa-apa. Hanya saja, mana tau jika ada sesuatu. Beberapa lama di dalam, akhirnya mereka mendapatkan hasil dari pemeriksaan yang mana keduanya dinyatakan sehat. Gama seolah tau, terlihat dari senyumannya yang berbeda. Hanya saja kegelisahan Zoya seolah terbaca oleh Gama hingga pria itu berinisiatif untuk memeriksakan diri. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bapak dan Ibu sehat. Mungkin sedang diminta untuk lebih dulu menghabiskan waktu berdua dengan pacaran." Dokter tersebut tersenyum pada mereka. Kata-kata beliau begitu menenangkan tetapi Zoya tidak dengan serta merta lantas bisa tenang. "Tapi saya menikah sudah lama, Dok." Akhirnya Zoya pun buka suara akan itu. Dia menatap penuh harap tanpa menoleh ke arah Gama yang lebih tenang menyikapi ini semua. "Tapi Ibu sehat, insyaallah akan segera mendapatkan momongan, tapi kembali lagi, kita
"Aku nggak bohong, Mas. Aku buatkan kopi untuk kamu, oke!" ujar Zoya menyangkal pertanyaan Gama. Cup Zoya pun berlalu setelah mengecup bibir Gama. Satu kecupan itu untuk menenangkan sang suami yang sedang curiga padanya. Zoya pun memilih untuk menyiapkan sarapan sekalian. Sesekali membantu Bibi meskipun tujuan yang sebenarnya itu adalah untuk meredam hatinya yang gelisah. Apa salahnya? Kenapa masih sulit sekali memiliki keturunan? Manusia punya batas kesabaran. Bagaimana jika Gama habis kesabaran karena dia yang tak kunjung memberikan anak? Zein saja bisa berubah. Mungkin Gama pun juga. Terlebih Gama sudah sangat menginginkan. "Bi, dulu Bibi pas punya anak itu, jeda berapa lama setelah menikah, Bi?" tanya Zoya pada Bibi yang kemudian terlihat berpikir setelah mendapatkan pertanyaan darinya. "Cepet kayaknya Nyonya. Eemm... Dua atau tiga bulan gitu udah isi. Alhamdulillah anak lima jedanya nggak lama. Jadi begitu Bibi stop kemudian menunggu mereka besar dan memutuskan ke
"Euughh.... Siapa Mas yang telepon? Kamu berisik banget." Zoya sangat mengantuk tapi kalau ada suara-suara seperti tadi ya bakal terganggu. Apalagi terdengar Gama sedikit sewot. "Itu tadi Dito. Hanya ingin mengabari aku tentang nenek-nenek itu." Gama masuk ke dalam selimut kemudian mendekap tubuh Zoya. "Hmm... Ya udah tidur dulu, Mas. Besok lagi dipikirannya." Zoya berbalik kemudian membalas pelukan Gama. Keduanya pun tertidur tanpa memikirkan yang terjadi saat ini dengan Nenek. Di rumah sakit Wanita tua yang sangat ingin cucunya pulang itu tengah terbaring lemas di ranjang pesakitan. Tekanan darah beliau tinggi hingga membuat beliau pun sakit kepala dan akhirnya kesehatan mulai terganggu. Di sana beliau ditunggu oleh Bara dan juga sang istri yang ikut mengurus Ibu mertua. Hanya saja tetap beliau kepikiran dengan Gama dan sangat ingin melihat Gama pulang. "Sudah jangan dipikirkan terus masalah itu, Bu. Nanti kalau sudah butuh juga akan pulang. Ibu terlalu memikirkan a
"Astaga, Mas! Aku pikir siapa. Ya ampun jantung aku hampir lepas dari kandangnya." Zoya mengusap dadanya setelah dibuat sangat terkejut dengan kedatangan Gama. Dari mana pria itu masuk? Kenapa dia sampai tidak mengetahui pergerakannya tapi sempat merasakan kehadiran seseorang. Hanya saja aroma tubuh Gama kalah dengan sabun yang sedang ia gunakan. Gama sudah membuka semua pakaian dan kini masuk ke dalam bersamanya. Memeluk dengan lembut hingga Zoya terkejut mendapati sentuhan itu. Cup "Kamu terlalu menikmati mandimu, Sayang. Aku sejak tadi memperhatikanmu tapi kamu tidak tau. Apa setenang itu? Ini sabun baru, Sayang? Wangi banget badan kamu?" Gama mengecup kembali pundak polos Zoya. Terasa sekali sentuhan dari Gama membuat Zoya kembali terpejam dan mendongak memberikan kesempatan untuk pria itu merusuh lebih intens lagi. Padahal dia ingin rileks menikmati mandinya tapi Gama tidak bisa jika diam saja. Tangan pria itu sudah begitu nakalnya singgah di tempat-tempat yang mem
"Mas kamu jangan gila! Banyak yang memperhatikan kita. Aku malu banget sumpah! Bagaimana jika ada yang mengabadikan dan sengaja mempostingnya? Sekarang apapun bisa jadi bahan demi viral, Mas!" sahut Zoya menolak ajakan yang Gama berikan. Zoya pun terlihat menunduk menyembunyikan wajahnya dari tatapan mata pengunjung lain. Ngeri saja kalau sampai ada yang berniat memviralkan apa yang mereka lakukan. Bisa tenar jalur instan nanti mereka. Sementara Gama hanya menyeringai mendengar penolakan dari Zoya dan segala bentuk pemikirannya. Gama melirik ke arah wanita sexy di belakang sana yang nampak masih memperhatikan tapi terlihat kesal ke arahnya. Tatapan puas pun terlihat jelas di wajah Gama saat melihat itu. "Mas kamu sengaja banget!" ujar Zoya hingga tatapan mata Gama beralih padanya. "Terkadang manusia itu ada yang bebal juga. Jika dengan ucapan dia tidak bisa mengerti, bisa dengan tindakan agar orang itu paham siapa dia sudah menginginkan suami orang." "Kamu terlalu tampan
"Tidak perlu!" sahut Gama kemudian pria itu mengangkat tangannya memanggil waiters yang melintas. "Mbak!" "Saya Pak?" tanya waiters itu kemudian mendekati Gama. "Iya kamu," jawab Gama dengan jari telunjuk yang mengarah pada waiters tersebut. "Saya pesan vanila latte untuk orang ini! Nanti langsung kasih saja ke dia dan juga, billnya kasih ke saya. Saya ada di meja sebelah sana." Gama menunjuk ke arah mejanya agar nanti memudahkan pelayan dalam mengantarkan bill tersebut. "Baik, Kak. Akan kami buatkan." Pelayan tersebut pun segera pergi dari sana untuk membuatkan pesanan. Gama menoleh ke arah Zoya kemudian meraih tangan Zoya. Pria itu mengangguk pada sang istri dan mengajak kembali ke meja mereka. "Ayo Sayang! Urusan kita sudah selesai," ajak Gama. "Tapi, Mas. Aku mau pipis dulu." Zoya pun menahan Gama hingga pria itu tidak jadi beranjak dari sana. "Ya sudah aku antar. Jangan sendiri, Sayang! Kamu membuatku khawatir. Apa saja terjadi denganmu saat jauh dariku m
Zoya tersentak kala seseorang membentaknya dengan sangat kencang. Dia pun terkejut saat tengah buru-buru menuju kamar mandi, tapi tak sengaja menyenggol seseorang yang melintas tiba-tiba di hadapannya. Mana sempat Zoya ngerem kalau orang tersebut saja tiba-tiba melintas entah dari mana. Zoya juga hampir terjatuh setelah menyenggol wanita yang kini menatap garang ke arahnya. Ya, orang yang Zoya tabrak hingga minuman yang dipegang tumpah semua ke tubuhnya adalah seorang wanita cantik berambut panjang. Terlihat ayu, tapi tatapan matanya sangat tajam ke arahnya. Namun sepertinya Zoya pernah bertemu dengan wanita itu. Siapa? Dia tidak mungkin salah orang, tapi entah dimana dan kapan atau hanya dirinya saja yang salah ingat. "Maaf, Mbak. Saya tidak sengaja. Akan saya gantikan nanti minuman anda. Lagipula saya juga basah karena gelas minuman yang anda bawa mengenai tubuh saya." "Heh, ya kapok aja! Kalau sampai mengenai saya, abis kamu sama saya! Udah jalan nggak pakai mata. Ma
Asisten Dito membungkuk saat Nenek dari atasannya dan juga paman yang mengatakan jika dirinya sombong beranjak dan keluar ruangan memutuskan untuk pulang. Akhirnya..... Namun Asisten Dito tidak menimpali sama sekali ejekan dari beliau. Asisten Dito membiarkan saja Bara Atmanegara sesuka hati mengatakan jika dirinya sombong. Toh yang dia melakukan itu semua untuk Gama. Bukan semata-mata karena inginnya. Yang Dito tau tidak dibenarkan untuk mengatur atasan. Bukannya begitu? Bawahan kok ngatur. "Salam untuk Gama ya, Nak. Katakan jika nenek pulang dan Nenek tunggu di rumah. Semoga Gama cepat berubah pikiran dan mau menemui Nenek." Nenek masih sama. Tidak berpikiran buruk dan sangat berharap. Asisten Dito pun sangat menghargai beliau. Sabar sekali menghadapi situasi seperti ini. "Baik, Nek. Jika yang ini nanti akan saya sampaikan." Dito masih sangat sopan pada Nenek. Dia pun mempersilahkan keduanya untuk masuk ke dalam lift kemudian menutup menunggu sampai pintu tertutup.
"Mas!" "Jangan bujuk aku, Sayang!" ujar Gama membuat langkah Zoya terhenti. Zoya begitu khawatir pada suaminya, bukan ingin membujuk karena sadar betul Gama masih sangat kesakitan hatinya. Namun perlahan langkah Zoya maju saat Gama terlihat menunduk di depan meja kerja dengan wajah semrawut. Gama mengusap kasar wajahnya dan meninju meja itu dengan sangat kencang. "Mas!" "Aku benci hal ini, Sayang!" sentak Gama. Pria itu terlihat sangat marah. Apa lagi adanya permintaan kerja sama dari perusahaan besar itu. Gama menganggap hanya sebagai lelucon yang mereka buat. Zoya mengangguk paham kemudian melangkah mendekati Gama. Tangannya terulur mengusap lengan Gama dan memperhatikan wajah pria itu dengan lekat. Ada secuil hati yang menyayangkan akan sikap Gama tadi tapi Zoya paham itu karena sakit hatinya Gama atas sikap keluarga sang Ayah di masa lalu. Namun mereka sekarang sudah meminta maaf dan masih menganggap Gama ada. Walaupun salah satu alasan mereka karena membutuh