Sampai di dalam Zoya lebih banyak diamnya, tapi dia memutuskan untuk mengikuti pemeriksaan karena penasaran. Sebenernya tidak ada keluhan apa-apa. Hanya saja, mana tau jika ada sesuatu. Beberapa lama di dalam, akhirnya mereka mendapatkan hasil dari pemeriksaan yang mana keduanya dinyatakan sehat. Gama seolah tau, terlihat dari senyumannya yang berbeda. Hanya saja kegelisahan Zoya seolah terbaca oleh Gama hingga pria itu berinisiatif untuk memeriksakan diri. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bapak dan Ibu sehat. Mungkin sedang diminta untuk lebih dulu menghabiskan waktu berdua dengan pacaran." Dokter tersebut tersenyum pada mereka. Kata-kata beliau begitu menenangkan tetapi Zoya tidak dengan serta merta lantas bisa tenang. "Tapi saya menikah sudah lama, Dok." Akhirnya Zoya pun buka suara akan itu. Dia menatap penuh harap tanpa menoleh ke arah Gama yang lebih tenang menyikapi ini semua. "Tapi Ibu sehat, insyaallah akan segera mendapatkan momongan, tapi kembali lagi, kita
"Hay ngapain di sini? Apa salah kamar atau kalian mencari tau tentang saya hingga sampai di sini? Perkara air minum itu belum selesai? Kalian ingin kembali meminta maaf setelah paham siapa yang salah?" tanya wanita itu. Wanita yang ada di hadapan mereka adalah wanita seksi yang kemarin mereka temui di restoran. Kenapa bisa ada di kamar rawat inap nenek? Pertanyaan itu bukan hanya ada di dalam pikiran Gama tapi juga Zoya. Mereka tidak menyangka bagaimana bisa bertemu kembali dengan wanita itu. "Siapa , Sen?" tanya wanita dari dalam ruang kamar inap nenek. Terlihat wanita paruh baya yang masih cantik keluar dan memperhatikan mereka. "Ini Mah, mereka itu orang yang aku temui kemarin di restoran. Mereka... " "Gama?" Dari sisi lain, Bara datang dan mengenali hingga membuat Sena, yang mana putri dari Bara tersebut nampak tercengang melihat sang ayah mengenal pria yang membuat Sena tertarik sejak pandangan pertama. "Jadi ini Kak Gama, Pah?" tanya Sena yang meminta kejelasan
"Sena pulang! Bukankah kamu tadi mau pulang? Kenapa masih ada di sini? Ayo Papah antar pulang! Mah jangan biarkan dia masuk!" ujar Bara dengan tetapan garang. Bara tak terima saat ditantang oleh Gama. "Tapi Pah, Ibu sangat ingin bertemu dengan Gama. Jangan seperti itu! Kasihan Ibu, Pah. Biarkan Gama masuk dan bawalah Sena pulang! Mamah akan menunggu Ibu di sini." Istri dari Bara pun angkat bicara. "Tapi Mah, dia itu.. " "Pah, jangan memikirkan hal apapun di luar Ibu. Kasihan Ibu sampai sakit hanya karena ingin bertemu dengan Gama dan Gama bisa ikut pulang ke rumah. Aku mohon, Pah. Jangan egois!" ujar Sinta. "Terserah kamulah! Ayo Sena kita pulang!" ajak Bara dengan tatapan sengit ke arah sang istri. Diam-diam Gama dan Zoya memperhatikan, mencerna dan memikirkan hubungan, perangai dan watak masing-masing anggota keluarga Atmanegara hingga mereka mulai memahami satu persatu dari ketiganya. "Tapi Pah, Sena mau di sini saja sama Mamah," tolak Sena kemudian melirik ke ara
"Gama cucuku, ternyata benar kamu, Nak?" tanya Nenek saat Gama mengulurkan tangannya dan menyalami tangan beliau. Diikuti dengan Zoya yang melakukan hal sama. Keduanya pun terduduk sedangkan Nenek nampak terharu melihat kedatangan mereka. "Sinta, tolong ambilkan minum untuk mereka, Nak!" perintah Nenek pada menantunya. "Tidak perlu repot-repot Nek, Bi! Kami sudah minum tadi. Nanti kalau haus biar Zoya yang ambil sendiri," tolak Zoya kemudian tersenyum pada keduanya. Gama pun menoleh ke arah Zoya yang nampak canggung. Usapan tangan Gama membuat Zoya tersenyum dan membalasnya. "Kami kesini berniat menjenguk Nenek. Maaf jika kami singgah tidak membawa buah tangan. Kesini memang tujuan utamanya karena ada urusan dan kebetulan, jadi sekalian mampir." Gama menarik nafas dalam sebelum meneruskan lagi ucapannya. "Maaf juga jika mungkin Nenek mendengar keributan di luar tadi. Maaf Nek, bukan niat kami merusak suasana dan menambah pikiran Nenek." "Tidak apa-apa, Nak! Nenek
"Jangan sampai aku dengar Paman Bara membentak Nenek!" pesan Gama dengan tegas. Tatapan Gama juga mengisyaratkan akan ancaman andai Bara menyakiti Nenek. Zoya pun mengangguk membenarkan akan itu. Kali ini Zoya sangat setuju apalagi setelah melihat sikap Bara tadi yang sangat kasar. Bagaimana kalau Nenek yang diperlakukan seperti itu? Ya Tuhan... Zoya tak bisa membayangkan bagaimana dengan jantung nenek andai mendapatkan bentakan dari anaknya sendiri. "Bibi akan sampaikan ini," jawab Sinta. Mendengar jawaban dari Bibi justru membuat Zoya dan Gama mengerutkan kening. Itu tandanya memang Bara kasar pada Nenek, sedangkan yang nenek punya hanya tersisa satu anak. Jelas Gama pun harus mendampingi agar Bara tidak lagi melakukan itu pada Nenek, tapi bagaimana caranya? Sementara suaminya tidak bisa menjaga 24 jam di sana. Keduanya pun masuk ke dalam mobil dengan perasaan yang entah. Mereka masih sama-sama kepikiran soal nenek. "Mas kamu ngerasa nggak kalau Nenek itu benar-b
"Bau?" Gama mengerutkan keningnya lalu mencium tangannya sendiri. Sementara Zoya sudah melangkah pergi setelah pintu lift terbuka. "Astaga... " Gama menggelengkan kepala setelah sadar dengan apa yang sudah ia lakukan pada Sena tadi. Ya, dia baru ingat kalau tadi mengusap pipi Sena. "Sayang!" panggil Gama saat melihat Zoya yang hendak masuk ke dalam ruangannya. Alamat ngambek ini kalau tidak segera ditarik masuk ke dalam ruangan CEO. "Pak Gama," panggil Dito yang membuat Gama berdecak. Langkah Gama terhenti dengan tatapan tajam yang membuat Dito mengangkat alisnya. "Kalau mau bicara sama saya nanti! Saya mau urus istri dulu!" ujar Gama dengan tegas lalu segera menarik Zoya dan membawanya masuk ruangan. "Mas kamu ngapain tarik-tarik tangan aku? Tangan bau wanita lain juga!" Rupanya Zoya baru ingat akan itu. Jadi kesalnya sekarang. Tadi di rumah sakit dia lupa karena tertutup dengan masalah nenek. Alhasil cemburu yang telat ini membuat atasannya tak bisa langsung bek
"Jangan macam-macam, Sayang!" ujar Gama dengan mendesis. Gama menatap Zoya dengan tegas. Namun Zoya tak hanya mengedikkan kedua pundaknya. Zoya melangkah menuju sofa setelah bisa melepaskan diri dari Gama. Dia menghempaskan tubuhnya di sana. Tak lama terdengar Gama melangkah mendekati dan Zoya diam memperhatikan. Gama pun duduk di sampingnya. Pria itu menoleh dan membalas tatapannya dengan lembut padahal jelas tadi terlihat sangat geregetan sekali. "Kenapa, Mas? Sanaan! Minimal cuci tangan kalau mau deket-deket aku!" kata Zoya lalu mengambil ponselnya yang ada di dalam tas. Malas sama Gama tapi apa yang dia katakan dilaksakan oleh pria itu. Gama pun segera beranjak dari sana kemudian melangkah menuju kamar mandi. Gama nurut sekali dengan perkataan sang istri. Zoya menghela nafas panjang melihat itu. Dia sendiri sebenarnya gemas sekali dengan Gama. Mungkin juga efek sedang datang bulan. Hawanya ingin makan orang saja. Gama keluar dengan wajah yang basah. Bukan hanya t
Kedua mata Zoya terbelalak saat melihat adanya Nindi di sana. Nindi itu teman seperjuangan. Masuk di tahun yang sama tapi beda divisi. Tidak terlalu dekat tapi kenal. Zoya pun beranjak dari sofa dan berdiri kemudian merapikan penampilannya. Dia menatap Nindi yang begitu memperhatikannya. "Zoya ngapain di sini? Kamu nggak kerja? Kok malah tidur?" cecar Nindi. Sementara Gama yang hanya bisa menggelengkan kepala melihatnya. Pria itu menghela nafas berat saat sang istri ke gap oleh karyawan sendiri. Bisa-bisanya ketahuan. Sudah benar-benar tidur tapi Zoya malah gelisah terus. Mungkin karena tak nyaman, tapi jadi repot kalau begini urusannya. Gama bisa santai tapi tentunya Zoya tidak, Zoya jadi bingung bagaimana menjelaskannya. Gama pun diam saja tak membantu. Mungkin pria itu pun takut nantinya malah membuat Zoya tambah merajuk jika salah ucap. Apa lagi sejak tadi Zoya sedang sangat sensitif. "Aku ... Kepala aku pusing banget tadi Nin makanya aku numpang istirahat sama Pa
"Aku tidak keberatan, Pah. Aku akan ikut kemana pun suamiku berada. Tidak usah memikirkan aku. Lagi pula Zoya sedang sakit, tidak mungkin aku bersenang-senang di saat dia sedang seperti ini." "Syukurlah, ya sudah kami pamit. Jaga dirimu baik-baik! Papah selalu merindukanmu, Nak." "Iya, Pah." Mereka pun pergi, Gama dan Sena masih di sana sampai ketiga keluarga mereka sudah tak lagi terlihat. Gama diam memperhatikan kemudian menoleh ke arah Asisten Dito yang terdiam si belakangnya. "Bawa pulang dan pasung dia!" DEG. "Kak!" Sena hendak meraih tangan Gama tetapi Asisten Dito lebih dulu menangkap tubuh wanita itu. "Baik, Tuan." "Lepaskan aku!" pinta Sena dengan wajah panik. "Kak aku tidak gila kenapa kamu memasungkku?" seru Sena menghentikan langkah Gama yang hendak masuk ke dalam. "Siapa bilang kamu tidak gila? Orang gila yang akan menyakiti tanpa berpikir panjang karena dia tidak punya otak!" sahut Gama kemudian masuk kembali ke ruangan Zoya sedangkan Sena kemba
"Oh tidak, aku hanya bertanya saja Kak. Hanya ingin tau. Tidak lebih," jawab Sena kemudian menoleh kembali ke arah Zoya. "Jangan terlalu lama memandang istriku!" ujar Gama memperingati. "Namanya Dito, sudah berapa kali kamu dibuat keluar olehnya? Senang?" tanya Gama membuat Sena kembali menoleh ke arahnya. "Kak aku... " "Kamu itu wanita gatal, Sena! Dengan siapapun kamu mau. Jangan lagi berharap denganku! Aku tidak akn sudi melakukan lebih untukmu! Berani kamu fitnah aku setelah akhirnya kamu hamil, maka jangan salahkan aku jika aku sendiri yang akan mematahkan lehermu!" Seolah sudah mengerti ujungnya, Gama sudah lebih dulu antisipasi. Dia tau jika Sena itu licik. Bisa jadi hamil dengan Dito lalu meminta tanggung jawab dengannya. "Kak aku tidak berpikiran sampai sana!" "Bagus! karena aku tidak akan membiarkan kamu melakukan itu! Jadi sebelum kamu berbuat curang, sudah lebih dulu aku lawan!" sahut Gama kemudian pintu terbuka dan masuklah Dito. "Maaf Tuan, aada kelua
"Ayo mandi! Pak Gama meminta kamu untuk datang ke rumah sakit." Dito mendekati Sena setelah panggilan dari atasannya dimatikan. Langkahnya membawa pada wanita itu yang bergelung selimut di lantai. Masih tanpa busana jika dilepas selimutnya. Dito pun membongkar selimut itu membuat tubuh Sena terguling sedikit menjauh. "Kamu ini!" pekik Sena tidak terima. "Tidak mungkin kamu ke rumah sakit dengan menggunakan selimut seperti ini, atau mau telanjang saja, hhm?" tanya Dito santai tapi dia bergerak membuka ikatan di kaki Sena dan membantu wanita itu untuk beranjak dari sana. "Mau apa?" tanya Sena dengan selidik. "Mau memandikan kamu," jawab Dito kemudian meraih lengan Sena agar segera masuk ke dalam kamar mandi. "Lepas! Aku bisa sendiri!" sentai Sena dengan suara bernada kesal. Sena benar-benar masih tidak terima karena semalam dia sempat dibuat tersiksa oleh Dito. "Aku nggak mau kamu siksa lagi! Aku tau di dalam sana pasti kamu akan kembali menyentuhku!" "Percaya di
Sejenak Dito membiarkan dulu Sena menggatal dengan miliknya. Tak juga melepaskan tangannya yang kini masih menempel mengerjai Sena. "Buka Kak!" "Apanya?" tanya Dito yang kini menunduk memperhatikan Sena. Wanita itu sangat liar dan tatapannya sangat menggoda. Belum lagi lidahnya yang menjulur membuat Dito semakin ingin merasakannya. "Celananya." Dito tersenyum miring mendengar itu kemudian meraih pipi Sena dan mengapitnya hingga membuat wanita itu mengerang kesakitan. "Kamu minta milikku, kamu mengemis padaku hanya ingin dipuaskan oleh Kacung sepertiku? Sayangnya Kacung ini tidak suka denganmu. Wanita jahat yang tega menyakiti wanita lain. Kacung ini lebih suka dengan wanita baik-baik yang masih lugu, sekali pun kamu sangat menggoda imanku!" "Jangan sok jual mahal! Milikmu sudah berdiri dengan kencang." "Ya, aku sudah katakan tadi. Jika aku tergoda denganmu, tapi aku tidak akan menyentuhmu lebih dalam jika kamu belum mengakui kesalahanmu di depan keluar dan orang b
"Jangan!" Sena kembali melarang tetapi Dito membuat wanita itu semakin belingsatan dan tak bisa diam. Sena kewalahan merasakan gejolak yang menggebu meminta dituntaskan. Dito benar-benar gila malam ini. Sisi kalemnya tertutup karena Sena yang kurang ajar dan licik tentunya. Namun sebagai pria normal tentu dia merasakan tubuhnya bereaksi dengan sempurna. Hanya saja Dito mampu menahan dan terus saja dia mengerjai Sena. Tangan Dito bergerak semakin menyiksa dan lidahnya ikut serta memberikan sapuan di tubuh Sena yang membuat wanita itu semakin bergairah. "Ampun, Kacung!" "Panggil namaku dengan benar! Aku bukan kacungmu!" sahut Dito dengan suara mendesis pada Sena yang kini sudah tak lagi mengenakan apapun. Dito sempat terpanah kembali melihat bagian inti Sena yang mulus terurus. Sepertinya memang Sena merawatnya dengan baik sama seperti Sena merawat tubuhnya hingga terlihat seksi begini. "Aku nggak kuat! Sudah! Jangan buat aku... " "Apa? Sange? Kamu sange parah? M
"Kamu pikir aku perempuan gampangan?" sahut Sena tak terima dengan apa yang Dito katakan. "Bukannya seperti itu? Kamu gampang terpikat hanya karena paras yang tampan hingga membuat kamu menjadi gila dan menyakiti sesama wanita." "Tapi bukan kamu yang hanya kacung!" sahut Sena menciptakan seringai tipis di wajah Dito. Begini membuat penilaian Dito pada Sena bertambah semakin buruk saja. "Aku kacung tapi aku bukan kriminal seperti kamu! Sekarang waktunya mandi, sudah selesai makannya, Njing?" tanya Dito yang semakin membuat Sena marah. "Sialand kamu! Pergi kamu dari sini! Aku bukan binatang!" sentak Sena tidak terima. Tatapan wanita itu semakin tajam pada Dito yang tertawa melihat kemarahan Sena dengan mulut wanita itu yang kotor. "Ya kamu memang bukan binatang tapi kelakuan kamu sudah seperti binatang yang bisa mencabik sesamanya. Mandi sekarang!" Dito tidak minat walaupun Gama memberikannya kebebasan. Awalnya dia terpesona melihat Sena apalagi postur tubuh wanita itu
"Akh! Ampun Kak!" teriak Sena setelah ikat pinggang Gama melingkar di kedua tangan wanita itu dan Gama menariknya hingga tangan Sena terasa sakit. Tak cukup sampai di situ, Gama pun menarik kedua kaki Sena dan mengikatnya dengan dasi yang ia kenakan hingga wanita itu tidak lagi bisa melakukan apapun. "Kamu pikir aku akan sudi menyentuhmu lebih dalam lagi, hmm? Menyentuhmu sama saja aku menyentuh seorang pembunuh. Najis!" ujar Gama dengan sinis. Tangan Gama mengalir kedua pipi Sena dan menariknya hingga wanita itu mendongak kesakitan. Kedua mata Sena pun basah dan menggeleng meminta dilepaskan. "Kak aku mohon, lepaskan aku! Ampun Kak." "Permohonanmu sudah terlambat Sena. Aku akan menyiksamu sebelum memasukkanmu ke dalam penjara. Kamu, tanganmu, dan otakmu, aku pastikan akan lumpuh!" Kedua mata Sena terbelalak mendengar itu. Gurat ketakutan semakin nyata terlihat. Sena kembali menggelengkan kepala dan mencoba memberontak. tetapi tidak bisa. Gama meraih selimut dan m
Sena tersentak saat Gama menarik gaun tepat di punggung belakang wanita . Kedua mata Sena terbelalak saat jarak mereka sangatlah dekat, bahkan hembusan nafas Gama begitu terasa menyapu tengkuknya. Hangat, membuat tubuh meremang. Seketika seringai tipis di wajah Sena terlihat saat ini. Kena! Sena yang memasang perangkap dan Gama yang terjebak. Sena hanya diam saat Gama terindikasi menikmati aroma tubuh wanita itu. Cengkraman tangan Gama begitu kuat tapi kali ini tidak membuat Sena ketakutan. Justru ingin mendapatkan sentuhan yang lebih dari ini. Mungkin, tak hanya luarnya saja melainkan lebih dalam lagi juga bisa. Tunggu saja! Gama pasti tergoda. Kucing mana ada yang mengabaikan umpannya. "Buka Kak!" pinta Sena dengan suara yang manja. Sengaja sekali memang wanita ini. Mendapati Gama yang justru mengikis jarak bahkan mendekap erat, justru membuat Sena semakin menjadi. Wanita itu seperti di atas awan saat ini. "Mau dibuka, hhm?" "Iya, Kak. Aku mau bersih-bersih dulu.
"Aku sungguh-sungguh, Pah. Kak Gama baik dan nanti akan menjadikan aku istri sah juga. Bukan hanya pengantin pengganti di pelaminan. Papah tenang saja!" tutur Sena. Jawaban yang membuat Bara lega. Setidaknya sudah mendengar dari Sena langsung dan jawaban itu juga yang menciptakan seringai tipis di wajah Gama. Memang ini yang Gama mau. Akhirnya bisa membuat Sena menurut dan sebentar lagi bisa mengendalikan Sena, menyiksa wanita itu sampai benar-benar dia puas. Gama tidak takut dengan tuntutan dari mana pun sekalipun dari keluarga. Dia akan menuntut balik atas bukti pembunuhan yang hendak Sena lakukan. Sayangnya Zoya cukup kuat bertahan meskipun masih koma. "Bagaimana, Paman? Sudah mendengar sendiri bukan jawaban dari putri anda. Kadang kecemasan itu tercipta karena adanya kesalahan yang diperbuat, karena kesalahan besar hingga membuat orang tersebut merasakan tingkat tertinggi dari kecemasan itu sendiri." " Hati-hati Paman, terlalu cemas bisa masuk rumah sakit!" ujar Gama