“Semalam aku menginap di rumah temanku, Mas. Sungguh, aku tidak ber_"
Belum sempat Zoya menyelesaikan ucapannya, Zein telah lebih dulu kembali menarik rambut Zoya dan mendorong tubuh istrinya itu hingga terhempas jatuh tepat di depan sepatu seseorang yang baru saja menginjakkan kakinya di rumah. “Ada apa ini?” Jantung Zoya seakan ingin lepas mendengar suara pria yang sangat ingin ia hindari. Pria yang telah menghabiskan malam panas dengannya hingga tidak pulang dan berujung pertengkaran dengan suaminya. Perlahan kepala Zoya terangkat menatap Gama hingga kedua mata mereka bertemu dengan perasaan yang tak menentu. Gama hanya terdiam menatap ke arahnya. Tatapannya tajam seperti menelisik penampilannya yang semakin berantakan kemudian mengangkat kedua alisnya menatap ke arah Zein. Pria itu seakan bertanya tetapi tak ada jawaban apa-apa dari Zein. Sampai di mana Gama kembali menunduk menatapnya dengan tahapan yang Zoya tak mengerti. Apa mungkin saat ini Gama tengah mengasihani dirinya atau malah senang melihatnya seperti ini. Zoya lantas bergegas beranjak dari sana karena dia tak ingin berlama-lama ada di dekat Gama. Namun, pria itu terus memperhatikan setiap gerak geriknya hingga membuat Zoya tak fokus dan terpeleset oleh gaunnya sendiri. Seakan telah menduga apa yang akan terjadi, Gama refleks menarik Zoya mendekat ke arahnya sehingga Zoya jatuh di pelukan Gama. Tindakan itu jelas membuat Zein semakin tersulut api cemburu. Pemandangan itu bahkan membuat Zein menyeringai licik. Beberapa saat kemudian, terdengar suara tepuk tangan dan langkah sepatu yang mengikuti. Zein mengelilingi mereka yang saling berpelukan. Sadar akan sikap Zein, bergegas Zoya melepaskan diri dari pelukan Gama dan berjalan mundur beberapa langkah. "Bagus, adegan yang sangat romantis dan begitu dramatis. Kalian sangat cocok sekali, atau jangan-jangan kamu, Kak yang sudah membuat Zoya tak pulang semalam? Kamu apakan istriku?” cecar Zein sembari bersedekap. “Kamu begitu meyakinkan aku jika Zoya akan aman bersamamu, tetapi apa? Kalian malah tidak pulang semalaman. Sangat kompak sekali. Apa mungkin kalian berkencan di belakangku?" lanjutnya. Zein mencecar kedua orang itu dengan sikapnya yang dingin. Tatapan sinis terlempar pada Gama yang masih diam dan santai menghadapinya. Tak seperti Zoya saat ini, kedua mata Zoya mendelik mendengar pertanyaan Zein yang semakin menyudutkannya. Gama yang disudutkan tampak tidak bereaksi. Bahkan dia begitu santai menghadapi kemarahan adiknya. Tak lama kemudian, kedua sudut bibir Gama terangkat dan menciptakan senyuman yang membuat hati Zoya semakin memanas. "Zoya..." "Sudah aku bilang kan Mas, semalam aku menginap di rumah temanku. Jika kamu tidak percaya, maka kamu bisa berbicara langsung dan menanyakan kebenarannya. Sungguh aku tidak berbohong, Mas!" sahut Zoya yang sengaja memotong ucapan Gama. Dia takut Kakak iparnya justru membuka skandal terlarang di antara mereka. Terlebih melihat sikap Gama yang semakin membuat Zoya gelisah. Gama pun tak akan mungkin perduli dengannya. Masih ingat betul jika Gama sama sekali tak berkesan atas apa yang terjadi pada mereka. Bisa saja Gama semakin membuatnya terpojok hingga membuat Zein semakin menyudutkannya. Zoya menoleh ke arah Gama yang nampak seperti bertanya. Kedua alis pria itu terangkat dan terus menatap ke arahnya seakan meminta penjelasan atas ucapannya pada Zein. Seringai tipis pun terlihat setelah itu. Gama seperti sedang mengejeknya. Namun Zoya tak perduli jika Gama akan berpikir dirinya tak pandai merangkai kata. Zoya pun ingin Gama paham jika dia tengah berusaha keras untuk mengembalikan kepercayaan Zein padanya. "Betul begitu, Kak?" tanya Zein pada Gama seakan Zein tak percaya. Lidah manusia mudah berkelit. Tatapannya pun menyelidik hingga terkesan ingin menguliti. "Apa yang kamu ragukan dari ucapan istrimu? Zoya aman semalam. Dia meminta ijin padaku dan meminta tolong untuk menghubungimu, tetapi aku lupa karena terlalu sibuk dengan para klien. Ponselnya mati hingga dia tidak bisa mengabarimu.” Zoya tercengang mendengar jawaban dari Gama. Dia pikir pria itu akan membuatnya semakin sulit tetapi justru membantunya meyakinkan suaminya. Kedua mata mereka kembali bertemu. Pria itu kembali menyunggingkan tersenyum tipis padanya. Senyuman yang membuat Zoya tak nyaman hingga dengan cepat dia memilih untuk segera membuang muka tanpa membalas senyuman itu. "Lain kali jangan langsung menuduh tanpa bukti. Mana mungkin aku menikmati milik orang lain? Terlebih itu milik adikku sendiri. Masih banyak wanita yang mengantri di belakang sana untuk aku jamah." lanjut Gama sembari menepuk pundak Zein. Pria itu lantas pergi melangkah menuju kamar dan meninggalkan sepasang suami istri itu yang masih terdiam di sana. Zoya tersentak saat Zein menoleh ke arahnya dengan tatapan mengintimidasi. Kedua mata Zein seperti sedang menghardik dan langkah pria itu yang mendekat membuat debaran jantung Zoya bertalu semakin kencang. Sampai dimana dia merasakan sakit di kedua pipi ulah tangan Zein yang mengapitnya dengan kencang. Kedua mata Zoya kembali memanas. Mengerjab ketakutan menatap wajah sadis Zein yang sangat dekat. Jangankan mengeluarkan suara, menelan salivanya saja Zoya kesulitan. Rasa was-was akan tindakan Zein yang akan pria itu lakukan selanjutnya membuat aliran darah Zoya semakin cepat. "Jangan pikir aku mudah percaya begitu saja! Jika sampai aku tau kalian memiliki hubungan, maka aku tidak segan-segan untuk menghancurkan kalian berdua, mengerti kamu!" ancam Zein dengan penuh penegasan. Suaranya berdesis syarat akan ancaman yang tak bisa diabaikan. Zoya menahan sakit di pipinya, sedangkan tangannya berusaha menarik pergelangan tangan Zain agar melepaskan dirinya. Namun, kekuatan pria itu membuatnya menyerah. Terlebih tubuhnya yang masih sangat lemas setelah semalam dijajah oleh kakak iparnya. "Aku dan Kak Gama hanya partner kerja. Sekedar atasan dan bawahan saja. Tak ada hubungan yang lebih dari itu. Jangan lupa jika aku sudah bekerja dengan Kak Gama jauh sebelum aku mengenalmu, Mas! Jika kamu meragukan ku maka tempatkan aku di perusahaanmu," tantang Zoya. Hal yang sangat Zein hindari. Namun dengan sisa keberanian yang ada, Zoya menantang pria itu. Zein tidak pernah mau bekerja dalam satu perusahaan dengannya. Zein pun selalu menghindar jika dia sudah membahas tentang ini. Benar saja, Zein melepaskan cengkeramannya dengan kasar hingga tubuh Zoya terhuyung ke belakang. Terdengar langkah kaki menjauh membuat Zoya tergugu menyentuh lantai. Zoya mengusap air matanya di tengah kesakitan yang ia rasakan. Bukan hal yang baru mereka bertengkar. Namun kali ini Zein begitu kasar dalam bersikap. Memperlakukannya tanpa ada rasa iba dan belas kasihan. Zein seakan lupa akan status mereka. Zoya mendesis mengusap pipinya yang teramat sakit. Semua terasa tak karuan. Dia butuh istirahat dan menenangkan pikiran. Sempat menoleh ke belakang. Melihat kepergian suaminya yang membawa amarah. Tangan Zoya mencengkram pakaiannya tepat di dada. Sakit saat hati dihancurkan oleh takdir. Belum mampu menerima dan takut mengecewakan suaminya. Namun justru jiwa dan raganya dihantam bertubi-tubi dengan sambutan kasar pria yang ia cintai. Zoya beranjak dari sana tetapi langkahhya terhenti saat sambutan dari pria yang berkongsi rasa tengah memperhatikan. "Kak Gama... "“Butuh bantuan untuk berpisah darinya?” Zoya terdiam saat ingin membuka pintu kamar. Dia tak menoleh ke asal suara, karena jelas suara yang familiar itu milik Gama. Sejenak mengurungkan niatnya untuk bergerak masuk. Melihat Gama yang berdiri diri menatapnya penuh tanya. Zoya melengos membuang muka. Hal yang tertutup rapat terumbar karena suatu perkara. Tak dapat ia sangkal jika kali ini melebihi dari sebelumnya dan bisa-bisanya Gama ingin membantunya untuk bercerai. Zein memang pria yang sedikit temperamen. Zoya sudah tau dan paham akan itu. Dia pun mengerti tanpa mengeluh. Sebab, bukannya jodoh saling melengkapi dan dan menutup kekurangan pasangannya masing-masing? Itu yang Zoya tau dan berharap sikap Zein lambat laun bisa berubah. Zoya kembali membuka mata dan segera masuk kamar meninggalkan Gama yang masih diam di sana. Dia tak ingin Gama semakin ikut campur akan rumah tangganya. Zoya yakin dia bisa mengatasinya sendiri tanpa campur tangan orang lain. Meskipun dia s
Zoya terdiam di undakan tangga saat mendengar panggilan dari Gama. Zoya menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. Paham siapa yang memanggilnya hingga ia tak ingin menoleh dan lebih memilih untuk menunduk. Egois sedang mendominasi diri Zoya sampai dimana dia mengabaikan sopan santun. "Jangan katakan apapun, Kak! Zoya tau apa yang akan kakak pertanyakan." "Bagaimana dengan jejak di tubuh…." "Kak aku mohon! Jangan ungkit itu lagi!" pinta Zoya lalu melangkah panjang meninggalkan Gama yang diam dengan helaan nafas berat. Namun setelahnya pria itu mengedikkan pundak dan masuk kamar tanpa beban. Zoya tak terima apapun sikap Gama padanya. Bagi Zoya itu hanya akan memperkeruh suasana. Mereka harus memiliki batasan jika perlu menjadi asing agar lebih nyaman melanjutkan hidup masing-masing. Walaupun Zoya tau perangai Gama yang sebenarnya baik tetapi setelah malam itu, semua tak lagi sama. Zoya nampak ragu untuk masuk kamar. Rasa takut membuat nyalinya menciut. Baya
“Masuk ke mobil!” perintah Gama terdengar lugas. "Terima kasih. Namun, maaf, sepertinya aku akan naik taksi saja," tolak Zoya dan bergegas kembali masuk ke dalam rumah untuk Bersiap-siap. Tak ingin dia dikasihani oleh Kakak iparnya yang pagi ini pun membuat geregetan. Sesampainya di kantor, Zoya bergegas untuk turun dari taksi online dan berlari masuk ke dalam kantor menuju lift agar cepat sampai ke ruangannya. Beruntung belum telat meskipun dia sudah di penghujung waktu. Namun sialnya masih harus melewati lift khusus karyawan yang terkenal penuh sesak. Pagi-pagi lift karyawan selalu ramai. Dia yang baru datang sudah pasti terjebak antrian. Tak seperti lift khusus CEO yang lancar jaya. Belum lagi saat penuh begini tercium bermacam-macam aroma yang membuatnya mual. Sungguh ujian setiap pagi di waktu yang mepet. Zoya berdiri agak belakang sembari menunggu gilirannya untuk masuk. Ekspresinya gelisah dan terus menerus melirik ke arah jam tangan, karena tinggal tersisa lima menit
Matahari mulai meninggi, sepasang mata lentik terbuka dengan mendesis merasakan tubuhnya yang terasa remuk redam. Ditambah lagi kepalanya yang berdenyut nyeri membuat paginya terasa tak nyaman.Matanya menyipit, melihat ruangan yang begitu asing hingga ia memekik saat sadar kini tubuhnya dalam keadaan polos bahkan banyak sekali bekas merah yang tertinggal di sana. Dia paham betul dengan tanda itu. Bukan serangga ataupun binatang buas. Melainkan jejak nakal pria yang sengaja dibuat.Kedua mata Zoya membulat dengan sempurna saat sadar dia tak sendiri. Bahkan pria itu pun dalam keadaan yang sama. Seketika jantungnya berdegup kencang. Matanya memanas dengan menggigit bibir bawahnya dengan kuat. "Ya Tuhan... Apa yang telah aku lakukan? Siapa dia?"Posisi pria itu terlentang dengan kepala yang menoleh membelakanginya. Zoya belum tau siapa orang itu, tetapi rasanya ia ingin berlari sekencang mungkin. Memilih pergi sebelum pria itu terbangun. Namun, gerakannya yang gelisah membuat pria yang
Usai membersihkan diri dan kembali mengenakan pakaian yang semalam. Zoya bergegas untuk keluar dari kamar mandi. Namun saat tangannya hendak membuka pintu. Sentuhan di handle pintu terlepas begitu saja karena dia tak punya nyali untuk kembali bertemu dengan Gama. Zoya risih bertemu dengan pria itu, tetapi dia sadar kalau dia tak mungkin berdiam di sana selamanya, sedangkan suaminya pasti sudah menjadi sangat murka. Zoya lalu menggelengkan kepala dan berusaha untuk meyakinkan diri. Sedetik kemudian, Zoya bergegas keluar dari pintu dan meraih tasnya untuk pergi dari sana. Dari ujung matanya, Zoya bisa melihat Gama yang turut berdiri dari posisi awalnya di pojok ruangan. Namun, dia tak memperdulikan akan itu dan terus melangkah hingga dia merasa Gama mengikutinya. “Semua hanya kecelakaan yang tidak disengaja. Aku akan mencari tau penyebabnya.” “Silakan!” “Aku harap tak ada benihku yang berkembang di sana.”Zoya mengusap kasar air matanya. Berbalik dan menatap wajah Gama dengan hati