RAHASIA TIGA HATI- Pernikahan "Bre, bangun. Ini sudah jam berapa?" Bu Rika menepuk bahu putranya yang tertidur memeluk guling. Wanita yang sudah berpakaian rapi dan selesai di rias oleh salon langganan yang datang ke rumah, tambah geram saat Bre hanya menggeliat sejenak kemudian diam. Memejam lagi.Bu Rika menarik napas dalam-dalam. Meredam emosi yang hendak tumpah keluar. Ia duduk di tepi pembaringan dan kembali menyentuh lengan putranya. "Bre, sebentar lagi kita berangkat. Ayo, bangun. Semua kerabat sudah siap nunggu di bawah." Ucapan Bu Rika sangat lembut. Jika dikasari, khawatir Bre tambah tidak peduli.Tadi malam pun Bre pulang jam satu. Entah pergi ke mana. Membuat seisi rumah panik dan tidak bisa tidur karena ponselnya pun di matikan. Sampai beberapa orang suruhan Ferry mencari ke tempat biasa Bre pergi."Bre, jangan permalukan kami, Nak." Bu Rika menahan diri supaya jangan sampai marah.Bre yang sebenarnya sudah terbangun masih diam memejam. Jangan permalukan kata sang mama
Mereka orang-orang yang sangat menghargai tamunya. Para kerabat justru berpikir, Alan pulang membawa calon istri. "Sama Neng Livia saja to, Lan. Dia juga cantik loh. Mirip almarhumah," ujar salah seorang budhenya tadi."Bulek pikir, kamu mau ngenalin calon istri pada mamamu dan kami," kata adik Bu Ana.Semua ucapan mereka ditanggapi senyuman oleh Alan. Setelah Selvia meninggal, tiap kali pulang, selalu saja ditanya kapan nikah, sudah punya pacar lagi atau belum, kenapa nggak pernah bawa cewek kalau pulang. Dan masih banyak pertanyaan dari mereka.Sekarang ia mengajak Livia pulang ke rumah, para kerabat juga heboh. Disangka mereka, Livia itu kekasihnya."Livia ke mana, Lan?" tanya Bu Ana sambil meletakkan sepiring pisang goreng di atas meja ruang tengah."Ada di belakang, Ma.""Kalian jadi kembali ke Surabaya malam ini?""Iya.""Nggak nginep saja?""Nggak, Ma. Aku nggak enak ngajak Livi nginap di sini. Aku sudah bilang pada Om Syam kalau mengajak Livi pulang malam ini juga." "Kamu ng
RAHASIA TIGA HATI- Penuh Perhatian Sarangan.Livia merasakan tubuhnya meriang dan menggigil. Ditambah lagi cuaca malam yang sangat dingin. Keningnya panas. Persis seperti yang dikatakan dokter tadi, lukanya pasti akan menyebabkan demam.Bu Ana yang tidur di sebelahnya terbangun dan menyentuh kening Livia yang tidur meringkuk. "Tubuhmu panas, Liv."Wanita itu menyibakkan selimut yang dipakainya dan turun dari pembaringan lantas keluar kamar. "Alan," digoyangkannya lengan sang putra.Alan yang baru setengah jam tertidur kaget dan langsung duduk. "Gimana, Ma?""Livia demam. Ambilkan termometer biar mama ambil air untuk ngompres." Bu Ana bergegas ke belakang, sedangkan Alan membuka kotak P3K untuk mengambil termogun di sana."Panasnya berapa, Lan?" tanya Bu Ana setelah Alan selesai mengecek suhu tubuh Livia."37,8,Ma. Kita bawa ke klinik saja." Alan terlihat sangat khawatir dan bingung. Ia hendak melangkah keluar untuk mempersiapkan mobil."Nggak usah, Mas. Tadi kan dokter sudah bilang
Surabaya.Jam delapan pagi disaat Agatha telah mandi dan berpakaian rapi, Bre masih tengkurap di atas tempat tidur. Wanita itu duduk di sofa pojok ruangan dan memperhatikan dengan perasaan dongkol dan ingin rasanya menangis. Padahal dua jam lagi mereka harus terbang ke Bali. Harusnya Bre sudah bangun dan bersiap. Karena perjalanan ke bandara pasti macet kalau hari Minggu begini.Tadi malam Agatha menunggui Bre masuk kamar hingga jam satu malam. Namun suaminya tidak kunjung kembali sampai Agatha tertidur. Saat terjaga jam empat, ia melihat Bre sudah tidur di sebelahnya. Entah jam berapa masuk kamar.Tidak ada ciuman romantis layaknya pasangan yang sudah menikah. Padahal tadi malam, menjadi malam pengantin mereka. Sebagai lelaki yang sudah pernah menikah, harusnya Bre menginginkannya. Apalagi ia memakai baju yang transparan dan sangat se*si. Sengaja tidak berselimut supaya Bre tergoda. Membiarkan tubuhnya kedinginan. Tapi kenyataannya malam yang semestinya indah, berlalu begitu saja.O
RAHASIA TIGA HATI- Cemburu "Mas, ada telepon dari Mbak Ella." Livia menggeser ponsel ke hadapan Alan setelah laki-laki itu kembali dari toilet."Biar saja. Nanti kalau nggak bisa menghubungiku, pasti dia telepon Adi." Alan memasukkan ponsel ke dalam saku celananya."Livi, kamu mau ke kamar mandi?" tanya Alan."Enggak, Mas.""Perjalanan kita masih lumayan jauh, kalau mau ke toilet biar aku anterin."Livia serba salah. Sebenarnya dia teringin juga ke toilet. Tapi malu kalau jadi pusat perhatian para pengunjung lainnya. Apalagi jika Alan harus mengantarnya hingga ke toilet bagian perempuan. Susahnya kalau sakit begini. Ribet. Apalagi setelah diganti perban dan di cek lukanya, terasa perih dan sakit lagi. Kenapa lama sekali sembuhnya."Ayo, ku antar!" Alan berdiri. Kembali digendongnya Livia. Jarak antara kafe dan toilet lumayan jauh juga. Toilet rest area berada di bagian belakang.Para pengunjung memperhatikan Alan yang menggendong Livia. Sampai di depan toilet wanita, ada seorang per
Enam bulan kemudian ....Alan Future Brand Creatif (AFBC) mengalami perkembangan pesat meski tergolong perusahaan yang baru berdiri. Memiliki kolega dari beberapa kalangan, mulai dari tingkat bawah hingga perusahaan-perusahaan besar. Timnya Alan sangat profesional dalam bekerja.Tentu saja hal ini mengusik ketenangan Ferry dan mamanya. Walaupun jelas saja mereka tidak bekerja dalam bidang yang sama. Namun kesusksesan orang yang sempat diwaspadai selama ini, tentu saja tidak membuat mereka tenang. Mereka kenal siapa Alan? Orang yang getol ingin menyelidiki apa yang terjadi dalam keluarga Pak Rosyam.Apalagi sekarang Pak Rosyam sudah bisa dikatakan kembali pulih dari depresinya. Lelaki yang pernah berpengalaman dalam dunia bisnis itu banyak membantu AFBC. Bukan ikut bekerja secara langsung, tapi memberikan nasehat atau masukkan ketika Alan mengalami kendala atau bimbang dalam membuat keputusan. "Kenapa kamu, Liv?" tanya Pak Rosyam menghampiri meja kerja putrinya. Sejak tadi ia melihat
RAHASIA TIGA HATI- Cemburu 2 "Kenapa nggak turun?" tanya Alan setelah berdiri di depan Livia.Untuk menutupi gugup, Livia tersenyum. Supaya Alan tidak bisa menebak apa yang ia sembunyikan. "Aku beresin kerjaan tinggal dikit lagi, Mas. Nanggung kalau ditinggal.""Waktu aku masuk, kamu nggak sedang bekerja tapi melamun.""Iyalah, aku break sedetik terus tiba-tiba Mas Alan masuk." Alasan Livia kemudian kembali sibuk dengan keyboard. Entah apa-apa saja ditulisnya biar terlihat sibuk. Nanti bisa diteliti dan dibenahi lagi."Stop dulu, Livi. Kita makan siang. Jangan sampai maag kamu kambuh gara-gara telat makan.""Mas, duluan saja. Nanti kususul.""Nggak. Kalau nggak kubarengi kamu nggak bakalan turun.""Beneran, nanti kususul. Tinggal dikit lagi ini." Livia terus mengelak dengan menampilkan wajah seolah tidak ada apa-apa. Alan tidak boleh tahu apa yang mengusik jiwanya. Sungguh amat memalukan kalau bosnya itu sampai tahu.Kalau boleh memilih, Livia tidak ingin jatuh hati karena sikap bai
Pak Rosyam lebih mendekat dan mengusap rambut putrinya. Kemudian melangkah keluar ruangan. Setelah ayahnya pergi, Livia bernapas lega. Kemudian menarik kursinya hingga mendekati jendela kaca.Kalau dokter Pasha dari kalangan high class, bukankah Alan sekarang juga telah berada di posisi itu. Jadi salah besar kalau ia menempatkan rasa. Alan merintis usahanya sendiri dari nol. Mulai dari karyawan sebuah perusahaan, dosen, guru les privat di sela waktu luangnya, dan sekarang bisa seperti ini. Semuanya tidak mudah, butuh waktu, proses, dan perjuangan. Dan Alan berhak memberikan award pada dirinya sendiri dalam memilih calon pendamping terbaik misalnya. Banyak yang tersihir oleh pesonanya. Dulu saja ketika Alan masih menjadi design grafis di sebuah perusahaan sudah banyak yang suka. Belum lagi mahasiswinya yang terang-terangan mengejarnya. Apalagi sekarang setelah dia seperti ini, wuih pasti lebih digilai lagi. Dia tipe idaman banget. Mulai dari posturnya sampai pembawaannya yang terlihat