Beranjak dari posisi berjongkok, Kinan masih tertegun. Tak mengenal sosok yang ada di belakangnya. Bahkan setelah Kinan membalikkan tubuhnya, tetap saja tak ada ingatan yang tersisa tentang lelaki ini.
"Maaf … Abang siapa? Mengenal almarhum suami saya?" tanya Kinan sembari menunjukkan raut wajah bingungnya. Dahinya mengernyit mencoba menguatkan kerja memori otaknya."Ini makam Ardi kan? Soalnya petunjuk yang aku dapatkan tadi menunjukkan arah ini."Seolah tak peduli dengan pertanyaan Kinan, lelaki itu memajukan tubuh dan menajamkan netranya. Kacamata hitam yang tadi dikenakannya berpindah tempat. Tak lagi menempel di hidung, melainkan menggantung di kancing kemeja kotak-kotak yang dikenakannya."Tak salah lagi. Benar, ini makam Ardi."Lirih lelaki itu berkata sembari menurunkan tubuhnya. Mengambil posisi berjongkok di tempat yang tadinya ditempati oleh Kinan.Bibir lelaki itu berkomat-kamit. Kedua telapak tangannya menengadah.Fauzan tampak tersentak. Sepertinya tak menduga jika Kinan akan menanyakan hal ini kepadanya. "Mengapa Abang terlihat terkejut? Abang pikir … aku tak tahu semua itu? Aku tahu, bukan tak tahu apa-apa seperti yang Abang pikirkan."Kinan mencoba menepis keraguan di hati Fauzan. Dirinya tahu tentang masa lalu suaminya. Pun dirinya mencoba berdamai dengan semua itu. Walaupun perceraian yang semoga menjadi penyelesaiannya saat itu. "Setelah Ardi pergi? Atau justru saat awal kalian menikah dulu?"Kinan menggelengkan kepalanya. Perlahan namun pasti. "Bukan keduanya. Aku tahu beberapa waktu sebelum kepergian almarhum. Dan itu pun secara tak sengaja. Berawal dari banyak hal yang memang almarhum coba sembunyikan. Namun Allah punya kehendak, yang mungkin tak sama seperti yang kita harapkan."Kembali Fauzan tertegun. Tak mampu lagi berkata apa-apa. "Aku tak akan dan tak sedang ingin membicarakan hal itu lagi. Aku hanya ingin mem
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Fauzan. Lelaki itu tampak merasa serba salah. "Mengapa Abang tak menjawab pertanyaanku? Jangan bilang Abang menyesal telah mengatakan semua ini kepadaku!" tukas Kinan dengan tegas. Tatapan mata Kinan semakin menghujam. Membuat Fauzan semakin gelisah. Helaan napas panjang Fauzan terdengar jelas di tengah pemakaman yang sepi tanpa peziarah lainnya. Tampak beban berat seolah menggurat di wajah lelaki itu. "Abang tak bilang begitu. Hanya saja, Abang pikir semua kisah itu telah terungkap tanpa sisa. Ternyata Abang salah. Harusnya Ardi pergi tanpa belenggu rasa bersalah yang selalu membebaninya."Kinan mengernyitkan dahinya. Tak lama kemudian tangan kanannya bergerak ke arah pelipis. Memijatnya perlahan untuk menghalau rasa sakit yang mulai mendera. "Aku tak paham apa yang Abang katakan. Mungkin lebih baik Abang katakan saja langsung. Tak perlu berbelit-belit. Lagi pula aku tak ingin berlama-
"Bang,dimana kau!" pekik Kinan dengan langkah yang tergesa. Mengabaikan tatapan heran dia lelaki yang memandangnya sejak mematikan mesin motor tadi. Tak peduli tanah yang sedikit becek akibat hujan sesaat barusan, Kinan tak dapat lagi menahan lama-lama emosi yang menggelegak di dadanya. Pernyataan yang disampaikan Fauzan tadi benar-benar membuatnya naik pitam. Mengapa sosok itu harus dia? Bukankah selama ini lelaki itu yang seolah menjadi sahabat dekat mendiang suaminya? Hanya berpura-pura ternyata. Lelaki itu tak lebih dari manusia munafik. Berpura-pura baik, menikam dari belakang. Kinan sempat tercengang saat mendengar nama yang disebutkan Fauzan itu. Menggelengkan kepala menunjukkan ketidakpercayaannya. Bahkan Kinan sempat meminta Fauzan mengulanginya kembali. Memastikan agar lelaki itu tak salah mengeja nama yang akhirnya akan menjadi fitnah. Namun Fauzan mempertegas semuanya. Gendang telinganya tak salah menangkap gelombang suara. Sosok i
"Bang, bangun dulu!" Tak ada jawaban. Ardi tetap bergeming, tak bergerak. Kinan meradang. Laki-laki itu memang tak tahu diri. Sedari pagi, Kinan sudah bangun menyiapkan masakan untuk hari ini. Belum lagi membersihkan rumah dan menyiapkan kebutuhan Rafif, putera mereka yang sudah mulai pandai mengucapkan beberapa patah kata."Abang masih punya telinga atau tidak sebenarnya sih?! Aku ini lagi bicara denganmu, Bang!"Kinan tak mampu lagi menahan amarahnya. Emosi jelas sedang menguasai dirinya melihat ulah laki-laki yang sebenarnya entah pantas atau tidak dipanggilnya suami itu."Abang dengar, Dek! Nggak perlu teriak-teriak seperti itu. Malu sama tetangga pagi-pagi seperti ini sudah ribut saja."Ardi mengucek matanya. Tapi tubuhnya masih tetap terbungkus dengan selimut. Tak ada niat melepaskan penutup tubuh yang pasti memberikan kehangatan padanya itu."Kalau Abang dengar, kenapa Abang tak bangun juga? Kalau Abang malu, mengapa Abang sepertinya sengaja memancing emosi?"Kinan tak dapat
"Uang kemarin buat beli mainan Rafif belum diganti ya? Abang mau beli rokok hari ini."Nasi yang hampir masuk ke mulut Kinan gagal akibat terhentinya gerakan sendok di udara seketika. Mulutnya menganga."Jangan pura-pura lupa begitu, Dek! Kan kemarin juga perginya denganmu?"Kinan menutup mulutnya cepat. Matanya melotot menatap Ardi yang sedang duduk di seberangnya. Sendok yang berada di antara telunjuk dan jempolnya itu dihempaskan ke piring yang berisi nasi goreng telur."Awas kalau piringnya pecah, Dek! Itu piring peninggalan keluarga Abang. Warisan keluarga yang turun-temurun."Kinan menarik napas dalam-dalam. Mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan pahit yang ada."Bang, kamu lebih menyayangi piring warisan leluhurmu atau aku dan anakmu?" Lirih kalimat itu mengalir dari bibir Kinan."Ya ... sayang semuanya lah. Piring itu warisan keluarga. Kamu dan Rafif itu anak dan istri Abang. Piring dan kal
"Assalamu'alaikum, Bang."Tak ada balasan salam yang didengarnya. Kinan membuka pintu ruang tamu setelah menyimpan flat shoes coklatnya di rak sepatu yang tepat berada di pintu masuk.Isi rumah tampak sepi. Tak ada terdengar aktivitas apapun di dalamnya. Kinan melihat ke arah dapur. Tak ada siapapun di sana.Melangkahkan kakinya menuju kamar tidur, sayup Kinan menangkap suara celoteh khas Rafif dari balik pintu. Ada sedikit kelegaan di hatinya.Perlahan Kinan membuka pintu kamar yang sedikit tertutup. Matanya membelalak, takjub melihat pemandangan yang ada ruangan dengan luas sembilan meter persegi itu.Rafif, putra kesayangannya itu sungguh hampir tak terlihat wajahnya. Duduk di atas kasur tipis yang memang sering digunakannya untuk bermain dengan taburan serbuk putih menutupi raut wajah bocah itu. Sementara itu, tak jauh dari Rafif tampak sang suami. Laki-laki itu dengan santainya memainkan jemari pada layar pipih yang ada di genggaman
Kinan menghabiskan Minggu sorenya dengan berkutat di halaman depan rumah tak terlalu luas. Mencoba menenangkan hati setelah insiden iuran sampah kemarin. Wanita muda itu pun tak terlalu menanggapi suami tak tahu malunya itu.Merapikan susunan pot tanaman hias yang mulai tak teratur, mencabuti rumput liar yang tumbuh di beberapa pot, dan tak lupa memangkas pucuk tanaman yang sudah terlihat menguning. Koleksi tanaman hiasnya tak banyak, tapi cukup menghibur hati di kala sedang tak bersahabat.Melihat Rafif yang asyik dengan mainan mobil-mobilan berwarna kuningnya, hati Kinan sedikit tenang. Yang terpenting anaknya bahagia saat ini. Tak perlu menggugat nasib yang sedang dijalaninya.Perlahan tangan Kinan memotong beberapa tangkai daun asparagus yang tak lagi berwarna hijau. Setelah itu mencongkel tanah di pot tanaman wijaya kusuma yang sedang rimbun dengan kuncupnya. Saat tengah malam nanti kuncup-kuncup itu akan berubah bentuk menjadi bunga putih yang bermek
"Selama lima tahun menikah kamu tak pernah tahu berapa gaji Ardi? Maksudnya bagaimana, Nan?"Kinan tak menjawab. Tapi Dinda yakin isakan tangis yang dikeluarkan wanita di hadapannya itu menjawab segalanya. Kinan menutupi sesuatu, Dinda meyakini itu."Kalau kamu percaya pada Kakak, bicaralah! Ungkapkan semua yang kamu pendam! Tak baik menyimpannya sendiri. Kakak yakin, kamu menutupi sesuatu, Nan!" ucap Dinda seraya mengeratkan pelukannya pada Kinan.Tak ada jawaban. Hanya raungan tangis yang semakin jelas terdengar, walau Dinda tahu Kinan berusaha menahannya."Kita masuk ke dalam saja, Nan! Tak enak dilihat orang yang lewat nantinya."Dinda menguraikan pelukannya. Mengangkat tubuh Rafif masuk ke dalam rumah melalui pintu depan. Ruang tamu yang kebetulan tak terkunci memudahkan gerakan Dinda. Setelah memindahkan tubuh Rafif, Dinda pun ikut memindahkan beberapa mainan Rafif dari teras tadi. Beruntung, batita itu tak banyak tin
"Bang,dimana kau!" pekik Kinan dengan langkah yang tergesa. Mengabaikan tatapan heran dia lelaki yang memandangnya sejak mematikan mesin motor tadi. Tak peduli tanah yang sedikit becek akibat hujan sesaat barusan, Kinan tak dapat lagi menahan lama-lama emosi yang menggelegak di dadanya. Pernyataan yang disampaikan Fauzan tadi benar-benar membuatnya naik pitam. Mengapa sosok itu harus dia? Bukankah selama ini lelaki itu yang seolah menjadi sahabat dekat mendiang suaminya? Hanya berpura-pura ternyata. Lelaki itu tak lebih dari manusia munafik. Berpura-pura baik, menikam dari belakang. Kinan sempat tercengang saat mendengar nama yang disebutkan Fauzan itu. Menggelengkan kepala menunjukkan ketidakpercayaannya. Bahkan Kinan sempat meminta Fauzan mengulanginya kembali. Memastikan agar lelaki itu tak salah mengeja nama yang akhirnya akan menjadi fitnah. Namun Fauzan mempertegas semuanya. Gendang telinganya tak salah menangkap gelombang suara. Sosok i
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Fauzan. Lelaki itu tampak merasa serba salah. "Mengapa Abang tak menjawab pertanyaanku? Jangan bilang Abang menyesal telah mengatakan semua ini kepadaku!" tukas Kinan dengan tegas. Tatapan mata Kinan semakin menghujam. Membuat Fauzan semakin gelisah. Helaan napas panjang Fauzan terdengar jelas di tengah pemakaman yang sepi tanpa peziarah lainnya. Tampak beban berat seolah menggurat di wajah lelaki itu. "Abang tak bilang begitu. Hanya saja, Abang pikir semua kisah itu telah terungkap tanpa sisa. Ternyata Abang salah. Harusnya Ardi pergi tanpa belenggu rasa bersalah yang selalu membebaninya."Kinan mengernyitkan dahinya. Tak lama kemudian tangan kanannya bergerak ke arah pelipis. Memijatnya perlahan untuk menghalau rasa sakit yang mulai mendera. "Aku tak paham apa yang Abang katakan. Mungkin lebih baik Abang katakan saja langsung. Tak perlu berbelit-belit. Lagi pula aku tak ingin berlama-
Fauzan tampak tersentak. Sepertinya tak menduga jika Kinan akan menanyakan hal ini kepadanya. "Mengapa Abang terlihat terkejut? Abang pikir … aku tak tahu semua itu? Aku tahu, bukan tak tahu apa-apa seperti yang Abang pikirkan."Kinan mencoba menepis keraguan di hati Fauzan. Dirinya tahu tentang masa lalu suaminya. Pun dirinya mencoba berdamai dengan semua itu. Walaupun perceraian yang semoga menjadi penyelesaiannya saat itu. "Setelah Ardi pergi? Atau justru saat awal kalian menikah dulu?"Kinan menggelengkan kepalanya. Perlahan namun pasti. "Bukan keduanya. Aku tahu beberapa waktu sebelum kepergian almarhum. Dan itu pun secara tak sengaja. Berawal dari banyak hal yang memang almarhum coba sembunyikan. Namun Allah punya kehendak, yang mungkin tak sama seperti yang kita harapkan."Kembali Fauzan tertegun. Tak mampu lagi berkata apa-apa. "Aku tak akan dan tak sedang ingin membicarakan hal itu lagi. Aku hanya ingin mem
Beranjak dari posisi berjongkok, Kinan masih tertegun. Tak mengenal sosok yang ada di belakangnya. Bahkan setelah Kinan membalikkan tubuhnya, tetap saja tak ada ingatan yang tersisa tentang lelaki ini. "Maaf … Abang siapa? Mengenal almarhum suami saya?" tanya Kinan sembari menunjukkan raut wajah bingungnya. Dahinya mengernyit mencoba menguatkan kerja memori otaknya. "Ini makam Ardi kan? Soalnya petunjuk yang aku dapatkan tadi menunjukkan arah ini."Seolah tak peduli dengan pertanyaan Kinan, lelaki itu memajukan tubuh dan menajamkan netranya. Kacamata hitam yang tadi dikenakannya berpindah tempat. Tak lagi menempel di hidung, melainkan menggantung di kancing kemeja kotak-kotak yang dikenakannya."Tak salah lagi. Benar, ini makam Ardi."Lirih lelaki itu berkata sembari menurunkan tubuhnya. Mengambil posisi berjongkok di tempat yang tadinya ditempati oleh Kinan. Bibir lelaki itu berkomat-kamit. Kedua telapak tangannya menengadah.
Kinan menatap pilu nisan yang masih terbuat dari sebilah papan. Nama suaminya tertulis di sana. Tanah kuning di hadapannya belum sempurna mengering. Masih membasah, sama seperti hatinya yang belum juga mampu menerima kepergian lelaki ini sepenuhnya. Kepergian lelaki ini masih meninggalkan duka di hatinya. Tak pernah disangka jika mereka sedang dalam situasi tak baik ketika lelaki ini harus pergi selamanya. Itu yang paling menimbulkan penyesalan terbesar di hati Kinan hingga saat ini. Perceraian mereka memang urung terjadi. Namun kenyataan pahit ini jauh lebih menyesakkan dadanya. "Bang … bantu aku! Berikan petunjuk padaku! Aku sedang berjuang membuktikan jika dirimu tak salah kala itu. Sesuai apa yang kamu tuliskan dalam surat itu. Tapi apalagi yang dapat aku lakukan saat ini, Bang? Aku tak tahu bagaimana lagi harus mencari petunjuknya. Aku gagal, Bang."Tak hanya isakan tangis, Kinan juga menumpahkan air matanya. Area pemakaman yang sepi membuat Kinan m
Arman tercengang. Sepasang mata lelaki itu tampak terbelalak. Rahangnya mengeras. Bahkan ekor netra Kinan masih mampu menangkap gerakan terkepalnya telapak kedua tangan lelaki itu. "Abang terkejut aku tahu semuanya? Abang salah jika berpikir akan dapat menutupi bangkai selamanya."Kinan tersenyum sinis. Bentuk penguatan pada diri sendiri agar tak terlihat lemah di hadapan Arman. Kedok lelaki ini harus terbuka sekarang juga. "Pasti Hanif yang mengatakan kepadamu. Benar kan, Nan?" tanya Arman dengan lirih sembari mengacak rambutnya dengan kasar. Kinan diam. Satu hal yang dapat ditangkap dirinya atas ucapan Arman itu. Lelaki ini hanya mengatakan semua itu pada Hanif dan keluarganya. Tidak pada orang lain. "Setidaknya lelaki itu lebih jujur dibandingkan Abang."Kalimat yang singkat itu mengalir dari bibir Kinan. Namun mampu meluluhlantakkan hati Arman seketika. Sebegitu rendahkah dirinya di mata Kinan sekarang? "Kamu ta
Arman terperanjat. Kelihatan sekali jika laki-laki itu tak menyangka atas kalimat yang diucapkan Kinan. "Abang terkejut? Atau pura-pura terkejut? Masih ingin bersandiwara?" lanjut Kinan seolah tak memberi Arman kesempatan untuk bicara. Arman tampak gugup. Sesaat. Kembali berusaha menguasai diri. Namun Kinan mampu menangkap segala perubahan raut wajahnya lelaki itu dengan seksama. "Tak perlu gugup. Tak perlu berdalih untuk menutupi kebohongan Abang. Aku sudah tahu semuanya, Bang."Kali ini Kinan menurunkan nada suaranya. Sedikit melemah walaupun dengan telapak tangan yang terkepal. "Jika Abang tanya perasaanku setelah mengetahui semua ini, jujur aku kecewa. Kecewa pada sikap Abang. Kecewa pada pilihan yang Abang buat bertahun silam."Kinan menyunggingkan senyum sinisnya. Kembali menegakkan wajah ke arah Arman yang tampak kikuk seketika. "Abang masih belum paham arah pembicaraanmu ini, Nan. Semoga apa pun yang ada di
"Maksudmu? Abang tak paham. Bukankah apa yang Abang ketahui sudah Abang jelaskan semua kepadamu?"Arman yang muncul selang lima menit kemudian tampak terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Kinan itu. Kinan yang memilih tetap berdiri sama sekali tak ada niat untuk menyampaikan basa-basi. "Abang tak usah lagi berpura-pura. Tak usah berlagak tak tahu apa-apa."Mengernyitkan dahi, Arman sepertinya masih mencoba berlagak tak paham arah pembicaraan Kinan ini. "Abang memang tak tahu apa-apa, Nan. Lagipula kisah itu sudah lama. Sudah jelas apa yang terjadi sebenarnya. Mengapa kamu mengungkit-ungkitnya lagi?"Arman mengambil posisi duduk. Berharap hal yang sama dilakukan Kinan. Tak elok rasanya bicara sambil berdiri. "Abang bertanya mengapa aku mengungkitnya? Atau Abang memang sengaja ingin mengubur kisah itu agar dilupakan orang begitu saja?" Kali ini Kinan menegakkan wajahnya. Menghujam Arman dengan netranya yang se
Kinan menatap tegak bangunan yang ada di hadapannya. Kali kedua menginjakkan kaki ke halaman ini, namun perasaannya sungguh berbeda. Jika dulu langkahnya diiringi kekhawatiran, sekarang sungguh berbeda. Tak ada rasa khawatir yang dirasakannya sama sekali. Justru semangat yang menggebu ingin bertemu dengan sang pemilik rumah. Kecurigaannya jelaslah bukan tanpa alasan. Bukan tanpa dasar. Ada banyak hal mengganjal yang layak disebut sebagai bahan pertimbangan. "Ingin bertemu siapa, Yuk?"Kinan menolehkan kepalanya ke arah samping kiri. Posisi asal sumber suara yang menegurnya tadi. Seorang wanita yang hampir sebaya dengan Yuk Diana tampak berdiri tegak. Menatap Kinan dengan sedikit curiga. Kjnan tak marah. Wajar saja itu dilakukan wanita yang sepertinya merupakan pekerja rumah tangga di bangunan di hadapannya ini. Wanita ini tentu mendapat amanah untuk memastikan para tamu yang datang tak salah orang. Tak salah sasaran. "Pak Ar