"Bang, bangun dulu!"
Tak ada jawaban. Ardi tetap bergeming, tak bergerak. Kinan meradang. Laki-laki itu memang tak tahu diri. Sedari pagi, Kinan sudah bangun menyiapkan masakan untuk hari ini. Belum lagi membersihkan rumah dan menyiapkan kebutuhan Rafif, putera mereka yang sudah mulai pandai mengucapkan beberapa patah kata."Abang masih punya telinga atau tidak sebenarnya sih?! Aku ini lagi bicara denganmu, Bang!"Kinan tak mampu lagi menahan amarahnya. Emosi jelas sedang menguasai dirinya melihat ulah laki-laki yang sebenarnya entah pantas atau tidak dipanggilnya suami itu."Abang dengar, Dek! Nggak perlu teriak-teriak seperti itu. Malu sama tetangga pagi-pagi seperti ini sudah ribut saja."Ardi mengucek matanya. Tapi tubuhnya masih tetap terbungkus dengan selimut. Tak ada niat melepaskan penutup tubuh yang pasti memberikan kehangatan padanya itu."Kalau Abang dengar, kenapa Abang tak bangun juga? Kalau Abang malu, mengapa Abang sepertinya sengaja memancing emosi?"Kinan tak dapat lagi menahan rasa kesalnya. Lima tahun menikah, laki-laki itu tak juga berubah perangainya. Tak peduli. Tak peka. Tak pernah memikirkan perasaan istrinya."Abang tolong jaga Rafif hari ini ya! Yuk Ana sakit hari ini, kasihan kalau Rafif kita antarkan ke rumahnya. Abang kan libur hari ini."Ardi mendadak membuka matanya dengan cepat. Selimut yang membungkus tubuhnya juga disibakkan dengan segera."Dek, kamu nggak salah menyuruh Abang menjaga Rafif hari ini?"Kinan menarik napas dalam-dalam lantas menghembuskan udara dengan kapasitas maksimal telah didapatkannya tadi."Telinga Abang selama ini nggak ada masalah kan? Abang tentu dapat mendengar jelas setiap kata yang kueja tadi kan?"Ardi menggaruk kepalanya yang Kinan tahu pasti sebenarnya tak gatal. Kinan bertekad harus dapat membuat Ardi menjalankan salah satu kewajiban yang selama ini selalu diabaikannya."Abang nggak bisa, Dek! Nanti kalau Rafif cerewet, mau minum susu, atau mau buang air kecil bagaimana? Abang kan nggak paham, Dek. Tolong ... jangan suruh Abang menjaga Rafif! Abang pasti tak akan mampu."Jujur, Kinan sebenarnya ingin tertawa mendengar ungkapan hati terdalam yang disampaikan suaminya itu. Dasar suami tak peka. Bahkan untuk kebiasaan anak sendiri, Ardi tak tahu. Wajar saja. Di usia buah hati mereka yang menginjak dua tahun itu tak pernah Ardi turun tangan langsung untuk menjaganya. Semua urusan Rafif diserahkan bulat-bulat kepada Kinan."Abang harus bisa! Sebelum mencoba, jangan pernah menganggap diri kita tak mampu. Bukankah seperti itu yang selalu Abang katakan selama ini?"Kinan meraih tas hitam yang tergantung di dekat lemari pakaian. "Rafif tak mungkin aku bawa ke sekolah. Aku pasti tak bisa fokus mengajar nantinya. Lagi pula ini hari libur Abang. Sekali-kali menikmati hari libur dengan putera semata wayang kurasa tak ada salahnya."Kinan memasukkan dompet ke dalam tas hitam yang sehari-hari menemaninya beraktivitas sebagai pendidik itu. Membereskan beberapa perlengkapan mengajar yang memang dari semalam telah disiapkannya."Abang ada janji dengan Rahmat hari ini. Mau melihat-lihat kebun sawit saudaranya. Kata Rahmat, mau dijual." Tegas kalimat itu diucapkan Ardi seraya mengangkat tubuhnya dengan sempurna dari tempat tidur yang menjadi saksi perjalanan kisah mereka lima tahun ini.Kinan yang sedang berhadapan dengan cermin merapikan kerudung marunnya itu seketika membalikkan badannya. Posisi tubuh mereka langsung berhadapan."Abang mau beli kebun sawit? Abang punya uang?"Jelas sekali nada keterkejutan dari kalimat yang dilontarkan Kinan itu."Kan cuma melihat-lihat saja. Abang mana ada uang, Dek. Hutang bank kita saja belum lunas kan?"Kinan terdiam sesaat. Rumah yang mereka tempati saat ini sebenarnya adalah milik orang tua Ardi. Semenjak kedua orang tuanya meninggal, Ardi tinggal di rumah itu sendirian. Kedua kakak perempuannya tinggal bersama suami dan anak-anak mereka di luar daerah.Kinan menikah dengan Ardi setahun setelah laki-laki itu menjadi yatim piatu. Tak ayal, setelah pernikahan mereka, Ardi langsung memboyong Kinan tinggal di rumah itu. Tak lama setelahnya, kedua kakak Ardi meminta mereka berdua membeli rumah tersebut. Agar jelas tak menimbulkan sengketa di belakang harinya. Menurut Kinan itu hanya alasan agar dua wanita itu dapat uang mendadak. Tak punya pilihan, Kinan dan Ardi mau tak mau menjatuhkan pilihan pada bank tempat Ardi bekerja sebagai tempat untuk mendapatkan uang banyak guna membeli rumah warisan penuh kenangan itu. Sebagai pasangan yang baru menikah, tabungan mereka berdua terkuras untuk segala urusan mulai dari akad nikah sampai resepsi. Keduanya sepakat tak membebankan pada orang tua Kinan yang memang bukan golongan berada itu."Hubungi saja Rahmat nanti! Perginya sore saja! Aku kan kerjanya juga cuma sampai jam dua belas, Bang."Lagi-lagi Ardi menggarukkan kepalanya berulang kali. Tak mampu lagi memberikan alasan untuk menolak permintaan Kinan. Walaupun sebenarnya bagi Ardi bukan lagi permintaan, tapi suruhan."Tak bisakah meminta tolong siapa gitu buat menjaga Rafif setengah hari ini, Dek? Abang takut kalau nanti kenapa-kenapa pas Rafif dijaga Abang. Nanti Abang lagi yang kamu salahkan!"Kinan tak menjawab. Wanita itu lebih memilih melipat selimut dan merapikan tempat tidur yang acak-acakan. Menarik sisi-sisi seprai yang bermotifkan daun hijau itu agar kembali kencang. Merapikan bantal dan guling yang letaknya berhamburan."Apa susahnya berkorban sehari, Bang? Aku memintamu menjaga Rafif itu hanya untuk setengah hari. Setengah hari, Bang! Bukan berhari-hari. Lagi pula, Rafif itu bukan hanya anakku, Bang! Dia juga anakmu. Jadi bukan cuma aku yang harus bertanggung jawab untuk mengasuhnya, mendidiknya. Bahkan sampai di usianya hampir dua tahun ini belum pernah tanganmu memandikannya bukan? Masih layakkah dirimu menyebut ayah untuknya?"Kinan menata suasana hatinya agar tak larut dalam emosi menghadapi laki-laki yang sungguh luar biasa ini. Selama ini dia diam. Ternyata diam itu bukanlah emas baginya."Uang kemarin buat beli mainan Rafif belum diganti ya? Abang mau beli rokok hari ini."Nasi yang hampir masuk ke mulut Kinan gagal akibat terhentinya gerakan sendok di udara seketika. Mulutnya menganga."Jangan pura-pura lupa begitu, Dek! Kan kemarin juga perginya denganmu?"Kinan menutup mulutnya cepat. Matanya melotot menatap Ardi yang sedang duduk di seberangnya. Sendok yang berada di antara telunjuk dan jempolnya itu dihempaskan ke piring yang berisi nasi goreng telur."Awas kalau piringnya pecah, Dek! Itu piring peninggalan keluarga Abang. Warisan keluarga yang turun-temurun."Kinan menarik napas dalam-dalam. Mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan pahit yang ada."Bang, kamu lebih menyayangi piring warisan leluhurmu atau aku dan anakmu?" Lirih kalimat itu mengalir dari bibir Kinan."Ya ... sayang semuanya lah. Piring itu warisan keluarga. Kamu dan Rafif itu anak dan istri Abang. Piring dan kal
"Assalamu'alaikum, Bang."Tak ada balasan salam yang didengarnya. Kinan membuka pintu ruang tamu setelah menyimpan flat shoes coklatnya di rak sepatu yang tepat berada di pintu masuk.Isi rumah tampak sepi. Tak ada terdengar aktivitas apapun di dalamnya. Kinan melihat ke arah dapur. Tak ada siapapun di sana.Melangkahkan kakinya menuju kamar tidur, sayup Kinan menangkap suara celoteh khas Rafif dari balik pintu. Ada sedikit kelegaan di hatinya.Perlahan Kinan membuka pintu kamar yang sedikit tertutup. Matanya membelalak, takjub melihat pemandangan yang ada ruangan dengan luas sembilan meter persegi itu.Rafif, putra kesayangannya itu sungguh hampir tak terlihat wajahnya. Duduk di atas kasur tipis yang memang sering digunakannya untuk bermain dengan taburan serbuk putih menutupi raut wajah bocah itu. Sementara itu, tak jauh dari Rafif tampak sang suami. Laki-laki itu dengan santainya memainkan jemari pada layar pipih yang ada di genggaman
Kinan menghabiskan Minggu sorenya dengan berkutat di halaman depan rumah tak terlalu luas. Mencoba menenangkan hati setelah insiden iuran sampah kemarin. Wanita muda itu pun tak terlalu menanggapi suami tak tahu malunya itu.Merapikan susunan pot tanaman hias yang mulai tak teratur, mencabuti rumput liar yang tumbuh di beberapa pot, dan tak lupa memangkas pucuk tanaman yang sudah terlihat menguning. Koleksi tanaman hiasnya tak banyak, tapi cukup menghibur hati di kala sedang tak bersahabat.Melihat Rafif yang asyik dengan mainan mobil-mobilan berwarna kuningnya, hati Kinan sedikit tenang. Yang terpenting anaknya bahagia saat ini. Tak perlu menggugat nasib yang sedang dijalaninya.Perlahan tangan Kinan memotong beberapa tangkai daun asparagus yang tak lagi berwarna hijau. Setelah itu mencongkel tanah di pot tanaman wijaya kusuma yang sedang rimbun dengan kuncupnya. Saat tengah malam nanti kuncup-kuncup itu akan berubah bentuk menjadi bunga putih yang bermek
"Selama lima tahun menikah kamu tak pernah tahu berapa gaji Ardi? Maksudnya bagaimana, Nan?"Kinan tak menjawab. Tapi Dinda yakin isakan tangis yang dikeluarkan wanita di hadapannya itu menjawab segalanya. Kinan menutupi sesuatu, Dinda meyakini itu."Kalau kamu percaya pada Kakak, bicaralah! Ungkapkan semua yang kamu pendam! Tak baik menyimpannya sendiri. Kakak yakin, kamu menutupi sesuatu, Nan!" ucap Dinda seraya mengeratkan pelukannya pada Kinan.Tak ada jawaban. Hanya raungan tangis yang semakin jelas terdengar, walau Dinda tahu Kinan berusaha menahannya."Kita masuk ke dalam saja, Nan! Tak enak dilihat orang yang lewat nantinya."Dinda menguraikan pelukannya. Mengangkat tubuh Rafif masuk ke dalam rumah melalui pintu depan. Ruang tamu yang kebetulan tak terkunci memudahkan gerakan Dinda. Setelah memindahkan tubuh Rafif, Dinda pun ikut memindahkan beberapa mainan Rafif dari teras tadi. Beruntung, batita itu tak banyak tin
Kinan keluar dari kamar setelah menidurkan Rafif. Batita itu tampaknya kelelahan setelah bermain dengan banyak robot mainan baru dari Dinda.Membuka tudung saji yang ada di atas meja makan, Kinan menemukan dua potong ikan bawal masih tersisa di mangkuk. Kinan memasukkan mangkuk berisi potongan bawal lempah kuning nanas itu ke dalam kulkas. Sayang, mubazir jika dibuang. Dia memilih tak makan malam karena masih kenyang setelah menikmati beberapa potong empek-empek sebelum kedatangan Dinda tadi sore. Tampak Ardi duduk di depan televisi sambil memainkan gawainya. Tak jelas aktivitasnya saat ini. Acara televisi ataukah gawainya yang menjadi pilihan. Kinan menyiapkan beberapa perlengkapan untuk mengajarnya besok pagi."Mukamu sembab, Dek. Kamu habis menangis?" tanya Ardi sembari tetap menggerakkan jemarinya di layar pipih miliknya itu.Kinan tak menyadari jika bekas tangisannya tadi sore masih meninggalkan jejak di wajah putihnya. "Dek ... Ab
Kinan melanjutkan pertanyaannya. Berharap rasa penasarannya akan terjawab. Mungkin sekarang ini saatnya untuk meluapkan emosi yang selama ini terlah bergumul di dadanya. "Iya ... Kalau cukup uangnya, Abang berencana ingin berkebun sawit. Lumayanlah pengisi hari Sabtu dan Minggu. Lagi pula itu bentuk investasi keluarga kita. Abang selalu berpikir untuk jangka panjang. Bukan hanya sekarang saja."Ardi merasa tak ada yang salah dengan rencananya. Dia bertanggung jawab pada masa depan keluarganya. Bahkan sejak saat ini, semua itu telah dipersiapkannya. Toh dia juga menggunakan uang tabungannya sendiri, tak meminta pada Kinan. Hasil biji sawit yang terjual nanti dapat ditabung kembali untuk masa depan mereka. Dimana letak salahnya?"Abang hebat ya! Abang punya tabungan, tapi aku sebagai istri menghabiskan seluruh uang yang kudapat untuk kebutuhan rumah tangga kita. Aku ini tulang rusuk, Bang. Bukan tulang punggung. Bukan kepala keluarga yang harus menafkahi ke
Seminggu berlalu sejak Kinan mulai mencoba mengungkapkan isi hatinya pada sang suami. Tak ada perubahan yang dirasakan Kinan atas diri Ardi. Belanja kebutuhan sehari-hari tetap Kinan lakukan walau kadang dengan perasaan dongkol. Tapi jika tak belanja, dirinya dan Rafif harus makan apa?Percuma berharap kepada manusia yang hatinya bagaikan batu seperti Ardi. Hanya melelahkan saja untuk berbicara banyak hal terkait tanggung jawab padanya, tak ada gunanya. Yang ada ubun-ubun akan dipenuhi emosi saja nantinya.Kinan memasuki rumah yang tampak sepi. Jam mungil di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul empat sore. Rasa lelah benar-benar mendera tubuhnya. Hari Minggu yang harusnya digunakan untuk beristirahat dihabiskan Kinan untuk manggung di hajatan nikah. Bernyanyi, menyalurkan bakat sekaligus menyalurkan emosi agar tak memicu stres. Dan yang paling penting juga, ada beberapa lembar helaian biru yang akan Kinan terima setelah itu. Lumayan untuk belanja satu ming
Kinan bersuara sembari menatap wajah Yuk Diana. Memastikan jika ucapan wanita itu tak salah."Ayuk bukannya tak tahu, bagaimana Ardi memperlakukanmu selama ini. Ayuk mengenal Ardi sudah sejak lama. Bukan baru sekarang seperti dirimu."Kinan mulai mengerti arah pembicaraan wanita yang ada di hadapannya. Tapi rasanya, tak elok membuka aib suami sendiri kepada orang lain. Sekecewa apa pun dirinya pada Ardi, Kinan harus tetap menghargai laki-laki yang bergelar suaminya itu. Aib rumah tangga tentunya akan menjadi rahasia suami dan istri saja. Tak patut rasanya diumbar kepada siapa pun tentunya. Sesakit dan sekecewa apa pun dirinya pada sikap dan perlakuan lelaki itu, tetap saja status itu masih disandangnya sampai sekarang. Masih kewajibannya untuk menjaga keburukan lelaki itu."Ardi baik pada Kinan, Yuk. Mengapa Ayuk sampai berpikir Ardi memperlakukan Kinan dengan buruk?" Kinan mencoba berkelit. Aktivitas makan rujak tetap dilanjutkannya, seolah tak ada beban
"Bang,dimana kau!" pekik Kinan dengan langkah yang tergesa. Mengabaikan tatapan heran dia lelaki yang memandangnya sejak mematikan mesin motor tadi. Tak peduli tanah yang sedikit becek akibat hujan sesaat barusan, Kinan tak dapat lagi menahan lama-lama emosi yang menggelegak di dadanya. Pernyataan yang disampaikan Fauzan tadi benar-benar membuatnya naik pitam. Mengapa sosok itu harus dia? Bukankah selama ini lelaki itu yang seolah menjadi sahabat dekat mendiang suaminya? Hanya berpura-pura ternyata. Lelaki itu tak lebih dari manusia munafik. Berpura-pura baik, menikam dari belakang. Kinan sempat tercengang saat mendengar nama yang disebutkan Fauzan itu. Menggelengkan kepala menunjukkan ketidakpercayaannya. Bahkan Kinan sempat meminta Fauzan mengulanginya kembali. Memastikan agar lelaki itu tak salah mengeja nama yang akhirnya akan menjadi fitnah. Namun Fauzan mempertegas semuanya. Gendang telinganya tak salah menangkap gelombang suara. Sosok i
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Fauzan. Lelaki itu tampak merasa serba salah. "Mengapa Abang tak menjawab pertanyaanku? Jangan bilang Abang menyesal telah mengatakan semua ini kepadaku!" tukas Kinan dengan tegas. Tatapan mata Kinan semakin menghujam. Membuat Fauzan semakin gelisah. Helaan napas panjang Fauzan terdengar jelas di tengah pemakaman yang sepi tanpa peziarah lainnya. Tampak beban berat seolah menggurat di wajah lelaki itu. "Abang tak bilang begitu. Hanya saja, Abang pikir semua kisah itu telah terungkap tanpa sisa. Ternyata Abang salah. Harusnya Ardi pergi tanpa belenggu rasa bersalah yang selalu membebaninya."Kinan mengernyitkan dahinya. Tak lama kemudian tangan kanannya bergerak ke arah pelipis. Memijatnya perlahan untuk menghalau rasa sakit yang mulai mendera. "Aku tak paham apa yang Abang katakan. Mungkin lebih baik Abang katakan saja langsung. Tak perlu berbelit-belit. Lagi pula aku tak ingin berlama-
Fauzan tampak tersentak. Sepertinya tak menduga jika Kinan akan menanyakan hal ini kepadanya. "Mengapa Abang terlihat terkejut? Abang pikir … aku tak tahu semua itu? Aku tahu, bukan tak tahu apa-apa seperti yang Abang pikirkan."Kinan mencoba menepis keraguan di hati Fauzan. Dirinya tahu tentang masa lalu suaminya. Pun dirinya mencoba berdamai dengan semua itu. Walaupun perceraian yang semoga menjadi penyelesaiannya saat itu. "Setelah Ardi pergi? Atau justru saat awal kalian menikah dulu?"Kinan menggelengkan kepalanya. Perlahan namun pasti. "Bukan keduanya. Aku tahu beberapa waktu sebelum kepergian almarhum. Dan itu pun secara tak sengaja. Berawal dari banyak hal yang memang almarhum coba sembunyikan. Namun Allah punya kehendak, yang mungkin tak sama seperti yang kita harapkan."Kembali Fauzan tertegun. Tak mampu lagi berkata apa-apa. "Aku tak akan dan tak sedang ingin membicarakan hal itu lagi. Aku hanya ingin mem
Beranjak dari posisi berjongkok, Kinan masih tertegun. Tak mengenal sosok yang ada di belakangnya. Bahkan setelah Kinan membalikkan tubuhnya, tetap saja tak ada ingatan yang tersisa tentang lelaki ini. "Maaf … Abang siapa? Mengenal almarhum suami saya?" tanya Kinan sembari menunjukkan raut wajah bingungnya. Dahinya mengernyit mencoba menguatkan kerja memori otaknya. "Ini makam Ardi kan? Soalnya petunjuk yang aku dapatkan tadi menunjukkan arah ini."Seolah tak peduli dengan pertanyaan Kinan, lelaki itu memajukan tubuh dan menajamkan netranya. Kacamata hitam yang tadi dikenakannya berpindah tempat. Tak lagi menempel di hidung, melainkan menggantung di kancing kemeja kotak-kotak yang dikenakannya."Tak salah lagi. Benar, ini makam Ardi."Lirih lelaki itu berkata sembari menurunkan tubuhnya. Mengambil posisi berjongkok di tempat yang tadinya ditempati oleh Kinan. Bibir lelaki itu berkomat-kamit. Kedua telapak tangannya menengadah.
Kinan menatap pilu nisan yang masih terbuat dari sebilah papan. Nama suaminya tertulis di sana. Tanah kuning di hadapannya belum sempurna mengering. Masih membasah, sama seperti hatinya yang belum juga mampu menerima kepergian lelaki ini sepenuhnya. Kepergian lelaki ini masih meninggalkan duka di hatinya. Tak pernah disangka jika mereka sedang dalam situasi tak baik ketika lelaki ini harus pergi selamanya. Itu yang paling menimbulkan penyesalan terbesar di hati Kinan hingga saat ini. Perceraian mereka memang urung terjadi. Namun kenyataan pahit ini jauh lebih menyesakkan dadanya. "Bang … bantu aku! Berikan petunjuk padaku! Aku sedang berjuang membuktikan jika dirimu tak salah kala itu. Sesuai apa yang kamu tuliskan dalam surat itu. Tapi apalagi yang dapat aku lakukan saat ini, Bang? Aku tak tahu bagaimana lagi harus mencari petunjuknya. Aku gagal, Bang."Tak hanya isakan tangis, Kinan juga menumpahkan air matanya. Area pemakaman yang sepi membuat Kinan m
Arman tercengang. Sepasang mata lelaki itu tampak terbelalak. Rahangnya mengeras. Bahkan ekor netra Kinan masih mampu menangkap gerakan terkepalnya telapak kedua tangan lelaki itu. "Abang terkejut aku tahu semuanya? Abang salah jika berpikir akan dapat menutupi bangkai selamanya."Kinan tersenyum sinis. Bentuk penguatan pada diri sendiri agar tak terlihat lemah di hadapan Arman. Kedok lelaki ini harus terbuka sekarang juga. "Pasti Hanif yang mengatakan kepadamu. Benar kan, Nan?" tanya Arman dengan lirih sembari mengacak rambutnya dengan kasar. Kinan diam. Satu hal yang dapat ditangkap dirinya atas ucapan Arman itu. Lelaki ini hanya mengatakan semua itu pada Hanif dan keluarganya. Tidak pada orang lain. "Setidaknya lelaki itu lebih jujur dibandingkan Abang."Kalimat yang singkat itu mengalir dari bibir Kinan. Namun mampu meluluhlantakkan hati Arman seketika. Sebegitu rendahkah dirinya di mata Kinan sekarang? "Kamu ta
Arman terperanjat. Kelihatan sekali jika laki-laki itu tak menyangka atas kalimat yang diucapkan Kinan. "Abang terkejut? Atau pura-pura terkejut? Masih ingin bersandiwara?" lanjut Kinan seolah tak memberi Arman kesempatan untuk bicara. Arman tampak gugup. Sesaat. Kembali berusaha menguasai diri. Namun Kinan mampu menangkap segala perubahan raut wajahnya lelaki itu dengan seksama. "Tak perlu gugup. Tak perlu berdalih untuk menutupi kebohongan Abang. Aku sudah tahu semuanya, Bang."Kali ini Kinan menurunkan nada suaranya. Sedikit melemah walaupun dengan telapak tangan yang terkepal. "Jika Abang tanya perasaanku setelah mengetahui semua ini, jujur aku kecewa. Kecewa pada sikap Abang. Kecewa pada pilihan yang Abang buat bertahun silam."Kinan menyunggingkan senyum sinisnya. Kembali menegakkan wajah ke arah Arman yang tampak kikuk seketika. "Abang masih belum paham arah pembicaraanmu ini, Nan. Semoga apa pun yang ada di
"Maksudmu? Abang tak paham. Bukankah apa yang Abang ketahui sudah Abang jelaskan semua kepadamu?"Arman yang muncul selang lima menit kemudian tampak terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Kinan itu. Kinan yang memilih tetap berdiri sama sekali tak ada niat untuk menyampaikan basa-basi. "Abang tak usah lagi berpura-pura. Tak usah berlagak tak tahu apa-apa."Mengernyitkan dahi, Arman sepertinya masih mencoba berlagak tak paham arah pembicaraan Kinan ini. "Abang memang tak tahu apa-apa, Nan. Lagipula kisah itu sudah lama. Sudah jelas apa yang terjadi sebenarnya. Mengapa kamu mengungkit-ungkitnya lagi?"Arman mengambil posisi duduk. Berharap hal yang sama dilakukan Kinan. Tak elok rasanya bicara sambil berdiri. "Abang bertanya mengapa aku mengungkitnya? Atau Abang memang sengaja ingin mengubur kisah itu agar dilupakan orang begitu saja?" Kali ini Kinan menegakkan wajahnya. Menghujam Arman dengan netranya yang se
Kinan menatap tegak bangunan yang ada di hadapannya. Kali kedua menginjakkan kaki ke halaman ini, namun perasaannya sungguh berbeda. Jika dulu langkahnya diiringi kekhawatiran, sekarang sungguh berbeda. Tak ada rasa khawatir yang dirasakannya sama sekali. Justru semangat yang menggebu ingin bertemu dengan sang pemilik rumah. Kecurigaannya jelaslah bukan tanpa alasan. Bukan tanpa dasar. Ada banyak hal mengganjal yang layak disebut sebagai bahan pertimbangan. "Ingin bertemu siapa, Yuk?"Kinan menolehkan kepalanya ke arah samping kiri. Posisi asal sumber suara yang menegurnya tadi. Seorang wanita yang hampir sebaya dengan Yuk Diana tampak berdiri tegak. Menatap Kinan dengan sedikit curiga. Kjnan tak marah. Wajar saja itu dilakukan wanita yang sepertinya merupakan pekerja rumah tangga di bangunan di hadapannya ini. Wanita ini tentu mendapat amanah untuk memastikan para tamu yang datang tak salah orang. Tak salah sasaran. "Pak Ar