Sedihnya, penonton hanya suka pemeran utamanya yang berakhir bahagia
Sebuah layar datar televisi menayangkan cuplikan Evaria Dona tengah menyapa ramah fans yang berkerumun di luar pagar pembatas karpet merah ajang pernghargaan AFI 2020.
“Lihat penyihir itu. Bahkan di dunia nyata dia masih akting.”
“Jangan begitu. Kalau aku jadi Kak Eva aku juga pasti sangat berterima kasih sama fansku, “ jawab Erina.
“Tapi dia kelihatan sangat palsu. Rasanya ingin aku tarik lepas topengnya.”
“Masih soal Rizal Chandra?”
“Iya. Sayangnya berita itu nggak bisa dinaikkan karena nggak ada bukti. Padahal kan, gosip adalah fakta yang tertunda. Kalau sudah ter-blow up pasti akan terbongkar semua, seperti sarang lebah yang dilempar batu.”
Erina, perempuan cantik berambut hitam legam itu menanggapi santai. “Hati-hati, jangan sampai lebah itu malah mengejar kamu kalau ternyata gosip itu terbukti hoax."
“Itu bukan hoax, Rin. Katanya di kalangan artis, kabar itu sudah jadi rahasia umum. Cuma ya itu, nggak ada yang berani speak up. Eva terlalu kuat. Bukan cuma citra elegan dan berkelas yang dia bangun, dia juga didukung agensi hiburan terbesar di Indonesia yang punya koneksi ke media-media besar."
"Meskipun begitu, tetap saja penilaian akhir ada di penonton. Kalau Kak Eva nggak berbakat, dia nggak mungkin bisa bertahan, apalagi sampai dinilai jadi aktris terbaik. Dan itu yang menobatkan bukan Rizal Chandra.”
Mira menatap Erina dengan tatapan tak habis pikir, dan masih saja belum bisa mengerti jalan pikiran sang sahabat. “Kamu benar-benar adik yang baik, Rin. Cuma sayang, nggak dianggap.”
Erina yang sedang menyempotkan air ke bunga-bunga potong yang dijual di tokonya menjawab pelan. "Kak Eva nggak sepenuhnya salah. Kami jadi adik kakak setelah kedua orang tua kami menikah, karena mereka sudah tidak ada lagi, Kak Eva mungkin berpikir hubungan saudara kami otomatis juga berakhir."
“Tetap saja, di catatan sipil, kalian tercatat sebagai saudara."
“Mir, selembar kartu keluarga nggak membuat kami jadi keluarga.”
“Terus kenapa kamu masih menganggapnya Kakak?”
Sesaat Erina terdiam, “hmm... Mungkin biar aku nggak merasa sebatang kara?”
Mira menertawakan ucapan Erina. “Bodoh. Kamu punya ayah kandung dan teman-teman yang jauh lebih bisa menghargai kamu daripada Kakak tiri yang menganggap kamu orang asing.”
“Beda,” jawab Erina menggantung. Ia banyak memiliki teman loyal, hidupnya tidak pernah kesepian karena selalu ada orang yang bisa dihubungi saat berjauhan untuk sekadar saling menanyakan kabar. Ia paham, apa artinya status keluarga jika saling berbicara saja tidak.
“Nggak penting Kak Eva menganggap aku apa, aku akan tetap menganggap dia kakak aku.” Erina tidak mungkin bisa lupa saat pertama kali ia dipertemukan dengan Eva, Eva langsung menerimanya. Di depan orangtua mereka, Eva mengatakan senang akhirnya memiliki adik. Mereka menjadi dekat layaknya saudara kandung dalam waktu singkat. Terlebih saat Erina harus menjalani hari-hari berat di rumah sakit, Eva selalu menemaninya dan meyakinkan Erina bisa segera sekolah lagi kalau nurut kata dokter. Berkat Eva, Erina memiliki masa remaja yang indah.
Lonceng berbunyi menandakan seseorang masuk ke dalam Erina Florist. “Lho, Pak, kok dibawa balik?” Erina bingung melihat kurir yang tadi menjemput bunga untuk diantar ke tempat tujuan membawa kembali bunganya yang dirangkai di atas keranjang anyam. Ukurannya sangat besar hingga menutupi hampir seluruh tubuh bagian atas kurir itu.
“Katanya salah alamat, Mbak.” Erina membantu kurir itu meletakkan keranjang bunga di lantai dengan hati-hati. “Saya dikasih uang, disuruh bawa balik.”
“Bapak sudah benar antarnya ke alamat yang saya kasih?”
Kurir itu mengangguk yakin. “Sudah benar, Mbak. Malahan saya sampai tanya satpam komplek sama tetangga depan rumahnya persis, benar kalau itu rumahnya Evaria Dona.”
“Siapa yang terima tadi?”
“Nah, itu yang membuat saya bingung. Yang membukakan pagar tadi Evaria Dona sendiri.”
Erina dan Mira saling lempar pandang, Mira tidak menutupi rasa geramnya. Semua orang harus tahu siapa Evaria Dona Sebenarnya, Eva tidak lebih dari seorang penyihir sombong yang membungkus dirinya dengan baju-baju mahal.
Erina hanya mengulas senyum lemah. Sejak awal ia tidak berharap banyak, ia tulus hanya ingin mengirimkan ucapan selamat yang tak mungkin ia ucapkan langsung. Meski ia tahu bunga kirimannya hanya akan dibiarkan membusuk di tempat sampah, seperti sebelum-sebelumnya.
Kali ini Eva secara lebih tegas menolaknya.
***
Sejak satu jam lalu Eva tidak keluar dari mobilnya yang terparkir di depan sebuah bangunan restoran berlantai tiga.
Malam semakin larut, orang-orang mulai meninggalkan bangunan itu dengan raut muka berbeda-beda. Ada yang tersenyum sambil bergandengan tangan dengan pasangan, ada yang meniup udara dengan berat, seolah ia dipaksa menelan paku alih-alih makanan lezat, ada juga melangkah ringan sebagaimana orang terpuaskan.
Lampu-lampu utama mulai dipadamkan, para pekerja pulang bergerombol. Mereka pasti lelah dikejar tanggung jawab dan tuntutan demi bertahan hidup.
Seorang lelaki masih berpakaian koki melepas karyawannya pulang dengan lambaian tangan, ada sedikit senyum di wajahnya seolah ingin menyemangati, padahal ia sendiri pasti sama lelahnya. Sebelum lelaki itu masuk lagi ke dalam restoran, Eva memberi tanda keberadaannya dengan membunyikan klakson.
Eva keluar dari mobilnya sambil menenteng dua kantong plastik. Lelaki itu berkacak pinggang melihat Eva berjalan ke arahnya. “Mohon maaf, kami sudah tutup,” ujarnya khas pelayan yang kelewat ramah.
“Aku nggak buta.” Eva mengangkat apa yang dibawanya. “Temani aku memberi selamat ke diri sendiri.” Eva melewati lelaki itu dan masuk begitu saja. Suara ketukan stilettonya memenuhi seluruh penjuru bangunan restoran yang didesain modern.
“Mau di atas atau di sini saja.” lelaki itu memiliki ruang pribadi di lantai tiga yang sudah seperti tempat tinggalnya.
“Di sini saja.” Eva duduk di kursi terdekat. “Aku nggak mau berakhir di ranjang kamu.”
Lelaki bernama Saga itu berdecih mencibir. “Kamu sendiri yang naik ke ranjangku.”
“Karena itu aku nggak mau. Sekali-kali aku ingin kamu gendong aku, atau diseret juga tidak apa-apa asal kamu yang memulainya.”
Saga hanya tertawa kecil tidak terlalu menanggapi. “Bir?” ujarnya melihat Eva mengeluarkan bir-bir kalengan dari dalam kantong plastik.
“Ada martabak manis juga.” Eva mengeluarkan kotak martabak yang dibeli di pedagang kaki lima tersepi yang bisa dilihat Eva selama perjalanan. “Mas-masnya pelit sama keju, nggak heran kalau dagangannya sepi, yang sudah pernah beli pasti kapok datang lagi, jadi aku minta satu batang sendiri. Extra kacang, cokelat, dan susu kental manis. Awalnya dia melihat aku seperti aku nggak tahu diri, tapi setelah aku keluarkan uang, dia berkali-kali terima kasih. Dasar orang pelit."
Saga masih tertawa. "Dia nggak mengenali Evaria Dona?"
"Dia mungkin nggak menyangka Evaria Dona beli martabak kaki lima."
Aroma susu kental manis langsung menguar meski martabak itu sudah dingin dan berembun. Dari bentuknya, Saga bisa bayangkan rasanya pasti enek. Lelehan susu kental manis menetes deras saat Eva mengambil sepotong.
“Mau aku masakin sesuatu?” tanya Saga.
Eva menggeleng. “Aku akan makan ini sampai habis dan nggak makan malam seminggu ke depan.”
“Okay.” Saga menarik kursi ikut duduk disamping Eva. Eva kebetulan memilih meja kapasitas enam kursi yang cukup besar.
Eva membuka kaleng bir dengan mudah, saat Eva hendak meminumnya, Saga menahannya.
Saga mengikuti membuka kaleng pertamanya. “Jadi? Selamat?”
Senyum Eva mengembang lebar sebelum mengetukkan kaleng birnya ke kaleng bir Saga. Terlalu bersemangat hingga sebagian isinya tumpah. “Ya, selamat, Evaria Dona. Kamu pantas mendapatkannya.” Eva memuji diri sendiri. Lalu keduanya meminum bir masing-masing.
“Ahh...” Eva berdesis merasakan hangat menjalari seluruh tubuhnya. "Meskipun masih ada saja yang bilang aku nggak layak karena bukan pemeran utama, tapi aku nggak peduli. Memangnya kenapa kalau pemeran pendukung dapat penghargaan aktris terbaik? Aku bisa saja jadi pemeran utama di film itu, tapi aku nggak suka karakternya."
"Karakter Eliza nggak terlalu buruk kok." Saga mengeluarkan pendapatnya. "Dia karakter positif dan contoh kalau nggak selamanya mengalah adalah kalah, itu hanya soal waktu. Ada satu dialognya yang klise tapi menarik, kekalahan adalah kemenangan yang tertunda."
"Kekalahan adalah kekalahan,” bantah Eva tak setuju. "Mengalah hanya dilakukan orang yang nggak percaya diri dan tahu dirinya akan kalah."
"Karena itu kamu lebih memilih jadi Jane yang pesimis dan memandang rendah orang lain?"
Mata Eva menyorot tajam. "Jane nggak pesimis, dia realistis." Di film itu, karakter Jane yang diperankan Eva diceritakan sebagai gadis yang tak segan memungut tisu bekas orang lain untuk memudahkan ia mencapai tujuan. "Jangan bicara soal pesimis dan optimis kalau kamu sendiri bisa langsung punya restoran sebesar ini begitu lulus pendidikan. Kamu nggak harus memulai dari anak tangga terbawah, karena orangtuamu sudah menyiapkan lift langsung membawamu ke atas."
Saga yang sudah terbiasa dengan mulut pedas Eva menanggapi santai. "Lalu bagimana akhirnya? Seingatku, Jane akhirnya mengakui yang dilakukannya selama ini salah dan dia kalah."
Eva meneguk banyak-banyak birnya sebelum menjawab, mendadak ia sangat kesal. "Itu yang aku benci. Penonton hanya menyukai cerita dengan akhir dramatis dan heroik, seolah yang pantas dan paling benar untuk bahagia hanya pemeran utamanya saja."
Saga menyentuh punggung Eva dan menikmati kekesalan Eva dengan senyum kecil. "Karena hidup butuh motivasi. Kalau mereka menyerah hanya karena miskin dan nggak punya koneksi, sama artinya dia hanya hidup sambil menunggu hari mati. Bayangkan apa jadinya kalau tokoh mencontohkan hal yang salah dan semua orang mengikuti karena di film yang mereka tonton itu dibenarkan?" Saga melepaskan tangannya dan beralih meneguk birnya. "Eliza juga mengatakan, kita nggak bisa memilih lahir sebagai apa, tapi kita bisa menentukan akan mati sebagai apa."
"Tapi itu membosankan. Asal kamu bekerja keras kamu akan sukses, dan kalau kamu jahat kamu akan dihukum. Sejak kecil tontonan kita ya yang begitu-begitu saja."
"Tapi nggak sepenuhnya salah, kan? Bukti nyata kerja keras bisa sukses adalah kamu," lanjut Saga.
Eva terdiam. Sebelah sudut bibir Eva tertarik membentuk seringai miris. Seandainya Saga tahu, dia mungkin jijik duduk di sebelahnya.
Eva makan lagi potong demi potong martabaknya, diselingi minum bir jika tenggorokannya mulai serat. Eva sadar Saga terus memperhatikannya dari samping. Saga adalah orang paling sok tahu yang Eva kenal, dia merasa paling mengenal Eva, hingga kadang berlagak bisa membaca pikiran Eva. Meski begitu, Eva tidak pernah benar-benar tersinggung.
"Apa?!" Eva melotot, tidak nyaman dipandangi lama-lama. "Kamu mau ceramah apa lagi?"
Saga tertawa kecil, refleks Eva memundurkan kepala saat jempol Saga mengusap lelehan susu kental manis di sekitar bibirnya. “Sebelum ke sini kamu darimana?” Tanyanya.
“Rumah.”
Saga mengerutkan dahi. “Kamu pakai dress dan dandan heboh begini—“
“Ya, cuma buat ke sini.”
“Harusnya kamu merayakannya sama tim kamu.”
"Mereka tetap bisa merayakannya meski tanpa aku."
Tiba-tiba Eva membuang nafas dan berhenti mengunyah meski mulutnya masih penuh. “Tujuh tahun lalu kamu nyangka nggak sih aku akan jadi seperti sekarang?”
“Jadi seperti apa?”
"Evaria Dona.”
Saga menatap Eva. “Di mata aku kamu masih Evaria Jayantari, Evaria Dona cuma pekerjaan. Lihat ini, ” Saga melirik kotak martabak. “Kamu belum berubah.”
Eva menyukai makanan manis sejak dulu. Tetapi kebiasaan Eva membeli martabak manis untuk merayakan sesuatu baru dimulai ketika Eva akhirnya bisa menjadi pemeran utama di film pertamanya, ia mendatangi Saga dan sambil menangis haru meminta Saga mengucapkan selamat untuknya.
Eva menelan sisa martabak di mulutnya lalu menyandarkan punggung di sandaran kursi. “Aku ingin istirahat panjang setelah ini.”
“Sayang sekali. Bukankah ini mementum bagus untuk karirmu? Namamu sedang ada di puncak paling tinggi tahun ini, pasti akan banyak tawaran-tawaran besar yang masuk.”
Eva menggeleng lemah. “Tujuh tahun ini sangat melelahkan, Ga. Sesekali aku ingin ambil cuti dengan alasan urusan keluarga meskipun aku nggak punya keluarga, aku—“
“Sebentar.” Saga mengeluarkan ponselnya yang bergetar dari saku, sebuah panggilan telepon masuk yang langsung diterima Saga seolah tak ingin si penelepon menunggu. “Ya, Rin?”
Eva melengos, ia membuka bir ketiganya dan meneguknya seperti minum air putih. Sepertinya Eva berharap terlalu banyak Saga bisa mendengarkan curahan hati yang selama ini Eva simpan sendiri. Pada dirinya sendiri, Eva meminta maaf tidak bisa mengurangi beban itu saat ini. Entah untuk sementara, atau mungkin selamanya.
“Aku masih di Sanggara, kenapa?... Oh... Iya, selamat malam.”
“Kalian pacaran?” Saga bahkan tidak mengirimkan pesan singkat ucapan selamat, tapi bertelepon dengan Erina tengah malam begini.
Saga menaruh ponselnya di atas meja dan tersenyum jahil. “Kenapa? Kamu nggak mau merestui?”
“Memangnya apa peduliku?”
“Tadi siang Erina cerita kalau kamu mengembalikan bunga yang dia kirim. Apa harus sampai seperti itu, Va?”
Tidak heran kabar itu langsung sampai ke telinga Saga. Percakapan remeh seperti kamu sudah makan? Sedang apa? Atau sedang di mana? Pasti menjadi obrolan harian mereka.
“Aku terima banyak kiriman bunga hari ini, aku kirim balik karena ruang tamuku sudah penuh,” jawab Eva.
“Va...”
Eva memutar kepalanya ke samping, menatap Saga lagi. “Kenapa kamu begitu peduli sama Erina? Kalian benar-benar pacaran?”
“Kamu sendiri? Kenapa kamu sangat membencinya? Dulu kalian—
“Aku begini karena aku belajar dari dulu. Satu-satunya hal yang aku sesali adalah pernah menyayangi dia sebagai adikku.”
Saga menghela napas panjang, menyorot Eva dengan tatapan putus asa. “Kamu tahu itu bukan salah Erina atau siapa pun, Va.” Tatapan Saga iba. “Kamu nggak seharusnya menyalahkan Erina dan melampiaskan kemarahanmu ke dia hanya untuk membuat perasaanmu lebih baik.”
“Untuk membuat perasaanku lebih baik, kamu bilang?” Sesaat Eva ternganga, kemudian mengulangi kalimat Saga dengan dada sakit luar biasa. "Kalau itu benar Ga, maka aku nggak perlu tersiksa sampai sekarang."
"Tapi itu kecelakaan, Eva."
"Itu bukan kecelakaan!" Eva berteriak di depan wajah Saga. "Hanya karena mobil Papa menabrak pohon dan meledak di tengah jalan, bukan berarti itu kecelakaan!”
Eva hendak meminum birnya, sialnya bir itu sudah kosong. Eva meremas kaleng bir itu hingga penyok dan melemparkannya ke sembarang arah. Saat Eva meraih kaleng bir ke sekian, Saga menahan tangannya.
Eva menatap lelaki itu dengan kilat amarah di matanya. “Aku bodoh karena masih saja mencari kamu meskipun aku tahu kamu nggak pernah ada di pihakku.”
Merugikan diri sendiri karena bodoh adalah kejahatan terburukEva tidak yakin kapan tepatnya kebiasaannya itu bermula. Eva tidak akan bisa tidur tanpa meminum minuman beralkohol, tentu tidak sampai membuatnya mabuk, meski hanya segetuk wine itu sudah cukup. Di situasi tertentu Eva bahkan terpaksa harus meminum obat hanya agar bisa tidur.Eva tahu ini sudah pagi, tapi ia masih ingin tidur lebih lama lagi ketika Lala mengguncang-guncang tubuhnya dengan brutal. “Apa sih, La?!” bentak Eva marah.“Gawat, Mbak, Gawat!”“Apanya yang gawat?”“Mbak lihat sendiri ini.” Lala menghadapkan layar ponsel tepat di depan wajah Eva, Eva menyipitkan mata berusaha memfokuskan pengelihatannya pada layar ponsel yang menampilkan laman sebuah akun Facebook.Kesombongan sang Aktris Terbaik.Mohon izin berbagi pengalaman. Jadi kemarin saya dapat orderan kirim rangkaiam bunga, sewaktu tahu penerimanya ternyata artis terkenal yang baru saja menan
Jangan menuntut orang lain menutup mulut. Jika tidak mau dengar, tutup sendiri telingamu.Eva memandangi rumah kosong tak berpenghuni itu dari dalam mobil. Bangunan rumah satu lantai itu memiliki halaman depan cukup luas yang ditutupi rumput hijau terawat. Eva masih ingat dulu ada pohon mangga besar di sisi kanan. Papanya mengikat ayunan yang dibuat dari ban truk bekas di satu dahan terkokoh. Sayang pohon itu sudah ditebang oleh penghuni sebelumnya.Rumah itu sudah tidak ditinggali lagi selama enam tahun. Ketika akhirnya Eva bisa mengumpulkan banyak uang, rumah ini adalah rumah pertama yang dibelinya meski belum pernah ditempati hingga kini. Dulu dan sejak awal rumah ini adalah rumah keluarganya yang terpaksa dijual ke orang lain, Eva bahkan menyanggupi siap membayar berapa pun asal rumah ini kembali jadi miliknya.Dari sekian banyak hal yang sudah berubah, rumah ini satu-satunya yang masih sama bahkan setelah sekian lama. Setiap kali melihatnya, E
Semakin banyak kita membenci, semakin besar kekuatan yang kita milikiEvaria 10 tahun lalu sama seperti anak muda pada umumnya, sedang semangat-semangatnya memasuki dunia perkuliahan yang terdengar serba keren. Ia mengambil jurusan ilmu komunikasi, cita-citanya sangat sederhana, ia hanya ingin menjadi pegawai kantoran yang bekerja nyaman di dalam ruangan ber-AC, libur hari sabtu minggu, dan menikah muda agar rentang usianya dengan sang anak kelak tidak terlalu jauh. Kemudian menjalani kehidupan normal seperti orang lain.Jika semua berjalan sesuai rencana, mungkin anak Eva sudah dua. Rencana tidak bisa bicara banyak dihadapan takdir. Eva sudah 28 tahun, gagal jadi sarjana, gagal jadi ibu muda, gagal punya kehidupan normal.Eva masih ingat jelas, ketika itu Eva langsung menuju rumah sakit sepulang dari kampus. Sudah hampir seminggu Erina dirawat di sana. Erina sering mengeluh sakit kepala, sehingga Papa memutuskan untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh di
Komentar panjang lebar di akun gosip tidak membuatmu tampak pintar, karena orang pintar tahu dimana dia harus berkomentarEva dan Saga SMA di sekolah yang sama. Eva selalu mengekori Saga ke mana-mana karena Saga remaja mudah marah saat digoda. Tetapi Saga tidak pernah benar-benar mau mengakui Eva sebagai temannya. Sampai ketika mereka duduk di kelas 12, Saga yang saat itu terpaksa satu kelompok dengan Eva, mengerjakan tugas di rumah Eva. Itulah kali pertama Saga bertemu dengan Erina.Erina adalah gadis yang manis. Kulitnya putih bersih, sejak kecil rambutnya sudah terawat, tumbuh lurus, hitam dan berkilauan di bawah sinar matahari. Beda dengan Eva yang rambut aslinya cenderung bergelombang dan mengembang. Apalagi Erina murah senyum dan malu-malu lucu saat diajak bicara orang baru.“Kak, disuruh Mama ajak temannya makan.” Erina membuka sedikit pintu kamar Eva, celahnya hanya cukup untuk menyembulkan kepalanya saja.“Mama masak apa?” Tanya Eva.
Untuk menang, kita butuh lawanEvaria Dona masih menjadi orang yang paling diburu media, mereka berlomba-lomba ingin mendapatkan sesi wawancara eksklusif dengannya. Tapi Eva menolak semua tawaran itu. Ia ingin mempertahankan citra elegan. Minim bicara, langsung tunjukkan dengan bukti tak terbantah.Eva menjadi tamu kehormatan acara peresmian sebuah galeri seni, ia bersama beberapa tokoh penting lain dipercaya memotong pita. Tentu ini sebuah kehormatan tinggi bagi Eva bisa berdiri sejajar dengan tokoh-tokoh tersebut. Nama baiknya bisa pulih lebih cepat dari yang ia kira sebelumnya.Eva berdiri di depan sebuah lukisan berukuran besar. Eva tidak mengerti letak seninya dimana, di matanya itu hanya gambar perempuan nyaris telanjang berkulit pucat dengan latar biru tua dan percikan cat tak beraturan warna kuning, merah, hitam. Ujung-ujung jari perempuan di lukisan itu berdarah-darah, namun tak ada sorot kesakitan di matanya. Entah mengapa Eva jadi
“Ya ampun, kasihan sekali.”Sambil menyetir Saga melirik ke arah yang dilihat Erina. Seorang anak Ibu-ibu sedang mengamen sambil menggendong anak balita dan diusir oleh pengemudi mobil di depan. Erina menurunkan kaca jendela, memanggil Ibu itu untuk diberi uang.“Terima kasih, Mbak. Semoga Tuhan membalas kebaikan Mbak.” Ujar pengamen itu setelah diberi uang.“Orang-orang kok tega ya, padahal diberi 2 ribu saja pengamen itu pasti sudah senang,” decak Erina seolah tak habks pikir usai kaca jendela kembali terangkat.“Mungkin dia merasa pengamen itu masih muda dan sehat, seharusnya dia bisa cari pekerjaan lain.” Jawab Saga memberi perspektif lain.“Kalau memang ada pekerjaan, dia tidak akan memilih turun ke jalanan sambil membawa anaknya. Lagi pula, dia tidak mengemis, dia mengamen.”Jika di samping Saga ini adalah Eva, Eva akan mengatakan sebaliknya. “Aku masih akan memaklumi ya, kalau itu pedangang tisu atau jepi
Orang percaya diri percaya bahwa dirinya sendiri bisa dipercayaSidang berakhir tak terduga bahkan oleh Eva sendiri. Semua orang terkejut saat Erina mengubah keterangannya selama pemeriksaan, hakim sampai mengingatkan konsekuensi jika kesaksian Erina di persidangan adalah palsu.Dengan yakin Erina berdalih bahwa saat itu ia bingung dan tidak tahu apa yang benar-benar terjadi sedangkan Mira terus menekannya untuk menyembunyikan rekaman CCTV itu, sehingga Erina terpaksa menuruti apa kata Mira dan berbohong pada penyidik bahwa kamera CCTV di tokonya hanya pajangan.Erina menyerahkan rekaman CCTV itu untuk mendukung kesaksiannya kali ini bahwa Mira lah yang menyerang Eva lebih dulu, sekaligus mematahkan tudingan bahwa hubungannya dengan Eva buruk. Mira menjadi orang yang paling kaget, itu adalah pemandangan terbaik sejauh ini di mata Eva.Mira tidak memiliki apa-apa lagi sekarang untuk membela diri, satu-satunya s
Saling mengenal, belum tentu saling memahami. Di saat kita merasa sudah cukup mengenal, sesungguhnya kita baru memutuskan berhenti mengenal"Jangan keluar, Rin. Malam ini akan turun hujan.”“Itu kan cuma perkiraan, Papa. Bisa saja meleset." Jawab Erina sembari mengikat tali sepatunya. “Aku sudah terlanjur beli tiket, kan sayang kalau nggak jadi.”“Tidak apa-apa, itu uang nggak seberapa. Nanti Papa ganti."“Jangan begitu, Pa. Uang tidak seberapa itu hasil keringat Papa.” Eva memprotes jawaban Papanya. Sejak ia tahu bagaimana susahnya mengumpulkan uang, Eva makin menghargai tiap rupiah yang ia miliki.Papa menghela nafas karena tidak berhasil menahan Erina pergi ke konser musik yang diadakan di lapangan terbuka. “Nanti pulang sebelum jam 9.” Pesan Papa.“Yah, jam segitu konsernya baru dimulai.”“Erina."“Papa tenang saja, aku sama teman-teman kok. Nanti ada temanku yang mengantar pulang sebelum jam 12. Oke? Dadah Papa, Dadak
Tidak ada akhir bahagia sebab kebahagiaan tidak seharusnya berakhirBali selalu menjadi tempat pelarian terbaik, persis seperti yang selama ini digambarkan di film-film atau buku, dimana tokoh utama akan menjadikan tempat itu sebagai tempat rehat.Bali memiliki semuanya. Sinar matahari, pantai, gunung, udara sejuk, makanan lezat, filosofi hidup yang melekat pada masyarakatnya, dan tentu saja penerimaan.Dibantu seorang kenalan, Eva menemukan sebuah villa kecil yang terletak di Bali bagian timur yang memiliki udara sejuk. Butuh waktu penyesuaian cukup lama bagi Eva untuk kembali percaya diri berbaur dengan masyarakat. Ia takut mendapat penghakiman, atau parahnya dikucilkan. Namun seseorang meyakinkan Eva bahwa ia di sini bukan untuk mengasingkan diri, melainkan menata kehidupan baru.Suara alarm jam dibiarkan Eva berdering-dering sampai berhenti sendiri, lima menit kemudian alarm itu kembali berdering, dan begitu seterusnya lantaran orang yang seng
Mengais untung yang tersisa dari serangkaian buntung yang menimpaSeperti; untung ada merekaEva tiba lebih dulu di sebuah ruangan privat sebuah restoran. Yessika Emma masuk dengan tenang dan duduk di depan Eva.Tidak ada yang memulai bicara sampai Eva mengakhiri kebisuan itu. “Maaf seharusnya saya yang minta ketemu Mbak Yessi lebih dulu. Saya tahu Mas Rizal membantahnya, tapi yang saya akui itu memang benar. Saya tidak pernah bermaksud merusak rumah tangga Mbak Yessi dan Mas Rizal, itu semua karena keserakahan saya. Saya menginginkan jalan pintas yang Mas Rizal tawarkan. Saya sangat malu berhadapan dengan Mbak sekarang.”“Saat suamiku menjanjikan kamu bisa bermain di filmnya dengan imbalan mau jadi selingkuhannya, aku penasaran apa kamu tidak memikirkan bagaimana perasaan istri dan anaknya di rumah?” Yessika menjawab dengan melempar pertanyaan serupa tamparan.Kepala Eva kian menunduk. “Saat itu yang saya pikirkan hanya diri sendiri,” akunya.&
Ketika nasehat dianggap sebagai penghambat, satu-satunya cara membuat orang itu sadar adalah dengan ditampar. Ketika dia sudah merasakan sakitnya, beri dia waktu untuk menangis, sebelum mengajaknya bangkitSebenarnya percuma saja Rizal mengelak kebenaran perselingkuhanya dengan Eva, sementara Eva sudah mengakuinya secara terbuka. Rizal menuduh Eva sebagai pembohong, sayangnya tidak ada yang percaya sebab dia tidak bisa membuktikan ucapannya sendiri. Itu hanya membuatnya makin tampak tidak tahu diri.Artikel lama mengenai dicoretnya nama Sharena Himawan digantikan dengan artis pendatang baru Evaria Dona juga kembali mencuat sebagai bukti lain perselingkuhan mereka.Jujur Saga hampir tidak punya bukti untuk membebaskan diri lantaran Rizal kekeh tidak ingin menyelesaikannya dengan mediasi. Dia berteriak kencang mengatakan dirinya juga dijebak. Maka pernyataan pelapor menjadi kunci sekarang. Apa yang ingin dia capai dengan melaporkan Eva dan Rizal melakukan kegia
Jika masih ada yang tersisa untuk diselamatkan, aku tidak keberatan mati sendirian"Apa yang akan kita lakukan, La? Seharusnya Eva yang dipenjara, bukan Kak Saga."Lala tidak mengabaikan kegusaran Erina setelah mengetahui rencana mereka gagal. Semua ini gara-gara Mira, Lala bersumpah akan memberinya pelajaran nanti. Meski Eva tidak bisa terjebak dalam tuduhan prostitusi, setidaknya reaksi media terhadap pengerebekan semalam lumayan menarik.Eva digambarkan memiliki hubungan dengan dua orang pria sekaligus, salah satunya pria beristri. Semua orang mencaci betapa rendahan seorang Evaria Dona yang selama ini mereka kenal sebagai selebritis kelas atas. Padahal ini akan lebih sempurna jika mereka melihat lebih banyak foto-foto telanjang Eva, jadi mereka ada gambaran Evaria lebih rendah dari yang mereka bayangkan."Katakan sesuatu, La. Eva dan Mas Rizal mungkin cuma akan jadi saksi, sementara Kak Saga jadi satu-satunya yang dipenjara."Lala
Jika aku hancur, aku harus hancur sendiriTentu saja Mira datang ke rumah Eva bukan tanpa alasan. Alasannya lebih dari sekadar tidak memiliki tempat tujuan lain, Mira masih punya dua teman yang mau ia repoti. Dan alasannya adalah Erina.Mira menghabiskan cukup banyak waktu untuk mencari-cari kesalahan Eva, salah satu yang getol Mira ingin ungkap adalah rumor hubungan gelap antara Eva dengan Rizal Chandra. Setiap kali Mira membicarakan itu, Erina akan mengiringnya ke pembicaraan lain. Seolah tak ingin tahu dan percaya bahwa itu sepenuhnya rumor palsu.Namun, saat terakhir kali Erina tiba-tiba mengajaknya bertemu, Erina mengaku memiliki bukti kebenaran rumor itu dan mengajak Mira untuk mengungkapnya. Tentu saja Mira bingung, setan jahat dari lembah mana yang telah merasuki jiwa suci Erina."Bukti yang kamu cari-cari itu dipegang Eva dan Rizal Chandra. Aku bisa mendapatkannya untukmu, bagaimana? Bukankah kamu mau balas dendam?""Kamu tahu
Masa depan itu suci, masa lalu tidak boleh mencemari. Apa pun yang terjadiSetelah 3 bulan terpaksa menjadi wanita simpanan Rizal yang harus siap kapanpun Rizal menginginkannya. Menginginkan tubuhnya, lebih tepatnya. Rizal menepati janjinya. Eva dipertemukan dengan orang-orang yang berwewenang mencari bakat dari Fame Entertainment, Eva menandatangani kontrak nyaris tanpa hambatan dan ia bisa langsung menjadi pemeran utama di film garapan Rizal.Ketika Eva mulai mendapatkan popularitasnya, Eva merasa sudah tidak membutuhkan Rizal lagi. Ia mengatakan ingin mengakhiri hubungan gelap mereka dan menjalin hubungan yang lebih mengarah ke profesional. Rizal tidak mau melepas Eva begitu saja, dengan liciknya dia melemparkan sejumlah foto Eva dalam keadaan telanjang yang diambil tanpa sepengetahuan Eva.“Selama kamu masih terasa manis, aku tidak akan membuangmu," ujar Rizal mengerikan. “Lagi-lagi keputusan ada di kamu. Kamu tetap menjadi es krim favoritku atau satu Ind
Kebahagiaan itu siang yang bertamu pada malam. Bagaimana pun dunia akan kembali dingin, gelap, dan kesepianSebagai 'anak' kesayangan Pak Ibra, Eva tidak memiliki kesulitan untuk memenangkan hatinya lagi. Pak Ibra masih menyesalkan keputusan Eva meninggalkan Fame dan berkata Eva bisa kembali kapan saja.Erina juga ikut dalam makan malam mereka, dan bahkan bersama Pak Ibra, mereka bertiga sudah mengambil foto bersama. Erina mempertahankan citra suci dengan menolak ketika ditawari wine, dia mengaku belum pernah minum minuman beralkohol seumur hidup. Sontak saja Pak Ibra menertawakan kepolosan Erina. Pak Ibra membandingkan Erina dengan Eva dulu yang tampak sudah akrab dengan minuman memabukkan itu.Ya, terima kasih pada Rizal yang mencekokibya berbagai macam minuman jenis itu.Seperti pesan Saga, Eva tidak minum terlalu banyak. Kesadarannya ia jaga penuh untuk bertemu dengan Saga setelah ini.Eva berlari kecil menuju mobil Saga terparkir.
Bercerita artinya bukan mengumumkan kelemahan, melainkan berbagi kekuatanPagi ini barangkali menjadi pagi terbaik sepanjang hidup Evaria. Semalam ia bisa tidur lelap meski tanpa alkohol atau obat. Pertama kali yang dilakukannya begitu membuka mata adalah melihat fotonya bersama Saga di depan patung ikon Fantasiland.Rasanya apa yang mereka lakukan semalam masih seperti mimpi, foto ini menjadi satu-satunya bukti bahwa itu nyata. Sensasi bahagia ini, masihkah akan berlanjut hari ini dan esok?Sejenak Eva lupa akan kecemasan dan segala permasalahannya, kemudian Eva mengingatkan diri lagi bahwa ia tidak boleh terlena.“Ada yang asli di belakangmu, kenapa nggak berbalik dan lihat langsung?” bisik Saga disambung dengan kecupan-kecupan kecil di sepanjang tengkuk hingga belakang cuping telinga Eva.Eva menggeliat kegelian, membalikkan badannya hanya agar Saga berhenti menciuminya. Kenyataannya, Saga belum mau berhenti. Ia beralih menciumi rah
Jika sudah tahu tak ada yang melindungimu, bangun sendiri benteng pertahananmuEva tidak tahu berapa lama ia menangis, ketika akhirnya ia bisa menenangkan diri, langit yang semula masih terang kini meredup. Parkiran pun sudah nyaris kosong. Saga belum juga kembali, padahal Eva sudah berjaga-jaga mengunci pintu agar Saga tidak masuk dulu, sampai Eva siap.Eva terpaksa keluar, celingukan ke segala arah mencari keberadaan Saga.“Mbak Evaria?” Seseorang berseragam Fantasiland mendekati Eva. “Mari, Mbak. Sudah ditunggu Mas Saga di dalam.”“Di dalam mana?” Petugas itu hanya tersenyum dan membimbing Eva sampai melewati pintu masuk Fantasiland.