Komentar panjang lebar di akun gosip tidak membuatmu tampak pintar, karena orang pintar tahu dimana dia harus berkomentar
Eva dan Saga SMA di sekolah yang sama. Eva selalu mengekori Saga ke mana-mana karena Saga remaja mudah marah saat digoda. Tetapi Saga tidak pernah benar-benar mau mengakui Eva sebagai temannya. Sampai ketika mereka duduk di kelas 12, Saga yang saat itu terpaksa satu kelompok dengan Eva, mengerjakan tugas di rumah Eva. Itulah kali pertama Saga bertemu dengan Erina.
Erina adalah gadis yang manis. Kulitnya putih bersih, sejak kecil rambutnya sudah terawat, tumbuh lurus, hitam dan berkilauan di bawah sinar matahari. Beda dengan Eva yang rambut aslinya cenderung bergelombang dan mengembang. Apalagi Erina murah senyum dan malu-malu lucu saat diajak bicara orang baru.
“Kak, disuruh Mama ajak temannya makan.” Erina membuka sedikit pintu kamar Eva, celahnya hanya cukup untuk menyembulkan kepalanya saja.
“Mama masak apa?” Tanya Eva.
“Ada rendang ayam sama nggak tahu apa lagi.”
“Oke, kita turun sebentar lagi.”
Sebelum pergi Erina sempat membalas tatapan Saga dan memberinya senyum manis. “Dia adik kamu?”
“Iya.”
“Kok nggak mirip?”
“Cantikan aku, ya?”
“Iya kalau dilihat sambil terjun payung.”
Eva menendang kaki Saga sebal. “Mau ikut makan, nggak?”
“Dia juga ikut?” Tanya Saga antusias.
Eva memutar bola mata malas. “Ya iya lah. Dia baru pulang sekolah.” Dan setelahnya Saga langsung melompat bangun, tanpa sungkan ikut makan di meja makan keluarga Eva.
Sejak saat itu Saga tidak pernah menjauhi Eva lagi, di beberapa kesempatan Saga akan bertanya tentang Erina. Pertemanan Eva dan Saga makin akrab, Saga sering menawarkan diri mengantarnya pulang. Tiap ada tugas kelompok, Saga pasti menyarankan mengerjakannya di rumah Eva, alasannya rumah Eva paling dekat dengan sekolah. Lama-lama sikap Saga membuat Eva berpikir, mungkinkah Saga diam-diam menyukainya. Eva pun menunggu dalam harap saat dimana Saga akan datang untuk menyatakan perasaannya.
Suatu waktu Saga pernah mentraktir Eva burger dobel keju kesukaan Eva. Inikah saat-saat yang ditunggunya itu? Eva sangat gugup hingga tidak tahu apa yang harus dilakukan.
“Tumben,” komentar Eva, lebih karena tidak punya topik keren untuk mengalihkan rasa gugupnya. Ia menerima burger pemberian Saga dan melahapnya dengan satu gigitan besar.
Saga duduk di sebelahnya dengan santai, suasana hatinya tampaknya sedang sangat baik. “Itu sogokan.”
“Hah?” Eva bertanya-tanya dengan mulut penuh burger yang belum terkunyah halus.
“Aku sepertinya suka sama adikmu. Bantu aku mendekati dia, ya?"
Sejak saat itu hingga detik ini Eva tidak pernah lagi makan buger, ia tiba-tiba begitu membenci makanan itu.
Eva tidak tahu bagaimana mulanya, tahu-tahu Saga dan Erina memiliki nomor masing-masing dan saling berkirim pesan singkat layaknya pasangan remaja sedang pendekatan.
Erina terlihat bahagia meski harus menyembunyikan kedekatan istimewanya dengan Saga dari orang tua. Saat itu Erina baru kelas 9. Eva tidak punya alasan menentang, perasaan sepihaknya sama sekali tidak penting dibandingkan kebahagiaan mereka berdua. Saga pemuda yang baik dan selalu menatap Erina dengan kagum, bahkan saat Erina tidak sedang melakukan apa-apa. Dan semenjak dekat dengan Saga, Erina jadi lebih bersemangat. Dia mulai aktif mengikuti kegiatan sekolah dan rajin belajar karena ingin terlihat baik di mata Saga.
***
Saat Prita bilang ingin mengusahakan mediasi, Eva tahu Prita tidak benar-benar akan melakukannya. Sama seperti Eva, Prita bukan orang yang akan mengakui kekalahan dengan mudah, dan membuat mereka terlihat seperti lawan yang lemah.
Meski Eva masih menolak menemui media, sebagai perwakilan Eva, Prita merilis video CCTV yang terpasang di rumah tetangga Eva yang menyorot ke jalan. Video itu menampilkan Eva menyelipkan uang ke saku jaket si kurir lantaran kedua tangan kurir itu memegang keranjang bunga, sebelum Eva masuk dan menutup pagar. Saat kurir itu berbalik, uang yang memang tidak sepenuhnya masuk kantong jatuh dan berhamburan di aspal.
Setidaknya video itu bisa membantah keterangan bahwa Eva melemparkan uang dan sikapnya masih cukup wajar. Si kurir juga ikut dalam konferensi pers itu, ia meminta maaf secara terbuka dan mengakui bahwa apa yang dia posting atas perintah orang lain. Berkat pesan terhapus yang berhasil dipulihkan oleh orang suruhan Prita, kurir itu bisa membuktikan ucapannya. Prita melanjutkan bahwa nomor pengirim pesan itu adalah nomor ponsel Mira.
“Kami memaklumi keluguan Pak Syarif dan Evaria menganggap masalah itu sudah selesai. Evaria memaafkan Pak Syarif dengan sepenuh hati. Dan di sini saya akan tegaskan juga kalau yang menyerang dan memulai perkelahian itu bukan Evaria, pelapor lah yang lebih dulu menyerang Evaria. Jadi saya tegaskan, bahwa benar ada perkelahian, tapi sangat salah jika itu disebut penganiayaan. Yang Eva lakukan semata-mata untuk membela diri. Perlu diketahui juga bahwa Evaria juga mengalami luka-luka, kami sudah menyerahkan semua bukti yang kami punya ke pihak kepolisian.
"Perlu diketahui juga, di beberapa kesempatan pelapor yang kita tahu adalah jurnalis itu kerap melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya menggiring opini publik ke arah tidak benar. Mohon teman-teman media untuk objektif dalam melihat masalah ini, jika satu orang terlibat dalam beberapa isu berbeda, sudah jelas ini merupakan tindakan terencana untuk upaya merusak reputasi dan nama baik Evaria Dona.”
Eva sempat berdebat dengan Prita lantaran tak mau melaporkan balik Mira atau minimal melaporkan atas gugatan pencemaran nama baik. Sekarang keadaan jauh lebih baik karena warganet tidak lagi menyerang Eva dengan komentar-komentar jahat, kebanyakan marah karena berhasil dipermainkan oleh Mira yang dinilai hanya ingin panjat sosial, sementara sisanya mengasihani Eva.
Mereka bisa memaklumi pertengkaran itu terjadi lantaran siapa pun akan marah jika difitnah. Eva meminta Prita untuk memastikan fokus pemberitaan bukan hanya tentang Evaria difitnah, tetapi juga bagaimana Mira mempermalukan profesi jurnalis Indonesia.
Entah di mana pun Saga berada, Eva harap dia melihat ini. Eva bisa bangkit, meski tanpa menerima uluran tangan Erina.
“Mbak, semua sudah siap,” Lala memberitahu.
Eva menghadap ke cermin lagi, memastikan penampilannya. “Sudah terlihat natural, kan?”
“Kalau dibanding make up Mbak Ev biasanya, ini sudah sangat natural.” Eva menyetujui jawaban Lala. Ia menyukai gaya riasan yang bisa memberi kesan tajam di matanya, dan ia biasanya cenderung memakai lipstik berwarna. Eva pernah muncul dengan riasan minim ala Korea, orang-orang mengatakan ia seperti bukan Evaria Dona. Sejenak Eva menanggalkan baju-baju glamornya dan hanya memakai kaos putih polos.
Di salah satu sudut rumahnya sudah ada tripod dengan kamera menyala dan Prita sedang mengatur latar belakang, sengaja menata bantal sofa berantakan agar lebih terasa nuansa rumahan.
“Ingat yang harus kamu katakan? Jangan perlihatkan kebencianmu, cobalah saat bicara nanti sambil tersenyum bersahaja. Katakan kalau selama ini hubungan kamu dengan adik tirimu baik-baik saja. Jangan buat ini jadi masalah keluarga, kamu bisa membunuh Erina nanti. Tapi sekarang habisi Mira dulu,” ujar Prita saat Eva duduk di kursi yang sudah disediakan. “La, tisu, La.”
Lala mengambil kotak tisu di dekatnya dan menarik beberapa lembar untuk Prita. “Harusnya nggak usah pakai lipstik.” Prita menghapus lipstik warna paling natural yang Eva miliki sambil mendecakkan lidah, “sudah dibilang jangan make up sama sekali, mata panda kamu harusnya diperlihatkan."
“Aku nggak mau terlihat seperti orang sakit keras.” Eva mengelak saat tisu Prita akan diarahkan ke sekitar pipinya, hendak menghapus perona pipi yang Eva sapukan sangat tipis di pipinya.
“Kamu harus terlihat seperti orang banyak pikiran.”
“Tidak, aku harus memberi kesan optimis kalau sejak awal aku nggak salah.”
Ada benarnya juga, Prita pun mengalah. Ia menuju belakang kamera di mana Lala sudah bersiap di sana, Prita memastikan wajah Eva di layar sudah sesuai dengan yang diharapkan.
“Akan sempurna kalau bibirnya kering, matanya merah, dan kantung matanya tebal,” komentar Lala.
“Iya, kan?” Mengingat Eva sangat keras kepala, Prita tidak bisa berbuat apa-apa. Kemudian Prita mulai menghitung mundur.
“Halo, semua. Gimana? Puas maki-maki aku?”
“Cut! Cut!” teriak Prita menyilangkan tangan membentuk huruf X di depan dada. “Serius, dong, Va!”
Lampu yang berkedip menandakan rekaman masih berjalan. “Kalian ini gampang sekali terpengaruh ya, ada isu kecil, ramai-ramai kalian menggorengnya. Belum lama kalian puji-puji aku, eh besoknya caci maki. Terus sekarang jadi motivator dadakan yang menyuruh aku kuat."
Prita mengomel-omel menyuruh Eva berhenti sementara Lala tertawa-tawa, mendukung tingkah Eva.
“Mira, aku penasaran apa yang ingin kamu dapatkan dari ikut campur masalah orang lain? Hal buruk apa saja yang Erina ceritakan tentang aku sampai kamu mau-maunya mempertaruhkan diri demi dia? Aku kira Lala adalah orang terbodoh di dunia, tapi ternyata kamu jauh lebih parah dari dia.”
“Kok aku dibawa-bawa?!”
“Heh, Evaria!”
“Dan buat malaikat Erina, kamu pasti senang punya orang-orang yang rela pasang badan untuk kamu. Kamu tahu, itulah kesalahan terbesarmu. Berhenti pura-pura lemah, kamu sangat mengerikan karena bisa menghancurkan keluargaku."
Mengatur napas dalam diam beberapa menit, perlahan-lahan bara di mata Eva meredup. Akhirnya Eva berhasil mengendalikan dirinya. Eva menatap kamera lagi dan membuat video klarifikasi dengan benar kali ini.
Padahal hanya begitu saja, Eva merasakan sedikit ganjalan di dadanya terangkat.
***
"Semakin tinggi pohon bukan cuma semakin kencang angin yang menerpa, tapi juga makin banyak orang yang ingin memanjat numpang tenar. Yang kuat ya, Evaria."
"Yang fitnah kurang profesional nih, masa cepat sekali ketahuannya."
"Hayooo yang sampai kemarin masih hujat Evaria, selamat menjilat ludah sendiri."
"Semangat, Eva, kami semua mendukungmu."
Bagian paling mengesalkan adalah Eva harus mengakui ia membutuhkan dukungan warganet meski sebenarnya ia sangat muak dengan kemunafikan mereka. Berlagak mendukung isu kesehatan mental, tapi tetap merundung seseorang meski beritanya baru sebatas rumor yang belum terkonfirmasi. Hal sesepele pilihan gaya berpakaian, bentuk badan, dan bahkan jerawat di wajah yang sesungguhnya tidak dikehendaki pun mereka komentari.
Eva sering menemukan komentar, 'kalau mau jadi artis harus siap dikritik'.
Artis bukan sasaran halal kritik, warganet bukan hakim yang bebas mengkritik. Artis juga manusia, keterlaluan jika ada yang menuntut dia untuk jadi sempurna tanpa cela.
Tidak semua orang memiliki mental kuat, ada orang-orang yang bisa langsung jatuh mentalnya hanya dengan kalimat singkat, 'ah, begitu saja baper'. Dan ada juga yang entah mentalnya terbuat dari apa, justru bisa 'cari makan' dari sana.
Yang Eva heran, apa mereka tidak sadar keributan yang mereka ciptakan tidak memberi mereka manfaat apa-apa? Keributan itu hanya akan membuat yang sengaja mencari sensasi tercapai tujuannya, dan yang mengharapkan damai dihantui kecemasan dalam bertindak karena merasa banyak mata yang mengawasi dan siap mencari-cari kesalahannya untuk dicaci.
Menjadi seorang Evaria Dona, Eva harus bisa menempatkan dirinya di tengah-tengah. Ia tidak boleh terlalu 'bodo amat' yang akhirnya membuat warganet selalu memiliki stok bahan nyinyiran, tapi juga tidak boleh terlalu dibawa perasaan yang membuatnya menjadi tidak percaya diri.
Rasa-rasanya itu formula yang bisa diterapkan setiap orang, mau dia tokoh publik atau bukan, agar jangan membiarkan hidup kita dikendalikan oleh komentar orang lain. Jika komentar itu dirasa benar dan masuk akal, perbaiki diri. Jika komentar itu tak berdasar, keluarkan lagi lewat telinga kiri.
"Mira belum mengeluarkan pernyataan lagi, La?" tanya Eva pada Lala yang selalu memantau aktivitas jagad maya.
"Dia nggak bisa bantah apa-apa soal Pak Syarif, tapi dia masih bersikeras kalau Mbak Ev memang menganiaya dia."
Eva berdecih. "Jadi dia masih belum akan menyerah?"
"Mungkin karena sudah terlanjur tercebur, jadi sekalian basahnya."
"Benar-benar gigih."
Meski akan merepotkan berurusan dengan hukum, tidak masalah karena pada akhirnya Eva akan tetap menang di pengadilan. Bukankah Eva sudah bilang, Mira akan jatuh di lubang yang dibuatnya sendiri.
Untuk menang, kita butuh lawanEvaria Dona masih menjadi orang yang paling diburu media, mereka berlomba-lomba ingin mendapatkan sesi wawancara eksklusif dengannya. Tapi Eva menolak semua tawaran itu. Ia ingin mempertahankan citra elegan. Minim bicara, langsung tunjukkan dengan bukti tak terbantah.Eva menjadi tamu kehormatan acara peresmian sebuah galeri seni, ia bersama beberapa tokoh penting lain dipercaya memotong pita. Tentu ini sebuah kehormatan tinggi bagi Eva bisa berdiri sejajar dengan tokoh-tokoh tersebut. Nama baiknya bisa pulih lebih cepat dari yang ia kira sebelumnya.Eva berdiri di depan sebuah lukisan berukuran besar. Eva tidak mengerti letak seninya dimana, di matanya itu hanya gambar perempuan nyaris telanjang berkulit pucat dengan latar biru tua dan percikan cat tak beraturan warna kuning, merah, hitam. Ujung-ujung jari perempuan di lukisan itu berdarah-darah, namun tak ada sorot kesakitan di matanya. Entah mengapa Eva jadi
“Ya ampun, kasihan sekali.”Sambil menyetir Saga melirik ke arah yang dilihat Erina. Seorang anak Ibu-ibu sedang mengamen sambil menggendong anak balita dan diusir oleh pengemudi mobil di depan. Erina menurunkan kaca jendela, memanggil Ibu itu untuk diberi uang.“Terima kasih, Mbak. Semoga Tuhan membalas kebaikan Mbak.” Ujar pengamen itu setelah diberi uang.“Orang-orang kok tega ya, padahal diberi 2 ribu saja pengamen itu pasti sudah senang,” decak Erina seolah tak habks pikir usai kaca jendela kembali terangkat.“Mungkin dia merasa pengamen itu masih muda dan sehat, seharusnya dia bisa cari pekerjaan lain.” Jawab Saga memberi perspektif lain.“Kalau memang ada pekerjaan, dia tidak akan memilih turun ke jalanan sambil membawa anaknya. Lagi pula, dia tidak mengemis, dia mengamen.”Jika di samping Saga ini adalah Eva, Eva akan mengatakan sebaliknya. “Aku masih akan memaklumi ya, kalau itu pedangang tisu atau jepi
Orang percaya diri percaya bahwa dirinya sendiri bisa dipercayaSidang berakhir tak terduga bahkan oleh Eva sendiri. Semua orang terkejut saat Erina mengubah keterangannya selama pemeriksaan, hakim sampai mengingatkan konsekuensi jika kesaksian Erina di persidangan adalah palsu.Dengan yakin Erina berdalih bahwa saat itu ia bingung dan tidak tahu apa yang benar-benar terjadi sedangkan Mira terus menekannya untuk menyembunyikan rekaman CCTV itu, sehingga Erina terpaksa menuruti apa kata Mira dan berbohong pada penyidik bahwa kamera CCTV di tokonya hanya pajangan.Erina menyerahkan rekaman CCTV itu untuk mendukung kesaksiannya kali ini bahwa Mira lah yang menyerang Eva lebih dulu, sekaligus mematahkan tudingan bahwa hubungannya dengan Eva buruk. Mira menjadi orang yang paling kaget, itu adalah pemandangan terbaik sejauh ini di mata Eva.Mira tidak memiliki apa-apa lagi sekarang untuk membela diri, satu-satunya s
Saling mengenal, belum tentu saling memahami. Di saat kita merasa sudah cukup mengenal, sesungguhnya kita baru memutuskan berhenti mengenal"Jangan keluar, Rin. Malam ini akan turun hujan.”“Itu kan cuma perkiraan, Papa. Bisa saja meleset." Jawab Erina sembari mengikat tali sepatunya. “Aku sudah terlanjur beli tiket, kan sayang kalau nggak jadi.”“Tidak apa-apa, itu uang nggak seberapa. Nanti Papa ganti."“Jangan begitu, Pa. Uang tidak seberapa itu hasil keringat Papa.” Eva memprotes jawaban Papanya. Sejak ia tahu bagaimana susahnya mengumpulkan uang, Eva makin menghargai tiap rupiah yang ia miliki.Papa menghela nafas karena tidak berhasil menahan Erina pergi ke konser musik yang diadakan di lapangan terbuka. “Nanti pulang sebelum jam 9.” Pesan Papa.“Yah, jam segitu konsernya baru dimulai.”“Erina."“Papa tenang saja, aku sama teman-teman kok. Nanti ada temanku yang mengantar pulang sebelum jam 12. Oke? Dadah Papa, Dadak
Siapapun bisa dan layak memberi dan diberi kesempatan ke dua. Meski itu dari Sampah untuk Sampah lainHanya butuh waktu tiga hari bagi Lala untuk mendapatkan informasi tentang Mira seperti yang Eva minta. Entah bagaimana gadis itu melakukannya. Eva sedang melihat foto-foto yang diperoleh Lala, sembari mendengarkan penjelasan Lala."Seperti yang Mbak Ev lihat, sekarang dia bantu-bantu di kedai milik tantenya, sebelumnya dia bantu-bantu di tokonya Erina, tapi sejak hari sidang itu sudah tidak lagi. Sudah pasti Mira merasa dikhianati.""Bagaimana dia bisa bayar pengacara?" Sebelumnya Lala mengatakan Mira bukan berasal dari keluarga kaya. Ibunya jadi TKW ke luar negeri dan tidak ada kabarnya hingga sekarang, sementara Ayahnya menikah lagi dengan janda kaya tapi keluarga baru ayahnya tidak mau menerimanya. Mira kemudian dirawat oleh keluarga Kakak ibunya, Mira bisa kuliah setelah menuntut tanggungjawab ayahnya yang selama belasan tahun tidak memberi nafkah. Setelah jadi
Hidup itu seperti perjudian. Kita harus bertaruh untuk mendapatkan. Jika salah perhitungan, kamu bahkan tidak diberi waktu bersiap-siap kehilanganSaga baru saja menutup restoran dan naik ke ruang pribadinya, ia menemukan Eva sudah bergelung di bawah Selimut di atas tempat ridur. Eva datang tanpa pemberitahuan tiga jam lalu saat Saga sedang sibuk-sibuknya di restoran, sehingga Saga baru bisa menemuinya sekarang.Saga membiarkan Eva selagi dirinya membersihkan diri di kamar mandi, sebelum kemudian bergabung dengan Eva berbaring di atas tempat tidur. Saga memandangi belakang tubuh Eva yang berbaring miring membelakanginya. "Sudah tidur, Va?" Saga ingat Eva memiliki gangguan tidur."Hmm.""Kalau belum ayo ngobrol sebentar.""Aku ngantuk.""Kalau cuma numpang tidur, kenapa ke sini?""Hmm."Semakin Saga berusaha memahami Eva, semakin Saga sadar tidak banyak yang ia tahu tentangnya. Eva selalu menutup diri, meny
Lucunya, masih ada saja orang yang merasa kehilangan sesuatu padahal tidak pernah memiliki itu.Prita menerobos masuk ke kamar Eva saat Eva masih belum puas memaki diri sendiri.Bodoh, bodoh, bodoh.“Kamu nggak bisa melarikan diri dan mengakhiri diskusi kita dengan kamu marah, Va.” Prita duduk dengan tenang di tepi tempat tidur. “Kita selesaikan sekarang, agar kita bisa kerja lagi dengan nyaman."Eva yang sedang duduk di depan meja rias memutar kursinya menghadap Prita. “Apa yang harus aku lakukan agar Mbak Prita mau membantuku membatalkan gugatan ke Mira.” Eva sudah terlanjur janji pada Mira. Hanya karena dikhianati bertubi oleh Erina dan Eva, Eva tidak ingin Mira kehilangan kepercayaannya terhadap orang lain, dan berakhir menjadi seperti dirinya.“Beri aku satu alasan jelas dan masuk akal kenapa kita harus melakukannya.”“Mira nggak sepenuhnya salah, Mbak. Dia punya alasan kenapa sampai nekat bertindak sejauh ini.” Eva kemudian
Begitu mudahnya orang kecewa karena harapan tak tercapai dan kepercayaan yang dikhianati. Tapi selalu saja mereka menjebak diri di pola yang sama"Pagi."Kening Eva mengernyit, memastikan pengelihatannya saat ini. Tekstur wajah Saga terlalu nyata untuk disebut sebagai 'sisa mimpi semalam'."Apa apa? Kamu melihatku seperti sedang melihat hantu." Senyum Saga mengembang menimbulkan rasa gelisah. Lelaki itu sudah berpakaian dan wajahnya sudah tampak segar."Kenapa kamu masih di sini?""Apa seharusnya aku nggak di sini?""Ini diluar kebiasaanmu. Aku nggak pernah melihat kamu setiap bangun, meskipun kita tidur di kamarmu."Lelaki itu tersenyum lagi, seolah harinya dipastikan akan penuh keberuntungan. "Kalau begitu, mulai sekarang aku akan menunggumu bangun sebelum pergi lagi.""Kamu membuat ucapanmu terdengar seperti janji." Eva tersenyum mencemooh."Kamu bisa menganggapnya seb
Tidak ada akhir bahagia sebab kebahagiaan tidak seharusnya berakhirBali selalu menjadi tempat pelarian terbaik, persis seperti yang selama ini digambarkan di film-film atau buku, dimana tokoh utama akan menjadikan tempat itu sebagai tempat rehat.Bali memiliki semuanya. Sinar matahari, pantai, gunung, udara sejuk, makanan lezat, filosofi hidup yang melekat pada masyarakatnya, dan tentu saja penerimaan.Dibantu seorang kenalan, Eva menemukan sebuah villa kecil yang terletak di Bali bagian timur yang memiliki udara sejuk. Butuh waktu penyesuaian cukup lama bagi Eva untuk kembali percaya diri berbaur dengan masyarakat. Ia takut mendapat penghakiman, atau parahnya dikucilkan. Namun seseorang meyakinkan Eva bahwa ia di sini bukan untuk mengasingkan diri, melainkan menata kehidupan baru.Suara alarm jam dibiarkan Eva berdering-dering sampai berhenti sendiri, lima menit kemudian alarm itu kembali berdering, dan begitu seterusnya lantaran orang yang seng
Mengais untung yang tersisa dari serangkaian buntung yang menimpaSeperti; untung ada merekaEva tiba lebih dulu di sebuah ruangan privat sebuah restoran. Yessika Emma masuk dengan tenang dan duduk di depan Eva.Tidak ada yang memulai bicara sampai Eva mengakhiri kebisuan itu. “Maaf seharusnya saya yang minta ketemu Mbak Yessi lebih dulu. Saya tahu Mas Rizal membantahnya, tapi yang saya akui itu memang benar. Saya tidak pernah bermaksud merusak rumah tangga Mbak Yessi dan Mas Rizal, itu semua karena keserakahan saya. Saya menginginkan jalan pintas yang Mas Rizal tawarkan. Saya sangat malu berhadapan dengan Mbak sekarang.”“Saat suamiku menjanjikan kamu bisa bermain di filmnya dengan imbalan mau jadi selingkuhannya, aku penasaran apa kamu tidak memikirkan bagaimana perasaan istri dan anaknya di rumah?” Yessika menjawab dengan melempar pertanyaan serupa tamparan.Kepala Eva kian menunduk. “Saat itu yang saya pikirkan hanya diri sendiri,” akunya.&
Ketika nasehat dianggap sebagai penghambat, satu-satunya cara membuat orang itu sadar adalah dengan ditampar. Ketika dia sudah merasakan sakitnya, beri dia waktu untuk menangis, sebelum mengajaknya bangkitSebenarnya percuma saja Rizal mengelak kebenaran perselingkuhanya dengan Eva, sementara Eva sudah mengakuinya secara terbuka. Rizal menuduh Eva sebagai pembohong, sayangnya tidak ada yang percaya sebab dia tidak bisa membuktikan ucapannya sendiri. Itu hanya membuatnya makin tampak tidak tahu diri.Artikel lama mengenai dicoretnya nama Sharena Himawan digantikan dengan artis pendatang baru Evaria Dona juga kembali mencuat sebagai bukti lain perselingkuhan mereka.Jujur Saga hampir tidak punya bukti untuk membebaskan diri lantaran Rizal kekeh tidak ingin menyelesaikannya dengan mediasi. Dia berteriak kencang mengatakan dirinya juga dijebak. Maka pernyataan pelapor menjadi kunci sekarang. Apa yang ingin dia capai dengan melaporkan Eva dan Rizal melakukan kegia
Jika masih ada yang tersisa untuk diselamatkan, aku tidak keberatan mati sendirian"Apa yang akan kita lakukan, La? Seharusnya Eva yang dipenjara, bukan Kak Saga."Lala tidak mengabaikan kegusaran Erina setelah mengetahui rencana mereka gagal. Semua ini gara-gara Mira, Lala bersumpah akan memberinya pelajaran nanti. Meski Eva tidak bisa terjebak dalam tuduhan prostitusi, setidaknya reaksi media terhadap pengerebekan semalam lumayan menarik.Eva digambarkan memiliki hubungan dengan dua orang pria sekaligus, salah satunya pria beristri. Semua orang mencaci betapa rendahan seorang Evaria Dona yang selama ini mereka kenal sebagai selebritis kelas atas. Padahal ini akan lebih sempurna jika mereka melihat lebih banyak foto-foto telanjang Eva, jadi mereka ada gambaran Evaria lebih rendah dari yang mereka bayangkan."Katakan sesuatu, La. Eva dan Mas Rizal mungkin cuma akan jadi saksi, sementara Kak Saga jadi satu-satunya yang dipenjara."Lala
Jika aku hancur, aku harus hancur sendiriTentu saja Mira datang ke rumah Eva bukan tanpa alasan. Alasannya lebih dari sekadar tidak memiliki tempat tujuan lain, Mira masih punya dua teman yang mau ia repoti. Dan alasannya adalah Erina.Mira menghabiskan cukup banyak waktu untuk mencari-cari kesalahan Eva, salah satu yang getol Mira ingin ungkap adalah rumor hubungan gelap antara Eva dengan Rizal Chandra. Setiap kali Mira membicarakan itu, Erina akan mengiringnya ke pembicaraan lain. Seolah tak ingin tahu dan percaya bahwa itu sepenuhnya rumor palsu.Namun, saat terakhir kali Erina tiba-tiba mengajaknya bertemu, Erina mengaku memiliki bukti kebenaran rumor itu dan mengajak Mira untuk mengungkapnya. Tentu saja Mira bingung, setan jahat dari lembah mana yang telah merasuki jiwa suci Erina."Bukti yang kamu cari-cari itu dipegang Eva dan Rizal Chandra. Aku bisa mendapatkannya untukmu, bagaimana? Bukankah kamu mau balas dendam?""Kamu tahu
Masa depan itu suci, masa lalu tidak boleh mencemari. Apa pun yang terjadiSetelah 3 bulan terpaksa menjadi wanita simpanan Rizal yang harus siap kapanpun Rizal menginginkannya. Menginginkan tubuhnya, lebih tepatnya. Rizal menepati janjinya. Eva dipertemukan dengan orang-orang yang berwewenang mencari bakat dari Fame Entertainment, Eva menandatangani kontrak nyaris tanpa hambatan dan ia bisa langsung menjadi pemeran utama di film garapan Rizal.Ketika Eva mulai mendapatkan popularitasnya, Eva merasa sudah tidak membutuhkan Rizal lagi. Ia mengatakan ingin mengakhiri hubungan gelap mereka dan menjalin hubungan yang lebih mengarah ke profesional. Rizal tidak mau melepas Eva begitu saja, dengan liciknya dia melemparkan sejumlah foto Eva dalam keadaan telanjang yang diambil tanpa sepengetahuan Eva.“Selama kamu masih terasa manis, aku tidak akan membuangmu," ujar Rizal mengerikan. “Lagi-lagi keputusan ada di kamu. Kamu tetap menjadi es krim favoritku atau satu Ind
Kebahagiaan itu siang yang bertamu pada malam. Bagaimana pun dunia akan kembali dingin, gelap, dan kesepianSebagai 'anak' kesayangan Pak Ibra, Eva tidak memiliki kesulitan untuk memenangkan hatinya lagi. Pak Ibra masih menyesalkan keputusan Eva meninggalkan Fame dan berkata Eva bisa kembali kapan saja.Erina juga ikut dalam makan malam mereka, dan bahkan bersama Pak Ibra, mereka bertiga sudah mengambil foto bersama. Erina mempertahankan citra suci dengan menolak ketika ditawari wine, dia mengaku belum pernah minum minuman beralkohol seumur hidup. Sontak saja Pak Ibra menertawakan kepolosan Erina. Pak Ibra membandingkan Erina dengan Eva dulu yang tampak sudah akrab dengan minuman memabukkan itu.Ya, terima kasih pada Rizal yang mencekokibya berbagai macam minuman jenis itu.Seperti pesan Saga, Eva tidak minum terlalu banyak. Kesadarannya ia jaga penuh untuk bertemu dengan Saga setelah ini.Eva berlari kecil menuju mobil Saga terparkir.
Bercerita artinya bukan mengumumkan kelemahan, melainkan berbagi kekuatanPagi ini barangkali menjadi pagi terbaik sepanjang hidup Evaria. Semalam ia bisa tidur lelap meski tanpa alkohol atau obat. Pertama kali yang dilakukannya begitu membuka mata adalah melihat fotonya bersama Saga di depan patung ikon Fantasiland.Rasanya apa yang mereka lakukan semalam masih seperti mimpi, foto ini menjadi satu-satunya bukti bahwa itu nyata. Sensasi bahagia ini, masihkah akan berlanjut hari ini dan esok?Sejenak Eva lupa akan kecemasan dan segala permasalahannya, kemudian Eva mengingatkan diri lagi bahwa ia tidak boleh terlena.“Ada yang asli di belakangmu, kenapa nggak berbalik dan lihat langsung?” bisik Saga disambung dengan kecupan-kecupan kecil di sepanjang tengkuk hingga belakang cuping telinga Eva.Eva menggeliat kegelian, membalikkan badannya hanya agar Saga berhenti menciuminya. Kenyataannya, Saga belum mau berhenti. Ia beralih menciumi rah
Jika sudah tahu tak ada yang melindungimu, bangun sendiri benteng pertahananmuEva tidak tahu berapa lama ia menangis, ketika akhirnya ia bisa menenangkan diri, langit yang semula masih terang kini meredup. Parkiran pun sudah nyaris kosong. Saga belum juga kembali, padahal Eva sudah berjaga-jaga mengunci pintu agar Saga tidak masuk dulu, sampai Eva siap.Eva terpaksa keluar, celingukan ke segala arah mencari keberadaan Saga.“Mbak Evaria?” Seseorang berseragam Fantasiland mendekati Eva. “Mari, Mbak. Sudah ditunggu Mas Saga di dalam.”“Di dalam mana?” Petugas itu hanya tersenyum dan membimbing Eva sampai melewati pintu masuk Fantasiland.