Seperti hari-hari biasanya, Amel selalu datang ke rumahku tiap kali pulang sekolah. Tak ada hal lain yang dia lakukan, selain menumpang makan dan internet yang ada di rumahku.
Katanya sih, di rumah Amel tak ada sambungan internet, sehingga dia lebih sering berada di rumahku.
"Mel, Tante boleh ngomong sesuatu, gak?"
"Apa, Tante?"
Amel yang tengah bermain ponsel, hanya menjawabku tanpa mengalihkan sedikitpun pandangannya dari benda pipih tersebut.
"Jangan sering-sering ke sini, ya. Tante, gak enak sama tetangga, mereka sering membicarakan kalian."
"Biarin ajalah, Tante. Lagian Amel ke sini juga bukan buat maksiat, tapi mengerjakan tugas!"
"Kamu yakin, Amel?"
Sontak, Amel mendongak, menyoroti kedua netraku lekat.
"Tentu saja, Tante. Memangnya Tante pernah melihat aku aneh-aneh sama Panji?"
"Tidak."
Aku menghela napas panjang, lalu bergegas pergi dari hadapan Amel. Kadang aku merasa muak pada anak tersebut, karena tiap kali dinasehati selalu saja menjawab dengan seenaknya.
Lagipula, jawaban anak gadis itu cukup lucu! Hampir saja tawaku pecah, tetapi untungnya aku masih bisa menahan diri, bahaya kalau tak bisa.
***
"Panji!" sahutku seraya menghampiri anakku yang baru keluar dari kamarnya, habis berganti pakaian.
"Ada apa, Bu?"
"Jangan sering-sering bawa Amel ke rumah, ya!"
Panji tak langsung menjawab, melainkan malah menunduk seraya menggaruk tengkuknya.
Karena penasaran, aku pun justru memiringkan wajah, berusaha membaca eskpresi wajah yang Panji perlihatkan.
"Sebenarnya aku sudah bilang pada Amel, Bu. Tetapi ...."
"Apa?" tanyaku begitu cepat. Tak sabar ingin segera mendengar jawaban anakku.
"Amel, suka bersikeras ingin datang ke sini terus, Bu!"
Dari nada bicara Panji, dapat kupastikan kalau anakku itu juga sudah sedikit kesal dengan Amel, tidak seperti dulu yang selalu membela Amel, bila aku nasehati.
Mungkin Panji sudah mendengar, omongan para warga yang dilontarkan langsung untuknya. Sehingga dia berpikir ulang.
"Kenapa kamu tak berusaha mencegahnya, Nak!"
"A-aku tak bisa, Bu."
"Kenapa?" Tanpa sadar aku berteriak, hingga membuat Panji memejamkan mata.
Cukup lama aku dan Panji saling terdiam. Pergolakan batinku kembali memuncak, bayangan demi bayangan video yang aku lihat tempo hari kembali berputar di kepala.
Ya Tuhan! Bisa-bisa aku g*la, bila terus teringat dengan kejadian tersebut.
"Cepatlah kamu keluar, Ibu ingin beristirahat!" Sembari memijat pelipisan, aku berjalan ke arah ranjang anakku, lalu menjatuhkan bobot tubuh di sisinya.
"Apa yang tengah Ibu pikirkan?"
Baru saja aku terpejam, Panji seakan-akan memaksaku untuk kembali membuka mata.
"Tidak ada, cepatlah keluar!"
"Katakan padaku, Bu!" desak Panji membuat darahku kembali mendidih.
Akan tetapi, sebisa mungkin aku menahan amarah yang siap meledak kapanpun itu. Aku tak ingin, bila Panji justru menjadi luapan kekesalanku.
"Keluarlah!"
Pada akhirnya, Panji pun menurut. Dia mengangguk pelan seraya keluar dari kamarnya tanpa mengucapkan sepatah katapun.
***
"Mas, ke mana kue kering dan buah-buahan yang ada di kulkas, kok, gak ada?"
Mas Alif yang tengah bersantai di sofa, dengan entengnya menjawab dengan nada yang amat sangat santai.
"Tadi di bawa sama Amel, katanya di rumahnya gak ada buah-buahan."
Sontak, aku langsung menutup pintu kulkas dengan kasar dan menghampiri Mas Alif yang tengah sibuk dengan gawainya.
"Mas, kenapa kamu kasih ke Amel, sih. Aku mau bawa itu ke rumah Ibu!"
"Tinggal beli lagi, apa susahnya! Sesama manusia harus saling berbagi," ucap Mas Alif dengan bijaknya.
"Berbagi katamu. Lantas, kenapa kamu malah marah-marah, ketika aku memberikan dua piring makanan pada seorang pemulung dan anaknya?"
Mas Alif yang tengah bersandar pada kursi, lantas menjauhkan punggungnya, lalu menatap ke arahku lekat.
"Lah, mereka 'kan gak kita kenal!"
"Memangnya kamu kenal sama, Amel?" tanyaku tak kalah sengit.
Di mana Mas Alif justru terdiam, lalu mengalihkan kembali perhatiannya pada gawai.
"Sudahlah, aku malas denganmu! Makin hari, malah makin suka marah-marah. Tak betah aku berada di rumah."
Detik berikutnya, Mas Alif bangkit dari kursi, dari melangkah keluar rumah, meninggalkan aku seorang diri di dapur.
Aku sendiri tak kehabisan akal, di mana aku langsung bergegas mengikutinya dari belakang secara diam-diam.
Karena sebelumnya Mas Alif menjawab ucapanku tadi, ekor mataku secara tak sengaja melihat ada sebuah panggilan masuk ke gawainya.
"Ada apa, hm?"
Seketika saja, keningku mengkerut, kala mendengar nada bicara Mas Alif yang berbuat seratus delapan puluh derajat.
"Mau berapa? Biar nanti Mas kirimkan."
Deg!
Aku langsung meremas dadaku kasar, berusaha meredam rasa sesak yang tiba-tiba aku rasakan.
Pantas saja, selama ini Mas Alif pelit dan perhitungan padaku, ternyata itulah sebabnya.
"Iya, Mel. Nanti Mas kirimkan, bagaimana buah dan kue keringnya, sudah kamu nikmati, 'kan. Enak rasanya?"
Tubuhku membeku di tempat, detik berikutnya nyawaku seperti perlahan meninggalkan raga.
Aku sungguh tak bisa berpikiran jernih, ketika mendengar obrolan Mas Alif dengan Amel.
Ya, Amel. Kekasih anakku yang tak lain juga adalah selingkuhan suamiku. Di mana video panas keduanya, memenuhi laptop Mas Alif. Entah, sudah berapa lama mereka mengkhianatiku dan melakukan hubungan badan.
Gadis yang terlihat polos itu, Ternyata adalah selingkuhan seorang pria berusia empat puluh lima tahunan.
Sungguh, sangat miris!
***
Semakin banyak aku mendengar obrolan manis antara Mas Alif dan Amel. Hatiku hancur berkeping-keping, air mataku pun turut luruh membasahi pipi dengan derasnya.Tubuhku bersandar pada tembok, hingga saat aku hendak kehilangan keseimbangan, tiba-tiba saja sebuah tangan menangkap punggungku."Apa yang Ibu lakukan?"Sontak, aku membuka mata, kemudian mengerjap selama beberapa saat."Pa-Panji, apa yang kamu lakukan?" tanyaku tergagap-gagap, tak percaya dengan apa yang aku lihat."Aku yang bertanya pada Ibu. Sebenarnya apa yang Ibu lakukan?"Aku dan Panji malah saling melontarkan pertanyaan yang sama dengan nada pelan, malahan hampir persis seperti sebuah bisikan."Sudah, ayo cepat pergi dari sini!"Tanpa menunggu aku membuka suara, Panji sudah lebih dulu menarik tanganku, membawaku menuju dapur.Dengan cekatan, Panji menuangkan segelas air putih dan segera menyodorkannya padaku."Ibu, tidak haus, Nak!" ucapku seraya menggeleng, menolak segelas air putih yang Panji sodorkan."Diminum dulu,
"Nak, apa Bapakmu akan benar-benar percaya pada perkataan kamu tempo hari?"Aku dan Panji yang tengah berada di ruang tengah, sesekali mengobrol dengan suara rendah, takut tiba-tiba Amel yang tengah pamit ke kamar mandi kembali datang."Sudah, Ibu jangan khawatir!" Kedua bola mata Panji ikut berputar, seperti tengah mengawasi sesuatu. "Amel, datang!" peringat Panji pada akhirnya.Aku pun sempat berdehem, membersihkan kerongkongan yang terasa tercekat.Layaknya hati-hati biasa, Amel pasti akan mampir ke rumahku. Sekarang aku paham, perselingkuhan itu tercipta karena aku lebih sering berada di toko sembako di bandingkan di rumah.Malahan aku tak sadar, bila tiap kali Amel datang ke rumah, sesekali kulihat bila Panji sering datang ke toko, misalnya untuk mengambil makanan ataupun mengantar pesanan.Ya Tuhan, begitu besarnya 'kah rasa percayaku pada Mas Alif, karena berpikir kalau kami sudah lama menikah dan dia tak akan macam-macam?"Mel, nanti malam Tante mau adakan acara makan-makan gi
Kami berempat berdiri secara berhadapan. Amel sempat tersenyum canggung padaku, tak seperti Rani yang justru mengatupkan bibirnya rapat-rapat."Andin, kenalin ini Bu Rani dan ini Amel, pacarnya Panji.""Apa, pacarnya Panji?"Andin terperanjat, keningnya mengkerut dengan mulut yang menganga. Selama ini, aku memang tak pernah menceritakan soal hubungan Panji pada siapapun, termasuk Andin."Iya, anakku masih sekolah udah punya pacar, kayak kamu dulu!""Lah, kenapa malah bawa-bawa aku, sih!" hardik Andin seraya menatap Rani dan Amel dengan sinis."Pasti kamu goda Panji duluan, 'kan?" sambung Amel, melontarkan sebuah pertanyaan pada Amel."Maksud, Tante apa?" Amel justru balik bertanya, tentunya dengan nada rendah. "Sudah, lupakan!"Andin memang terkenal cukup angkuh dan blak-blakkan, makanya aku begitu bersemangat, ketika tahu Andin pulang ke tanah air."Maafkan Andin, ya, Bu Rani, Amel. Dia orangnya memang seperti itu, tetapi dia baik, kok!"Bu Rani tak menanggapi ucapanku. Wanita itu
"Tunggu!"Aku yang baru saja hendak menyalakan laptop, tiba-tiba mendongak, menatap Panji yang sudah berdiri dari kursinya.Panji tersenyum penuh arti, lalu berjalan ke arahku yang masih mematung di tempat."Biar aku saja yang lakukan, Ibu bisa duduk!""Tidak usah, Nak. Biar Ibu saja," tolakku secara halus.Akan tetapi, Panji tak bergeming, dia justru menggeleng cepat dan melangkah ke samping tubuhku."Karena ini acara ulang tahun pernikahan Ibu dan Bapak. Jadi, Ibu hanya tinggal menonton saja, biar aku yang memberikan kejutan ini pada kalian!"Panji begitu bersikeras ingin melakukannya sendiri, hingga pada akhirnya aku mengangguk, mengalah dari anakku sendiri."Jadi, silahkan Ibu duduk kembali di samping, Bapak," ucap Panji padaku yang perlahan mulai menjauhinya."Baiklah, lakukan sesukamu, Panji.""Tentu, Bu!"Sebenarnya apa yang aku dan Panji obrolkan kali ini, adalah salah satu bagian dari skenario yang kami buat. Namun, aku tak menyangka, bila apa yang aku dan Panji lakukan cuku
Ibu mertuaku bangkit dari duduk dengan kasar, matanya membulat, dadanya kembang-kempis dengan gigi yang bergemertuk hebat."Mau ke mana kalian?!" Ibu mertuaku berteriak, ketika melihat Amel dan Rani hendak berdiri."Diam kalian dan jelaskan semuanya padaku, termasuk dirimu, Alif!" Sesekali aku melirik ke arah Panji, di mana anak laki-lakiku itu masih berdiam diri di tempat, menatap laptop dengan tatapan kosong.Perlahan aku bangkit dari duduk, menghampiri Panji yang tiba-tiba menunduk, menyembunyikan raut wajah kecewanya."Nak, kamu baik-baik saja, 'kan?""Aku baik-baik saja, Bu," lirih Panji tanpa mendongak sedikitpun.Aku adalah Ibunya Panji, wanita yang melahirkannya dan mengurusnya hingga sebesar ini.Jadi, aku tahu betul dan bisa merasakan kesedihan yang tengah Panji pendam seorang diri.Sebagai seorang Ibu dan wanita yang turut menjadi korban, aku pun segera merangkul Panji, membawanya dalam pelukan. Barulah beberapa saat kemudian, kurasakan tubuh Panji bergetar hebat, bersamaa
Malam semakin larut, suasana pun semakin mencekam. Mungkin tetangga kami di luar sana mengira, kalau kami tengah menikmati acara dengan keluarga.Akan tetapi, tak ada satupun yang mereka tahu, bila acara malam ini justru berubah menjadi sebuah bencana. Di mana sorot mata masing-masing orang hampir sama.Penuh kebencian, dendam, serta amarah yang menggebu-gebu."Rasanya aku ingin mati," lirih Ibu mertuaku, menarik perhatian semua orang untuk menoleh padanya.Aku yang merasa amat sangat bersalah, segera melepas rangkulanku pada Panji yang masih tak henti-hentinya menangis, lalu menghampiri Ibu mertuaku."Ibu, maafkan aku."Ibu mertuaku menoleh, kedua alisnya saling bertautan, tak lama kemudian dia menggeleng pelan."Kenapa kamu meminta maaf, Melda. Memangnya apa salahmu? Kamu tak memiliki kesalahan apapun, Sayang.""Tet
Aku sedikit mengerjapkan mata, kala indra penciumanku mulai menghirup aroma obat-obatan.Cukup lama aku berada dalam kondisi tersebut, hingga pada akhirnya aku benar-benar membuka mata secara sempurna, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling, memperhatikan ruangan berukuran sedang yang didominasi oleh warna putih."Astaga, kenapa aku--"Naas, saat aku hendak bangkit dari posisi tertidur, kepalaku langsung berdenyut, hingga aku pun memilih untuk mengurungkan niat dan memijat pelipisan perlahan."Melda, kamu sudah sadar?"Sontak, aku menoleh ke sumber suara, menatap Ibu mertuaku yang perlahan berjalan menghampiri."Ibu, kenapa aku--" Tak lama mataku membulat sempurna, kala aku teringat akan suatu hal. "Aku harus bertemu Panji, aku harus menemuinya!"Tanpa menghiraukan rasa sakit yang semakin menyerang kepala, aku turun dari ranjang,
Malam semakin larut, tetapi aku sama sekali tak bisa memejamkan mata. Kepalaku terlalu sibuk, memikirkan tentang ancaman Rifky--si anak ingusan yang justru di setujui oleh keluargaku.Aku sedikit tertunduk, meremas rambut dengan kasar, hingga beberapa helai berjatuhan. Tak terpikir olehku, apa yang ada di dalam kepala keluargaku, sehingga mereka memilih untuk menjerumuskan anaknya ke balik jeruji besi, tidak seperti keluarga yang lainnya.Di mana mereka akan membela anak mereka mati-matian, meskipun mereka tahu, bila anaknya telah berbuat salah."Ah, s*al!"Sempat kulirik Ayah sekilas, terlihat dia sedang tertidur pulas dengan posisi yang tampak tak nyaman, begitupun dengan Ibu dan Andin.Lalu, untuk Melda dan keluarganya, setahuku mereka kembali ke ruangan tempatnya di rawat tadi. Entah apa yang mereka lakukan di sana, aku tak tahu.Mengena
Hari demi hari semakin berlalu, tak terasa sudah satu bulan saja semenjak Mas Alif meninggal. Aku sudah bisa sepenuhnya ikhlas akan kepergiannya, begitupun dengan Panji.Anakku yang awalnya sampah murung tersebut, perlahan kembali ceria. Senyumnya sudah mulai kembali merekah, semangat yang ada di dalam dirinya pun tampak sudah kembali.Satu bulan pula, Ibu memilih untuk tinggal denganku. Tentu saja aku merasa senang, karena seperti mendapatkan teman mengobrol tiap kali hendak berangkat ataupun pulang kerja."Bu, aku berangkat dulu, ya!"Ibu yang tengah menikmati sarapan, lantas menoleh ke arahku, seulas senyuman tergambar di bibirnya."Iya, Melda. Hati-hati di jalan.""Iya, Bu."Setiap akan pergi kerja, aku tak lupa untuk bersalaman pada Ibu, meminta doa restu padanya."Kalau sudah sampai tempat kerja, kamu kaba
Ibu dan Rifky sudah pulang lebih awal ke rumah, mereka sengaja ingin menginap di rumahku. Sementara itu, aku dan Panji menginap di rumah mendiang Mas Alif, hendak mengaji selama tujuh malam berturut-turut.Kondisi Panji sendiri sudah lebih baik dari sebelumnya. Anakku yang awalnya lebih banyak terdiam itu, perlahan sudah mulai mengobrol bersama kakeknya.Aku yang tengah berada di dapur, sesekali memperhatikannya yang tengah mengobrol. Meskipun masih sedikit tersirat kesedihan di dalamnya, tetapi Panji nampaknya berusaha untuk tetap terlihat tegar."Mbak!" sapa Andin yang membuat aku langsung menoleh ke arahnya."Ya, ada apa, Andin?""Mbak, baik-baik saja, 'kan?" tanya Andin dengan mata sedikit menyipit."Aku baik-baik saja, Andin. Memangnya kenapa?"Andin menggeleng pelan, seulas senyuman tergambar di bibirnya yang sedikit pucat.
Duka masih terasa menyelimuti aku dan Panji, juga keluarga besar mendiang Mas Alif. Meskipun begitu kehidupan kami masih harus berjalan, karena memang inilah hidup, ada yang datang dan ada yang pergi. Bagaimanapun itu, aku harus bisa mengikhlaskan semuanya dan tentunya memaafkan semua kesalahan mendiang Mas Alif."Melda, jadi kamu mau pulang hari ini?" tanya mantan Ibu mertuaku."Iya, Bu. Aku harus pulang hari ini, aku tak enak pada bosku, bila harus mengambil cuti lebih lama."Wanita paruh baya yang memakai gamis merah maroon itu pun mengangguk pelan, seulas senyuman tergambar di bibirnya."Baiklah kalau begitu, lagipula Ibu gak bisa memaksamu untuk tetap di sini. Tetapi, terima kasih karena sudah mau tinggal di sini, meskipun hanya tiga hari tiga malam saja.""Sama-sama, Bu. Aku harap Ibu dan Bapak sehat-sehat, Andin juga sama.""Iya, Nak. Kamu dan Panji juga. Kalau semisalnya kamu ingin ke sini, datang saja, ya, jangan ragu.""Iya, Bu. Sesekali aku dan Panji pasti akan datang ke s
Acara pemakaman mendiang Mas Alif akan segera di laksanakan. Aku yang sedari tadi duduk di samping tubuhnya sambil melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an, sedikit terperanjat kala tak mendapati kebenaran Panji."Ya ampun, ke mana Panji?!" Aku sedikit memekik, sesekali ekor mataku mengamati sekeliling."Mencari siapa, Mbak?" tanya Andin yang baru datang dari dapur."Andin, apa kamu melihat Panji?"Sontak, Andin menggeleng pelan, dia yang awalnya berdiri segera menghampiri diriku. "Tidak, Mbak. Memangnya Panji tak ada di sini?""Tidak ada, Andin."Aku yang sudah cengeng, semakin bertambah cengeng, ketika mengetahui bila Panji tak ada di sekitarku. Ketakutan yang ada di dalam diriku sedikit memuncak, kala mengetahui bila Panji tak ada di sekitarku. Kejadian beberapa waktu silam membuat aku sedikit trauma."Mbak, jangan menangis, lebih baik kita mencari Panji saja," saran Andin yang langsung aku jawab dengan anggukan pelan.Mantan Bapak mertuaku yang tengah duduk di sofa sambil sesekali m
Dengan langkah gontai, aku turun dari mobil yang terparkir tepat di halaman rumah warga, karena halaman rumah nenek sendiri penuh ddenga yang para pelayat.Bendera kuning terbentang, menandakan sedang berduka. Satu demi satu para pelayat ada yang datang, ada pula yang pergi. Sesekali ekor mataku melirik ke arah Ibu, menatapnya yang tengah menunduk dalam. Bisik demi bisik mulai terdengar di telinga."Bukannya itu Melda, ya?""Oh, iya, itu anaknya juga tuh, si Panji yang katanya sempat masuk rumah sakit.""Masuk rumah sakit?" tanya yang lainnya. Aku tak terlalu memperhatikan mereka, aku hanya mendengarnya saja."Iya, pas mendiang Alif ketahuan berselingkuh, secara dia berselingkuh sama kekasih anaknya.""G*la banget! Kalau aku jadi anaknya, aku tak sudi datang kemari."Aku sempat ingin melirik ke arah Ibu-ibu yang tengah bergosip ria di tengah berita duka ini. Tetapi, Ibu yang sepertinya juga mendengar hal tersebut, justru menarik tanganku dengan sedikit kasar, membawaku menjauh dari t
Drrt ... drrt ....Aku yang tengah mengendarai motor, merasa sebuah getara di saku hoodie. Dengan sengaja, aku menghentikan motor di pinggir jalan dan seger merogoh gawai.Tepat di layar ponsel, terpampang nama kontak Ibu. Aku sempat memicingkan mata, sebelum akhirnya membuka kunci ponsel, kemudian menggeser ikon telepon berwarna hijau dan segera menempelkan benda pipih itu di samping telinga."Halo, Bu. Ada apa?" sapaku pada melalui sambungan telepon."Panji, kamu di mana, cepatlah pulang."Sontak, aku langsung menyipitkan mata, kala mendengar suara Ibu yang cukup serak, seperti habis menangis, sangat berbeda dengan nada bicaranya yang seperti biasa."Aku masih di jalan, ada apa, Bu?""Bapakmu, Nak," lirih Ibu berhasil membuat jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Kekhawatiran dalam diriku memuncak, takut Bapak kabur dari penja
"Dia ... orang yang mengantar Ibu barusan."Panji terlihat memutar bola mata malas, dia tampak kesal mungkin juga merah dengan apa yang aku katakan. Meskipun begitu, memang itulah yang sebenarnya terjadi. Aku tak mau menyembunyikan hal tersebut dariku, sebab bisa saja Panji semakin marah padaku."Begitu rupanya!"Tak lama kemudian, Panji tiba-tiba bangkit dari posisi duduk sembari menggeser piring ke hadapanku."Mau ke mana?" tanyaku secara spontan."Aku sudah kenyang, Bu. Ditambah lagi aku sudah ngantuk.""Baiklah, selamat tidur, Nak."Panji tak menjawab ucapanku, dia langsung melenggang pergi dari hadapanku. Aku sendiri memilih untuk terdiam, tak banyak bicara. Takutnya kalau aku semakin banyak bicara, Panji justru akan semakin kesal padaku dan aku tak ingin hal itu sampai terjadi."Ah, benar-benar memusingkan! Sepertinya aku memang harus menjaga jarak dengan siapapun, aku takut Panji benar-benar salah paham."Aku bergumam seorang diri, kemudian kembali menyantap makanan yang suda
"Siapa pria yang mengantar Ibu tadi?"Deg!Aku yang baru saja melepaskan sepatu, lantas menoleh, menatap ke arah Panji yang tengah mematung, sorot matanya menatapku dengan begitu tajam."Dia hanya teman kerja Ibu, Nak. Ibu--""Aku tak suka Ibu berhubungan dengan pria lagi, aku tak ingin melihatnya lagi. Jadi, aku harap Ibu tak melakukannya!" tegas Panji seraya melenggang dari hadapanku, meninggalkan aku yang tengah melongo seorang diri.Perkataan Panji benar-benar menusuk, terlebih nada bicaranya sedikit bergetar, seperti tengah menahan rasa sakit.Aku sendiri tak mampu membuka mulut, lidahku kelu dengan tenggorokan yang sedikit tercekat. Cukup lama aku mematung di tempat, sebelum akhirnya aku terpejam dan segera meraih sepatu, lalu menyimpannya di rak sepatu yang berada tak jauh dari pintu masuk.***Di dapur yang terasa sepi dan dingin, aku langsung mengambil pisau dan beberapa sayuran yang hendak aku masak. Tak lupa, aku pun memotong daging ayam dan langsung menggorengnya. Aku kha
"Ah, itu ... teman saya," ucapku sedikit ragu-ragu.Bagaimana tidak, pria yang berdiri di belakangku itu adalah bosku yang sama sekali belum aku ketahui namanya."Begitu rupanya. Kenapa ada keributan tadi, apa kamu dan dia sedang berselisih paham?"Aku meneguk ludah, kemudian mematikan gawai secara perlahan. "Ti-tidak, kami baru saja bertemu kembali," balasku seraya menunduk. "Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak!""Baik, lanjutkan pekerjaanmu! Kamu ingat dengan apa yang saya katakan kemarin, 'kan?""Iya, saya paham, Pak!"Tidak lama kemudian, terdengar suara derap langkah yang semakin menjauh. Diam-diam aku mendongak, menatap bosku yang sudah pergi itu.Aku menghela napas panjang, merasa telah melakukan kelalaian di hari pertama bekerja. Aneh juga, kenapa aku harus bertemu dengan Ayana, padahal kami sudah lama tak saling menyapa.Benar-benar s*al!"Ada apa?"Aku yang masih menunduk, seketika mendongak, kala mendengar seseorang melontarkan sebuah pertanyaan. "Kamu bertanya pada saya