Kami berempat berdiri secara berhadapan. Amel sempat tersenyum canggung padaku, tak seperti Rani yang justru mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
"Andin, kenalin ini Bu Rani dan ini Amel, pacarnya Panji."
"Apa, pacarnya Panji?"
Andin terperanjat, keningnya mengkerut dengan mulut yang menganga. Selama ini, aku memang tak pernah menceritakan soal hubungan Panji pada siapapun, termasuk Andin.
"Iya, anakku masih sekolah udah punya pacar, kayak kamu dulu!"
"Lah, kenapa malah bawa-bawa aku, sih!" hardik Andin seraya menatap Rani dan Amel dengan sinis.
"Pasti kamu goda Panji duluan, 'kan?" sambung Amel, melontarkan sebuah pertanyaan pada Amel.
"Maksud, Tante apa?"
Amel justru balik bertanya, tentunya dengan nada rendah.
"Sudah, lupakan!"
Andin memang terkenal cukup angkuh dan blak-blakkan, makanya aku begitu bersemangat, ketika tahu Andin pulang ke tanah air.
"Maafkan Andin, ya, Bu Rani, Amel. Dia orangnya memang seperti itu, tetapi dia baik, kok!"
Bu Rani tak menanggapi ucapanku. Wanita itu justru memalingkan wajah seraya sesekali memutar bola mata.
Aku yang sudah gemas dengan Rani, ini rasanya mengambil garpu dan mencungkil bola matanya yang amat menyebalkan tersebut.
"Tidak apa-apa, Tante," balas Amel, masih bersikap di hadapanku.
Sayangnya itu semua hanyalah topeng. Gadis polos itu, nyatanya adalah seorang gadis pemberani yang bersedia menjadi simpanan Bapak dari kekasihnya sendiri.
Miris!
"Ya sudah, ayo masuk!"
Aku melangkah lebih dulu, kemudian di susul oleh Amel dan Rani tepat di belakangku.
***
"Eh, kok, Mbak undang orang asing itu ke sini, sih! Tumben banget."
Andin tak melepaskan pandangan dari Amel yang tengah mengobrol dengan Panji, begitupun dengan Rani yang tengah sibuk memainkan gawai.
"Mereka bukan orang asing!" balasku seraya tersenyum penuh arti.
"Apa maksudmu, Mbak?"
Aku pun menoleh, menatap Andin dengan cukup lama, hingga membuatnya tak berkutik.
"Nanti kamu akan tahu sendiri, Andin. Aku rasa kamu akan terkejut."
Andin yang aku ketahui, sangat tak suka dengan hal-hal yang berbau kejauhan, justru memutar bola mata malas sembari menghembuskan napas berat.
"Mbak, kenapa gak beri tahu aku sekarang!" ucap Andin dengan kedua tangannya yang terulur ke arah pundakku.
"Kalau aku kasih tahu kamu sekarang, namanya bukan kejutan!"
"Mbak!" seru Andin penuh penekanan.
"Sudah, ya, nanti kamu lihat sendiri saja, Andin. Ayo, ambil minum!"
Untuk yang kesekian kalinya, aku menarik tangan Andin, bermaksud untuk membawanya menuju meja tempat minuman berada.
Namun, belum sempat aku sampai ke tempat tujuan, tiba-tiba terdengar suara deru mesin kendaraan yang amat sangat aku kenal.
Sebelum menoleh ke pintu masuk, aku sempat melirik ke arah Amel dan Rani, di mana wajah kedua wanita itu sedikit pucat pasi.
"Eh, Mas Alif udah pulang! Aku ke sana dulu, ya."
"Iya, Mbak!"
Sengaja aku berteriak dengan nyaring, bermaksud agar Rani dan Amel ikut mendengarnya.
Detik berikutnya, sosok yang ditunggu-tunggu pun datang. Aku segera menghampiri Mas Alif, menggandeng tangannya mesra.
"Mas, capek, gak?"
Mas Alif menggeleng, tanpa aba-aba dia langsung mendaratkan kecupan di keningku.
Aku yang berpura-pura terkejut, tak luput membulatkan mulut dan mata.
"Capek, Sayang. Tapi, capeknya ilang pas udah lihat kamu."
"Mas, malu tahu di lihat sama Ibu, Bapak, terus ada Amel sama Ibunya juga."
"Amel sama Ibunya?" Mas Alif sedikit memicingkan mata, dia mempertegas kembali penuturanku.
"Iya, itu mereka di sana!"
Dengan sengaja, aku menunjuk ke arah Amel dan Rani yang tengah membeku di tempat.
Saat Mas Alif tengah terpaku pada Amel dan Rani, diam-diam ekor matanya berputar ke arahnya, memperhatikan dirinya yang ikut terdiam layaknya manekin.
"Ganti baju dulu, Mas. Sebentar lagi kita makan!"
"I-iya, Sayang. Mas, ke dalam dulu, ya!"
Secara paksa, Mas Alif melepaskan gandengan tanganku. Dia langsung buru-buru masuk ke rumah, setelah sebelumnya memutuskan kontak mata dengan Amel.
Melihat hal tersebut, aku hanya bisa tersenyum kecut seraya sesekali beradu pandang dengan Panji.
Di mana raut wajah anakku juga terlihat sedikit di tekuk, menandakan kalau dia tengah muak dengan perilaku Bapaknya.
***
Dua puluh menit sudah berlalu, kulihat Mas Alif baru saja keluar dari rumah dengan rambut klimis dan pakaian yang sudah rapih.
Ketika Mas Alif tengah berada di dalam rumah, aku sengaja menghampiri Amel, mengajaknya untuk mengobrol.
Akan tetapi, ada satu hal aneh yang berhasil aku tangkap. Di mana sesekali Amel tak melepaskan pandangannya dari gawai, belum lagi wajahnya begitu gusar.
"Bu, itu Bapak udah keluar!" sahut Panji seraya menunjuk ke arah Mas Alif.
"Ah, iya, ayo gabung ke meja makan, sebentar lagi acara makannya akan di mulai!"
Aku mengatakan hal tersebut pada Rani, tetapi wanita itu seperti tak memiliki telinga. Buktinya dia sama sekali tak merespon ucapanku.
Namun, aku masih tetap bersikap biasa saja di hadapan semua orang. Padahal sedari tadi, darahku sudah mendidih hebat, tak sabar ingin mengusir Rani dan Amel dari rumahku.
"Panji, ajak Amel makan, ya!"
"Iya, Bu."
Aku sempat tersenyum tipis, lalu melangkah ke arah meja makan, di mana Mas Alif, Ayah mertua, Ibu mertua dan Andin sudah menunggu kedatanganku.
Selang beberapa detik, setelah aku mendatarkan bokong. Amel, Rani dan Panji ikut menyusul.
Di rasa sudah cukup pas, aku yang kebetulan duduk di samping Mas Alif, tak henti-hentinya menyunggingkan senyuman.
"Sebelum kita makan, apa harapan kalian kedepannya?" tanya Ayah mertuaku, mengawali acara ulang tahun pernikahan kami.
"Semoga makin baik lagi ke depannya, aku harap hanya maut yang bisa memisahkan aku dan Melda," ucap Mas Alif tanpa halangan.
"Lalu, bagaimana denganmu, Melda?" Ayah mertua menunjuk ke arahku.
"Sebelum aku mengucapkan harapanku, apa boleh aku menunjukkan sesuatu pada kalian semua?" pintaku penuh harap.
"Tentu saja, Sayang. Tunjukkan saja!" balas Ibu mertuaku.
Meskipun sedikit ragu, karena takut menyakiti perasaan Bapak mertua dan Ibu mertuaku. Tetapi, pada akhir aku bangkit dari duduk, berjalan menuju sebuah layar yang sengaja aku dan Panji Padang. Setelah sebelumnya memantapkan hati.
Namun, sebelum aku memutar semuanya, ekor mataku sempat berputar, menatap Amel dan Rani terlihat jauh lebih gugup dari biasanya.
"Aku harap, kalian menikmatinya!"
***
"Tunggu!"Aku yang baru saja hendak menyalakan laptop, tiba-tiba mendongak, menatap Panji yang sudah berdiri dari kursinya.Panji tersenyum penuh arti, lalu berjalan ke arahku yang masih mematung di tempat."Biar aku saja yang lakukan, Ibu bisa duduk!""Tidak usah, Nak. Biar Ibu saja," tolakku secara halus.Akan tetapi, Panji tak bergeming, dia justru menggeleng cepat dan melangkah ke samping tubuhku."Karena ini acara ulang tahun pernikahan Ibu dan Bapak. Jadi, Ibu hanya tinggal menonton saja, biar aku yang memberikan kejutan ini pada kalian!"Panji begitu bersikeras ingin melakukannya sendiri, hingga pada akhirnya aku mengangguk, mengalah dari anakku sendiri."Jadi, silahkan Ibu duduk kembali di samping, Bapak," ucap Panji padaku yang perlahan mulai menjauhinya."Baiklah, lakukan sesukamu, Panji.""Tentu, Bu!"Sebenarnya apa yang aku dan Panji obrolkan kali ini, adalah salah satu bagian dari skenario yang kami buat. Namun, aku tak menyangka, bila apa yang aku dan Panji lakukan cuku
Ibu mertuaku bangkit dari duduk dengan kasar, matanya membulat, dadanya kembang-kempis dengan gigi yang bergemertuk hebat."Mau ke mana kalian?!" Ibu mertuaku berteriak, ketika melihat Amel dan Rani hendak berdiri."Diam kalian dan jelaskan semuanya padaku, termasuk dirimu, Alif!" Sesekali aku melirik ke arah Panji, di mana anak laki-lakiku itu masih berdiam diri di tempat, menatap laptop dengan tatapan kosong.Perlahan aku bangkit dari duduk, menghampiri Panji yang tiba-tiba menunduk, menyembunyikan raut wajah kecewanya."Nak, kamu baik-baik saja, 'kan?""Aku baik-baik saja, Bu," lirih Panji tanpa mendongak sedikitpun.Aku adalah Ibunya Panji, wanita yang melahirkannya dan mengurusnya hingga sebesar ini.Jadi, aku tahu betul dan bisa merasakan kesedihan yang tengah Panji pendam seorang diri.Sebagai seorang Ibu dan wanita yang turut menjadi korban, aku pun segera merangkul Panji, membawanya dalam pelukan. Barulah beberapa saat kemudian, kurasakan tubuh Panji bergetar hebat, bersamaa
Malam semakin larut, suasana pun semakin mencekam. Mungkin tetangga kami di luar sana mengira, kalau kami tengah menikmati acara dengan keluarga.Akan tetapi, tak ada satupun yang mereka tahu, bila acara malam ini justru berubah menjadi sebuah bencana. Di mana sorot mata masing-masing orang hampir sama.Penuh kebencian, dendam, serta amarah yang menggebu-gebu."Rasanya aku ingin mati," lirih Ibu mertuaku, menarik perhatian semua orang untuk menoleh padanya.Aku yang merasa amat sangat bersalah, segera melepas rangkulanku pada Panji yang masih tak henti-hentinya menangis, lalu menghampiri Ibu mertuaku."Ibu, maafkan aku."Ibu mertuaku menoleh, kedua alisnya saling bertautan, tak lama kemudian dia menggeleng pelan."Kenapa kamu meminta maaf, Melda. Memangnya apa salahmu? Kamu tak memiliki kesalahan apapun, Sayang.""Tet
Aku sedikit mengerjapkan mata, kala indra penciumanku mulai menghirup aroma obat-obatan.Cukup lama aku berada dalam kondisi tersebut, hingga pada akhirnya aku benar-benar membuka mata secara sempurna, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling, memperhatikan ruangan berukuran sedang yang didominasi oleh warna putih."Astaga, kenapa aku--"Naas, saat aku hendak bangkit dari posisi tertidur, kepalaku langsung berdenyut, hingga aku pun memilih untuk mengurungkan niat dan memijat pelipisan perlahan."Melda, kamu sudah sadar?"Sontak, aku menoleh ke sumber suara, menatap Ibu mertuaku yang perlahan berjalan menghampiri."Ibu, kenapa aku--" Tak lama mataku membulat sempurna, kala aku teringat akan suatu hal. "Aku harus bertemu Panji, aku harus menemuinya!"Tanpa menghiraukan rasa sakit yang semakin menyerang kepala, aku turun dari ranjang,
Malam semakin larut, tetapi aku sama sekali tak bisa memejamkan mata. Kepalaku terlalu sibuk, memikirkan tentang ancaman Rifky--si anak ingusan yang justru di setujui oleh keluargaku.Aku sedikit tertunduk, meremas rambut dengan kasar, hingga beberapa helai berjatuhan. Tak terpikir olehku, apa yang ada di dalam kepala keluargaku, sehingga mereka memilih untuk menjerumuskan anaknya ke balik jeruji besi, tidak seperti keluarga yang lainnya.Di mana mereka akan membela anak mereka mati-matian, meskipun mereka tahu, bila anaknya telah berbuat salah."Ah, s*al!"Sempat kulirik Ayah sekilas, terlihat dia sedang tertidur pulas dengan posisi yang tampak tak nyaman, begitupun dengan Ibu dan Andin.Lalu, untuk Melda dan keluarganya, setahuku mereka kembali ke ruangan tempatnya di rawat tadi. Entah apa yang mereka lakukan di sana, aku tak tahu.Mengena
"Dok, bagaimana keadaan anak saya?"Segera kubangkit dari kursi tunggu, kala seorang pria berjas putih lengkap dengan sebuah kacamata yang bertengger di hidungnya, keluar dari tempat Panji di rawat.Netraku masih berfokus pada dokter pria tersebut, menunggu jawabannya yang tak kunjung keluar.Tak tahu 'kah dokter itu, bila jantungku semakin berdetak kencang, hingga keringat dingin sebesar biji jagung pun tak luput membanjir tubuh."Alhamdulillah, Panji sudah sadarkan diri dan dia meminta saya untuk menyampaikan keinginannya.""Alhamdulillah," sahut semua orang secara bersamaan.Begitupun dengan diriku yang tak henti-hentinya mengucapkan syukur dalam hati seraya sesekali mengusap ujung mata yang berair."Apa keinginan anak saya, dok?" tanyaku cepat, tak sabar ingin kembali mendengar kabar baik lainnya lagi.
Sudah sekitar tiga hari ini aku tak masuk sekolah, bertemu dengan teman-teman sebayaku. Selama itu pula, aku hanya tahu kondisi Panji melalui Bapaknya yang tak lain adalah kekasihku juga.Awalnya aku memang hanya berpacaran dengan Panji saja. Di mana sesekali dia membawaku ke rumahnya untuk sekedar belajar bersama dan di saat itu pulalah, aku bertemu dengan Bapaknya.Aku tak langsung tertarik pada Bapaknya Panji, kadang aku merasa risih, karena sesekali pria tua itu seperti mengamatiku dari atas hingga bawah.Namun, pada akhirnya aku luluh juga. Di mana Bapaknya Panji ternyata jauh lebih romantis dari anaknya dan yang membuatku semakin terpesona padanya, adalah sikapnya yang begitu royal padaku. Sehingga tak ragu untuk menuruti semua kemauanku.Dari situlah, aku dan Mas Alif mulai menjalin hubungan, hingga tanpa ragu aku pun berani menyerahkan mahkota yang aku miliki padanya.
Panji sudah keluar dari rumah sakit, kondisinya sudah mulai membaik. Tetapi, ada satu hal yang tak dia inginkan, yaitu tinggal satu atap dengan Mas Alif.Aku sendiri tak bisa berbuat banyak, selain membawa Alif tinggal di rumah bibinya yang sudah lama kosong. Untung saja, saat aku sampai ke rumah ini, kondisinya sudah cukup bersih, tinggal menempati saja."Nak, mau makan apa siang ini?" tanyaku seraya menyentuh pundak Panji, mengelusnya perlahan.Panji menoleh, seulas senyuman tercipta di bibirnya yang cukup merah. Karena setahuku Panji belum pernah mencoba rokok, meskipun Mas Alif pernah meminta Panji untuk merasakannya. Hanya saja, anakku itu suka menolak permintaan Bapaknya, terlebih lagi karena memang aku melarangnya juga."Aku mau makan ayam goreng sama sayur asem buatan Ibu. Aku merindukannya. Sudah lama tak menyantapnya.""Akan Ibu buatkan!" balasku seraya mengusap puncak kepala Panji. Seulas senyuman terlukis di bibirku."Terima kasih, Bu. Lebih baik aku hidup berdua saja den
Hari demi hari semakin berlalu, tak terasa sudah satu bulan saja semenjak Mas Alif meninggal. Aku sudah bisa sepenuhnya ikhlas akan kepergiannya, begitupun dengan Panji.Anakku yang awalnya sampah murung tersebut, perlahan kembali ceria. Senyumnya sudah mulai kembali merekah, semangat yang ada di dalam dirinya pun tampak sudah kembali.Satu bulan pula, Ibu memilih untuk tinggal denganku. Tentu saja aku merasa senang, karena seperti mendapatkan teman mengobrol tiap kali hendak berangkat ataupun pulang kerja."Bu, aku berangkat dulu, ya!"Ibu yang tengah menikmati sarapan, lantas menoleh ke arahku, seulas senyuman tergambar di bibirnya."Iya, Melda. Hati-hati di jalan.""Iya, Bu."Setiap akan pergi kerja, aku tak lupa untuk bersalaman pada Ibu, meminta doa restu padanya."Kalau sudah sampai tempat kerja, kamu kaba
Ibu dan Rifky sudah pulang lebih awal ke rumah, mereka sengaja ingin menginap di rumahku. Sementara itu, aku dan Panji menginap di rumah mendiang Mas Alif, hendak mengaji selama tujuh malam berturut-turut.Kondisi Panji sendiri sudah lebih baik dari sebelumnya. Anakku yang awalnya lebih banyak terdiam itu, perlahan sudah mulai mengobrol bersama kakeknya.Aku yang tengah berada di dapur, sesekali memperhatikannya yang tengah mengobrol. Meskipun masih sedikit tersirat kesedihan di dalamnya, tetapi Panji nampaknya berusaha untuk tetap terlihat tegar."Mbak!" sapa Andin yang membuat aku langsung menoleh ke arahnya."Ya, ada apa, Andin?""Mbak, baik-baik saja, 'kan?" tanya Andin dengan mata sedikit menyipit."Aku baik-baik saja, Andin. Memangnya kenapa?"Andin menggeleng pelan, seulas senyuman tergambar di bibirnya yang sedikit pucat.
Duka masih terasa menyelimuti aku dan Panji, juga keluarga besar mendiang Mas Alif. Meskipun begitu kehidupan kami masih harus berjalan, karena memang inilah hidup, ada yang datang dan ada yang pergi. Bagaimanapun itu, aku harus bisa mengikhlaskan semuanya dan tentunya memaafkan semua kesalahan mendiang Mas Alif."Melda, jadi kamu mau pulang hari ini?" tanya mantan Ibu mertuaku."Iya, Bu. Aku harus pulang hari ini, aku tak enak pada bosku, bila harus mengambil cuti lebih lama."Wanita paruh baya yang memakai gamis merah maroon itu pun mengangguk pelan, seulas senyuman tergambar di bibirnya."Baiklah kalau begitu, lagipula Ibu gak bisa memaksamu untuk tetap di sini. Tetapi, terima kasih karena sudah mau tinggal di sini, meskipun hanya tiga hari tiga malam saja.""Sama-sama, Bu. Aku harap Ibu dan Bapak sehat-sehat, Andin juga sama.""Iya, Nak. Kamu dan Panji juga. Kalau semisalnya kamu ingin ke sini, datang saja, ya, jangan ragu.""Iya, Bu. Sesekali aku dan Panji pasti akan datang ke s
Acara pemakaman mendiang Mas Alif akan segera di laksanakan. Aku yang sedari tadi duduk di samping tubuhnya sambil melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an, sedikit terperanjat kala tak mendapati kebenaran Panji."Ya ampun, ke mana Panji?!" Aku sedikit memekik, sesekali ekor mataku mengamati sekeliling."Mencari siapa, Mbak?" tanya Andin yang baru datang dari dapur."Andin, apa kamu melihat Panji?"Sontak, Andin menggeleng pelan, dia yang awalnya berdiri segera menghampiri diriku. "Tidak, Mbak. Memangnya Panji tak ada di sini?""Tidak ada, Andin."Aku yang sudah cengeng, semakin bertambah cengeng, ketika mengetahui bila Panji tak ada di sekitarku. Ketakutan yang ada di dalam diriku sedikit memuncak, kala mengetahui bila Panji tak ada di sekitarku. Kejadian beberapa waktu silam membuat aku sedikit trauma."Mbak, jangan menangis, lebih baik kita mencari Panji saja," saran Andin yang langsung aku jawab dengan anggukan pelan.Mantan Bapak mertuaku yang tengah duduk di sofa sambil sesekali m
Dengan langkah gontai, aku turun dari mobil yang terparkir tepat di halaman rumah warga, karena halaman rumah nenek sendiri penuh ddenga yang para pelayat.Bendera kuning terbentang, menandakan sedang berduka. Satu demi satu para pelayat ada yang datang, ada pula yang pergi. Sesekali ekor mataku melirik ke arah Ibu, menatapnya yang tengah menunduk dalam. Bisik demi bisik mulai terdengar di telinga."Bukannya itu Melda, ya?""Oh, iya, itu anaknya juga tuh, si Panji yang katanya sempat masuk rumah sakit.""Masuk rumah sakit?" tanya yang lainnya. Aku tak terlalu memperhatikan mereka, aku hanya mendengarnya saja."Iya, pas mendiang Alif ketahuan berselingkuh, secara dia berselingkuh sama kekasih anaknya.""G*la banget! Kalau aku jadi anaknya, aku tak sudi datang kemari."Aku sempat ingin melirik ke arah Ibu-ibu yang tengah bergosip ria di tengah berita duka ini. Tetapi, Ibu yang sepertinya juga mendengar hal tersebut, justru menarik tanganku dengan sedikit kasar, membawaku menjauh dari t
Drrt ... drrt ....Aku yang tengah mengendarai motor, merasa sebuah getara di saku hoodie. Dengan sengaja, aku menghentikan motor di pinggir jalan dan seger merogoh gawai.Tepat di layar ponsel, terpampang nama kontak Ibu. Aku sempat memicingkan mata, sebelum akhirnya membuka kunci ponsel, kemudian menggeser ikon telepon berwarna hijau dan segera menempelkan benda pipih itu di samping telinga."Halo, Bu. Ada apa?" sapaku pada melalui sambungan telepon."Panji, kamu di mana, cepatlah pulang."Sontak, aku langsung menyipitkan mata, kala mendengar suara Ibu yang cukup serak, seperti habis menangis, sangat berbeda dengan nada bicaranya yang seperti biasa."Aku masih di jalan, ada apa, Bu?""Bapakmu, Nak," lirih Ibu berhasil membuat jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Kekhawatiran dalam diriku memuncak, takut Bapak kabur dari penja
"Dia ... orang yang mengantar Ibu barusan."Panji terlihat memutar bola mata malas, dia tampak kesal mungkin juga merah dengan apa yang aku katakan. Meskipun begitu, memang itulah yang sebenarnya terjadi. Aku tak mau menyembunyikan hal tersebut dariku, sebab bisa saja Panji semakin marah padaku."Begitu rupanya!"Tak lama kemudian, Panji tiba-tiba bangkit dari posisi duduk sembari menggeser piring ke hadapanku."Mau ke mana?" tanyaku secara spontan."Aku sudah kenyang, Bu. Ditambah lagi aku sudah ngantuk.""Baiklah, selamat tidur, Nak."Panji tak menjawab ucapanku, dia langsung melenggang pergi dari hadapanku. Aku sendiri memilih untuk terdiam, tak banyak bicara. Takutnya kalau aku semakin banyak bicara, Panji justru akan semakin kesal padaku dan aku tak ingin hal itu sampai terjadi."Ah, benar-benar memusingkan! Sepertinya aku memang harus menjaga jarak dengan siapapun, aku takut Panji benar-benar salah paham."Aku bergumam seorang diri, kemudian kembali menyantap makanan yang suda
"Siapa pria yang mengantar Ibu tadi?"Deg!Aku yang baru saja melepaskan sepatu, lantas menoleh, menatap ke arah Panji yang tengah mematung, sorot matanya menatapku dengan begitu tajam."Dia hanya teman kerja Ibu, Nak. Ibu--""Aku tak suka Ibu berhubungan dengan pria lagi, aku tak ingin melihatnya lagi. Jadi, aku harap Ibu tak melakukannya!" tegas Panji seraya melenggang dari hadapanku, meninggalkan aku yang tengah melongo seorang diri.Perkataan Panji benar-benar menusuk, terlebih nada bicaranya sedikit bergetar, seperti tengah menahan rasa sakit.Aku sendiri tak mampu membuka mulut, lidahku kelu dengan tenggorokan yang sedikit tercekat. Cukup lama aku mematung di tempat, sebelum akhirnya aku terpejam dan segera meraih sepatu, lalu menyimpannya di rak sepatu yang berada tak jauh dari pintu masuk.***Di dapur yang terasa sepi dan dingin, aku langsung mengambil pisau dan beberapa sayuran yang hendak aku masak. Tak lupa, aku pun memotong daging ayam dan langsung menggorengnya. Aku kha
"Ah, itu ... teman saya," ucapku sedikit ragu-ragu.Bagaimana tidak, pria yang berdiri di belakangku itu adalah bosku yang sama sekali belum aku ketahui namanya."Begitu rupanya. Kenapa ada keributan tadi, apa kamu dan dia sedang berselisih paham?"Aku meneguk ludah, kemudian mematikan gawai secara perlahan. "Ti-tidak, kami baru saja bertemu kembali," balasku seraya menunduk. "Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak!""Baik, lanjutkan pekerjaanmu! Kamu ingat dengan apa yang saya katakan kemarin, 'kan?""Iya, saya paham, Pak!"Tidak lama kemudian, terdengar suara derap langkah yang semakin menjauh. Diam-diam aku mendongak, menatap bosku yang sudah pergi itu.Aku menghela napas panjang, merasa telah melakukan kelalaian di hari pertama bekerja. Aneh juga, kenapa aku harus bertemu dengan Ayana, padahal kami sudah lama tak saling menyapa.Benar-benar s*al!"Ada apa?"Aku yang masih menunduk, seketika mendongak, kala mendengar seseorang melontarkan sebuah pertanyaan. "Kamu bertanya pada saya