"Ren …." panggilan Bian tidak digubris oleh Rendy. Dia yang ada terus berjalan melewati sahabatnya itu tepatnya mantan sahabat yang pernah dekat."Ren, tunggu!" Lagi-lagi Bian berteriak membuat Rendy yang hendak pergi ke dapur akhirnya berhenti juga. Remaja itu menatap Bian dengan tatapan yang sulit diartikan. Bian menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Bian berjalan mendekati Bian. Menepuk pundaknya hendak merangkul seperti biasa. Namun lagi-lagi lelaki itu menghindar."Ada apa?" tanya Rendy dengan ketus."Lo marah?""Kenapa mesti tanya! Lo sudah tahu jawabannya kan?" jawaban Rendy sedikit judes. Dia tidak lagi ingin berdekatan dengan Bian, yang kini bergelar menjadi saudara tiri."Eh, jangan begitu lah! Kita kan sekarang jadi saudara. Lebih baik kita baikan. Kita bisa pergi sekolah bareng. Ngerjain PR bareng. Kek dulu!""Tapi sekarang tidak seperti dulu, Bian.""Kenapa? Sama aja?""CK …." Rendy berdecak dia hendak pergi meninggalkan Bian. Suasana hatinya sedang kacau di s
"Sudah, Bian. Biarkan Rendy menjelaskan terlebih dahulu. Ayo, Nak. Katakan kepada Papa apa yang membuatmu Semarah itu pada Bian?!" Kini Ilham bertanya. Sedangkan Ayu yang duduk di kursi tengah memeluk lengan sang putra. Menatap sendu pada Rendy.Rendy tidak menjawab. Dia justru beranjak dari tempat dia duduk. Pergi begitu saja tanpa pamit!"Lihat, Mas. Anak kamu nggak ada sopan-sopannya, Blas. Ibunya tidak becus mengajarinya!" celetuk Maura membuat Ayu hendak menyusul Rendy berhenti. Lalu berjalan ke arah Maura."Jangan bicara seperti itu di rumahku!" Tatapan Ayu tajam ke arah Maura. Apa yang ia tahan selama ini meledak juga pada akhirnya. Jari telunjuk nya ia arahkan pada Maura. Dengan cepat wanita itu berdiri menyingkirkan jari telunjuk Ayu yang ada di hadapannya."Apa yang aku katakan memang benarkan, Mbak. Kamu itu nggak becus ngurus anak sama suami! Itu alasan kenapa Mas Ilham berpaling dari kamu!"PlakPlakDua tamparan melesat begitu saja. Ayu menahan amarahnya mati-matian kin
Amelia menatap tajam ke arah Maura lalu berpindah pada Ilham. Anak bungsunya menunduk, terkesan merasa bersalah. Sedangkan Ayu, dia duduk di sofa paling ujung. Bersama Nadia tangan mereka saling bertautan."Seperti ini istri siri mu yang kau banggakan Ilham?" tanya Amelia dengan suara lantang. Ayu sengaja meminta Rendy tidak keluar kamar. Dia tidak perlu mendengarkan sesuatu yang menambah luka."Maura hanya membela diri, Ma.""Membela diri katamu? Dengan bersikap kasar?" tanya Amelia kembali."Ma, Maura juga perempuan. Dia juga punya hati, aku yakin sebenarnya bukan seperti itu." Ilham lagi-lagi menimpali. Lelaki itu terkesan membela Maura meskipun pada kenyataannya sang istri muda bersikap barbar dengan menarik hijab yang dikenakan sang kakak ipar."Lantas ….""Sudahlah, Mas." Maura merespon."Maura, minta maaf sama Mbak Nadia. Itu Mbakku lho. Kakak iparmu!" pinta Ilham dengan nada sedikit berbisik. Berharap Maura mampu bersikap selayaknya orang bersalah dan menyesal. Meminta maaf. N
Jam menunjukan angka tujuh tepat. Setelah Ayu mengantar Rendy ke sekolah dia langsung menuju kantor. Meninggalkan Amelia di rumah bersama asisten rumah tangga yang sekarang menjadi setiap hari datang ke rumah. "Mbok, kamu tolong bereskan kamar belakang itu! Semua barang milik wanita itu kamu buang saja!""Baik, Nyonya." Wanita paruh baya yang sudah membantu Ayu selama ini mengangguk lantas hendak pergi menuju kamar belakang. Namun lagi-lagi, langkahnya terhenti kala sang majikan kembali berucap."Jangan sampai ada yang tertinggal!"Wanita itu kembali mengangguk, lalu menatap ke arah sang majikan memastikan tidak ada lagi perintah.Tangan tua yang sudah keriput itu perlahan tapi pasti memasukan semua pakaian dan juga beberapa benda milik Maura ke dalam sebuah koper yang berada di sisi ranjang. Memasukkannya sembari mata terus saja menatap sekeliling."Ealah, Ibu Ayu itu kurang apa coba? Sudah baik, cantik, bisa merawat diri, anak dan juga suami. Eh, malah suaminya masih main serong ka
Ayu terkejut bukan kepalang. Dilihatnya sosok Nita bersama seorang laki-laki. "Nita? Ada apa?" tanya Ayu yang tidak tahu perihal kedatangan sang sahabat. Padahal jika wanita itu hendak bertemu Ayu, wanita itu memberitahu sebelumnya. Namun tidak hari ini."Maaf, ganggu.""Kamu kok tahu kalau aku kerja?""Tadi aku sempat ke rumah. Ketemu mama mertua kamu. Dia bilang kamu kerja di kantor. Memangnya suami kamu dipecat ya dari perusahaan sendiri? Kenapa kamu yang kerja? Oh, maaf. Kenalkan ini teman aku namanya Rudi. Dia seorang pengacara." "Halo, selamat pagi.""Pagi, silahkan duduk." Ayu tersenyum lalu mengulurkan tangan untuk bersalaman. Mereka bertiga duduk di sofa yang sudah disediakan. Pandangan Ayu kini tertuju pada Nita. Entah mengapa sahabatnya itu membawakan seorang pengacara."Ini apa ya, Nit? Kok kamu bawa-bawa pengacara segala," tanya Ayu kebingungan."Oh, Rudi tho. Dia ini kebetulan lagi ada acara di restoran depan. Tadi sebenarnya kita nggak janjian ya, Rud. Aku cuma bawa d
"Maaf, Bapak. Kartu ini tidak bisa digunakan." Seorang pegawai restoran menyerahkan kartu kepada Ilham. "Coba ini, Mbak." Karyawan itu menerima benda tipis yang diberikan Ilham. Lalu menggeseknya pada sebuah alat."Maaf, Bapak. Ini juga tidak bisa digunakan!""Kok begitu? Mbak salah mungkin?""Maaf, Pak. Tidak ada kesalahan, memang kartu Bapak yang tidak bisa digunakan.""Ya sudah kalau begitu, saya menggunakan uang tunai saja." Dikeluarkannya uang yang disimpan pada dompet milik Ilham. Lelaki itu mengambil beberapa lembaran uang berwarna biru. Lalu kembali memasukkannya kedalam tas."Ini, Mbak.""Baik, Pak.""Sayang, kita beli peralatan bayi dulu ya! Mumpung ada di mall," pinta Maura dengan nada manja tentunya."Jangan bersikap seperti ini! Nanti kalau ada orang yang lihat bagaimana?" ucap Ilham dengan nada berbisik. Maura yang semula bergelayut manja di lengan Ilham. Melepaskan tangannya dengan sedikit kasar. Bibirnya mencebik."Kenapa sih, Mas. Kita kan sudah menikah. Meskipun s
Ilham menatap Maura hingga bayangan wanita itu tertutup oleh pintu kamar. Ilham hanya bisa menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Bagaimanapun Ayu bisa melayani Ilham dengan baik. Ada sesal dalam hatinya telah berkhianat namun jiwa muda yang berkobar-kobar tidak bisa ia bendung begitu saja. Mungkin ini saatnya dia membenahi nasibnya. "Sebaiknya aku akan datang ke rumah Mbak Nadia. Siapa tahu Pakde mau membantuku. Dia kan juga berpoligami. Aku yakin semua akan baik-baik saja!" gumam Ilham pelan. Dia berbicara sendiri di ruang tamu. Pada akhirnya Ilham beranjak dari duduknya. Pergi ke dapur hanya untuk menyeduh kopi untuk dirinya sendiri. Jika ini di rumah pasti Ayu sudah menyiapkan semuanya untuknya. Dia tinggal duduk manis menunggu minuman itu datang sendiri.Namun sayang, lelaki itu sudah menjatuhkan pilihannya pada Maura. Lelaki itu sebenarnya tidak sedang berada di rumah. Tepatnya rumah yang sesungguhnya. Dia berada di rumah persinggahan sementara. Ilham lantas per
Amelia menyunggingkan senyum, kala semua kerabat tengah mengolok-olok sang putra. Ini sesuatu pelajaran untuk Ilham, menikahi dua wanita bukanlah perkara sederhana dan juga mudah. Dia harus tahu bagaimana konsekuensinya, dia harus tahu bagaimana menikahi wanita lebih dari satu itu banyak sekali tanggung jawab moral yang dipikulnya. "Mbak, kenapa kamu mengizinkan Ilham poligami? Kamu tahu sendiri kan, konsekuensinya sangat berat. Ditambah kamu juga mengizinkan dia kesini. Bertemu banyak keluarga dengan cara pandang berbeda." Salah satu kerabat berpendapat . Membuat Amelia menoleh dan mengulum senyum. Amelia mempunyai alasan kenapa dia mengizinkan Ilham datang membawa serta Maura. Dia berharap Ilham tahu dan juga mau membuka mata. Poligami bukan hanya perkara jumlah istri. Namun juga keadilan bagaimana Ilham memperlakukan Maura dan juga Ayu."Asal kalian tahu ya, saya ini istri muda Mas Ilham. Jauh dari Mbak Ayu, saya pintar mengurus Mas Ilham di ranjang dan juga saya pintar membuat s