"Bukan urusan kamu, Mbak. Aku mau pergi kek mau nggak kek. Memangnya penting?" sahut Maura bibirnya mencebik. Tangannya dilipat di depan dada."Eh, kamu itu keluar dengan pakaian seperti ini dengan sepatu seperti itu? Mama nggak akan pernah respek sama kamu! Dia akan semakin tidak menyukaimu!""Ma-maksud Mbak Ayu apa?""Pikir saja sendiri!" ucap Ayu sembari berlalu. Tangan Maura yang semua dilipat kini sejajar. "Gimana jadi pergi nggak?" tanya salah satu temannya. Maura diam dia menatap Ayu yang berjalan menyusul Rendy. " Jangan-jangan Mbak Ayu mau mempengaruhi Mama sama Mas Ilham lagi buat menceraikan aku? Ah, itu nggak boleh terjadi!" Maura bermonolog dalam hati. Kekhawatiran nya berlebih kala wanita itu masuk ke dalam rumah. "Gais, untuk hari ini aku nggak jadi pergi deh. Lain kali aja ya. Aku ada urusan!""Hu … dasar udah capek-capek datang kemari malah nggak jadi!""Sorry …." Kedua tangan Maura menangkup. Tidak lama kendaraan yang sempat berhenti cukup lama itu akhirnya melaju
"Ren …." panggilan Bian tidak digubris oleh Rendy. Dia yang ada terus berjalan melewati sahabatnya itu tepatnya mantan sahabat yang pernah dekat."Ren, tunggu!" Lagi-lagi Bian berteriak membuat Rendy yang hendak pergi ke dapur akhirnya berhenti juga. Remaja itu menatap Bian dengan tatapan yang sulit diartikan. Bian menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Bian berjalan mendekati Bian. Menepuk pundaknya hendak merangkul seperti biasa. Namun lagi-lagi lelaki itu menghindar."Ada apa?" tanya Rendy dengan ketus."Lo marah?""Kenapa mesti tanya! Lo sudah tahu jawabannya kan?" jawaban Rendy sedikit judes. Dia tidak lagi ingin berdekatan dengan Bian, yang kini bergelar menjadi saudara tiri."Eh, jangan begitu lah! Kita kan sekarang jadi saudara. Lebih baik kita baikan. Kita bisa pergi sekolah bareng. Ngerjain PR bareng. Kek dulu!""Tapi sekarang tidak seperti dulu, Bian.""Kenapa? Sama aja?""CK …." Rendy berdecak dia hendak pergi meninggalkan Bian. Suasana hatinya sedang kacau di s
"Sudah, Bian. Biarkan Rendy menjelaskan terlebih dahulu. Ayo, Nak. Katakan kepada Papa apa yang membuatmu Semarah itu pada Bian?!" Kini Ilham bertanya. Sedangkan Ayu yang duduk di kursi tengah memeluk lengan sang putra. Menatap sendu pada Rendy.Rendy tidak menjawab. Dia justru beranjak dari tempat dia duduk. Pergi begitu saja tanpa pamit!"Lihat, Mas. Anak kamu nggak ada sopan-sopannya, Blas. Ibunya tidak becus mengajarinya!" celetuk Maura membuat Ayu hendak menyusul Rendy berhenti. Lalu berjalan ke arah Maura."Jangan bicara seperti itu di rumahku!" Tatapan Ayu tajam ke arah Maura. Apa yang ia tahan selama ini meledak juga pada akhirnya. Jari telunjuk nya ia arahkan pada Maura. Dengan cepat wanita itu berdiri menyingkirkan jari telunjuk Ayu yang ada di hadapannya."Apa yang aku katakan memang benarkan, Mbak. Kamu itu nggak becus ngurus anak sama suami! Itu alasan kenapa Mas Ilham berpaling dari kamu!"PlakPlakDua tamparan melesat begitu saja. Ayu menahan amarahnya mati-matian kin
Amelia menatap tajam ke arah Maura lalu berpindah pada Ilham. Anak bungsunya menunduk, terkesan merasa bersalah. Sedangkan Ayu, dia duduk di sofa paling ujung. Bersama Nadia tangan mereka saling bertautan."Seperti ini istri siri mu yang kau banggakan Ilham?" tanya Amelia dengan suara lantang. Ayu sengaja meminta Rendy tidak keluar kamar. Dia tidak perlu mendengarkan sesuatu yang menambah luka."Maura hanya membela diri, Ma.""Membela diri katamu? Dengan bersikap kasar?" tanya Amelia kembali."Ma, Maura juga perempuan. Dia juga punya hati, aku yakin sebenarnya bukan seperti itu." Ilham lagi-lagi menimpali. Lelaki itu terkesan membela Maura meskipun pada kenyataannya sang istri muda bersikap barbar dengan menarik hijab yang dikenakan sang kakak ipar."Lantas ….""Sudahlah, Mas." Maura merespon."Maura, minta maaf sama Mbak Nadia. Itu Mbakku lho. Kakak iparmu!" pinta Ilham dengan nada sedikit berbisik. Berharap Maura mampu bersikap selayaknya orang bersalah dan menyesal. Meminta maaf. N
Jam menunjukan angka tujuh tepat. Setelah Ayu mengantar Rendy ke sekolah dia langsung menuju kantor. Meninggalkan Amelia di rumah bersama asisten rumah tangga yang sekarang menjadi setiap hari datang ke rumah. "Mbok, kamu tolong bereskan kamar belakang itu! Semua barang milik wanita itu kamu buang saja!""Baik, Nyonya." Wanita paruh baya yang sudah membantu Ayu selama ini mengangguk lantas hendak pergi menuju kamar belakang. Namun lagi-lagi, langkahnya terhenti kala sang majikan kembali berucap."Jangan sampai ada yang tertinggal!"Wanita itu kembali mengangguk, lalu menatap ke arah sang majikan memastikan tidak ada lagi perintah.Tangan tua yang sudah keriput itu perlahan tapi pasti memasukan semua pakaian dan juga beberapa benda milik Maura ke dalam sebuah koper yang berada di sisi ranjang. Memasukkannya sembari mata terus saja menatap sekeliling."Ealah, Ibu Ayu itu kurang apa coba? Sudah baik, cantik, bisa merawat diri, anak dan juga suami. Eh, malah suaminya masih main serong ka
Ayu terkejut bukan kepalang. Dilihatnya sosok Nita bersama seorang laki-laki. "Nita? Ada apa?" tanya Ayu yang tidak tahu perihal kedatangan sang sahabat. Padahal jika wanita itu hendak bertemu Ayu, wanita itu memberitahu sebelumnya. Namun tidak hari ini."Maaf, ganggu.""Kamu kok tahu kalau aku kerja?""Tadi aku sempat ke rumah. Ketemu mama mertua kamu. Dia bilang kamu kerja di kantor. Memangnya suami kamu dipecat ya dari perusahaan sendiri? Kenapa kamu yang kerja? Oh, maaf. Kenalkan ini teman aku namanya Rudi. Dia seorang pengacara." "Halo, selamat pagi.""Pagi, silahkan duduk." Ayu tersenyum lalu mengulurkan tangan untuk bersalaman. Mereka bertiga duduk di sofa yang sudah disediakan. Pandangan Ayu kini tertuju pada Nita. Entah mengapa sahabatnya itu membawakan seorang pengacara."Ini apa ya, Nit? Kok kamu bawa-bawa pengacara segala," tanya Ayu kebingungan."Oh, Rudi tho. Dia ini kebetulan lagi ada acara di restoran depan. Tadi sebenarnya kita nggak janjian ya, Rud. Aku cuma bawa d
"Maaf, Bapak. Kartu ini tidak bisa digunakan." Seorang pegawai restoran menyerahkan kartu kepada Ilham. "Coba ini, Mbak." Karyawan itu menerima benda tipis yang diberikan Ilham. Lalu menggeseknya pada sebuah alat."Maaf, Bapak. Ini juga tidak bisa digunakan!""Kok begitu? Mbak salah mungkin?""Maaf, Pak. Tidak ada kesalahan, memang kartu Bapak yang tidak bisa digunakan.""Ya sudah kalau begitu, saya menggunakan uang tunai saja." Dikeluarkannya uang yang disimpan pada dompet milik Ilham. Lelaki itu mengambil beberapa lembaran uang berwarna biru. Lalu kembali memasukkannya kedalam tas."Ini, Mbak.""Baik, Pak.""Sayang, kita beli peralatan bayi dulu ya! Mumpung ada di mall," pinta Maura dengan nada manja tentunya."Jangan bersikap seperti ini! Nanti kalau ada orang yang lihat bagaimana?" ucap Ilham dengan nada berbisik. Maura yang semula bergelayut manja di lengan Ilham. Melepaskan tangannya dengan sedikit kasar. Bibirnya mencebik."Kenapa sih, Mas. Kita kan sudah menikah. Meskipun s
Ilham menatap Maura hingga bayangan wanita itu tertutup oleh pintu kamar. Ilham hanya bisa menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Bagaimanapun Ayu bisa melayani Ilham dengan baik. Ada sesal dalam hatinya telah berkhianat namun jiwa muda yang berkobar-kobar tidak bisa ia bendung begitu saja. Mungkin ini saatnya dia membenahi nasibnya. "Sebaiknya aku akan datang ke rumah Mbak Nadia. Siapa tahu Pakde mau membantuku. Dia kan juga berpoligami. Aku yakin semua akan baik-baik saja!" gumam Ilham pelan. Dia berbicara sendiri di ruang tamu. Pada akhirnya Ilham beranjak dari duduknya. Pergi ke dapur hanya untuk menyeduh kopi untuk dirinya sendiri. Jika ini di rumah pasti Ayu sudah menyiapkan semuanya untuknya. Dia tinggal duduk manis menunggu minuman itu datang sendiri.Namun sayang, lelaki itu sudah menjatuhkan pilihannya pada Maura. Lelaki itu sebenarnya tidak sedang berada di rumah. Tepatnya rumah yang sesungguhnya. Dia berada di rumah persinggahan sementara. Ilham lantas per
Hari sudah mulai terik. Matahari yang panas mulai menyengat kulit. Bian menatap ke arah orang-orang yang perlahan memasukan Maura kedalam lubang kubur. Tangis Bian memang sudah tidak ada, namun hatinya terluka begitu dalam. Ditatapnya satu persatu orang-orang yang meninggalkannya di gundukan tanah yang masih basah itu. Bian tak melihat satu orang pun keluarga Rendy datang melihat. Namun ada satu orang laki-laki yang berdiri di sela-sela tetangganya. Bian tidak mengenalnya namun dia terlihat tersenyum kala Bian menatap ke arahnya. Tangis Bian pecah saat semua orang meninggalkannya. Banyak penyesalan yang kini merajai hatinya. Andai saja Bian tak mengenalkan Ilham pada Maura mungkin kejadian tragis ini bukanlah akhir dari segalanya. Bian menangis sendirian.Semua perbuatan akan ada pembalasan. Entah itu perbuatan baik atau sebaliknya. Akhir dari sebuah hidup adalah suatu keputusan. Dia akan menjalani sisa hidupnya dengan jalan benar atau justru masih dalam Limbangan dosa. Karena umur
Tut … Tut.Tanpa menunggu persetujuan Rendy. Ayu sudah menutup teleponnya. Ayu pun lantas masuk kedalam ruangan setelah memanggil perawat tentunya. Disana sudah ada Nadia dan juga Ibu mertua yang mendekat pada Ilham.****Nita mengirimkan beberapa video dan juga foto Maura bersama seorang laki-laki kepada Ayu. Ayu yang tengah duduk di meja kerjanya seolah berpikir keras. Bagaimana mengatakan kepada suaminya akan hal ini. Apakah dia akan diam saja membiarkan semuanya atau justru mengatakannya agar Ilham meninggalkannya sendiri. Namun pikiran itu segera ia buang jauh-jauh. Lalu dia kembali menatap layar laptopnya.[Terima kasih banyak, Nita.]Hanya kalimat itu yang bisa diucapkan untuk Nita.[Sama-sama. Jika kamu butuh bantuan, jangan sungkan meminta kepadaku!][Ya.]Ayu menghela napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahanIa lantas menyelesaikan pekerjaannya kemudian dia pulang ke rumah. Di saat Ayu tengah memanaskan kuah bakso. Berniat makan bersama Ilham dan juga Rendy. Karena akhi
Sesampainya di rumah sakit. Maura dan juga Ilham segera mendapatkan pertolongan. Ada beberapa dokter dan juga perawat yang langsung bertindak sesuai tugasnya.Bian berinisiatif menghubungi Rendy. Namun lagi-lagi nomornya tidak bisa dihubungi. Bian lupa, bahwa nomornya sudah di blok oleh mantan temannya yang kini menyandang status saudara tiri.Setelah Maura mendapatkan pertolongan, begitu juga Ilham. Mereka akhirnya dipindahkan ke ruangan terpisah. Ilham yang sudah membaik meskipun belum sadar sudah bisa di tempatkan di ruang rawat. Sedangkan Maura masih berada di ruang ICU. Bian duduk di kursi tunggu. Entah sejak kapan anak remaja itu belum makan. Entah karena tidak merasa lapar atau memang dia enggan untuk mengisi perut.Bian menjaga Maura sendirian. Dia terus memegang tangan Ibunya kala waktu kunjung tiba. Berharap Tuhan memberikan kesempatan untuk sang Ibu untuk menikmati udara di bumi. Kali ini anak laki-laki itu tengah duduk di kursi tunggu. Lantas wanita tua yang ia kenal ter
[Mami dimana?] tanya Bian pada pesan singkat yang ia kirim kepada Maura. Tidak berapa lama wanita yang berstatus Ibu kandung itu membalasnya.[Mami pulang ke rumah. Maaf, kemarin Mami nggak sempat menghubungi kamu, sayang. Mama di rumah sakit.][Di rumah sakit? Mami sakit? Sama siapa? Apa Papa Ilham bersama Mami?] Bian khawatir dengan kondisi Maura. Bagaimanapun juga Ilham harus berada di sisi Maura. Karena janin yang tengah dikandungnya adalah benih dari laki-laki itu. Itu semua adalah pemikiran Bian.[Ada, Mami sama Papa Ilham kok kamu tenang saja. Ini perjalanan pulang.][Mami belum jawab pertanyaan Bian. Mami kenapa dirumah sakit?] Lagi-lagi Bian menanyakan keadaan Maura. Bagaimanapun Maura adalah Ibu kandung Bian. Dan Bian begitu menyayanginya.[Kandungan Mami nggak bisa dipertahankan sayang, maaf. Kamu nggak jadi punya adik.][Apakah ini ada hubungannya dengan obat yang Bian temukan di meja rias Mami?] tanya Bian. Tangannya memegang sesuatu. Tidak berapa lama anak remaja itu pe
Amelia dan juga Ayu duduk berpegangan tangan. Sesekali mereka mengusap air matanya yang terus saja mengalir tiada henti. Isak tangis mereka tak terdengar. Hanya tatapan penuh kesedihan yang tergambar jelas."Yu, sabar ya. Mama yakin kamu dan juga Rendy bisa melalui ini semua."Ayu mengangguk. Karena memang tidak ada kata-kata yang bisa dikeluarkan. Hanya ada Isak tangis menandakan kesedihan. "Ini semua sudah jalan takdirmu. Mama harap kamu ikhlas menerimanya. " Ayu mengangguk permintaan Amelia tidaklah berat namun sulit untuk diterima hati dan juga pikiran.Ayu menatap kearah Ilham yang masih terbaring di ranjang rumah sakit. Beberapa alat medis tertempel pada tubuhnya. TulingSatu pesan diterima. Ayu diam tidak menghiraukan pesan tersebut. Entah berapa ratus pesan maupun berapa puluh kali telepon masuk ke nomornya. Tidak sekalipun dia terima maupun dibacanya.Amelia mengusap tangisnya dengan ujung jilbab yang ia kenakan. Lalu beranjak dari tempat duduknya. Merogoh ponsel yang ada d
Nita mengendarai motor maticnya menjemput anak sulungnya yang kebetulan bersekolah tidak jauh dari rumah. Rumah Nita yang terletak dua ratusan meter dengan jalan utama. Membuatnya mudah untuk bepergian. "Bunda kita makan dulu ya?" celetuk anak laki-laki itu."Iya, sayang. Tapi dibungkus aja ya. Nanti adik keburu nangis kalau kita nggak pulang-pulang.""Kan ada si Mbak?""Iya, sayang. Kita bungkus saja ya makannya lalu dibawa pulang. Habis itu kita makan sama-sama di rumah? Gimana?""Ya sudah kalau begitu." Akhirnya Nita membawa putranya menuju sebuah cafe yang tidak jauh dari sekolahan. Mereka memesan ayam geprek untuk dibawa pulang. "Mbak minumannya satu ya mbak. Es lemon tea.""Baik, Ibu." Pelayan itu akhirnya pergi setelah mencatat pesanan Nita. Kini Nita sibuk dengan putranya yang tengah berusaha membuka tas yang dibawanya."Bunda lihat, aku tadi dikasih buku sama ibu guru.""Wah, buat mewarnai ya? Bagus.""Nanti kita kerjain bareng-bareng ya?""Siap sayangku. Anak Sholehnya Bu
"Nggak perlu, Ma. Ayu sudah kenyang!' padahal Ayu belum makan sesuatu sama sekali. Dia baru saja pulang dari kantor lantas pergi ke rumah sakit mengantar Maura. Entah mengapa rasa lapar yang tadi terasa kini sudah menguar begitu saja."Dimana Ilham?" tanya Amelia melihat ke arah belakang. "Di rumah sakit, Ma. Nemenin Maura.""Oh …."Tap … tapSuara langkah Rendy yang mendekati Amelia dan juga Ayu terdengar jelas ditelinga."Mama udah pulang?""Iya sayang." Ayu tersenyum lalu ia kembali menatap kunci mobil yang berada di atas meja."Ini buat Rendy. Sambal sama kecapnya ambil sendiri sesuai selera kamu. Dan ini buat kamu Ayu. Apapun yang terjadi kamu harus tetap makan. Jangan sampai sakit." Wanita yang bergelar mertua itu tersenyum sembari tangan kembali meracik bakso. Sedangkan Ayu hanya menerima mangkok itu dengan senyuman. Satu persatu bakso yang ada di hadapan Rendy di santap ya dengan nikmat.*****Ilham menatap Maura yang selalu menatap layar ponselnya. Entah apa yang ada di dala
"Terima kasih.""Bagaimana keadaan Maura?" tanya Ayu hati-hati."Maura akan dikuret. Janin yang dikandung tidak bisa lagi diselamatkan.""Innalillahi wa innailaihi roji'un."****Amelia turun dari mobilnya, kali ini dia diantar oleh supir Nadia. Karena Nadia dan juga suaminya ada acara mendadak. Sehingga tidak bisa mengantar Ibunya pulang ke rumah Ayu dan juga Ilham."Assalamualaikum." Salam yang diucapkan Amelia tidak dijawab. Wanita tua itu lantas berjalan masuk kedalam rumah. Namun alangkah terkejutnya kala melihat ada beberapa darah tercecer di teras. "Astagfirullahaladzim, ini darah apa?" tanya Amelia pada dirinya sendiri. Lantas tangannya memegang dada."Oma?" Rendy akhirnya keluar dari dalam rumah. Menatap sang Nenek dengan wajah yang … entah."Ini darah apa?""Nggak tahu Oma. Tadi Rendy sempet lihat ada Tante Maura dan juga Mama.""Astagfirullahaladzim." Amelia lantas merogoh ponsel yang ada di dalam tasnya Lantas menekan nomor yang bertuliskan Ayu. "Kamu dimana Ayu? Darah
Wajah Maura pucat pasi. Entah apa yang ia rasa saat ini, suaranya yang tadi melengking kini tak terdengar. Ilham panik, dia terus saja memanggil istri sirinya. Sedangkan Ayu yang tengah mengemudi sesekali melihat kondisi Maura melalui kaca spion yang ada di atasnya. Seakan alam mengetahui semua. Bahwa ada manusia yang saat ini tengah membutuhkan pertolongan. Jalanan lengang membuat Ayu bisa cepat sampai di rumah sakit yang dituju. Mobil itu berhenti tepat di IGD rumah sakit. Dengan sigap dan cepat beberapa perawat sudah berlari membawa tempat tidur dorong. Menyambut Maura yang sudah diangkat oleh Ilham. "Kamu tenang ya, semuanya akan baik-baik saja." Maura menangis, menggenggam erat tangan Ilham yang dipaksa dilepas oleh salah satu perawat."Bapak tunggu disini dulu. Biar Ibu bisa ditangani dokter lebih cepat." Ilham berhenti mengikuti Maura, tangannya menyugar rambutnya kebelakang. Entah mengapa ada banyak kegundahan dan juga khawatir saat ini. Bagaimana keadaan calon bayi yang ki