Ranjang berseprei putih bersih itu berderit saat Tara menjatuhkan tubuhnya. Dia membenamkan wajahnya ke guling agar isaknya tidak terdengar. Rasa menyesal dan tidak berguna saling beradu. Andai saja otaknya tidak sebodoh ini, pasti keadaan akan lebih baik. Dia benar-benar tidak mau pindah ke rumah mama.
Tiba-tiba pintu terbuka dan Alex masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu. Di suasana seperti ini masih saja Alex membuat Tara semakin murka.
"Ketuk pintu dulu! Kebiasaan!"
"Iya, iya." Alex kembali menghampiri pintu dan mengetukkan jarinya. "Tok tok permisi, tukang rusuh mau lewat."
Tara tersenyum sedikit. Meski menyebalkan, Alex selalu bisa membuatnya terhibur dengan tingkah konyolnya.
"Jadi kenapa masih rebahan? Kemasi barang-barangmu!" tegas Alex dengan mimik muka serius.
Hati Tara serasa meluncur jatuh ke lantai mendengar itu. Sakit sekali, dia mengira Alex akan menahannya pergi tapi ternyata dia tidak melakukannya. Tangisnya pecah tak tertahankan lagi.
"Hei! Aku cuma bercanda, Honey! Hahaha ayolah ...."
Bukannya mereda, tangis Tara semakin kencang merasa dipermainkan oleh kakaknya sendiri.
"Aku benci Kakak!" teriaknya sambil memukul-mukul dada Alex.
"Iya, benci aku semaumu. Kakak tetap akan sayang sama kamu, Honey."
"Kakak jahat! Kenapa tak membelaku? Kenapa tak menahanku pergi?"
"Sayang! Berhenti memukulku, ini beneran sakit," ucap Alex sambil menahan tangan Tara. Dia pandangi wajah adik perempuan satu-satunya tersebut dalam-dalam. Mana mungkin dia membiarkan Tara pergi? Siapa yang akan dia ganggu kalau Tara tidak ada? Kemudian dia merengkuh tubuh gadis berparas cantik itu.
"Kakak janji akan mencegah Kak Brian mengirimmu ke rumah mama," ujar Alex, mengusap-usap rambut panjang Tara.
"Beneran?"
"Iya. Asal kamu juga berusaha buat rajin belajar. Minimal kamu harus bisa membuktikan pada Kak Brian bahwa kamu sungguh-sungguh."
Tara mengusap air matanya yang meluber ke mana-mana dengan punggung tangan.
"Aku bukannya tidak mau berusaha, tapi ...."
"Kalau belum menampakkan hasil, berarti kamu masih main-main. Belum serius, Tara."
"Jadi aku harus bagaimana, Kak?"
"Soal itu kamu yang paling tahu harus bagaimana, kakak tidak bisa membantu. Tugasku adalah meyakinkan Kak Brian untuk tidak mengirimmu ke rumah mama."
Seutas senyum tulus terbit di bibir Tara menampakkan lesung di kedua pipinya. Dukungan Alexandra sangat berarti. Dia harus melakukan apa pun agar nilainya bisa naik. Semua omongan sumbang tentang dirinya yang bodoh akan dia bungkam dengan prestasi. Dalam hati dia sudah berjanji.
"Hei ... jangan memandangku seperti itu, aku hanya melakukan tugasku sebagai seorang kakak, Honey."
Tara kembali memeluk tubuh Alexandra. Rasanya seperti menemukan kembali semangat yang hilang saat berada dalam dekapan tubuh kakaknya.
"Yah, kamu sudah melakukannya dengan baik, kok. Aku tahu kamu pasti selalu ada buatku."
Alexandra bangkit dari duduknya, berdiri dengan tegap kemudian membuang napas kasar.
"Huff! Semoga Kak Brian bisa luluh. Kamu tunggu di sini saja."
"Tapi, Kak--" Belum sempat Tara meneruskan kalimatnya Alex sudah pergi. Jujur, sebenarnya Tara khawatir kalau Kakaknya akan bertengkar gara-gara dirinya. Tapi apa boleh buat, dia juga tidak mau tinggal bersama papa tiri yang sama sekali tidak menginginkan kehadirannya.
***
Seorang laki-laki tampan berkacamata masih duduk tenang menghadap layar. Kertas-kertas berserakan di meja kerjanya, beberapa juga tersebar di tempat tidur. Meski sudah mengantuk dia tetap berusaha menyelesaikan tugas kuliahnya. Jadwal sangat padat. Belum lagi besok pagi harus bertemu dengan klien. Hendra, pamannya bisa membantu tapi Brian tidak mau sepenuhnya bergantung. Untuk klien-klien penting dia sendiri yang akan menanganinya. Pamannya bukan orang yang bisa dipercaya. Dia tahu Hendra berambisi merebut perusahaan peninggalan ayah untuk dikuasai sendiri.
Sesekali kopi dihadapannya dia sesap untuk mengusir kantuk. Brian masih sibuk membolak-balik kertas. Kemudian terdengar pintu diketuk membuat perhatiannya teralih.
"Masuk," jawabnya singkat tanpa menoleh.
"Kak, masih nugas?" Alex mencoba berbasa-basi meski itu tidak berguna sama sekali.
"Ada apa? Langsung saja."
Alex menggaruk lehernya yang tidak gatal. "Anu, Kak, sebaiknya Tara tetap tinggal di sini bersama kita."
Mendengar itu Brian memutar kursi agar menghadap Alex yang berdiri di sampingnya.
"Masih ada mama, dia lebih berhak mendidik Tara. Aku sudah berusaha, tapi sepertinya gagal bukan?"
"Kak ... tolong beri Tara kesempatan lagi, dia pasti bisa. Tara selama ini berprestasi, hanya akademiknya saja yang kurang." Alex memohon sembari memelaskan wajahnya.
"Daripada mengurusi Tara lebih baik kamu mengurus hidupmu sendiri! Lihat dirimu sekarang!"
"Iya, Kak, aku salah .... Aku tidak akan mengelak, aku akan memperbaiki semuanya. Mungkin tahun depan aku akan kuliah. Tapi please jangan pisahkan Tara."
"Kamu bisa mendidiknya? Tidak bisa, kan? Lihat dia suka keluyuran bersama teman-temannya! Dia mencontohmu, Alex! Masih tidak sadar juga ya?! Kalian memang sampah. Bisanya terus-terusan menyusahkan saja!"
Secepat kilat Alex menarik kerah kaos Brian. "Tarik kembali ucapanmu!" geram Alex sambil menatap tajam. Dia tidak memanggil 'kakak' lagi ke Brian. Emosinya sudah di ubun-ubun. Jika Brian bukan kakaknya, dia pasti sudah meninju wajahnya sekarang.
Kata-kata Brian begitu menusuk. Alex tidak mengira Brian mampu mengucapkan kata seperti itu ke adiknya sendiri.
"Kalau Tara pergi dari rumah ini, aku juga akan pergi dan kami tidak akan pernah kembali lagi!" Alex melepaskan Brian, kemudian melenggang keluar kamar dengan wajah bersungut-sungut.
Andai saja Ayahnya masih hidup pasti semua bisa teratasi. Sekarang dia tidak akan mengandalkan Brian lagi. Dia tidak mau menggantungkan hidup pada kakak yang menganggapnya sampah yang tidak berguna. Alex keluar menuju garasi, kemudian memacu motornya dengan kecepat tinggi. Hujan turun deras, tapi Alex tetap pergi.
Tara yang mendengar suara motor Alex mengintip dari jendela kamarnya di lantai atas. Dia keluar ke balkon untuk melihat kakaknya. Sesuatu yang buruk sudah terjadi. Firasatnya benar. Alex bertengkar dengan Brian karena membela dirinya.
Dengan langkah gontai Tara kembali masuk ke kamar. Dia tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Dia mendengar sebuah telepon masuk. Tangannya meraih handphone di bawah bantal.
"Kak Alex ke mana?" ucapnya setelah tersambung.
'Tara kamu tenang ya. Tetap belajar yang rajin. Kakak tidak akan membiarkan Brian mengirimmu ke mana pun. Kalau ada apa-apa bilang sama kakak.'
"I-iya, Kak. Tapi kamu di mana sekarang?" tanya Tara khawatir.
'Aku di rumah teman. Kamu jangan terlalu banyak pikiran. Kakak baik-baik saja. Sekarang tidur. Besok aku akan menemuimu di sekolah.'
"Baiklah, Kak. Aku sayang kamu," ucap Tara tulus.
'Aku juga sayang sama kamu,' balas Alex, lalu mematikan teleponnya agar adiknya segera tidur.
Sudah hampir jam tujuh pagi. Tara duduk manis di meja makan sambil asyik memainkan handphone. Nasi goreng beserta kerupuk dan lalapan terhidang di depannnya. Mbak Ina, asisten rumah tangga masih mondar-mandir menyiapkan air minum dan buah."Mbak, Kak Brian mana?" tanya Tara yang sudah jengah menunggu terlalu lama. Biasanya mereka sarapan bersama sebelum memulai aktivitas masing-masing."Loh, Den Brian kan sudah berangkat dari tadi, Non.""Apa?! Kenapa tidak bilang?""Saya kira Non Tara sudah tahu."Astaga! Bagaimana caranya dia bisa berkonsentrasi belajar kalau paginya sudah di awali dengan kejadian tidak mengenakkan seperti ini. Buru-buru Tara menyambar tas ransel kemudian berlari ke garasi untuk mengendarai Civic Hatchback merahnya.Sepanjang perjalanan Tara terus mengoceh. Bisa-bisanya Brian tidak memberitahu berangkat duluan. Apa gara-gara pertengkarannya semalam dengan Alex?***"Kamu terlambat?"Ingin sekali rasany
Bel tanda pelajaran berakhir berdering nyaring. Siswa berhamburan keluar kelas seperti tawanan yang baru saja bebas. Tara keluar ruang laboratorium Kimia dengan muka kusut, begitu juga dengan ketiga temannya. Praktikum titrasi oksireduksimetri membuat mereka pusing tujuh keliling. Beruntung mereka berempat tidak jadi satu kelompok. Kalau itu terjadi kelompok mereka akan menjadi kelompok dengan nilai terburuk."Praktikumnya sih menyenangkan, cuma ngikutin langkah-langkah yang disuruh Pak Abu. Tapi soalnya itu loh, susah sekali seperti mengalahkan Benteng Takeshi." Antoni bersungut-sungut."Memangnya kamu mikir? Bukannya kamu hanya titip nama saja?" sindir Nathan. Dia jarang bicara, tapi sekalinya bicara kata-katanya setajam pisau."Sebagai siswa yang baik, aku tetap berusaha berkontribusi ke kelompokku.""Kontribusimu cukup dengan diam dan tidak membuat rusuh," sahut Tara. Dia hafal benar kelakuan Antoni yang tidak pernah serius."Jadi bagaima
Rumah megah bergaya Eropa klasik itu terlihat lengang. Mobil Tara memasuki halaman luas dengan bunga everglow menyambut sepanjang pagar. Di tengah halaman ada sebuah kolam dikelilingi beraneka ragam bunga anggrek dan mawar. Dulu Rosa suka sekali menghabiskan waktu merawat bunga-bunga. Sekarang kegiatan itu diambil alih asisten rumah tangga sepenuhnya. Di samping pohon palem yang berjajar ada bonsai kesayangan Frans, ayah Tara. Bonsai-bonsai itu ditata rapi dan selalu dipangkas secara teratur oleh Mang Kus sang tukang kebun.Tara keluar dari mobil disambut oleh angin yang bertiup memainkan rambutnya yang diikat ekor kuda. Dia segera masuk ke dalam rumah. Sepi. Hanya ada Mbak Ina yang membersihkan meja ruang tamu."Belum pada pulang, Mbak?" Tara meletakkan ranselnya sembarang."Den Brian belum, Non, tapi kalau Den Alex sudah. Sekarang lagi di kamar.""Ya sudah, Mbak. Oh, iya, untuk makan malam aku mau tumis kangkung dan telur setengah matang seperti biasa."
Gerimis ringan mengguyur jalanan. Deru mesin mobil memecah keheningan malam. Tara akhirnya sampai di kompleks kos Nathan yang terletak di pinggiran kota. Suasananya cukup sunyi waktu malam hari. Hanya suara jangrik dan kodok bersahutan sana sini."Nathan!!" Suara Tara menggema, membuat Nathan yang duduk di kursi teras terkejut."Ssttt ... Tara pelankan suaramu! Ini bukan rumahmu yang sebesar kastil!" Sesosok laki-laki berperawakan tinggi muncul dari sebuah gang remang-remang.Gadis yang masih memakai seragam sekolah itu celingukan. Dia berlari kecil menuju teras, bajunya agak basah terkena gerimis. Saat Tara sudah berhadapan dengan Nathan, dia sedikit tertegun melihat teman laki-lakinya yang sudah akrab dua tahunan ini.Bagaimana tidak? Nathan yang biasanya berpakaian rapi kini hanya memakai celana jeans sedengkul dengan kaos polos berwarna abu-abu. Rambutnya agak berantakan tapi itu malah membuatnya semakin cool."Apa yang terjadi?""Aku be
"Kabur?!" teriak Brian tidak percaya. Matanya melotot hampir melompat dari kelopak. Dia baru saja pulang dari luar kota ketika mendengar kabar Tara pergi dan tidak pulang dari semalam. Jelas itu membuat amarahnya memuncak.Laki-laki berahang tegas itu langsung berlari menaiki anak tangga menuju kamar Alexandra. Tanpa permisi dia langsung membuka pintu serampangan."Di mana Tara?!" tanya Brian, mencekeram kedua bahu Alex dengan kuat."Dia belum pulang.""Cari! Cari sampai ketemu! Kamu baru boleh menginjakkan kakimu di rumah ini lagi!"Brian tidak habis pikir. Bagaimana bisa Alex mengawasi satu adik perempuan saja sampai gagal? Fasilitas semua sudah ada. Mobil, motor sport keluaran terbaru, uang jajan, makanan, sampai kolam renang lengkap di rumah. Bisa-bisanya Tara malah keluyuran sampai tidak pulang."Kenapa aku? Bukannya Tara adalah tanggung jawab kita bersama?" elak Alex tidak terima."Kau yang ada di rumah! Kau ya
Sebuah mobil Lexus putih melaju mulus membelah jalanan kota. Matahari bersinar menyengat membuat catnya semakin terlihat mentereng. Kontras dengan keadaan di dalamnya yang sedingin es. Sudah seperempat jam Brian dan Alexandra berada dalam satu mobil namun belum ada tanda-tanda saling mau membuka obrolan.Tidak mau terus-terusan tersiksa oleh keheningan, Alex berinisiatif menyalakan tape agar suasana mencair. Belum sampai tangannya menjulur, Brian langsung menatapnya dengan jenis tatapan intimidasi. Seolah sorot mata kakaknya mengatakan 'Diam!'. Alex mengurungkan niatnya daripada memperkeruh suasana.Beberapa kali Brian harus berputar-putar kerena kesulitan menemukan alamat Nathan. Sepertinya bocah itu sengaja memberti titik lokasi yang salah agar dirinya bisa mengulur waktu. Sepuluh menit berlalu, mereka akhirnya sampai. Brian sempat was-was mobilnya tidak bisa masuk gang mengingat gang-gang yang dia lewati tidak terlalu lebar."Tara benar ada
Suasana di restoran cepat saji masih lumayan ramai ketika rombongan Tara dan kakak-kakaknya datang. Brian mencari tempat duduk, sedangkan Tara dan Alex memesan makanan yang sudah mereka diskusikan di tempat parkir.Nathan mengekori Brian pelan-pelan. Sebenarnya dia canggung sekali. Apalagi mereka dipertemukan pada situasi yang tidak enak seperti ini.Jika diilihat-lihat Nathan merasa paling kumal diantara mereka berempat. Kulitnya yang sawo matang dipadu dengan kaos seadanya semakin memperlihatkan jarak kasta antara dirinya dan keluarga Tara. Perasaan menyesal muncul kembali kenapa dia mau ikut makan siang dengan keluarga terpandang ini."Kamu yang bernama Nathan?" tanya Brian setelah sedetik duduk di kursinya. Pria yang memakai kaos polo berkerah dengan celana bahan itu memperhatikan baik-baik penampilan Nathan."Iya, Kak.""Kamu tinggal di tempat kumuh itu?"Meski apa yang dikatakan Brian benar, tapi jujur itu membuat hati Nath
Seragam batik rapi dipadu dengan cardigan warna marun mencolok membuat Tara menjadi pusat perhatian saat berjalan dari parkiran. Gadis berkulit putih pucat itu terlihat sangat bahagia.Itu karena kedua kakaknya saling berbaikan dan dia mendapat kesempatan untuk memperbaiki nilai sebelum benar-benar ditransfer ke sekolah lain yang dekat dengan rumah mamanya.Kadang Tara bingung dengan jalan pikiran Brian. Kenapa dia tega sekali ingin memindahkannya padahal sekarang dia sudah kelas XII. Apa kakaknya sedang melakukan sebuah percobaan dengan judul 'apa pengaruh pola pengasuhan terhadap nilai akademik seorang anak?'Di sepanjang perjalanan menuju kelasnya Tara tak henti menebar senyum. Pagi ini auranya cerah seperti mentari. Pesonanya begitu kuat. Saat dia melewati mantan kekasihnya dahulu, dia berhenti dan membuat kontak mata dengan Kevin penuh percaya diri. Dia yakin siswa dengan segudang prestasi itu masih menyimpan rasa padanya."Pagi, Tara. Kamu cantik se
"Berhenti terus mengawasinya dan bantu aku memindahkan bangku ini," repet Nathan jengah melihat Antoni terus-terusan melihat ke Titania yang sedang ngobrol dengan Maria."Cantik, ya, Nat?" Tanya Antoni dengan sorot mata masih tertuju pada gadis pujaannya.Meski enggan, Nathan akhirnya ikut mengamati Titania dari jauh untuk memastikan seberapa cantik gadis yang dipuja-puja sahabatnya. Yah, meskipun dia juga sudah hafal setiap lekuk wajah Titania karena beberapa kali pernah bertemu dengannya. "Masih cantikan Tara.""Cantik kan relatif, Nat. Tara juga cantik dan ... sexy.""Semua perempuan memang cantik di matamu, kecuali matamu sedang tertutup." Nathan menyerah, lebih baik dia mengangkat meja sendiri. Rencananya mereka akan barbeque-an di halaman belakang villa Maria. Tapi sepertinya semua orang bertindak seperti tuan rumah. Tidak ada yang mau membantunya. Dasar orang kaya!"Butuh bantuan?"Nathan mendongak sebentar. Benar, itu adalah Deva men
"Deva?" Demi apapun, Tara belum pernah seterkejut ini sebelumnya hanya karena melihat seorang laki-laki. Di mana Deva yang selalu rapi dengan seragam yang dimasukkan dalam celana? Di hadapannya cowok dengan celana jeans pendek setelan dengan kaos hitam dan sepatu warrior makin membuatnya keren. Keren? Meski Tara sedikit geli mengakuinya tapi Deva memang benar-benar keren dengan baju yang sudah dipilihkannya. "Maaf, lama, ya?" "Wah, kamu bisa keren juga dengan kaos itu," puji Maria sambil menepuk-nepuk pundak Deva, kagum. "Benarkah? Tara memang punya selera bagus. Ini dia yang memilihkan," balas Deva sambil mengalihkan pandangannya pada Tara. "Iya, itu jelas karena seleraku bagus," sahut Tara berusaha menjaga nadanya sedatar mungkin padahal sebenarnya dia ingin menjerit. Bagaimana ini, kenapa hati Tara malah bergemuruh tidak karuan. Tidak. Jangan sampai dia jatuh cinta pada Deva. Ada banyak cowok keren, kaya da
Berkumpul dengan Maria dan teman-teman, membahas gosip-gosip yang beredar sambil pamer tas branded miliknya adalah rencana Tara saat pulang sekolah. Tidak ada yang bisa menggagalkannya kecuali jika ada gempa bumi berkekuatan 7 skala Richter datang tiba-tiba. Yah, dia sudah meminta izin pada Brian dan Alexandra jauh-jauh hari untuk menginap mengingat kakaknya sangat overprotektif padanya. Apalagi setelah peristiwa kemarin. Tara sudah di parkiran menjinjing malas tasnya yang berat karena tumpukan buku-buku mubazir. Fungsi buku bagi Tara tak lebih dari sebagai alas tidur. Oh ada lagi satu fungsi yang lain, alat untuk menutupinya saat makan di kelas agar tidak kelihatan oleh guru. "Taraaa!" Deva memanggil sambil berlari ke arahnya. Cowok itu selalu terlihat segar, ramah dan menyenangkan, sangat cocok sebagai pembawa kuis di TV. "Ada apa?" Entah kenapa hati Tara merasa sedikit senang saat Deva menghampirinya. Sejak pertama masuk ke sekolah, dia tid
Baru saja Tara akan melangkah keluar kelas menyusul teman-temannya yang sudah duluan ke kantin, seorang siswi tampak berlari kecil menuju ke arahnya.Tara mematung sejenak melihat gadis itu melambai-lambaikan tangannya dari kejauhan. Oke, ini mulai aneh. Apa sekarang dirinya sedang ditaksir oleh cewek? Astaga! Menjadi cantik ternyata merepotkan sekali."Hai!" sapa gadis itu sambil menata napasnya yang ngos-ngosan. Keringat mulai muncul di sekitar pelipisnya."Aku tahu ini sedikit aneh, tapi apa kamu mau menerima ini?" lanjutnya lagi. Gadis dengan memakai riasan mirip Tara tersebut menyodorkan sebuah kotak berwarna cokelat dibungkus dengan pita merah.Ini gila! Tara sama sekali tidak terpikirkan untuk jadi lesbian, meski selama ini dia pacaran hanya untuk status saja. Demi apapun, dia masih sangat normal.Tara hanya menatapnya dengan tidak minat, seolah hanya dengan tatapannya dia berkata, 'Maaf, aku tidak butuh itu, bocah. Aku kay
Seragam batik rapi dipadu dengan cardigan warna marun mencolok membuat Tara menjadi pusat perhatian saat berjalan dari parkiran. Gadis berkulit putih pucat itu terlihat sangat bahagia.Itu karena kedua kakaknya saling berbaikan dan dia mendapat kesempatan untuk memperbaiki nilai sebelum benar-benar ditransfer ke sekolah lain yang dekat dengan rumah mamanya.Kadang Tara bingung dengan jalan pikiran Brian. Kenapa dia tega sekali ingin memindahkannya padahal sekarang dia sudah kelas XII. Apa kakaknya sedang melakukan sebuah percobaan dengan judul 'apa pengaruh pola pengasuhan terhadap nilai akademik seorang anak?'Di sepanjang perjalanan menuju kelasnya Tara tak henti menebar senyum. Pagi ini auranya cerah seperti mentari. Pesonanya begitu kuat. Saat dia melewati mantan kekasihnya dahulu, dia berhenti dan membuat kontak mata dengan Kevin penuh percaya diri. Dia yakin siswa dengan segudang prestasi itu masih menyimpan rasa padanya."Pagi, Tara. Kamu cantik se
Suasana di restoran cepat saji masih lumayan ramai ketika rombongan Tara dan kakak-kakaknya datang. Brian mencari tempat duduk, sedangkan Tara dan Alex memesan makanan yang sudah mereka diskusikan di tempat parkir.Nathan mengekori Brian pelan-pelan. Sebenarnya dia canggung sekali. Apalagi mereka dipertemukan pada situasi yang tidak enak seperti ini.Jika diilihat-lihat Nathan merasa paling kumal diantara mereka berempat. Kulitnya yang sawo matang dipadu dengan kaos seadanya semakin memperlihatkan jarak kasta antara dirinya dan keluarga Tara. Perasaan menyesal muncul kembali kenapa dia mau ikut makan siang dengan keluarga terpandang ini."Kamu yang bernama Nathan?" tanya Brian setelah sedetik duduk di kursinya. Pria yang memakai kaos polo berkerah dengan celana bahan itu memperhatikan baik-baik penampilan Nathan."Iya, Kak.""Kamu tinggal di tempat kumuh itu?"Meski apa yang dikatakan Brian benar, tapi jujur itu membuat hati Nath
Sebuah mobil Lexus putih melaju mulus membelah jalanan kota. Matahari bersinar menyengat membuat catnya semakin terlihat mentereng. Kontras dengan keadaan di dalamnya yang sedingin es. Sudah seperempat jam Brian dan Alexandra berada dalam satu mobil namun belum ada tanda-tanda saling mau membuka obrolan.Tidak mau terus-terusan tersiksa oleh keheningan, Alex berinisiatif menyalakan tape agar suasana mencair. Belum sampai tangannya menjulur, Brian langsung menatapnya dengan jenis tatapan intimidasi. Seolah sorot mata kakaknya mengatakan 'Diam!'. Alex mengurungkan niatnya daripada memperkeruh suasana.Beberapa kali Brian harus berputar-putar kerena kesulitan menemukan alamat Nathan. Sepertinya bocah itu sengaja memberti titik lokasi yang salah agar dirinya bisa mengulur waktu. Sepuluh menit berlalu, mereka akhirnya sampai. Brian sempat was-was mobilnya tidak bisa masuk gang mengingat gang-gang yang dia lewati tidak terlalu lebar."Tara benar ada
"Kabur?!" teriak Brian tidak percaya. Matanya melotot hampir melompat dari kelopak. Dia baru saja pulang dari luar kota ketika mendengar kabar Tara pergi dan tidak pulang dari semalam. Jelas itu membuat amarahnya memuncak.Laki-laki berahang tegas itu langsung berlari menaiki anak tangga menuju kamar Alexandra. Tanpa permisi dia langsung membuka pintu serampangan."Di mana Tara?!" tanya Brian, mencekeram kedua bahu Alex dengan kuat."Dia belum pulang.""Cari! Cari sampai ketemu! Kamu baru boleh menginjakkan kakimu di rumah ini lagi!"Brian tidak habis pikir. Bagaimana bisa Alex mengawasi satu adik perempuan saja sampai gagal? Fasilitas semua sudah ada. Mobil, motor sport keluaran terbaru, uang jajan, makanan, sampai kolam renang lengkap di rumah. Bisa-bisanya Tara malah keluyuran sampai tidak pulang."Kenapa aku? Bukannya Tara adalah tanggung jawab kita bersama?" elak Alex tidak terima."Kau yang ada di rumah! Kau ya
Gerimis ringan mengguyur jalanan. Deru mesin mobil memecah keheningan malam. Tara akhirnya sampai di kompleks kos Nathan yang terletak di pinggiran kota. Suasananya cukup sunyi waktu malam hari. Hanya suara jangrik dan kodok bersahutan sana sini."Nathan!!" Suara Tara menggema, membuat Nathan yang duduk di kursi teras terkejut."Ssttt ... Tara pelankan suaramu! Ini bukan rumahmu yang sebesar kastil!" Sesosok laki-laki berperawakan tinggi muncul dari sebuah gang remang-remang.Gadis yang masih memakai seragam sekolah itu celingukan. Dia berlari kecil menuju teras, bajunya agak basah terkena gerimis. Saat Tara sudah berhadapan dengan Nathan, dia sedikit tertegun melihat teman laki-lakinya yang sudah akrab dua tahunan ini.Bagaimana tidak? Nathan yang biasanya berpakaian rapi kini hanya memakai celana jeans sedengkul dengan kaos polos berwarna abu-abu. Rambutnya agak berantakan tapi itu malah membuatnya semakin cool."Apa yang terjadi?""Aku be