Share

3. Bohong

Penulis: Melian Lee
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Hal pertama yang dilakukan oleh Tara saat sampai rumah adalah mengecek handphone. Benar saja, pesan dari Maria dan kakaknya berderet paling atas. Hidupnya kini serasa di ujung tanduk. Brian pasti akan mengirimnya ke pulau Sentinel kalau tahu dia membolos sekolah.

“Tara, kamu dari mana?” Brian, kakak tertuanya sudah menyambut di ambang pintu sambil melipat tangan ke dada. 

Sebisa mungkin Tara bersikap tenang. Berakting adalah salah satu bakatnya, itu tidak akan sulit. 

“Ada acara peninjauan tempat untuk acara di sekolah, jadi aku izin untuk tidak ikut pelajaran terakhir.”

“Sungguh?” Brian tentu tidak akan mudah percaya. Menjadi kakak tertua dari dua orang adik yang bandel membuatnya selalu waspada.

“Iya. Kalau tidak percaya silakan hubungi temanku.”

“Siapa? Maria? Nathan? Antoni? Jelas kalian pasti sudah bersekongkol.”

“Bukan. Dia Deva, bendahara di kelasku. Kami baru akrab sejak pagi tadi.” Bagian itu tentu Tara tidak berbohong.

Merasa alasan Tara masuk akal, Brian sudah mulai percaya. Dia tidak punya banyak waktu untuk melakukan interogasi seperti ini. Dia sangat sibuk. Selain mengurus perusahaan properti, dia juga bertanggung hendak menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya.

“Makanan kesukaanmu sudah siap di meja makan,” ucap Brian melenggang masuk ke rumah lagi. Tara hanya menatap punggung laki-laki yang telah menjaganya beberapa tahun dengan haru.

“Kau tahu? Kau adalah kakak terbaik di seluruh dunia, Brian. Maaf telah membohongimu,” bisik Tara lirih.

Sebenarnya Tara mempunyai satu orang kakak lagi. Dia bernama Alexandra. Alex lebih sering menghabiskan waktu dengan memanjat gunung atau berkumpul dengan teman-temannya daripada di rumah. Mungkin sebentar lagi namanya bakal hilang dari kartu keluarga karena kebiasaannya. Brian sudah hampir hilang kesabaran menghadapi Alex. Kalau itu terjadi, Alex akan jadi gelandangan.

Ayah mereka sudah meninggal. Ibu menikah lagi dan sudah memiliki satu anak. Sudah jelas, Tara, Alex dan Brian tidak akan mau tinggal serumah dengan papa tiri. Lagi pula rumah yang mereka tinggali tidak kalah besar.

Tara membuka satu per satu pesan di handphone-nya sambil menikmati sup brokoli dan telur mata sapi setengah matang kesukaannya.

Dari Nathan:

Kamu di mana? Kami khawatir!

Tara, tolong jangan bunuh diri! Aku sayang sama kamu.

Nol adalah awal. Mari kita belajar bersama, kamu pasti bisa dapat nilai 100.

               

Nasi yang sedang Tara kunyah hampir tesembur keluar. Dia tertawa terbahak-bahak. Benar-benar ajaib isi kepala Nathan. Cowok berkacamata itu pasti sangat khawatir sampai mengira dirinya bunuh diri.

Maria menelepon saat jari Tara bersiap mengetik balasan untuk Nathan.

'Kamu kemana saja?! Aku meneleponmu sepagian dan kamu sengaja mengabaikannya!'

Tara refleks sedikit menjauhkan handphone dari kupingnya.

"Ya, aku minta maaf soal itu, Sayang. Aku ada kepentingan mendadak."

'Kepentingan apa? Kak Brian menikah? Menyelamatkan bumi dari Alien? Apa?'

"Besok akan kuceritakan. Sekarang aku ingin istirahat dan menikmati makan soreku dulu."

'Baiklah, baiklah. Nikmati saja makananmu dan sekaligus menyiksaku dengan rasa penasaran.'

Terdengar suara raungan motor dari halaman. Alexandra sudah pulang. Tara buru-buru mematikan teleponnya sebelum mendengar Maria menanyakan kebolosannya tadi siang.

"Aku kira kamu lupa arah jalan pulang," sindir Tara seraya meletakkan handphone-nya di samping piring.

"Kau merindukanku?" Alexandra mendekatkan wajahnya, kemudian mengacak-acak rambut adiknya. 

"Aku? Jangan mimpi!"

"Kau tidak bolos, kan, Tara?" Dia mengendus lengan baju Tara.

"Ti-tidak. Kenapa tiba-tiba menanyakan itu?"

"Hmn ... entahlah, aku seperti mencium bau rokok di bajumu. Apa kau merokok sekarang?" 

Itu pasti gara-gara dirinya berdekatan dengan Deva. Balik dari warung baju Deva bau rokok karena dia bergerombol dengan teman-temannya yang hampir semuanya sedang merokok.

Tara mendorong bahu Alexandra agar dia menjauh. Kakaknya kadang-kadang sangat peka. Dia bisa mengetahui bahwa dirinya berbohong melalui hal-hal kecil yang menurutnya tidak masuk akal.

"Aku tidak membolos, Kak."

"Baiklah aku percaya." Laki-laki berambut gondrong diikat serampangan tersebut mengambil piring.

Baru saja Alex hendak menyuapkan nasi ke mulutnya, Brian datang dan memukul pundaknya dari belakang. Sontak dia hampir tersedak karena kaget.

"Kakak! Kau berusaha membunuhku ya?"

"Aku tidak perlu repot-repot membunuhmu kalau setiap hari kerjamu hanya keluyuran di jalan, memanjat tebing, hiking. Kau akan mati muda dengan sendirinya."

"Kakakku yang tampan ... itu namanya olahraga outdoor," sanggah Alex, kemudian memasukkan sesendok nasi ke mulutnya yang sempat tertunda.

"Terserah apa namanya. Kau niat kuliah tidak? Kalau tidak, lebih kau bantu aku mengelola perusahaan."

"Apa? Dia mengelola perusahaan? Tidak! Aku tidak mau jatuh miskin," sela Tara tidak terima. Jelas Alex lebih berbakat menghancurkan perusahaan daripada mengembangkannya. 

"Hmn, benar, kali ini aku setuju denganmu, Tara. Aku sama sekali tidak tertarik jadi penerus perusahaan."

"Lalu?" 

"Aku ingin jadi DJ."

"Uhuk! A-apa?" Brian yang baru menegak air putih terdedak mendengar jawaban Alex barusan. Tara bangkit dari duduk untuk menepuk-nepuk punggung Kakak tertuanya. 

"Kenapa adikku dua-duanya tidak ada yang benar, sih? Yang satu suka keluyuran, yang satu nilainya hancur entah bisa lulus atau tidak. Kalian berdua bisa tidak sedikit mengurangi bebanku, hah?!"

Alex dan Tara terdiam. Mereka sadar apa yang dikatakan kakak mereka benar. Semua beban dipikul Brian sendiri. Mulai dari mengurus rumah sampai mengurus perusahaan. Dia adalah pengganti sosok ayah setelah meninggal.

"Tara, kamu sebaiknya ikut mama saja. Kakak merasa gagal mendidikmu."

Tara menggeleng cepat. Matanya berkaca-kaca. Dia tidak mau jika harus tinggal bersama mamanya bersama papa tiri yang membencinya setengah mati.

"Kamu kan sudah kelas XII sebentar lagi ujian kelulusan. Nilaimu tidak ada peningkatan sama sekali. Kakak bukannya tak mau mengurusimu, Tara. Kakak sayang sekali sama kamu. Tapi kakak juga tidak punya banyak waktu untuk menjaga dan mengawasimu belajar. Lihat kakakmu, Alex, dia juga jarang di rumah. Kakak tidak sanggup ...."

Alex dan Tara hanya merunduk memandangi piring di hadapannya seolah-olah itu adalah benda paling menarik di dunia. Perasaan mereka campur aduk antara sedih dan merasa bersalah. Selama ini mereka hanya main-main sedangkan sang kakak memutar otak siang malam menjalankan perusahaan agar tidak merugi. Belum lagi menyelesaikan kuliahnya di semester akhir.

Bab terkait

  • Queen of School   4. Bertengkar

    Ranjang berseprei putih bersih itu berderit saat Tara menjatuhkan tubuhnya. Dia membenamkan wajahnya ke guling agar isaknya tidak terdengar. Rasa menyesal dan tidak berguna saling beradu. Andai saja otaknya tidak sebodoh ini, pasti keadaan akan lebih baik. Dia benar-benar tidak mau pindah ke rumah mama.Tiba-tiba pintu terbuka dan Alex masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu. Di suasana seperti ini masih saja Alex membuat Tara semakin murka."Ketuk pintu dulu! Kebiasaan!""Iya, iya." Alex kembali menghampiri pintu dan mengetukkan jarinya. "Tok tok permisi, tukang rusuh mau lewat."Tara tersenyum sedikit. Meski menyebalkan, Alex selalu bisa membuatnya terhibur dengan tingkah konyolnya."Jadi kenapa masih rebahan? Kemasi barang-barangmu!" tegas Alex dengan mimik muka serius.Hati Tara serasa meluncur jatuh ke lantai mendengar itu. Sakit sekali, dia mengira Alex akan menahannya pergi tapi ternyata dia tidak melakukannya. Tangisnya pecah tak

  • Queen of School   5. Sebuah Rencana

    Sudah hampir jam tujuh pagi. Tara duduk manis di meja makan sambil asyik memainkan handphone. Nasi goreng beserta kerupuk dan lalapan terhidang di depannnya. Mbak Ina, asisten rumah tangga masih mondar-mandir menyiapkan air minum dan buah."Mbak, Kak Brian mana?" tanya Tara yang sudah jengah menunggu terlalu lama. Biasanya mereka sarapan bersama sebelum memulai aktivitas masing-masing."Loh, Den Brian kan sudah berangkat dari tadi, Non.""Apa?! Kenapa tidak bilang?""Saya kira Non Tara sudah tahu."Astaga! Bagaimana caranya dia bisa berkonsentrasi belajar kalau paginya sudah di awali dengan kejadian tidak mengenakkan seperti ini. Buru-buru Tara menyambar tas ransel kemudian berlari ke garasi untuk mengendarai Civic Hatchback merahnya.Sepanjang perjalanan Tara terus mengoceh. Bisa-bisanya Brian tidak memberitahu berangkat duluan. Apa gara-gara pertengkarannya semalam dengan Alex?***"Kamu terlambat?"Ingin sekali rasany

  • Queen of School   6. Diskusi

    Bel tanda pelajaran berakhir berdering nyaring. Siswa berhamburan keluar kelas seperti tawanan yang baru saja bebas. Tara keluar ruang laboratorium Kimia dengan muka kusut, begitu juga dengan ketiga temannya. Praktikum titrasi oksireduksimetri membuat mereka pusing tujuh keliling. Beruntung mereka berempat tidak jadi satu kelompok. Kalau itu terjadi kelompok mereka akan menjadi kelompok dengan nilai terburuk."Praktikumnya sih menyenangkan, cuma ngikutin langkah-langkah yang disuruh Pak Abu. Tapi soalnya itu loh, susah sekali seperti mengalahkan Benteng Takeshi." Antoni bersungut-sungut."Memangnya kamu mikir? Bukannya kamu hanya titip nama saja?" sindir Nathan. Dia jarang bicara, tapi sekalinya bicara kata-katanya setajam pisau."Sebagai siswa yang baik, aku tetap berusaha berkontribusi ke kelompokku.""Kontribusimu cukup dengan diam dan tidak membuat rusuh," sahut Tara. Dia hafal benar kelakuan Antoni yang tidak pernah serius."Jadi bagaima

  • Queen of School   7. Harapan

    Rumah megah bergaya Eropa klasik itu terlihat lengang. Mobil Tara memasuki halaman luas dengan bunga everglow menyambut sepanjang pagar. Di tengah halaman ada sebuah kolam dikelilingi beraneka ragam bunga anggrek dan mawar. Dulu Rosa suka sekali menghabiskan waktu merawat bunga-bunga. Sekarang kegiatan itu diambil alih asisten rumah tangga sepenuhnya. Di samping pohon palem yang berjajar ada bonsai kesayangan Frans, ayah Tara. Bonsai-bonsai itu ditata rapi dan selalu dipangkas secara teratur oleh Mang Kus sang tukang kebun.Tara keluar dari mobil disambut oleh angin yang bertiup memainkan rambutnya yang diikat ekor kuda. Dia segera masuk ke dalam rumah. Sepi. Hanya ada Mbak Ina yang membersihkan meja ruang tamu."Belum pada pulang, Mbak?" Tara meletakkan ranselnya sembarang."Den Brian belum, Non, tapi kalau Den Alex sudah. Sekarang lagi di kamar.""Ya sudah, Mbak. Oh, iya, untuk makan malam aku mau tumis kangkung dan telur setengah matang seperti biasa."

  • Queen of School   8. Menginap

    Gerimis ringan mengguyur jalanan. Deru mesin mobil memecah keheningan malam. Tara akhirnya sampai di kompleks kos Nathan yang terletak di pinggiran kota. Suasananya cukup sunyi waktu malam hari. Hanya suara jangrik dan kodok bersahutan sana sini."Nathan!!" Suara Tara menggema, membuat Nathan yang duduk di kursi teras terkejut."Ssttt ... Tara pelankan suaramu! Ini bukan rumahmu yang sebesar kastil!" Sesosok laki-laki berperawakan tinggi muncul dari sebuah gang remang-remang.Gadis yang masih memakai seragam sekolah itu celingukan. Dia berlari kecil menuju teras, bajunya agak basah terkena gerimis. Saat Tara sudah berhadapan dengan Nathan, dia sedikit tertegun melihat teman laki-lakinya yang sudah akrab dua tahunan ini.Bagaimana tidak? Nathan yang biasanya berpakaian rapi kini hanya memakai celana jeans sedengkul dengan kaos polos berwarna abu-abu. Rambutnya agak berantakan tapi itu malah membuatnya semakin cool."Apa yang terjadi?""Aku be

  • Queen of School   9. Kakak yang Gagal

    "Kabur?!" teriak Brian tidak percaya. Matanya melotot hampir melompat dari kelopak. Dia baru saja pulang dari luar kota ketika mendengar kabar Tara pergi dan tidak pulang dari semalam. Jelas itu membuat amarahnya memuncak.Laki-laki berahang tegas itu langsung berlari menaiki anak tangga menuju kamar Alexandra. Tanpa permisi dia langsung membuka pintu serampangan."Di mana Tara?!" tanya Brian, mencekeram kedua bahu Alex dengan kuat."Dia belum pulang.""Cari! Cari sampai ketemu! Kamu baru boleh menginjakkan kakimu di rumah ini lagi!"Brian tidak habis pikir. Bagaimana bisa Alex mengawasi satu adik perempuan saja sampai gagal? Fasilitas semua sudah ada. Mobil, motor sport keluaran terbaru, uang jajan, makanan, sampai kolam renang lengkap di rumah. Bisa-bisanya Tara malah keluyuran sampai tidak pulang."Kenapa aku? Bukannya Tara adalah tanggung jawab kita bersama?" elak Alex tidak terima."Kau yang ada di rumah! Kau ya

  • Queen of School   10. Penyesalan

    Sebuah mobil Lexus putih melaju mulus membelah jalanan kota. Matahari bersinar menyengat membuat catnya semakin terlihat mentereng. Kontras dengan keadaan di dalamnya yang sedingin es. Sudah seperempat jam Brian dan Alexandra berada dalam satu mobil namun belum ada tanda-tanda saling mau membuka obrolan.Tidak mau terus-terusan tersiksa oleh keheningan, Alex berinisiatif menyalakan tape agar suasana mencair. Belum sampai tangannya menjulur, Brian langsung menatapnya dengan jenis tatapan intimidasi. Seolah sorot mata kakaknya mengatakan 'Diam!'. Alex mengurungkan niatnya daripada memperkeruh suasana.Beberapa kali Brian harus berputar-putar kerena kesulitan menemukan alamat Nathan. Sepertinya bocah itu sengaja memberti titik lokasi yang salah agar dirinya bisa mengulur waktu. Sepuluh menit berlalu, mereka akhirnya sampai. Brian sempat was-was mobilnya tidak bisa masuk gang mengingat gang-gang yang dia lewati tidak terlalu lebar."Tara benar ada

  • Queen of School   11. Kesempatan Kedua

    Suasana di restoran cepat saji masih lumayan ramai ketika rombongan Tara dan kakak-kakaknya datang. Brian mencari tempat duduk, sedangkan Tara dan Alex memesan makanan yang sudah mereka diskusikan di tempat parkir.Nathan mengekori Brian pelan-pelan. Sebenarnya dia canggung sekali. Apalagi mereka dipertemukan pada situasi yang tidak enak seperti ini.Jika diilihat-lihat Nathan merasa paling kumal diantara mereka berempat. Kulitnya yang sawo matang dipadu dengan kaos seadanya semakin memperlihatkan jarak kasta antara dirinya dan keluarga Tara. Perasaan menyesal muncul kembali kenapa dia mau ikut makan siang dengan keluarga terpandang ini."Kamu yang bernama Nathan?" tanya Brian setelah sedetik duduk di kursinya. Pria yang memakai kaos polo berkerah dengan celana bahan itu memperhatikan baik-baik penampilan Nathan."Iya, Kak.""Kamu tinggal di tempat kumuh itu?"Meski apa yang dikatakan Brian benar, tapi jujur itu membuat hati Nath

Bab terbaru

  • Queen of School   16. Cemburu?

    "Berhenti terus mengawasinya dan bantu aku memindahkan bangku ini," repet Nathan jengah melihat Antoni terus-terusan melihat ke Titania yang sedang ngobrol dengan Maria."Cantik, ya, Nat?" Tanya Antoni dengan sorot mata masih tertuju pada gadis pujaannya.Meski enggan, Nathan akhirnya ikut mengamati Titania dari jauh untuk memastikan seberapa cantik gadis yang dipuja-puja sahabatnya. Yah, meskipun dia juga sudah hafal setiap lekuk wajah Titania karena beberapa kali pernah bertemu dengannya. "Masih cantikan Tara.""Cantik kan relatif, Nat. Tara juga cantik dan ... sexy.""Semua perempuan memang cantik di matamu, kecuali matamu sedang tertutup." Nathan menyerah, lebih baik dia mengangkat meja sendiri. Rencananya mereka akan barbeque-an di halaman belakang villa Maria. Tapi sepertinya semua orang bertindak seperti tuan rumah. Tidak ada yang mau membantunya. Dasar orang kaya!"Butuh bantuan?"Nathan mendongak sebentar. Benar, itu adalah Deva men

  • Queen of School   15. Tawanan

    "Deva?" Demi apapun, Tara belum pernah seterkejut ini sebelumnya hanya karena melihat seorang laki-laki. Di mana Deva yang selalu rapi dengan seragam yang dimasukkan dalam celana? Di hadapannya cowok dengan celana jeans pendek setelan dengan kaos hitam dan sepatu warrior makin membuatnya keren. Keren? Meski Tara sedikit geli mengakuinya tapi Deva memang benar-benar keren dengan baju yang sudah dipilihkannya. "Maaf, lama, ya?" "Wah, kamu bisa keren juga dengan kaos itu," puji Maria sambil menepuk-nepuk pundak Deva, kagum. "Benarkah? Tara memang punya selera bagus. Ini dia yang memilihkan," balas Deva sambil mengalihkan pandangannya pada Tara. "Iya, itu jelas karena seleraku bagus," sahut Tara berusaha menjaga nadanya sedatar mungkin padahal sebenarnya dia ingin menjerit. Bagaimana ini, kenapa hati Tara malah bergemuruh tidak karuan. Tidak. Jangan sampai dia jatuh cinta pada Deva. Ada banyak cowok keren, kaya da

  • Queen of School   14. Belanja

    Berkumpul dengan Maria dan teman-teman, membahas gosip-gosip yang beredar sambil pamer tas branded miliknya adalah rencana Tara saat pulang sekolah. Tidak ada yang bisa menggagalkannya kecuali jika ada gempa bumi berkekuatan 7 skala Richter datang tiba-tiba. Yah, dia sudah meminta izin pada Brian dan Alexandra jauh-jauh hari untuk menginap mengingat kakaknya sangat overprotektif padanya. Apalagi setelah peristiwa kemarin. Tara sudah di parkiran menjinjing malas tasnya yang berat karena tumpukan buku-buku mubazir. Fungsi buku bagi Tara tak lebih dari sebagai alas tidur. Oh ada lagi satu fungsi yang lain, alat untuk menutupinya saat makan di kelas agar tidak kelihatan oleh guru. "Taraaa!" Deva memanggil sambil berlari ke arahnya. Cowok itu selalu terlihat segar, ramah dan menyenangkan, sangat cocok sebagai pembawa kuis di TV. "Ada apa?" Entah kenapa hati Tara merasa sedikit senang saat Deva menghampirinya. Sejak pertama masuk ke sekolah, dia tid

  • Queen of School   13. Sang Penjiplak

    Baru saja Tara akan melangkah keluar kelas menyusul teman-temannya yang sudah duluan ke kantin, seorang siswi tampak berlari kecil menuju ke arahnya.Tara mematung sejenak melihat gadis itu melambai-lambaikan tangannya dari kejauhan. Oke, ini mulai aneh. Apa sekarang dirinya sedang ditaksir oleh cewek? Astaga! Menjadi cantik ternyata merepotkan sekali."Hai!" sapa gadis itu sambil menata napasnya yang ngos-ngosan. Keringat mulai muncul di sekitar pelipisnya."Aku tahu ini sedikit aneh, tapi apa kamu mau menerima ini?" lanjutnya lagi. Gadis dengan memakai riasan mirip Tara tersebut menyodorkan sebuah kotak berwarna cokelat dibungkus dengan pita merah.Ini gila! Tara sama sekali tidak terpikirkan untuk jadi lesbian, meski selama ini dia pacaran hanya untuk status saja. Demi apapun, dia masih sangat normal.Tara hanya menatapnya dengan tidak minat, seolah hanya dengan tatapannya dia berkata, 'Maaf, aku tidak butuh itu, bocah. Aku kay

  • Queen of School   12. Permulaan

    Seragam batik rapi dipadu dengan cardigan warna marun mencolok membuat Tara menjadi pusat perhatian saat berjalan dari parkiran. Gadis berkulit putih pucat itu terlihat sangat bahagia.Itu karena kedua kakaknya saling berbaikan dan dia mendapat kesempatan untuk memperbaiki nilai sebelum benar-benar ditransfer ke sekolah lain yang dekat dengan rumah mamanya.Kadang Tara bingung dengan jalan pikiran Brian. Kenapa dia tega sekali ingin memindahkannya padahal sekarang dia sudah kelas XII. Apa kakaknya sedang melakukan sebuah percobaan dengan judul 'apa pengaruh pola pengasuhan terhadap nilai akademik seorang anak?'Di sepanjang perjalanan menuju kelasnya Tara tak henti menebar senyum. Pagi ini auranya cerah seperti mentari. Pesonanya begitu kuat. Saat dia melewati mantan kekasihnya dahulu, dia berhenti dan membuat kontak mata dengan Kevin penuh percaya diri. Dia yakin siswa dengan segudang prestasi itu masih menyimpan rasa padanya."Pagi, Tara. Kamu cantik se

  • Queen of School   11. Kesempatan Kedua

    Suasana di restoran cepat saji masih lumayan ramai ketika rombongan Tara dan kakak-kakaknya datang. Brian mencari tempat duduk, sedangkan Tara dan Alex memesan makanan yang sudah mereka diskusikan di tempat parkir.Nathan mengekori Brian pelan-pelan. Sebenarnya dia canggung sekali. Apalagi mereka dipertemukan pada situasi yang tidak enak seperti ini.Jika diilihat-lihat Nathan merasa paling kumal diantara mereka berempat. Kulitnya yang sawo matang dipadu dengan kaos seadanya semakin memperlihatkan jarak kasta antara dirinya dan keluarga Tara. Perasaan menyesal muncul kembali kenapa dia mau ikut makan siang dengan keluarga terpandang ini."Kamu yang bernama Nathan?" tanya Brian setelah sedetik duduk di kursinya. Pria yang memakai kaos polo berkerah dengan celana bahan itu memperhatikan baik-baik penampilan Nathan."Iya, Kak.""Kamu tinggal di tempat kumuh itu?"Meski apa yang dikatakan Brian benar, tapi jujur itu membuat hati Nath

  • Queen of School   10. Penyesalan

    Sebuah mobil Lexus putih melaju mulus membelah jalanan kota. Matahari bersinar menyengat membuat catnya semakin terlihat mentereng. Kontras dengan keadaan di dalamnya yang sedingin es. Sudah seperempat jam Brian dan Alexandra berada dalam satu mobil namun belum ada tanda-tanda saling mau membuka obrolan.Tidak mau terus-terusan tersiksa oleh keheningan, Alex berinisiatif menyalakan tape agar suasana mencair. Belum sampai tangannya menjulur, Brian langsung menatapnya dengan jenis tatapan intimidasi. Seolah sorot mata kakaknya mengatakan 'Diam!'. Alex mengurungkan niatnya daripada memperkeruh suasana.Beberapa kali Brian harus berputar-putar kerena kesulitan menemukan alamat Nathan. Sepertinya bocah itu sengaja memberti titik lokasi yang salah agar dirinya bisa mengulur waktu. Sepuluh menit berlalu, mereka akhirnya sampai. Brian sempat was-was mobilnya tidak bisa masuk gang mengingat gang-gang yang dia lewati tidak terlalu lebar."Tara benar ada

  • Queen of School   9. Kakak yang Gagal

    "Kabur?!" teriak Brian tidak percaya. Matanya melotot hampir melompat dari kelopak. Dia baru saja pulang dari luar kota ketika mendengar kabar Tara pergi dan tidak pulang dari semalam. Jelas itu membuat amarahnya memuncak.Laki-laki berahang tegas itu langsung berlari menaiki anak tangga menuju kamar Alexandra. Tanpa permisi dia langsung membuka pintu serampangan."Di mana Tara?!" tanya Brian, mencekeram kedua bahu Alex dengan kuat."Dia belum pulang.""Cari! Cari sampai ketemu! Kamu baru boleh menginjakkan kakimu di rumah ini lagi!"Brian tidak habis pikir. Bagaimana bisa Alex mengawasi satu adik perempuan saja sampai gagal? Fasilitas semua sudah ada. Mobil, motor sport keluaran terbaru, uang jajan, makanan, sampai kolam renang lengkap di rumah. Bisa-bisanya Tara malah keluyuran sampai tidak pulang."Kenapa aku? Bukannya Tara adalah tanggung jawab kita bersama?" elak Alex tidak terima."Kau yang ada di rumah! Kau ya

  • Queen of School   8. Menginap

    Gerimis ringan mengguyur jalanan. Deru mesin mobil memecah keheningan malam. Tara akhirnya sampai di kompleks kos Nathan yang terletak di pinggiran kota. Suasananya cukup sunyi waktu malam hari. Hanya suara jangrik dan kodok bersahutan sana sini."Nathan!!" Suara Tara menggema, membuat Nathan yang duduk di kursi teras terkejut."Ssttt ... Tara pelankan suaramu! Ini bukan rumahmu yang sebesar kastil!" Sesosok laki-laki berperawakan tinggi muncul dari sebuah gang remang-remang.Gadis yang masih memakai seragam sekolah itu celingukan. Dia berlari kecil menuju teras, bajunya agak basah terkena gerimis. Saat Tara sudah berhadapan dengan Nathan, dia sedikit tertegun melihat teman laki-lakinya yang sudah akrab dua tahunan ini.Bagaimana tidak? Nathan yang biasanya berpakaian rapi kini hanya memakai celana jeans sedengkul dengan kaos polos berwarna abu-abu. Rambutnya agak berantakan tapi itu malah membuatnya semakin cool."Apa yang terjadi?""Aku be

DMCA.com Protection Status