Meski berotak udang, Tara tidak pernah sekali pun memikirkan hal seperti itu. Dia adalah Queen of School. Ikonnya sekolah. Fotonya terpampang di halaman depan sampul brosur. Tara sangat lihai memainkan baton. Drumband sekolahnya beberapa kali menyabet gelar juara berkat dirinya. Setidaknya Tara memberi kontribusi positif untuk sekolah ini walaupun tidak berbentuk prestasi akademik.
Ayo kita bolos.
Kalimat barusan masih berputar-putar di otak. Deva mengajaknya membolos di jam pelajaran Bahasa Indonesia.
"Bagaimana? Mau?"
"Kenapa tiba-tiba mengajak membolos?" tanya Tara menyelidik.
Mereka memang satu kelas, tapi tidak begitu akrab. Deva hanya bicara padanya saat menagih iuran kas karena dia adalah bendahara. Sedangkan Tara membayar kas setahun sekali sampai akhir tahun.
"Lagi pula kamu bakalan tidur, Bahasa Indonesia pelajaran yang membosankan bukan?"
"Maksudku, kamu yang jarang ngobrol sama aku, kenapa tiba-tiba mengajak bolos?"
"Jujur saja aku merasa miris melihat kamu saat di kantin tadi. Kamu seperti remaja yang tidak tahu cara menikmati masa-masa indahnya SMA."
Tara meneguk ludah kasar. Benar. Dia memang selalu rajin ke sekolah, bukan untuk belajar melainkan untuk tebar pesona. Mencari jaringan sebanyak-banyaknya agar mendapat privilege di sekolah ini. Terakhir dia rela dipacari oleh ketua OSIS demi mempertahankan reputasinya dan demi menutupi kelemahannya; bodoh.
Dia juga akrab dengan semua guru serta pelatih ekstrakurikuler. Sering mentraktir. Apa pun dia lakukan asal tidak tinggal kelas. Kalau boleh jujur, dia tidak bahagia.
Tapi apakah membolos adalah solusi?
"Ini akan jadi hal yang menyenangkan. Tapi kalau kamu tidak mau, tidak apa-apa aku akan bolos sendiri."
Jam terus berputar. Deva masih setia menunggu jawaban. Seperti merasa akan mendapat penolakan, cowok berponi hampir menyentuh alis itu mengajukan penawaran.
"Kalau kamu mau membolos, aku akan membantumu remedial Fisika. Setuju?" Deva mengulurkan tangannya.
Tara mematung sejenak, sedetik kemudian menyambut tangan Deva. "Setuju."
***
Kamu di mana? Bu Siti sudah datang.
Tara membuka pesan dari Maria. Belum sempat membalas, Deva menyuruhnya untuk mendekat ke tembok pagar.
"Naik," perintahnya.
"Apa?"
"Naik ke sini putri yang cantik jelita." Deva menepuk-nepuk pundaknya.
Sial! Kalimat barusan membuat pipi Tara panas. Dia yakin pasti sekarang wajahnya semerah kepiting rebus. Jarang sekali hal ini terjadi karena pujian adalah makanannya sehari-hari.
"Aku tidak mau. Kamu pasti mau ngintip! Iya, kan?!"
"Kecuali mataku terletak di ubun-ubun, isi rokmu aman, Nona."
Tidak ada pilihan lain. Tara sudah sampai di belakang gedung sekolah, tidak mungkin kembali ke kelas. Akhirnya dengan ragu-ragu dia mengangkat kakinya.
"Tunggu!" cegah Deva.
"Apalagi?!"
"Lepas sepatumu lalu lempar ke luar pagar. Seragam ini besok masih dipakai, tidak boleh kotor."
"Kamu tinggal membelinya dengan yang baru."
Deva mendengus sebal, "Aku tidak sekaya Anda, Nona. Tolong berhenti mengoceh sebelum guru lewat dan menjemur kita di halaman sekolah."
Astaga! Kalau tahu membolos bakal seribet ini Tara akan lebih memilih mendengarkan materi Bu Siti di kelas. Terpaksa dia menyetujui permintaan Deva. Setelah melempar sepatunya, dia kemudian naik ke pundak Deva lalu memanjat pagar dan melompat ke bawah.
"Bagaimana? Seru, kan?" kata Deva sumringah setelah berhasil melewati pagar.
"Seru apanya, kakiku hampir tergores batu. Untung tidak lecet," sanggah Tara terus mengomel sembari memakai sepatunya kembali. Mendengar itu Deva hanya tertawa cekikikan.
Mereka berdua berjalan menuju sebuah warung pinggir jalan. Sesampainya di sana, Deva meminta Tara menunggu di luar. Warung berukuran empat kali lima meter itu dipenuhi dengan sekumpulan anak-anak sekolah yang sepertinya sedang membolos juga. Sebagian besar malah berasal dari sekolah yang sama dengan Tara.
Tidak menunggu lama, Deva keluar warung sambil memainkan sebuah kunci di jarinya.
"Ayo kita jalan-jalan," ajaknya, menunggangi salah satu motor matic di parkiran.
"Kemana?"
"Ikut saja."
Seperti kerbau diikat hidungnya, Tara menurut. Dia membonceng menyamping.
"Tidak usah berpegangan kalau tidak mau. Aku tidak akan ngebut."
Dalam hati ingin rasanya dia memaki cowok ini. Saat Tara membuang muka ke belakang terlihat dari kejauhan beberapa anak di warung sibuk melambai-lambaikan tangan ke arahnya.
***
Motor berhenti di sebuah taman yang sepi. Pohon-pohon rindang tumbuh berjajar rapi. Di dekat pohon ada jembatan merah melintang, menyeberangi sungai buatan di bawahnya. Bunga warna-warni tumbuh sepanjang sungai menyejukkan mata.
"Belum pernah ke taman sebelumnya?"
Suara Deva membuat konsentrasinya beralih. Tidak bisakah Tara menikmati sejenak pemandangan ini tanpa gangguan?
"Pernah, tapi tidak sering. Ngomong-ngomong kamu bakalan duduk terus di atas motor seperti itu seharian? Takut kena parkir?"
Lagi-lagi Deva hanya tersenyum mendengar ejekan Tara. Dia beranjak turun dari motor, kemudian berjalan mengekori Tara yang sudah sampai gerbang masuk.
Angin sepoi-sepoi memanjakan mereka. Sepertinya membolos bukan ide buruk jika digantikan berjalan-jalan ke tempat seperti ini.
"Berapa nilaimu tadi?" tanya Deva sambil merebahkan tubuhnya di rerumputan hijau dengan tangan sebagai alas kepala.
"Nol."
"NOL?!" Deva tak percaya. Seumur hidupnya dia tidak pernah mendapat nilai nol. Paling jelek dia mendapat nilai tujuh.
"Iya, Tuan Albert Einstein. Memangnya kenapa?"
"Pantas saja." Suasana hening sejenak. "Kamu tahu alasanku mengajakmu membolos?"
"Mungkin kamu sedang mengadakan taruhan dengan temanmu." Tara memang sering dijadikan bahan taruhan. Tapi dalam hati dia berharap Deva tulus ingin menghiburnya.
"Hahaha. Bukan, bukan. Aku sedang butuh teman bicara. Ini mengenai pacarku."
Jantung Tara mencelos. Darahnya berdesir lebih cepat. Dia mengira kalau Deva peduli padanya, ternyata dia hanya dimanfaatkan. Semua orang sama saja.
Deva memiringkan tubuhnya menghadap Tara yang sedang duduk di sampingnya.
"Apa perempuan suka kejutan?"
"Tergantung." Hati Tara masih sakit. Dia enggan bicara apa pun.
"Kalau bunga? Boneka? Baju? Make up? Buku?" cerca Deva, sama sekali tidak peka.
"Hal yang perempuan inginkan adalah menjadi yang paling diinginkan."
"Hah?"
Tara benar-benar sudah kehilangan kesabaran. Dia menarik kuping Deva dengan keras lalu berteriak, "Perempuan ingin selalu diperlakukan seperti ratu! Dicari! Diperhatikan dan dikejar-kejar!"
Beruntung taman sedang sepi. Kalau tidak, harga diri Deva pasti sudah lenyap ditelan bumi diteriaki seperti ini. Dia adalah siswa terpandai, penuh wibawa, ramah, disegani teman-temannya terutama saat akan minta contekan tapi diperlakukan bak pembantu oleh majikan.
Dia bukannya tidak tahu sifat Tara, tapi ini kali pertama dirinya kena sembur.
"Aku minta maaf. Ayo kita pulang, aku akan mengantarmu."
Tara menyesal membentak Deva, tapi dia sangat menyebalkan. Dia membuat hari ini semakin kacau. Setengah malas dia berdiri kemudian menelpon taksi dan meninggalkan Deva sendirian di taman.
Hal pertama yang dilakukan oleh Tara saat sampai rumah adalah mengecek handphone. Benar saja, pesan dari Maria dan kakaknya berderet paling atas. Hidupnya kini serasa di ujung tanduk. Brian pasti akan mengirimnya ke pulau Sentinel kalau tahu dia membolos sekolah.“Tara, kamu dari mana?” Brian, kakak tertuanya sudah menyambut di ambang pintu sambil melipat tangan ke dada.Sebisa mungkin Tara bersikap tenang. Berakting adalah salah satu bakatnya, itu tidak akan sulit.“Ada acara peninjauan tempat untuk acara di sekolah, jadi aku izin untuk tidak ikut pelajaran terakhir.”“Sungguh?” Brian tentu tidak akan mudah percaya. Menjadi kakak tertua dari dua orang adik yang bandel membuatnya selalu waspada.“Iya. Kalau tidak percaya silakan hubungi temanku.”“Siapa? Maria? Nathan? Antoni? Jelas kalian pasti sudah bersekongkol.”“Bukan. Dia Deva, bendahara di kelasku. Ka
Ranjang berseprei putih bersih itu berderit saat Tara menjatuhkan tubuhnya. Dia membenamkan wajahnya ke guling agar isaknya tidak terdengar. Rasa menyesal dan tidak berguna saling beradu. Andai saja otaknya tidak sebodoh ini, pasti keadaan akan lebih baik. Dia benar-benar tidak mau pindah ke rumah mama.Tiba-tiba pintu terbuka dan Alex masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu. Di suasana seperti ini masih saja Alex membuat Tara semakin murka."Ketuk pintu dulu! Kebiasaan!""Iya, iya." Alex kembali menghampiri pintu dan mengetukkan jarinya. "Tok tok permisi, tukang rusuh mau lewat."Tara tersenyum sedikit. Meski menyebalkan, Alex selalu bisa membuatnya terhibur dengan tingkah konyolnya."Jadi kenapa masih rebahan? Kemasi barang-barangmu!" tegas Alex dengan mimik muka serius.Hati Tara serasa meluncur jatuh ke lantai mendengar itu. Sakit sekali, dia mengira Alex akan menahannya pergi tapi ternyata dia tidak melakukannya. Tangisnya pecah tak
Sudah hampir jam tujuh pagi. Tara duduk manis di meja makan sambil asyik memainkan handphone. Nasi goreng beserta kerupuk dan lalapan terhidang di depannnya. Mbak Ina, asisten rumah tangga masih mondar-mandir menyiapkan air minum dan buah."Mbak, Kak Brian mana?" tanya Tara yang sudah jengah menunggu terlalu lama. Biasanya mereka sarapan bersama sebelum memulai aktivitas masing-masing."Loh, Den Brian kan sudah berangkat dari tadi, Non.""Apa?! Kenapa tidak bilang?""Saya kira Non Tara sudah tahu."Astaga! Bagaimana caranya dia bisa berkonsentrasi belajar kalau paginya sudah di awali dengan kejadian tidak mengenakkan seperti ini. Buru-buru Tara menyambar tas ransel kemudian berlari ke garasi untuk mengendarai Civic Hatchback merahnya.Sepanjang perjalanan Tara terus mengoceh. Bisa-bisanya Brian tidak memberitahu berangkat duluan. Apa gara-gara pertengkarannya semalam dengan Alex?***"Kamu terlambat?"Ingin sekali rasany
Bel tanda pelajaran berakhir berdering nyaring. Siswa berhamburan keluar kelas seperti tawanan yang baru saja bebas. Tara keluar ruang laboratorium Kimia dengan muka kusut, begitu juga dengan ketiga temannya. Praktikum titrasi oksireduksimetri membuat mereka pusing tujuh keliling. Beruntung mereka berempat tidak jadi satu kelompok. Kalau itu terjadi kelompok mereka akan menjadi kelompok dengan nilai terburuk."Praktikumnya sih menyenangkan, cuma ngikutin langkah-langkah yang disuruh Pak Abu. Tapi soalnya itu loh, susah sekali seperti mengalahkan Benteng Takeshi." Antoni bersungut-sungut."Memangnya kamu mikir? Bukannya kamu hanya titip nama saja?" sindir Nathan. Dia jarang bicara, tapi sekalinya bicara kata-katanya setajam pisau."Sebagai siswa yang baik, aku tetap berusaha berkontribusi ke kelompokku.""Kontribusimu cukup dengan diam dan tidak membuat rusuh," sahut Tara. Dia hafal benar kelakuan Antoni yang tidak pernah serius."Jadi bagaima
Rumah megah bergaya Eropa klasik itu terlihat lengang. Mobil Tara memasuki halaman luas dengan bunga everglow menyambut sepanjang pagar. Di tengah halaman ada sebuah kolam dikelilingi beraneka ragam bunga anggrek dan mawar. Dulu Rosa suka sekali menghabiskan waktu merawat bunga-bunga. Sekarang kegiatan itu diambil alih asisten rumah tangga sepenuhnya. Di samping pohon palem yang berjajar ada bonsai kesayangan Frans, ayah Tara. Bonsai-bonsai itu ditata rapi dan selalu dipangkas secara teratur oleh Mang Kus sang tukang kebun.Tara keluar dari mobil disambut oleh angin yang bertiup memainkan rambutnya yang diikat ekor kuda. Dia segera masuk ke dalam rumah. Sepi. Hanya ada Mbak Ina yang membersihkan meja ruang tamu."Belum pada pulang, Mbak?" Tara meletakkan ranselnya sembarang."Den Brian belum, Non, tapi kalau Den Alex sudah. Sekarang lagi di kamar.""Ya sudah, Mbak. Oh, iya, untuk makan malam aku mau tumis kangkung dan telur setengah matang seperti biasa."
Gerimis ringan mengguyur jalanan. Deru mesin mobil memecah keheningan malam. Tara akhirnya sampai di kompleks kos Nathan yang terletak di pinggiran kota. Suasananya cukup sunyi waktu malam hari. Hanya suara jangrik dan kodok bersahutan sana sini."Nathan!!" Suara Tara menggema, membuat Nathan yang duduk di kursi teras terkejut."Ssttt ... Tara pelankan suaramu! Ini bukan rumahmu yang sebesar kastil!" Sesosok laki-laki berperawakan tinggi muncul dari sebuah gang remang-remang.Gadis yang masih memakai seragam sekolah itu celingukan. Dia berlari kecil menuju teras, bajunya agak basah terkena gerimis. Saat Tara sudah berhadapan dengan Nathan, dia sedikit tertegun melihat teman laki-lakinya yang sudah akrab dua tahunan ini.Bagaimana tidak? Nathan yang biasanya berpakaian rapi kini hanya memakai celana jeans sedengkul dengan kaos polos berwarna abu-abu. Rambutnya agak berantakan tapi itu malah membuatnya semakin cool."Apa yang terjadi?""Aku be
"Kabur?!" teriak Brian tidak percaya. Matanya melotot hampir melompat dari kelopak. Dia baru saja pulang dari luar kota ketika mendengar kabar Tara pergi dan tidak pulang dari semalam. Jelas itu membuat amarahnya memuncak.Laki-laki berahang tegas itu langsung berlari menaiki anak tangga menuju kamar Alexandra. Tanpa permisi dia langsung membuka pintu serampangan."Di mana Tara?!" tanya Brian, mencekeram kedua bahu Alex dengan kuat."Dia belum pulang.""Cari! Cari sampai ketemu! Kamu baru boleh menginjakkan kakimu di rumah ini lagi!"Brian tidak habis pikir. Bagaimana bisa Alex mengawasi satu adik perempuan saja sampai gagal? Fasilitas semua sudah ada. Mobil, motor sport keluaran terbaru, uang jajan, makanan, sampai kolam renang lengkap di rumah. Bisa-bisanya Tara malah keluyuran sampai tidak pulang."Kenapa aku? Bukannya Tara adalah tanggung jawab kita bersama?" elak Alex tidak terima."Kau yang ada di rumah! Kau ya
Sebuah mobil Lexus putih melaju mulus membelah jalanan kota. Matahari bersinar menyengat membuat catnya semakin terlihat mentereng. Kontras dengan keadaan di dalamnya yang sedingin es. Sudah seperempat jam Brian dan Alexandra berada dalam satu mobil namun belum ada tanda-tanda saling mau membuka obrolan.Tidak mau terus-terusan tersiksa oleh keheningan, Alex berinisiatif menyalakan tape agar suasana mencair. Belum sampai tangannya menjulur, Brian langsung menatapnya dengan jenis tatapan intimidasi. Seolah sorot mata kakaknya mengatakan 'Diam!'. Alex mengurungkan niatnya daripada memperkeruh suasana.Beberapa kali Brian harus berputar-putar kerena kesulitan menemukan alamat Nathan. Sepertinya bocah itu sengaja memberti titik lokasi yang salah agar dirinya bisa mengulur waktu. Sepuluh menit berlalu, mereka akhirnya sampai. Brian sempat was-was mobilnya tidak bisa masuk gang mengingat gang-gang yang dia lewati tidak terlalu lebar."Tara benar ada
"Berhenti terus mengawasinya dan bantu aku memindahkan bangku ini," repet Nathan jengah melihat Antoni terus-terusan melihat ke Titania yang sedang ngobrol dengan Maria."Cantik, ya, Nat?" Tanya Antoni dengan sorot mata masih tertuju pada gadis pujaannya.Meski enggan, Nathan akhirnya ikut mengamati Titania dari jauh untuk memastikan seberapa cantik gadis yang dipuja-puja sahabatnya. Yah, meskipun dia juga sudah hafal setiap lekuk wajah Titania karena beberapa kali pernah bertemu dengannya. "Masih cantikan Tara.""Cantik kan relatif, Nat. Tara juga cantik dan ... sexy.""Semua perempuan memang cantik di matamu, kecuali matamu sedang tertutup." Nathan menyerah, lebih baik dia mengangkat meja sendiri. Rencananya mereka akan barbeque-an di halaman belakang villa Maria. Tapi sepertinya semua orang bertindak seperti tuan rumah. Tidak ada yang mau membantunya. Dasar orang kaya!"Butuh bantuan?"Nathan mendongak sebentar. Benar, itu adalah Deva men
"Deva?" Demi apapun, Tara belum pernah seterkejut ini sebelumnya hanya karena melihat seorang laki-laki. Di mana Deva yang selalu rapi dengan seragam yang dimasukkan dalam celana? Di hadapannya cowok dengan celana jeans pendek setelan dengan kaos hitam dan sepatu warrior makin membuatnya keren. Keren? Meski Tara sedikit geli mengakuinya tapi Deva memang benar-benar keren dengan baju yang sudah dipilihkannya. "Maaf, lama, ya?" "Wah, kamu bisa keren juga dengan kaos itu," puji Maria sambil menepuk-nepuk pundak Deva, kagum. "Benarkah? Tara memang punya selera bagus. Ini dia yang memilihkan," balas Deva sambil mengalihkan pandangannya pada Tara. "Iya, itu jelas karena seleraku bagus," sahut Tara berusaha menjaga nadanya sedatar mungkin padahal sebenarnya dia ingin menjerit. Bagaimana ini, kenapa hati Tara malah bergemuruh tidak karuan. Tidak. Jangan sampai dia jatuh cinta pada Deva. Ada banyak cowok keren, kaya da
Berkumpul dengan Maria dan teman-teman, membahas gosip-gosip yang beredar sambil pamer tas branded miliknya adalah rencana Tara saat pulang sekolah. Tidak ada yang bisa menggagalkannya kecuali jika ada gempa bumi berkekuatan 7 skala Richter datang tiba-tiba. Yah, dia sudah meminta izin pada Brian dan Alexandra jauh-jauh hari untuk menginap mengingat kakaknya sangat overprotektif padanya. Apalagi setelah peristiwa kemarin. Tara sudah di parkiran menjinjing malas tasnya yang berat karena tumpukan buku-buku mubazir. Fungsi buku bagi Tara tak lebih dari sebagai alas tidur. Oh ada lagi satu fungsi yang lain, alat untuk menutupinya saat makan di kelas agar tidak kelihatan oleh guru. "Taraaa!" Deva memanggil sambil berlari ke arahnya. Cowok itu selalu terlihat segar, ramah dan menyenangkan, sangat cocok sebagai pembawa kuis di TV. "Ada apa?" Entah kenapa hati Tara merasa sedikit senang saat Deva menghampirinya. Sejak pertama masuk ke sekolah, dia tid
Baru saja Tara akan melangkah keluar kelas menyusul teman-temannya yang sudah duluan ke kantin, seorang siswi tampak berlari kecil menuju ke arahnya.Tara mematung sejenak melihat gadis itu melambai-lambaikan tangannya dari kejauhan. Oke, ini mulai aneh. Apa sekarang dirinya sedang ditaksir oleh cewek? Astaga! Menjadi cantik ternyata merepotkan sekali."Hai!" sapa gadis itu sambil menata napasnya yang ngos-ngosan. Keringat mulai muncul di sekitar pelipisnya."Aku tahu ini sedikit aneh, tapi apa kamu mau menerima ini?" lanjutnya lagi. Gadis dengan memakai riasan mirip Tara tersebut menyodorkan sebuah kotak berwarna cokelat dibungkus dengan pita merah.Ini gila! Tara sama sekali tidak terpikirkan untuk jadi lesbian, meski selama ini dia pacaran hanya untuk status saja. Demi apapun, dia masih sangat normal.Tara hanya menatapnya dengan tidak minat, seolah hanya dengan tatapannya dia berkata, 'Maaf, aku tidak butuh itu, bocah. Aku kay
Seragam batik rapi dipadu dengan cardigan warna marun mencolok membuat Tara menjadi pusat perhatian saat berjalan dari parkiran. Gadis berkulit putih pucat itu terlihat sangat bahagia.Itu karena kedua kakaknya saling berbaikan dan dia mendapat kesempatan untuk memperbaiki nilai sebelum benar-benar ditransfer ke sekolah lain yang dekat dengan rumah mamanya.Kadang Tara bingung dengan jalan pikiran Brian. Kenapa dia tega sekali ingin memindahkannya padahal sekarang dia sudah kelas XII. Apa kakaknya sedang melakukan sebuah percobaan dengan judul 'apa pengaruh pola pengasuhan terhadap nilai akademik seorang anak?'Di sepanjang perjalanan menuju kelasnya Tara tak henti menebar senyum. Pagi ini auranya cerah seperti mentari. Pesonanya begitu kuat. Saat dia melewati mantan kekasihnya dahulu, dia berhenti dan membuat kontak mata dengan Kevin penuh percaya diri. Dia yakin siswa dengan segudang prestasi itu masih menyimpan rasa padanya."Pagi, Tara. Kamu cantik se
Suasana di restoran cepat saji masih lumayan ramai ketika rombongan Tara dan kakak-kakaknya datang. Brian mencari tempat duduk, sedangkan Tara dan Alex memesan makanan yang sudah mereka diskusikan di tempat parkir.Nathan mengekori Brian pelan-pelan. Sebenarnya dia canggung sekali. Apalagi mereka dipertemukan pada situasi yang tidak enak seperti ini.Jika diilihat-lihat Nathan merasa paling kumal diantara mereka berempat. Kulitnya yang sawo matang dipadu dengan kaos seadanya semakin memperlihatkan jarak kasta antara dirinya dan keluarga Tara. Perasaan menyesal muncul kembali kenapa dia mau ikut makan siang dengan keluarga terpandang ini."Kamu yang bernama Nathan?" tanya Brian setelah sedetik duduk di kursinya. Pria yang memakai kaos polo berkerah dengan celana bahan itu memperhatikan baik-baik penampilan Nathan."Iya, Kak.""Kamu tinggal di tempat kumuh itu?"Meski apa yang dikatakan Brian benar, tapi jujur itu membuat hati Nath
Sebuah mobil Lexus putih melaju mulus membelah jalanan kota. Matahari bersinar menyengat membuat catnya semakin terlihat mentereng. Kontras dengan keadaan di dalamnya yang sedingin es. Sudah seperempat jam Brian dan Alexandra berada dalam satu mobil namun belum ada tanda-tanda saling mau membuka obrolan.Tidak mau terus-terusan tersiksa oleh keheningan, Alex berinisiatif menyalakan tape agar suasana mencair. Belum sampai tangannya menjulur, Brian langsung menatapnya dengan jenis tatapan intimidasi. Seolah sorot mata kakaknya mengatakan 'Diam!'. Alex mengurungkan niatnya daripada memperkeruh suasana.Beberapa kali Brian harus berputar-putar kerena kesulitan menemukan alamat Nathan. Sepertinya bocah itu sengaja memberti titik lokasi yang salah agar dirinya bisa mengulur waktu. Sepuluh menit berlalu, mereka akhirnya sampai. Brian sempat was-was mobilnya tidak bisa masuk gang mengingat gang-gang yang dia lewati tidak terlalu lebar."Tara benar ada
"Kabur?!" teriak Brian tidak percaya. Matanya melotot hampir melompat dari kelopak. Dia baru saja pulang dari luar kota ketika mendengar kabar Tara pergi dan tidak pulang dari semalam. Jelas itu membuat amarahnya memuncak.Laki-laki berahang tegas itu langsung berlari menaiki anak tangga menuju kamar Alexandra. Tanpa permisi dia langsung membuka pintu serampangan."Di mana Tara?!" tanya Brian, mencekeram kedua bahu Alex dengan kuat."Dia belum pulang.""Cari! Cari sampai ketemu! Kamu baru boleh menginjakkan kakimu di rumah ini lagi!"Brian tidak habis pikir. Bagaimana bisa Alex mengawasi satu adik perempuan saja sampai gagal? Fasilitas semua sudah ada. Mobil, motor sport keluaran terbaru, uang jajan, makanan, sampai kolam renang lengkap di rumah. Bisa-bisanya Tara malah keluyuran sampai tidak pulang."Kenapa aku? Bukannya Tara adalah tanggung jawab kita bersama?" elak Alex tidak terima."Kau yang ada di rumah! Kau ya
Gerimis ringan mengguyur jalanan. Deru mesin mobil memecah keheningan malam. Tara akhirnya sampai di kompleks kos Nathan yang terletak di pinggiran kota. Suasananya cukup sunyi waktu malam hari. Hanya suara jangrik dan kodok bersahutan sana sini."Nathan!!" Suara Tara menggema, membuat Nathan yang duduk di kursi teras terkejut."Ssttt ... Tara pelankan suaramu! Ini bukan rumahmu yang sebesar kastil!" Sesosok laki-laki berperawakan tinggi muncul dari sebuah gang remang-remang.Gadis yang masih memakai seragam sekolah itu celingukan. Dia berlari kecil menuju teras, bajunya agak basah terkena gerimis. Saat Tara sudah berhadapan dengan Nathan, dia sedikit tertegun melihat teman laki-lakinya yang sudah akrab dua tahunan ini.Bagaimana tidak? Nathan yang biasanya berpakaian rapi kini hanya memakai celana jeans sedengkul dengan kaos polos berwarna abu-abu. Rambutnya agak berantakan tapi itu malah membuatnya semakin cool."Apa yang terjadi?""Aku be