Beranda / Romansa / Queen of School / 5. Sebuah Rencana

Share

5. Sebuah Rencana

Penulis: Melian Lee
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sudah hampir jam tujuh pagi. Tara duduk manis di meja makan sambil asyik memainkan handphone. Nasi goreng beserta kerupuk dan lalapan terhidang di depannnya. Mbak Ina, asisten rumah tangga masih mondar-mandir menyiapkan air minum dan buah.

"Mbak, Kak Brian mana?" tanya Tara yang sudah jengah menunggu terlalu lama. Biasanya mereka sarapan bersama sebelum memulai aktivitas masing-masing.

"Loh, Den Brian kan sudah berangkat dari tadi, Non."

"Apa?! Kenapa tidak bilang?"

"Saya kira Non Tara sudah tahu."

Astaga! Bagaimana caranya dia bisa berkonsentrasi belajar kalau paginya sudah di awali dengan kejadian tidak mengenakkan seperti ini. Buru-buru Tara menyambar tas ransel kemudian berlari ke garasi untuk mengendarai Civic Hatchback merahnya.

Sepanjang perjalanan Tara terus mengoceh. Bisa-bisanya Brian tidak memberitahu berangkat duluan. Apa gara-gara pertengkarannya semalam dengan Alex?

***

"Kamu terlambat?"

Ingin sekali rasanya dia menjambak Maria. Dia masuk ke kelas saat pelajaran sudah dimulai. Jelas dia terlambat, apa lagi namanya?

"Kamu kenapa sih diam terus? Marah?" tanyanya polos.

"Tidak. Hanya saja pertanyaanmu tidak bermutu," jawab Tara, mengeluarkan buku paketnya. Pelajaran Bahasa Indonesia sedang berlangsung, Bu Siti sibuk menjelaskan tentang majas.

"Ya sudah, aku ralat. Kemarin kamu ke mana? Kenapa jam terakhir menghilang?" Maria terus-terusan menginterogasinya.

"Bolos sama Deva."

"Apa?!" Suara Maria cukup keras sampai beberapa anak menoleh padanya.

"Maria, ada apa ribut-ribut?" tanya Bu Siti, perhatiannya terganggu oleh suara Maria yang cempreng.

"Oh, tidak, Bu. Tidak apa-apa."

"Mereka memang selalu membuat ulah, Bu." Eva membumbui membuat Bu Siti semakin tersulut emosi.

"Kalian berdua keluar saja daripada ribut terus!" 

"Tapi, Bu, saya tidak--"

"Keluar!" perintah Bu Siti mutlak.

Suasana kelas hening. Nathan dan Antoni saling berpandangan sedang mencerna apa yang baru saja terjadi. Tara kemudian keluar kelas diikuti oleh Maria.

"Aku tidak percaya! Aku baru saja berniat belajar dengan sungguh-sungguh tapi semesta sepertinya tak mendukungku!"

Tara memijit pelipisnya yang berdenyut sambil terus berjalan melewati lorong. Tujuannya adalah kantin. Dia sampai lupa sarapan gara-gara terlambat.

"Maaf, Tara ... Aku tidak bermaksud membuat kamu dikeluarkan dari kelas."

"Mau bagaimana lagi? Sekarang daripada kita tidak melakukan apa-apa sebaiknya kamu bantu aku berpikir agar bisa menaikkan nilai-nilaiku sebelum aku diusir dari rumah oleh Kak Brian."

"Apa?! Kamu diusir?"

"Maria pelankan suaramu. Bisa-bisa kita juga diusir dari kantin," ucap Tara sambil membungkam mulut temannya itu. "Aku tidak tahu bahasa yang lebih sopan, yang jelas kakak akan segera mengirimku ke rumah mama kalau nilaiku masih seperti ini."

"Ini gila," gumam Maria, berjalan mondar-mandir sambil memegangi keningnya.

"Iya, memang. Aku tidak mau pindah .... makanya bantu aku, Maria." Tara memohon pada sahabatnya. Matanya yang indah berkaca-kaca karena tidak mampu lagi menyembunyikan masalah yang dia hadapi.

"Pasti aku akan membantumu. Tenang biarkan aku berpikir sejenak." Maria kembali duduk, mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. Otaknya bekerja keras menemukan cara agar Tara tidak jadi dipindahkan.

"Aku tidak mau tinggal bersama papa tiri, dia sangat membenciku ...." Tara menelungkupkan kepala ke dalam lipatan tangannya.

Tentu Maria sudah khatam tentang cerita papa tiri Tara yang bernama Hugo. Dia adalah mantan kekasih Rosa, mamanya Tara. Setelah papa Tara meninggal dan Hugo bercerai dengan istrinya, mereka kembali menjalin asmara. Kisah yang sempat terputus berpuluh-puluh tahun lalu, tersambung lagi. Itu sebabnya Hugo sangat membenci Tara dan kakak-kakaknya. Alasannya karena mereka adalah anak dari seseorang yang merebut kekasihnya dahulu.

Tiba-tiba Maria menjentikkan jarinya, melintas sebuah ide luar biasa dari otaknya yang biasa-biasa saja.

"Kemarin kamu bolos berasama Deva, kan?"

Tara mengernyitkan dahi tanda tidak mengerti arah pembicaraan Maria.

"Iya, kan?" tanyanya lagi mencari kepastian.

"Apa hubungannya dengan masalahku sekarang, Maria?" jawab Tara, menarik gemas kedua pipi sahabatnya.

"Ah, aku serius. Kalian punya hubungan apa?"

"Kami hanya saling memanfaatkan satu sama lain. Aku bosan dan dia butuh teman bicara. Itu saja. Kami hanya sebentar ngobrol di taman."

"Bagus!"

"Hah? Apanya?" 

"Kalau bisa kalian bolos saja setiap hari."

"Apa! Kamu mau aku mati muda?"

Maria menarik tangan Tara agar lebih dekat dengannya. Kemudian dia membisikkan sebuah rencana.

"Apa tidak ada rencana lain yang lebih ... logis?" 

Berpacaran menjelang tes kelulusan adalah ide paling gila yang pernah dia dengar.

"Kamu tahu kan, Deva itu pintar. Selalu peringkat tiga besar. Dia bisa kamu manfaatkan."

"Kenapa repot-repot. Aku bisa minta Kak Brian mencarikan guru les untuk mengajariku. Buat apa harus pacaran segala."

Maria tidak segera menjawab, dia memesan dua mangkok soto dan es jeruk kepada Bu Sri. Ternyata berpikir juga menghabiskan banyak energi.

"Beda, Tara. Cara mengajar guru dan teman seumuran itu beda, lho."

"Akan aku pikirkan. Kita juga harus minta pendapat Nathan dan Antoni soal ini."

"Baiklah ...." Maria tersenyum lebar melihat pesanannya datang. Mereka berdua menikmati soto hangat yang sudah tersaji di meja. Tara sangat lahap. Makan-makanan rumahan seperti ini membuatnya selalu senang. Mengingatkannya kembali tentang keluarganya saat masih utuh.

"Ternyata orang kaya makannya cuma soto, ya."

Sebuah suara membuat Maria dan Tara mendongakkan kepalanya bersama-sama. Eva beserta gengnya berdiri, menatap sinis. Seolah belum puas membuat dirinya dikeluarkan dari kelas, mereka terus saja mencari gara-gara. 

Tara sebenarnya tahu, Eva membencinya karena dirinya jauh lebih populer. Meski Eva tergolong pintar, tidak banyak yang mengenalinya. Ditambah dengan sikapnya yang merasa paling superior, dia tidak mudah menjalin keakraban dengan anak-anak lain. Berbeda sekali dengan Tara yang pandai mencari celah di mana pun berada.

"Aku sedang tidak ingin meladenimu. Lebih baik kamu pergi," usir Tara, dia paling tidak suka diganggu saat sedang makan.

"Iya, pergi sana! Dasar nenek sihir! Lagi pula ini kan jam pelajaran kenapa kalian bisa main ke kantin? Diusir juga?" Maria paling vokal soal membela Tara.

Eva membungkukkan badannya, "Kami sudah selesai mengerjakan kuis. Maklumlah, kami adalah siswi cerdas, soal yang biasa kalian kerjakan seharian bagi kami hanya sepuluh menit."

Terus-terusan diejek membuat Tara geram. Dia mengepalkan tangannya. Belum sempat dia melayangkan tamparan tiba-tiba Maria menyiram Eva dengan kuah sotonya.

"Rasakan itu!" kata Maria merasa puas.

Eva menjerit kencang. Rambutnya penuh dengan nasi dan kuah. Teman-teman se-gengnya hanya melongo melihat ulah Maria. Mereka tidak akan berani membalas, karena Maria akan membalas lagi dengan serangan-serangan lebih brutal. Akhirnya mereka pergi.

Lantai jadi basah dan kotor karena nasi berserakan. Tara menyuruh Bu Sri membersihkannya. Setelah selesai lalu dia memberinya seratus ribu sebagai tanda terimakasih. Mereka berdua meninggalkan kantin sambil tertawa puas melihat Eva basah kuyub.

Bab terkait

  • Queen of School   6. Diskusi

    Bel tanda pelajaran berakhir berdering nyaring. Siswa berhamburan keluar kelas seperti tawanan yang baru saja bebas. Tara keluar ruang laboratorium Kimia dengan muka kusut, begitu juga dengan ketiga temannya. Praktikum titrasi oksireduksimetri membuat mereka pusing tujuh keliling. Beruntung mereka berempat tidak jadi satu kelompok. Kalau itu terjadi kelompok mereka akan menjadi kelompok dengan nilai terburuk."Praktikumnya sih menyenangkan, cuma ngikutin langkah-langkah yang disuruh Pak Abu. Tapi soalnya itu loh, susah sekali seperti mengalahkan Benteng Takeshi." Antoni bersungut-sungut."Memangnya kamu mikir? Bukannya kamu hanya titip nama saja?" sindir Nathan. Dia jarang bicara, tapi sekalinya bicara kata-katanya setajam pisau."Sebagai siswa yang baik, aku tetap berusaha berkontribusi ke kelompokku.""Kontribusimu cukup dengan diam dan tidak membuat rusuh," sahut Tara. Dia hafal benar kelakuan Antoni yang tidak pernah serius."Jadi bagaima

  • Queen of School   7. Harapan

    Rumah megah bergaya Eropa klasik itu terlihat lengang. Mobil Tara memasuki halaman luas dengan bunga everglow menyambut sepanjang pagar. Di tengah halaman ada sebuah kolam dikelilingi beraneka ragam bunga anggrek dan mawar. Dulu Rosa suka sekali menghabiskan waktu merawat bunga-bunga. Sekarang kegiatan itu diambil alih asisten rumah tangga sepenuhnya. Di samping pohon palem yang berjajar ada bonsai kesayangan Frans, ayah Tara. Bonsai-bonsai itu ditata rapi dan selalu dipangkas secara teratur oleh Mang Kus sang tukang kebun.Tara keluar dari mobil disambut oleh angin yang bertiup memainkan rambutnya yang diikat ekor kuda. Dia segera masuk ke dalam rumah. Sepi. Hanya ada Mbak Ina yang membersihkan meja ruang tamu."Belum pada pulang, Mbak?" Tara meletakkan ranselnya sembarang."Den Brian belum, Non, tapi kalau Den Alex sudah. Sekarang lagi di kamar.""Ya sudah, Mbak. Oh, iya, untuk makan malam aku mau tumis kangkung dan telur setengah matang seperti biasa."

  • Queen of School   8. Menginap

    Gerimis ringan mengguyur jalanan. Deru mesin mobil memecah keheningan malam. Tara akhirnya sampai di kompleks kos Nathan yang terletak di pinggiran kota. Suasananya cukup sunyi waktu malam hari. Hanya suara jangrik dan kodok bersahutan sana sini."Nathan!!" Suara Tara menggema, membuat Nathan yang duduk di kursi teras terkejut."Ssttt ... Tara pelankan suaramu! Ini bukan rumahmu yang sebesar kastil!" Sesosok laki-laki berperawakan tinggi muncul dari sebuah gang remang-remang.Gadis yang masih memakai seragam sekolah itu celingukan. Dia berlari kecil menuju teras, bajunya agak basah terkena gerimis. Saat Tara sudah berhadapan dengan Nathan, dia sedikit tertegun melihat teman laki-lakinya yang sudah akrab dua tahunan ini.Bagaimana tidak? Nathan yang biasanya berpakaian rapi kini hanya memakai celana jeans sedengkul dengan kaos polos berwarna abu-abu. Rambutnya agak berantakan tapi itu malah membuatnya semakin cool."Apa yang terjadi?""Aku be

  • Queen of School   9. Kakak yang Gagal

    "Kabur?!" teriak Brian tidak percaya. Matanya melotot hampir melompat dari kelopak. Dia baru saja pulang dari luar kota ketika mendengar kabar Tara pergi dan tidak pulang dari semalam. Jelas itu membuat amarahnya memuncak.Laki-laki berahang tegas itu langsung berlari menaiki anak tangga menuju kamar Alexandra. Tanpa permisi dia langsung membuka pintu serampangan."Di mana Tara?!" tanya Brian, mencekeram kedua bahu Alex dengan kuat."Dia belum pulang.""Cari! Cari sampai ketemu! Kamu baru boleh menginjakkan kakimu di rumah ini lagi!"Brian tidak habis pikir. Bagaimana bisa Alex mengawasi satu adik perempuan saja sampai gagal? Fasilitas semua sudah ada. Mobil, motor sport keluaran terbaru, uang jajan, makanan, sampai kolam renang lengkap di rumah. Bisa-bisanya Tara malah keluyuran sampai tidak pulang."Kenapa aku? Bukannya Tara adalah tanggung jawab kita bersama?" elak Alex tidak terima."Kau yang ada di rumah! Kau ya

  • Queen of School   10. Penyesalan

    Sebuah mobil Lexus putih melaju mulus membelah jalanan kota. Matahari bersinar menyengat membuat catnya semakin terlihat mentereng. Kontras dengan keadaan di dalamnya yang sedingin es. Sudah seperempat jam Brian dan Alexandra berada dalam satu mobil namun belum ada tanda-tanda saling mau membuka obrolan.Tidak mau terus-terusan tersiksa oleh keheningan, Alex berinisiatif menyalakan tape agar suasana mencair. Belum sampai tangannya menjulur, Brian langsung menatapnya dengan jenis tatapan intimidasi. Seolah sorot mata kakaknya mengatakan 'Diam!'. Alex mengurungkan niatnya daripada memperkeruh suasana.Beberapa kali Brian harus berputar-putar kerena kesulitan menemukan alamat Nathan. Sepertinya bocah itu sengaja memberti titik lokasi yang salah agar dirinya bisa mengulur waktu. Sepuluh menit berlalu, mereka akhirnya sampai. Brian sempat was-was mobilnya tidak bisa masuk gang mengingat gang-gang yang dia lewati tidak terlalu lebar."Tara benar ada

  • Queen of School   11. Kesempatan Kedua

    Suasana di restoran cepat saji masih lumayan ramai ketika rombongan Tara dan kakak-kakaknya datang. Brian mencari tempat duduk, sedangkan Tara dan Alex memesan makanan yang sudah mereka diskusikan di tempat parkir.Nathan mengekori Brian pelan-pelan. Sebenarnya dia canggung sekali. Apalagi mereka dipertemukan pada situasi yang tidak enak seperti ini.Jika diilihat-lihat Nathan merasa paling kumal diantara mereka berempat. Kulitnya yang sawo matang dipadu dengan kaos seadanya semakin memperlihatkan jarak kasta antara dirinya dan keluarga Tara. Perasaan menyesal muncul kembali kenapa dia mau ikut makan siang dengan keluarga terpandang ini."Kamu yang bernama Nathan?" tanya Brian setelah sedetik duduk di kursinya. Pria yang memakai kaos polo berkerah dengan celana bahan itu memperhatikan baik-baik penampilan Nathan."Iya, Kak.""Kamu tinggal di tempat kumuh itu?"Meski apa yang dikatakan Brian benar, tapi jujur itu membuat hati Nath

  • Queen of School   12. Permulaan

    Seragam batik rapi dipadu dengan cardigan warna marun mencolok membuat Tara menjadi pusat perhatian saat berjalan dari parkiran. Gadis berkulit putih pucat itu terlihat sangat bahagia.Itu karena kedua kakaknya saling berbaikan dan dia mendapat kesempatan untuk memperbaiki nilai sebelum benar-benar ditransfer ke sekolah lain yang dekat dengan rumah mamanya.Kadang Tara bingung dengan jalan pikiran Brian. Kenapa dia tega sekali ingin memindahkannya padahal sekarang dia sudah kelas XII. Apa kakaknya sedang melakukan sebuah percobaan dengan judul 'apa pengaruh pola pengasuhan terhadap nilai akademik seorang anak?'Di sepanjang perjalanan menuju kelasnya Tara tak henti menebar senyum. Pagi ini auranya cerah seperti mentari. Pesonanya begitu kuat. Saat dia melewati mantan kekasihnya dahulu, dia berhenti dan membuat kontak mata dengan Kevin penuh percaya diri. Dia yakin siswa dengan segudang prestasi itu masih menyimpan rasa padanya."Pagi, Tara. Kamu cantik se

  • Queen of School   13. Sang Penjiplak

    Baru saja Tara akan melangkah keluar kelas menyusul teman-temannya yang sudah duluan ke kantin, seorang siswi tampak berlari kecil menuju ke arahnya.Tara mematung sejenak melihat gadis itu melambai-lambaikan tangannya dari kejauhan. Oke, ini mulai aneh. Apa sekarang dirinya sedang ditaksir oleh cewek? Astaga! Menjadi cantik ternyata merepotkan sekali."Hai!" sapa gadis itu sambil menata napasnya yang ngos-ngosan. Keringat mulai muncul di sekitar pelipisnya."Aku tahu ini sedikit aneh, tapi apa kamu mau menerima ini?" lanjutnya lagi. Gadis dengan memakai riasan mirip Tara tersebut menyodorkan sebuah kotak berwarna cokelat dibungkus dengan pita merah.Ini gila! Tara sama sekali tidak terpikirkan untuk jadi lesbian, meski selama ini dia pacaran hanya untuk status saja. Demi apapun, dia masih sangat normal.Tara hanya menatapnya dengan tidak minat, seolah hanya dengan tatapannya dia berkata, 'Maaf, aku tidak butuh itu, bocah. Aku kay

Bab terbaru

  • Queen of School   16. Cemburu?

    "Berhenti terus mengawasinya dan bantu aku memindahkan bangku ini," repet Nathan jengah melihat Antoni terus-terusan melihat ke Titania yang sedang ngobrol dengan Maria."Cantik, ya, Nat?" Tanya Antoni dengan sorot mata masih tertuju pada gadis pujaannya.Meski enggan, Nathan akhirnya ikut mengamati Titania dari jauh untuk memastikan seberapa cantik gadis yang dipuja-puja sahabatnya. Yah, meskipun dia juga sudah hafal setiap lekuk wajah Titania karena beberapa kali pernah bertemu dengannya. "Masih cantikan Tara.""Cantik kan relatif, Nat. Tara juga cantik dan ... sexy.""Semua perempuan memang cantik di matamu, kecuali matamu sedang tertutup." Nathan menyerah, lebih baik dia mengangkat meja sendiri. Rencananya mereka akan barbeque-an di halaman belakang villa Maria. Tapi sepertinya semua orang bertindak seperti tuan rumah. Tidak ada yang mau membantunya. Dasar orang kaya!"Butuh bantuan?"Nathan mendongak sebentar. Benar, itu adalah Deva men

  • Queen of School   15. Tawanan

    "Deva?" Demi apapun, Tara belum pernah seterkejut ini sebelumnya hanya karena melihat seorang laki-laki. Di mana Deva yang selalu rapi dengan seragam yang dimasukkan dalam celana? Di hadapannya cowok dengan celana jeans pendek setelan dengan kaos hitam dan sepatu warrior makin membuatnya keren. Keren? Meski Tara sedikit geli mengakuinya tapi Deva memang benar-benar keren dengan baju yang sudah dipilihkannya. "Maaf, lama, ya?" "Wah, kamu bisa keren juga dengan kaos itu," puji Maria sambil menepuk-nepuk pundak Deva, kagum. "Benarkah? Tara memang punya selera bagus. Ini dia yang memilihkan," balas Deva sambil mengalihkan pandangannya pada Tara. "Iya, itu jelas karena seleraku bagus," sahut Tara berusaha menjaga nadanya sedatar mungkin padahal sebenarnya dia ingin menjerit. Bagaimana ini, kenapa hati Tara malah bergemuruh tidak karuan. Tidak. Jangan sampai dia jatuh cinta pada Deva. Ada banyak cowok keren, kaya da

  • Queen of School   14. Belanja

    Berkumpul dengan Maria dan teman-teman, membahas gosip-gosip yang beredar sambil pamer tas branded miliknya adalah rencana Tara saat pulang sekolah. Tidak ada yang bisa menggagalkannya kecuali jika ada gempa bumi berkekuatan 7 skala Richter datang tiba-tiba. Yah, dia sudah meminta izin pada Brian dan Alexandra jauh-jauh hari untuk menginap mengingat kakaknya sangat overprotektif padanya. Apalagi setelah peristiwa kemarin. Tara sudah di parkiran menjinjing malas tasnya yang berat karena tumpukan buku-buku mubazir. Fungsi buku bagi Tara tak lebih dari sebagai alas tidur. Oh ada lagi satu fungsi yang lain, alat untuk menutupinya saat makan di kelas agar tidak kelihatan oleh guru. "Taraaa!" Deva memanggil sambil berlari ke arahnya. Cowok itu selalu terlihat segar, ramah dan menyenangkan, sangat cocok sebagai pembawa kuis di TV. "Ada apa?" Entah kenapa hati Tara merasa sedikit senang saat Deva menghampirinya. Sejak pertama masuk ke sekolah, dia tid

  • Queen of School   13. Sang Penjiplak

    Baru saja Tara akan melangkah keluar kelas menyusul teman-temannya yang sudah duluan ke kantin, seorang siswi tampak berlari kecil menuju ke arahnya.Tara mematung sejenak melihat gadis itu melambai-lambaikan tangannya dari kejauhan. Oke, ini mulai aneh. Apa sekarang dirinya sedang ditaksir oleh cewek? Astaga! Menjadi cantik ternyata merepotkan sekali."Hai!" sapa gadis itu sambil menata napasnya yang ngos-ngosan. Keringat mulai muncul di sekitar pelipisnya."Aku tahu ini sedikit aneh, tapi apa kamu mau menerima ini?" lanjutnya lagi. Gadis dengan memakai riasan mirip Tara tersebut menyodorkan sebuah kotak berwarna cokelat dibungkus dengan pita merah.Ini gila! Tara sama sekali tidak terpikirkan untuk jadi lesbian, meski selama ini dia pacaran hanya untuk status saja. Demi apapun, dia masih sangat normal.Tara hanya menatapnya dengan tidak minat, seolah hanya dengan tatapannya dia berkata, 'Maaf, aku tidak butuh itu, bocah. Aku kay

  • Queen of School   12. Permulaan

    Seragam batik rapi dipadu dengan cardigan warna marun mencolok membuat Tara menjadi pusat perhatian saat berjalan dari parkiran. Gadis berkulit putih pucat itu terlihat sangat bahagia.Itu karena kedua kakaknya saling berbaikan dan dia mendapat kesempatan untuk memperbaiki nilai sebelum benar-benar ditransfer ke sekolah lain yang dekat dengan rumah mamanya.Kadang Tara bingung dengan jalan pikiran Brian. Kenapa dia tega sekali ingin memindahkannya padahal sekarang dia sudah kelas XII. Apa kakaknya sedang melakukan sebuah percobaan dengan judul 'apa pengaruh pola pengasuhan terhadap nilai akademik seorang anak?'Di sepanjang perjalanan menuju kelasnya Tara tak henti menebar senyum. Pagi ini auranya cerah seperti mentari. Pesonanya begitu kuat. Saat dia melewati mantan kekasihnya dahulu, dia berhenti dan membuat kontak mata dengan Kevin penuh percaya diri. Dia yakin siswa dengan segudang prestasi itu masih menyimpan rasa padanya."Pagi, Tara. Kamu cantik se

  • Queen of School   11. Kesempatan Kedua

    Suasana di restoran cepat saji masih lumayan ramai ketika rombongan Tara dan kakak-kakaknya datang. Brian mencari tempat duduk, sedangkan Tara dan Alex memesan makanan yang sudah mereka diskusikan di tempat parkir.Nathan mengekori Brian pelan-pelan. Sebenarnya dia canggung sekali. Apalagi mereka dipertemukan pada situasi yang tidak enak seperti ini.Jika diilihat-lihat Nathan merasa paling kumal diantara mereka berempat. Kulitnya yang sawo matang dipadu dengan kaos seadanya semakin memperlihatkan jarak kasta antara dirinya dan keluarga Tara. Perasaan menyesal muncul kembali kenapa dia mau ikut makan siang dengan keluarga terpandang ini."Kamu yang bernama Nathan?" tanya Brian setelah sedetik duduk di kursinya. Pria yang memakai kaos polo berkerah dengan celana bahan itu memperhatikan baik-baik penampilan Nathan."Iya, Kak.""Kamu tinggal di tempat kumuh itu?"Meski apa yang dikatakan Brian benar, tapi jujur itu membuat hati Nath

  • Queen of School   10. Penyesalan

    Sebuah mobil Lexus putih melaju mulus membelah jalanan kota. Matahari bersinar menyengat membuat catnya semakin terlihat mentereng. Kontras dengan keadaan di dalamnya yang sedingin es. Sudah seperempat jam Brian dan Alexandra berada dalam satu mobil namun belum ada tanda-tanda saling mau membuka obrolan.Tidak mau terus-terusan tersiksa oleh keheningan, Alex berinisiatif menyalakan tape agar suasana mencair. Belum sampai tangannya menjulur, Brian langsung menatapnya dengan jenis tatapan intimidasi. Seolah sorot mata kakaknya mengatakan 'Diam!'. Alex mengurungkan niatnya daripada memperkeruh suasana.Beberapa kali Brian harus berputar-putar kerena kesulitan menemukan alamat Nathan. Sepertinya bocah itu sengaja memberti titik lokasi yang salah agar dirinya bisa mengulur waktu. Sepuluh menit berlalu, mereka akhirnya sampai. Brian sempat was-was mobilnya tidak bisa masuk gang mengingat gang-gang yang dia lewati tidak terlalu lebar."Tara benar ada

  • Queen of School   9. Kakak yang Gagal

    "Kabur?!" teriak Brian tidak percaya. Matanya melotot hampir melompat dari kelopak. Dia baru saja pulang dari luar kota ketika mendengar kabar Tara pergi dan tidak pulang dari semalam. Jelas itu membuat amarahnya memuncak.Laki-laki berahang tegas itu langsung berlari menaiki anak tangga menuju kamar Alexandra. Tanpa permisi dia langsung membuka pintu serampangan."Di mana Tara?!" tanya Brian, mencekeram kedua bahu Alex dengan kuat."Dia belum pulang.""Cari! Cari sampai ketemu! Kamu baru boleh menginjakkan kakimu di rumah ini lagi!"Brian tidak habis pikir. Bagaimana bisa Alex mengawasi satu adik perempuan saja sampai gagal? Fasilitas semua sudah ada. Mobil, motor sport keluaran terbaru, uang jajan, makanan, sampai kolam renang lengkap di rumah. Bisa-bisanya Tara malah keluyuran sampai tidak pulang."Kenapa aku? Bukannya Tara adalah tanggung jawab kita bersama?" elak Alex tidak terima."Kau yang ada di rumah! Kau ya

  • Queen of School   8. Menginap

    Gerimis ringan mengguyur jalanan. Deru mesin mobil memecah keheningan malam. Tara akhirnya sampai di kompleks kos Nathan yang terletak di pinggiran kota. Suasananya cukup sunyi waktu malam hari. Hanya suara jangrik dan kodok bersahutan sana sini."Nathan!!" Suara Tara menggema, membuat Nathan yang duduk di kursi teras terkejut."Ssttt ... Tara pelankan suaramu! Ini bukan rumahmu yang sebesar kastil!" Sesosok laki-laki berperawakan tinggi muncul dari sebuah gang remang-remang.Gadis yang masih memakai seragam sekolah itu celingukan. Dia berlari kecil menuju teras, bajunya agak basah terkena gerimis. Saat Tara sudah berhadapan dengan Nathan, dia sedikit tertegun melihat teman laki-lakinya yang sudah akrab dua tahunan ini.Bagaimana tidak? Nathan yang biasanya berpakaian rapi kini hanya memakai celana jeans sedengkul dengan kaos polos berwarna abu-abu. Rambutnya agak berantakan tapi itu malah membuatnya semakin cool."Apa yang terjadi?""Aku be

DMCA.com Protection Status