Rumah megah bergaya Eropa klasik itu terlihat lengang. Mobil Tara memasuki halaman luas dengan bunga everglow menyambut sepanjang pagar. Di tengah halaman ada sebuah kolam dikelilingi beraneka ragam bunga anggrek dan mawar. Dulu Rosa suka sekali menghabiskan waktu merawat bunga-bunga. Sekarang kegiatan itu diambil alih asisten rumah tangga sepenuhnya. Di samping pohon palem yang berjajar ada bonsai kesayangan Frans, ayah Tara. Bonsai-bonsai itu ditata rapi dan selalu dipangkas secara teratur oleh Mang Kus sang tukang kebun.
Tara keluar dari mobil disambut oleh angin yang bertiup memainkan rambutnya yang diikat ekor kuda. Dia segera masuk ke dalam rumah. Sepi. Hanya ada Mbak Ina yang membersihkan meja ruang tamu.
"Belum pada pulang, Mbak?" Tara meletakkan ranselnya sembarang.
"Den Brian belum, Non, tapi kalau Den Alex sudah. Sekarang lagi di kamar."
"Ya sudah, Mbak. Oh, iya, untuk makan malam aku mau tumis kangkung dan telur setengah matang seperti biasa."
"Baik, Non. Segera mbak buatkan." Mbak Ina langsung menyudahi pekerjaannya kemudian menuju dapur untuk memasak. Tara suka makan sayur dan buah. Dia selalu berusaha menjaga berat badannya agar tetap ideal.
Tujuan Tara adalah kamar Alexandra. Dia ingin meminta penjelasan kakaknya soal Brian kemarin malam.
Pintu kamar terbuka, kakaknya terlihat sedang duduk di karpet sambil memainkan gitar.
"Katanya mau ke sekolahku?" tagih Tara yang masih ingat janji Alex.
"Maaf, Sayang, kakak ada urusan tadi."
Sebuah bantal berbentuk donat diraih Tara, lalu duduk bersila di dekat kakaknya.
"Jadi apa keputusan Kak Brian?"
"Dia tetap ingin menyerahkan hak asuhmu ke mama."
Tara membuang napas berat. Dia sudah tidak mempunyai harapan lagi.
"Baiklah ... akan segera aku kemasi barang-barangku ...." Tara bersiap bangkit hendak menuju kamarnya tapi Alex segera menahan tangannya.
"Aku akan melawan Brian," ucap Alex menatap mata Tara tajam. Tara sendiri bingung sekaligus merasa aneh mendengar Alex tidak memanggil Brian dengan sebutan 'Kak'.
"Ada apa? Apa yang sedang terjadi, Kak?"
"Semalam aku berusaha membujuk Brian. Tapi dia tetap ingin kamu tinggal sama mama karena aku tidak mampu jadi contoh yang baik untukmu. Dia mengataiku. bahkan kakakmu yang sempurna itu kemarin menyebut kita sampah. Iya, kita memang sampah, parasit, tidak berguna, be--"
"Kak!" potong Tara. Dia tidak tahan lagi mendengarnya. Saat dia sedang bimbang dan terpuruk kedua kakaknya malah bertengkar. Tara hanya ingin diperhatikan tapi mereka berdua malah saling lempar tanggung jawab! Dadanya serasa ditindih beban berkilo-kilo, sesak sekali. "Aku harus bagaimana?! Aku hanya punya kalian sekarang!" teriaknya sambil terisak-isak.
Alex segera merengkuh kepala Tara ke dalam dadanya. Dia mengusap-usap belakang kepala adiknya itu.
"Papa meninggal tiga tahun lalu! Mama sedang asyik dengan anak barunya, Kak Brian sibuk dengan perusahaan, dan Kakak sendiri jarang ada di rumah. Menurutmu aku harus bagaimana, Kak?!" Tara terengah-engah habis mengatakan itu. Hidungnya kembang kempis, air mata tak berhenti meleleh di pipinya yang mulus.
"Sssttt .... Aku ada di sini sekarang. Aku tidak akan kemana-mana lagi, Tara." Alex mencoba menenangkan.
"Bohong!" teriak Tara, dia mendorong bahu Alex yang tadi masih memeluknya. "Kalian semua egois!
"Tara ...."
"Kakak tahu saat aku berlatih memainkan baton semalaman? Tidak ada yang bangga saat drumbandku juara. Mang Kus yang selalu datang mengambilkan raportku, kalian ke mana? Aku jadi pemeran utama di pentas seni sekolah, apa kamu datang melihatku?! Tidak! Karena aku tidak penting bagi kalian!"
Saat itu juga hati Alex remuk. Dia tidak menyadari bahwa adik perempuan kesayangannya selama ini sangat menderita. Saat Tara kesepian dia justru bersenang-senang dengan temannya.
"Maafkan, Kakak, Tara ...."
"Dan sejujurnya tadi aku menunggumu di sekolah. Kamu berjanji menemuiku. Kamu bilang akan menjelaskan semuanya. Aku menunggu ... aku berharap Kakak datang, tersenyum lalu melambaikan tangan kepadaku. Mengajakku makan bersama sambil cerita. Tapi itu tidak akan terjadi, bukan?"
"Sayang, maaf .... aku--" Tara menampik tangan Alex saat mencoba menghapus air matanya. Dia berdiri lalu beranjak meninggalkan kakaknya di kamar.
"Tara! Kamu mau ke mana?"
Pikiran Tara benar-benar kusut. Hatinya serasa ingin meledak sekarang. Tangisnya juga tidak bisa berhenti. Dia berlari menuruni anak tangga kemudian menyambar kunci mobil yang tergeletak di meja ruang tamu.
"Tara! Jangan pergi!"
Dia tidak peduli dengan panggilan kakaknya. Tara masuk ke dalam mobil. Terlihat Alex berlari-lari dari belakang mengejarnya, segera dia menginjak gas lalu pergi meninggalkan rumah dengan memacu mobil secepat mungkin.
Alex kalang kabut, motornya sedang di bengkel. Dia tidak bisa membiarkan Tara menyetir dalam keadaan seperti itu, tapi juga tidak mungkin mengejarnya dengan berlari.
"Aarrghhh! Alex menjambak rambutnya sendiri. Dia kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil handphone-nya lalu menghubungi Tara.
Tut ... Tut ....
"Ayo Tara angkat," kata Alex geram, mondar-mandir di dalam kamar. Sudah tiga kali dia mencoba menghubungi, tetap tidak diangkat.
***
Di dalam mobil Tara masih menangis. Dia terus menyetir tanpa tujuan pasti. Merasa kelelahan dan lapar akhirnya dia memutuskan untuk berhenti di pom bensin.
"Sial!" umpatnya, dia baru sadar tidak membawa uang sama sekali. Beruntung dia menemukan uang receh dari dalam mobilnya. Itu cukup untuk sekadar membeli roti dan air mineral. Sambil makan dia mengeluarkan handphone dari saku. Ada banyak sekali panggilan tidak terjawab dari Alex, pasti kakaknya sedang khawatir sekarang.
Tara mencoba menghubungi Maria. Dia berencana menginap malam ini.
"Kamu di rumah?" tanya Tara tanpa basa-basi setelah panggilannya tersambung.
'Tidak. Habis dari mall aku diajak ke rumah Oma. Kenapa?'
"Aku mau ke rumahmu. Baliknya kapan?"
'Aduh, di rumah tidak ada orang. Besok kan libur, jadi aku menginap di rumah Oma. Ada apa sih?'
Tara sampai lupa besok hari libur nasional.
"Tidak ada apa-apa. Hanya ingin menginap saja, lagi malas di rumah," jawab Tara bohong. Dia tidak mau merusak liburan Maria. "Ya sudah, aku tutup teleponnya. Bye," ucapnya mengakhiri pembicaraan.
Terlintas untuk menginap di rumah Antoni, tapi segera Tara urungkan niatnya mengingat temannya yang satu itu sangat genit. Tidur serumah dengan Antoni sama saja masuk ke kandang macan.
"Nathan ... iya Nathan," gumam Tara. Jarinya langsung mencari nama Nathan di handphone-nya.
"Nat, kamu di rumah?"
'Rumah? Kos maksudmu?'
Nathan tinggal di kos karena dia adalah perantau. Sekolahnya dibiayai salah satu saudaranya yang kaya karena dia yatim piatu. Belakangan dia kos sendiri karena tidak betah tinggal bersama keluarga saudaranya yang terus-terusan memanfaatkan tenaganya. Peringkatnya anjlok. Akhirnya Nathan memilih untuk keluar dari rumah yang mewah itu daripada semakin tertekan.
"Iya. Di kos maksudku."
'Ada. Kenapa memangnya?'
"Aku menginap di situ, ya?"
'Hah?! Apa?!' Nathan kaget, hampir tidak percaya apa yang baru saja dia dengar.
"Pokoknya aku ke situ sekarang." Tara memutuskan telepon tanpa menunggu persetujuan dari Nathan. Setidaknya ada tempat untuk dituju, begitu pikir Tara. Dia yakin Nathan tidak akan berani macam-macam padanya. Dia tahu benar sifat Nathan.
Gerimis ringan mengguyur jalanan. Deru mesin mobil memecah keheningan malam. Tara akhirnya sampai di kompleks kos Nathan yang terletak di pinggiran kota. Suasananya cukup sunyi waktu malam hari. Hanya suara jangrik dan kodok bersahutan sana sini."Nathan!!" Suara Tara menggema, membuat Nathan yang duduk di kursi teras terkejut."Ssttt ... Tara pelankan suaramu! Ini bukan rumahmu yang sebesar kastil!" Sesosok laki-laki berperawakan tinggi muncul dari sebuah gang remang-remang.Gadis yang masih memakai seragam sekolah itu celingukan. Dia berlari kecil menuju teras, bajunya agak basah terkena gerimis. Saat Tara sudah berhadapan dengan Nathan, dia sedikit tertegun melihat teman laki-lakinya yang sudah akrab dua tahunan ini.Bagaimana tidak? Nathan yang biasanya berpakaian rapi kini hanya memakai celana jeans sedengkul dengan kaos polos berwarna abu-abu. Rambutnya agak berantakan tapi itu malah membuatnya semakin cool."Apa yang terjadi?""Aku be
"Kabur?!" teriak Brian tidak percaya. Matanya melotot hampir melompat dari kelopak. Dia baru saja pulang dari luar kota ketika mendengar kabar Tara pergi dan tidak pulang dari semalam. Jelas itu membuat amarahnya memuncak.Laki-laki berahang tegas itu langsung berlari menaiki anak tangga menuju kamar Alexandra. Tanpa permisi dia langsung membuka pintu serampangan."Di mana Tara?!" tanya Brian, mencekeram kedua bahu Alex dengan kuat."Dia belum pulang.""Cari! Cari sampai ketemu! Kamu baru boleh menginjakkan kakimu di rumah ini lagi!"Brian tidak habis pikir. Bagaimana bisa Alex mengawasi satu adik perempuan saja sampai gagal? Fasilitas semua sudah ada. Mobil, motor sport keluaran terbaru, uang jajan, makanan, sampai kolam renang lengkap di rumah. Bisa-bisanya Tara malah keluyuran sampai tidak pulang."Kenapa aku? Bukannya Tara adalah tanggung jawab kita bersama?" elak Alex tidak terima."Kau yang ada di rumah! Kau ya
Sebuah mobil Lexus putih melaju mulus membelah jalanan kota. Matahari bersinar menyengat membuat catnya semakin terlihat mentereng. Kontras dengan keadaan di dalamnya yang sedingin es. Sudah seperempat jam Brian dan Alexandra berada dalam satu mobil namun belum ada tanda-tanda saling mau membuka obrolan.Tidak mau terus-terusan tersiksa oleh keheningan, Alex berinisiatif menyalakan tape agar suasana mencair. Belum sampai tangannya menjulur, Brian langsung menatapnya dengan jenis tatapan intimidasi. Seolah sorot mata kakaknya mengatakan 'Diam!'. Alex mengurungkan niatnya daripada memperkeruh suasana.Beberapa kali Brian harus berputar-putar kerena kesulitan menemukan alamat Nathan. Sepertinya bocah itu sengaja memberti titik lokasi yang salah agar dirinya bisa mengulur waktu. Sepuluh menit berlalu, mereka akhirnya sampai. Brian sempat was-was mobilnya tidak bisa masuk gang mengingat gang-gang yang dia lewati tidak terlalu lebar."Tara benar ada
Suasana di restoran cepat saji masih lumayan ramai ketika rombongan Tara dan kakak-kakaknya datang. Brian mencari tempat duduk, sedangkan Tara dan Alex memesan makanan yang sudah mereka diskusikan di tempat parkir.Nathan mengekori Brian pelan-pelan. Sebenarnya dia canggung sekali. Apalagi mereka dipertemukan pada situasi yang tidak enak seperti ini.Jika diilihat-lihat Nathan merasa paling kumal diantara mereka berempat. Kulitnya yang sawo matang dipadu dengan kaos seadanya semakin memperlihatkan jarak kasta antara dirinya dan keluarga Tara. Perasaan menyesal muncul kembali kenapa dia mau ikut makan siang dengan keluarga terpandang ini."Kamu yang bernama Nathan?" tanya Brian setelah sedetik duduk di kursinya. Pria yang memakai kaos polo berkerah dengan celana bahan itu memperhatikan baik-baik penampilan Nathan."Iya, Kak.""Kamu tinggal di tempat kumuh itu?"Meski apa yang dikatakan Brian benar, tapi jujur itu membuat hati Nath
Seragam batik rapi dipadu dengan cardigan warna marun mencolok membuat Tara menjadi pusat perhatian saat berjalan dari parkiran. Gadis berkulit putih pucat itu terlihat sangat bahagia.Itu karena kedua kakaknya saling berbaikan dan dia mendapat kesempatan untuk memperbaiki nilai sebelum benar-benar ditransfer ke sekolah lain yang dekat dengan rumah mamanya.Kadang Tara bingung dengan jalan pikiran Brian. Kenapa dia tega sekali ingin memindahkannya padahal sekarang dia sudah kelas XII. Apa kakaknya sedang melakukan sebuah percobaan dengan judul 'apa pengaruh pola pengasuhan terhadap nilai akademik seorang anak?'Di sepanjang perjalanan menuju kelasnya Tara tak henti menebar senyum. Pagi ini auranya cerah seperti mentari. Pesonanya begitu kuat. Saat dia melewati mantan kekasihnya dahulu, dia berhenti dan membuat kontak mata dengan Kevin penuh percaya diri. Dia yakin siswa dengan segudang prestasi itu masih menyimpan rasa padanya."Pagi, Tara. Kamu cantik se
Baru saja Tara akan melangkah keluar kelas menyusul teman-temannya yang sudah duluan ke kantin, seorang siswi tampak berlari kecil menuju ke arahnya.Tara mematung sejenak melihat gadis itu melambai-lambaikan tangannya dari kejauhan. Oke, ini mulai aneh. Apa sekarang dirinya sedang ditaksir oleh cewek? Astaga! Menjadi cantik ternyata merepotkan sekali."Hai!" sapa gadis itu sambil menata napasnya yang ngos-ngosan. Keringat mulai muncul di sekitar pelipisnya."Aku tahu ini sedikit aneh, tapi apa kamu mau menerima ini?" lanjutnya lagi. Gadis dengan memakai riasan mirip Tara tersebut menyodorkan sebuah kotak berwarna cokelat dibungkus dengan pita merah.Ini gila! Tara sama sekali tidak terpikirkan untuk jadi lesbian, meski selama ini dia pacaran hanya untuk status saja. Demi apapun, dia masih sangat normal.Tara hanya menatapnya dengan tidak minat, seolah hanya dengan tatapannya dia berkata, 'Maaf, aku tidak butuh itu, bocah. Aku kay
Berkumpul dengan Maria dan teman-teman, membahas gosip-gosip yang beredar sambil pamer tas branded miliknya adalah rencana Tara saat pulang sekolah. Tidak ada yang bisa menggagalkannya kecuali jika ada gempa bumi berkekuatan 7 skala Richter datang tiba-tiba. Yah, dia sudah meminta izin pada Brian dan Alexandra jauh-jauh hari untuk menginap mengingat kakaknya sangat overprotektif padanya. Apalagi setelah peristiwa kemarin. Tara sudah di parkiran menjinjing malas tasnya yang berat karena tumpukan buku-buku mubazir. Fungsi buku bagi Tara tak lebih dari sebagai alas tidur. Oh ada lagi satu fungsi yang lain, alat untuk menutupinya saat makan di kelas agar tidak kelihatan oleh guru. "Taraaa!" Deva memanggil sambil berlari ke arahnya. Cowok itu selalu terlihat segar, ramah dan menyenangkan, sangat cocok sebagai pembawa kuis di TV. "Ada apa?" Entah kenapa hati Tara merasa sedikit senang saat Deva menghampirinya. Sejak pertama masuk ke sekolah, dia tid
"Deva?" Demi apapun, Tara belum pernah seterkejut ini sebelumnya hanya karena melihat seorang laki-laki. Di mana Deva yang selalu rapi dengan seragam yang dimasukkan dalam celana? Di hadapannya cowok dengan celana jeans pendek setelan dengan kaos hitam dan sepatu warrior makin membuatnya keren. Keren? Meski Tara sedikit geli mengakuinya tapi Deva memang benar-benar keren dengan baju yang sudah dipilihkannya. "Maaf, lama, ya?" "Wah, kamu bisa keren juga dengan kaos itu," puji Maria sambil menepuk-nepuk pundak Deva, kagum. "Benarkah? Tara memang punya selera bagus. Ini dia yang memilihkan," balas Deva sambil mengalihkan pandangannya pada Tara. "Iya, itu jelas karena seleraku bagus," sahut Tara berusaha menjaga nadanya sedatar mungkin padahal sebenarnya dia ingin menjerit. Bagaimana ini, kenapa hati Tara malah bergemuruh tidak karuan. Tidak. Jangan sampai dia jatuh cinta pada Deva. Ada banyak cowok keren, kaya da
"Berhenti terus mengawasinya dan bantu aku memindahkan bangku ini," repet Nathan jengah melihat Antoni terus-terusan melihat ke Titania yang sedang ngobrol dengan Maria."Cantik, ya, Nat?" Tanya Antoni dengan sorot mata masih tertuju pada gadis pujaannya.Meski enggan, Nathan akhirnya ikut mengamati Titania dari jauh untuk memastikan seberapa cantik gadis yang dipuja-puja sahabatnya. Yah, meskipun dia juga sudah hafal setiap lekuk wajah Titania karena beberapa kali pernah bertemu dengannya. "Masih cantikan Tara.""Cantik kan relatif, Nat. Tara juga cantik dan ... sexy.""Semua perempuan memang cantik di matamu, kecuali matamu sedang tertutup." Nathan menyerah, lebih baik dia mengangkat meja sendiri. Rencananya mereka akan barbeque-an di halaman belakang villa Maria. Tapi sepertinya semua orang bertindak seperti tuan rumah. Tidak ada yang mau membantunya. Dasar orang kaya!"Butuh bantuan?"Nathan mendongak sebentar. Benar, itu adalah Deva men
"Deva?" Demi apapun, Tara belum pernah seterkejut ini sebelumnya hanya karena melihat seorang laki-laki. Di mana Deva yang selalu rapi dengan seragam yang dimasukkan dalam celana? Di hadapannya cowok dengan celana jeans pendek setelan dengan kaos hitam dan sepatu warrior makin membuatnya keren. Keren? Meski Tara sedikit geli mengakuinya tapi Deva memang benar-benar keren dengan baju yang sudah dipilihkannya. "Maaf, lama, ya?" "Wah, kamu bisa keren juga dengan kaos itu," puji Maria sambil menepuk-nepuk pundak Deva, kagum. "Benarkah? Tara memang punya selera bagus. Ini dia yang memilihkan," balas Deva sambil mengalihkan pandangannya pada Tara. "Iya, itu jelas karena seleraku bagus," sahut Tara berusaha menjaga nadanya sedatar mungkin padahal sebenarnya dia ingin menjerit. Bagaimana ini, kenapa hati Tara malah bergemuruh tidak karuan. Tidak. Jangan sampai dia jatuh cinta pada Deva. Ada banyak cowok keren, kaya da
Berkumpul dengan Maria dan teman-teman, membahas gosip-gosip yang beredar sambil pamer tas branded miliknya adalah rencana Tara saat pulang sekolah. Tidak ada yang bisa menggagalkannya kecuali jika ada gempa bumi berkekuatan 7 skala Richter datang tiba-tiba. Yah, dia sudah meminta izin pada Brian dan Alexandra jauh-jauh hari untuk menginap mengingat kakaknya sangat overprotektif padanya. Apalagi setelah peristiwa kemarin. Tara sudah di parkiran menjinjing malas tasnya yang berat karena tumpukan buku-buku mubazir. Fungsi buku bagi Tara tak lebih dari sebagai alas tidur. Oh ada lagi satu fungsi yang lain, alat untuk menutupinya saat makan di kelas agar tidak kelihatan oleh guru. "Taraaa!" Deva memanggil sambil berlari ke arahnya. Cowok itu selalu terlihat segar, ramah dan menyenangkan, sangat cocok sebagai pembawa kuis di TV. "Ada apa?" Entah kenapa hati Tara merasa sedikit senang saat Deva menghampirinya. Sejak pertama masuk ke sekolah, dia tid
Baru saja Tara akan melangkah keluar kelas menyusul teman-temannya yang sudah duluan ke kantin, seorang siswi tampak berlari kecil menuju ke arahnya.Tara mematung sejenak melihat gadis itu melambai-lambaikan tangannya dari kejauhan. Oke, ini mulai aneh. Apa sekarang dirinya sedang ditaksir oleh cewek? Astaga! Menjadi cantik ternyata merepotkan sekali."Hai!" sapa gadis itu sambil menata napasnya yang ngos-ngosan. Keringat mulai muncul di sekitar pelipisnya."Aku tahu ini sedikit aneh, tapi apa kamu mau menerima ini?" lanjutnya lagi. Gadis dengan memakai riasan mirip Tara tersebut menyodorkan sebuah kotak berwarna cokelat dibungkus dengan pita merah.Ini gila! Tara sama sekali tidak terpikirkan untuk jadi lesbian, meski selama ini dia pacaran hanya untuk status saja. Demi apapun, dia masih sangat normal.Tara hanya menatapnya dengan tidak minat, seolah hanya dengan tatapannya dia berkata, 'Maaf, aku tidak butuh itu, bocah. Aku kay
Seragam batik rapi dipadu dengan cardigan warna marun mencolok membuat Tara menjadi pusat perhatian saat berjalan dari parkiran. Gadis berkulit putih pucat itu terlihat sangat bahagia.Itu karena kedua kakaknya saling berbaikan dan dia mendapat kesempatan untuk memperbaiki nilai sebelum benar-benar ditransfer ke sekolah lain yang dekat dengan rumah mamanya.Kadang Tara bingung dengan jalan pikiran Brian. Kenapa dia tega sekali ingin memindahkannya padahal sekarang dia sudah kelas XII. Apa kakaknya sedang melakukan sebuah percobaan dengan judul 'apa pengaruh pola pengasuhan terhadap nilai akademik seorang anak?'Di sepanjang perjalanan menuju kelasnya Tara tak henti menebar senyum. Pagi ini auranya cerah seperti mentari. Pesonanya begitu kuat. Saat dia melewati mantan kekasihnya dahulu, dia berhenti dan membuat kontak mata dengan Kevin penuh percaya diri. Dia yakin siswa dengan segudang prestasi itu masih menyimpan rasa padanya."Pagi, Tara. Kamu cantik se
Suasana di restoran cepat saji masih lumayan ramai ketika rombongan Tara dan kakak-kakaknya datang. Brian mencari tempat duduk, sedangkan Tara dan Alex memesan makanan yang sudah mereka diskusikan di tempat parkir.Nathan mengekori Brian pelan-pelan. Sebenarnya dia canggung sekali. Apalagi mereka dipertemukan pada situasi yang tidak enak seperti ini.Jika diilihat-lihat Nathan merasa paling kumal diantara mereka berempat. Kulitnya yang sawo matang dipadu dengan kaos seadanya semakin memperlihatkan jarak kasta antara dirinya dan keluarga Tara. Perasaan menyesal muncul kembali kenapa dia mau ikut makan siang dengan keluarga terpandang ini."Kamu yang bernama Nathan?" tanya Brian setelah sedetik duduk di kursinya. Pria yang memakai kaos polo berkerah dengan celana bahan itu memperhatikan baik-baik penampilan Nathan."Iya, Kak.""Kamu tinggal di tempat kumuh itu?"Meski apa yang dikatakan Brian benar, tapi jujur itu membuat hati Nath
Sebuah mobil Lexus putih melaju mulus membelah jalanan kota. Matahari bersinar menyengat membuat catnya semakin terlihat mentereng. Kontras dengan keadaan di dalamnya yang sedingin es. Sudah seperempat jam Brian dan Alexandra berada dalam satu mobil namun belum ada tanda-tanda saling mau membuka obrolan.Tidak mau terus-terusan tersiksa oleh keheningan, Alex berinisiatif menyalakan tape agar suasana mencair. Belum sampai tangannya menjulur, Brian langsung menatapnya dengan jenis tatapan intimidasi. Seolah sorot mata kakaknya mengatakan 'Diam!'. Alex mengurungkan niatnya daripada memperkeruh suasana.Beberapa kali Brian harus berputar-putar kerena kesulitan menemukan alamat Nathan. Sepertinya bocah itu sengaja memberti titik lokasi yang salah agar dirinya bisa mengulur waktu. Sepuluh menit berlalu, mereka akhirnya sampai. Brian sempat was-was mobilnya tidak bisa masuk gang mengingat gang-gang yang dia lewati tidak terlalu lebar."Tara benar ada
"Kabur?!" teriak Brian tidak percaya. Matanya melotot hampir melompat dari kelopak. Dia baru saja pulang dari luar kota ketika mendengar kabar Tara pergi dan tidak pulang dari semalam. Jelas itu membuat amarahnya memuncak.Laki-laki berahang tegas itu langsung berlari menaiki anak tangga menuju kamar Alexandra. Tanpa permisi dia langsung membuka pintu serampangan."Di mana Tara?!" tanya Brian, mencekeram kedua bahu Alex dengan kuat."Dia belum pulang.""Cari! Cari sampai ketemu! Kamu baru boleh menginjakkan kakimu di rumah ini lagi!"Brian tidak habis pikir. Bagaimana bisa Alex mengawasi satu adik perempuan saja sampai gagal? Fasilitas semua sudah ada. Mobil, motor sport keluaran terbaru, uang jajan, makanan, sampai kolam renang lengkap di rumah. Bisa-bisanya Tara malah keluyuran sampai tidak pulang."Kenapa aku? Bukannya Tara adalah tanggung jawab kita bersama?" elak Alex tidak terima."Kau yang ada di rumah! Kau ya
Gerimis ringan mengguyur jalanan. Deru mesin mobil memecah keheningan malam. Tara akhirnya sampai di kompleks kos Nathan yang terletak di pinggiran kota. Suasananya cukup sunyi waktu malam hari. Hanya suara jangrik dan kodok bersahutan sana sini."Nathan!!" Suara Tara menggema, membuat Nathan yang duduk di kursi teras terkejut."Ssttt ... Tara pelankan suaramu! Ini bukan rumahmu yang sebesar kastil!" Sesosok laki-laki berperawakan tinggi muncul dari sebuah gang remang-remang.Gadis yang masih memakai seragam sekolah itu celingukan. Dia berlari kecil menuju teras, bajunya agak basah terkena gerimis. Saat Tara sudah berhadapan dengan Nathan, dia sedikit tertegun melihat teman laki-lakinya yang sudah akrab dua tahunan ini.Bagaimana tidak? Nathan yang biasanya berpakaian rapi kini hanya memakai celana jeans sedengkul dengan kaos polos berwarna abu-abu. Rambutnya agak berantakan tapi itu malah membuatnya semakin cool."Apa yang terjadi?""Aku be