"Nak Eja?" panggil seorang wanita berumur tiga puluh lima tahun itu.
"Mama Ayu."
"Kemana aja baru mampir? Bayu bilang kemarin mau ke sini. Ditungguin malah nggak dateng."
Namanya Ayu, Reza biasa memanggilnya Mama Ayu. Beliau sudah Reza anggap seperti ibu kandungnya sendiri. Keluarga Bayu yang lain juga sangat baik padanya. Kadang, Reza iri.
"Sibuk, Ma. Mama Ayu sehat?" Reza menyalami Ayu dengan sopan. Ayu mengusap rambut Reza yang sudah dia anggap seperti anak sendiri.
"Alhamdulillah, sehat. Masuk, yuk? Mama mau masak udang goreng tepung asam manis kesukaan kamu." Ayu menggandeng Reza memasukki rumahnya.
Keduanya sudah ada di dapur. Reza menawarkan diri untuk membantu memasak, tapi, Ayu melarangnya. Dia bilang agar Reza cukup menunggu masakannya jadi saja.
"Bayu, turun, Nak. Ada Eja di bawah. Kita makan bareng dulu," teriak Ayu dari dapur.
Berbeda dengan Reza yang memiliki rumah bertingkat dua, rumah Bayu tidak bertingkat, hanya dibuat luas di bagian pekarangan depan dan belakang saja. Sederhana, namun tetap nyaman dan terasa luas. Reza bisa merasakan kehangatan keluarga yang luar biasa di sini.
"Eh, lo, Ja. Katanya kemarin mau ke rumah? Ngibul aja lo. Mama udah masak banyak, lho." Bayu terlihat memasuki ruang makan. Masih menggunakan baju seragam dan celana boxer selutut.
Reza menampilkan raut kaget dan rasa bersalahnya saat menatap Ayu yang saat itu langsung tersenyum tipis.
"Maaf, Ma."
"Nggak masalah, yang penting, kan, kamu udah di sini. Bayu, kok masih pake seragam? Ganti dulu, Nak," ucap mama Ayu lembut.
"Mager, ah, Ma. Nanti aja abis makan. Fal, lo mau nginep?" Bayu duduk di depan Naufal sambil memakan biskuit yang sudah disiapkan Ayu. "Nih, biskuit. Lumayan buat ganjel perut sebelum masakan Mama siap."
"Thanks. Gue balik ke rumah aja."
"Lo bawa mobil? Motor lo kemana?" tanya Bayu. Dia ingat sepulang sekolah tadi melihat Reza masuk ke mobilnya.
"Motor gue ada di rumah. Lo nggak manggil dua curut itu ke sini?" Reza langsung mengalihkan pembicaraan. Dia sedang malas mencari alasan.
"Boleh, deh, gue chat di grup, ya?" Bayu beranjak dari kursinya. Mengambil ponselnya yang dia tinggalkan di kamar.
"Randi sama Dirga nggak di ajak?" tanya Ayu. Reza membantu Ayu menata piring dan sendok.
"Bayu lagi ngabarin mereka, Ma. Mama Ayu makan bareng kita, kan?"
Ayu menggeleng pelan sebagai jawaban. "Mama lagi nggak enak banget perutnya buat makan. Kalian aja nanti makan."
"Mama Ayu sakit?"
"Cuma lagi meriang aja. Ini Mama lagi minum air jahe biar agak enakan." Reza kemudian berdiri di belakang Ayu, memijat pundaknya. Bayu menghampiri Ayu dan Reza yang tampak asyik berbincang.
Si Eja...
Bayu bersyukur, keluarganya benar-benar menyayangi sahabatnya. Walaupun di sekolah, Reza terlihat berandalan dan tempramental, tapi, Bayu tahu bahwa Reza adalah orang yang penyayang. Bayu bisa melihat itu dari sikap lembut Reza ke keluarganya.
Setelah menunggu lima belas menit, Randi dan Dirga pun datang. Suara langkah kaki Dirga sudah terdengar bahkan dari jarak cukup jauh.
"Selamat siang menjelang sore, Tante Cantik yang selalu terlihat muda." Dirga menyapa Ayu dengan riang. Tak lupa dengan gombalan wajib miliknya yang tak pernah lupa dia sebutkan untuk Ayu. Ayu memang secantik namanya.
"Sopan dikit, kek, lo. Di rumah orang udah kayak di hutan pake teriak-teriak segala," omel Randi sambil menjitak kepalanya.
"Tante Ayu, Dirga dipukul Randi, tuh. Jahat banget nggak, sih, anak Tante yang mukanya datar kayak triplek itu." Dirga mengadu. Menyembunyikan dirinya di belakang Ayu berusaha mencari perlindungan.
"Najis, aleman banget! Nggak usah sok ngadu lo, Kambing," ketus Randi.
"Rumah gue langsung berisik ada lo, Ga," keluh Bayu. Memang, jika sudah ada Dirga, kediamannya tidak akan pernah damai. Berisik, berantakan, dan makanan langsung ludes dilalapnya.
Ayu tertawa kecil, mengelus bekas jitakan Randi. "Udah, makan dulu sana. Emang nggak bisa, ya, kalo sehari aja kalian nggak ribut?"
"Randi duluan, Tante, yang main kasar sama Dirga. Dirga, kan, cuma mau nyapa Tante aja." Dirga kembali merengek layaknya anak kecil.
"Ya Allah, dosa apa gue punya temen kayak gini banget." Randi memijat pelipisnya yang mendadak pening.
"Ga, duduk." suara dingin Reza memecah kekacauan rumah Bayu. Jika Reza sudah mengeluarkan nada ancamannya, tidak ada yang berani menolaknya. Bahkan Dirga sekalipun yang sebelumnya masih tersenyum songong ke arah Randi.
"Oke, oke, Ja, santuy man santuy." Dirga langsung cengengesan dan segera mengambil tempat duduk agak jauh dari Reza.
Takut kena tabok, katanya.
Pada akhirnya, keempat sahabat itu makan bersama. Dirga dan Randi sudah kembali seperti biasa—saling adu mulut. Reza masih diam menikmati masakan Ayu yang selalu menjadi favoritnya, dan Bayu yang kini mengobrol santai dengan sang mama.
"Ah, Bangke! Pemain gue nggak becus ngoper bola, ya? Gawang udah di depan mata aja pake meleset," teriak Dirga kesal.
Setelah makan, keempat sahabat itu langsung menyerbu kamar Bayu melangsungkan ritual rutin mereka--bermain playstation.
"Lo aja yang nggak becus main. Udah tiga kali tanding, tiga kali kalah. Pulang aja sana," ejek Reza. Dirga yang kesal membanting stik PSnya. Untunglah mereka bermain di atas kasur.
"Tukeran stik, Ja. Ini pasti stik punya gue udah rusak, nggak sinkron sama pemain."
Bayu terbahak mendengarnya. Dirga memang bodohnya sudah sampai ke DNA. Susah buat di paksa pinter juga. Otaknya sudah banyak yang konslet sel-selnya.
"Alesan aja lo, Kambing. Udah, minggir, biar gue yang main sama Randi." Bayu menarik ujung baju belakang Dirga hingga cowok itu berpindah dari tempatnya. Dirga sebenarnya masih tidak terima. Dia boleh saja ahli di lapangan, tapi, kenapa dia payah sekali dalam game? Apa yang salah dari jari-jarinya ini?
••¤¤••
Salma tampak melamun sambil menunggu jemputannya. Ingatannya melayang ke beberapa hari lalu, saat dia tak sengaja bertemu dengan Reza di jembatan yang biasa dia datangi. Jika libur, Salma memang rutin ke jembatan itu. Tak jauh dari sana, ada sebuah taman kecil dengan danau buatan yang tidak terlalu besar.
Awalnya, Salma penasaran siapa yang tiba-tiba berteriak sore-sore. Dan ternyata dia adalah Reza, kakak tingkatnya di sekolah. Awalnya dia ragu untuk menyapa, tapi melihat Reza yang seperti butuh teman bercerita, Salma memutuskan menghampiri laki-laki itu.
"Ada urusan apa?" tanya Reza. Dengan mata tajamnya, Reza memandang Salma dari tempatnya.
"A-aku ...." Lidah Salma mendadak kelu. Beberapa saat lalu, Reza seperti orang yang putus asa hendak bunuh diri, dan sekarang berubah drastis seperti kutub, tak bisa Salma dekati. Dinginnya tatapan Reza menohok hati Salma, seolah menciptakan dinding besar antara mereka.
Beberapa hari kemudian, Reza yang kelihatannya cuek memaksa Salma berlaku sama. Dia tidak menyinggung apa-apa soal pertemuan mereka.
Argh, bikin kepikiran aja.
"Hai," sapa sebuah suara dari sisi kirinya. Salma menengok dan secara reflek menggeser tempat duduknya sedikit menjauh.
Laki-laki itu tersenyum tipis melihat sikap waspada gadis itu. "Salma, kan, temennya Dita?"
"I-iya, aku Salma. Kakak kenal Dita?"
"Cuma tahu aja. Ada yang suka sama dia." Bayu mengedipkan sebelah mata. Salma menatap Bayu penuh antusias.
"Oh, iya? Siapa, Kak? Kelas berapa? Aku kenal, nggak?"
Aku, ya? Menarik juga inceran lo, Ja. Laki-laki itu adalah Bayu, sahabat Reza.
"Sstt... diem-diem aja, ya? Ini rahasia kita. Oh iya, kenalin, nama Kakak, Bayu. Tahu Reza, kan? Kakak sahabatnya."
Saat Salma akan menjawab, mobil kakaknya sudah tiba. "Oh, aku pulang dulu, ya?"
"Hati-hati di jalan." Bayu melambaikan tangannya sambil tersenyum manis mengiringi masuknya Salma ke mobil.
Mobil Reza memasuki halaman rumahnya tepat pukul setengah dua belas malam. Reza sengaja pulang larut dari rumah Bayu demi menghindari orang tuanya. Namun, naas, di sampingnya sudah terparkir mobil ayahnya. Reza segera keluar dari mobil dan memasukki rumahnya.
"Dari mana saja kamu? Sekolah sampai tengah malam begini baru pulang." Reza melirik ayahnya yang tengah duduk di sofa ruang keluarga. Menatap anaknya tajam.
"Bukan urusan Anda."
"Dasar anak kurang ajar!" langkah Reza terhenti mendengar nada tajam Fahri. Rezamembalik badannya menghadap Fahri. Ayahnya itu sedang terengah-engah menahan marah. Dan, Reza tidak terlalu peduli.
"Kamu itu Papa sekolahin biar pinter bukan malah jadi preman dan membangkang begini. Ngapain aja kamu di luar sampai jam segini? Tawuran? Balapan motor? Atau jangan-jangan narkoba?"
Reza menatap Fahri tak percaya. "Seburuk itu saya di mata Anda? Peduli apa Anda tentang Saya? Biasanya juga Anda nggak pernah sekali pun tanya keadaan saya. Saya mau ngapain pun bukan urusan Anda."
"Eja!!" teriak Fahri lebih keras. Wajahnya memerah tanda ia benar-benar marah. Anaknya sudah semakin kurang ajar. Semua berkat didikan mantan istrinya yang selalu memanjakannya.
"Kamu anak saya. Anak satu-satunya yang akan meneruskan—"
"Meneruskan apa? Perusahaan Anda? Saya bahkan punya mimpi sendiri. Dan mimpi saya jelas bukan untuk meneruskan usaha Anda."
"Kamu mau jadi apa? Pelukis? Mau makan apa kamu dari hasil melukis?" tanya Fahri meremehkan.
"Kalau pun saya harus berbisnis, yang jelas itu bukan untuk meneruskan bisnis Anda. Bisnis kotor yang harusnya bukan milik Anda, tapi, Maya, mantan istri Anda."
Dan juga ibu kandung saya.
Reza berbalik memunggungi ayahnya. Matanya terpejam sejenak sebelum akhirnya terbuka, menampilkan sorot mata penuh kecewa dan rasa sakit yang sudah tidak bisa dia tahan. Reza butuh pelampiasan. Seperti biasa.
"Anak kurang ajar! Eja, Papa belum selesai bicara!"
Tanpa peduli panggilan Fahri, Reza langsung masuk ke kamarnya, mengunci pintu, sambil bersandar pada tembok. Air matanya lolos begitu saja. Tangannya merogoh saku celananya, mengambil sebilah silet yang terbungkus kertas. Reza mengarahkan silet itu di pergelangan tangannya, dan hendak menggoresnya seperti biasa saat ponselnya berbunyi, tanda ada pesan masuk.
Maya Raniya
Sudah tidur, Nak? Mama baru pulang kerja. Mama kangen kamu. Maafin Mama, ya, Nak.Reza menyileti pergelangan tangannya secara perlahan setelah membaca pesan dari mamanya. Hatinya bertambah sakit mengingat keluarganya yang hancur berantakan, mamanya yang tak pernah pulang ke rumah sejak hari itu—tiga tahun lalu.
Tak ada rasa perih di pergelangan tangannya. Seolah tertutupi oleh hatinya yang berdenyut di setiap tarikan napasnya. Dia membenci dirinya sendiri yang selalu lemah di saat sendiri.
Hari ini adalah hari kelulusan SMP Aksara 3. Reza baru pulang dari pesta yang diadakan di rumah Bayu tepat jam sebelas malam. Tidak seperti biasa, keadaan rumah sedikit sepi. Biasanya, jam segini orang tuanya sedang bertengkar atau minimal ayahnya akan memarahinya karena pulang terlambat.
Reza masuk ke ruang keluarga. Tak ada siapa pun, mungkin masih kerja, pikirnya. Saat hendak ke dapur, matanya tak sengaja menangkap sebuah amplop coklat dan pulpen tergeletak di atas meja. Awalnya Reza enggan mengambilnya.
Palingan hanya berkas kerja sama biasa. Batin Reza.
Reza mengambil minum dan membawanya ke ruang keluarga. Rasa penasarannya kian membuncah.
Mengintip sedikit nggak akan mengubah isi amplopnya, kan? Kira-kira begitulah yang Reza pikirkan.
Tanpa firasat negatif apa pun, Reza membuka amplop tersebut pelan-pelan. Mudah-mudahan isinya tiket liburan keluarga atas kelulusannya. Itu lah harapan kecil Reza.
Namun, Reza terdiam kaku setelah membaca judul surat tersebut. Ya, baru judul, belum sampai isi, tapi, Reza sudah sangat syok membacanya. Tangannya bergetar, jantungnya berdegup sangat kencang, bahunya melemas seketika. Reza membentangkan kertas tersebut.
Surat perceraian kedua orang tuanya dan sudah ditandatangani secara sadar oleh mereka.
Reza tahu, detik dia mengetahui semuanya, dia sudah hancur. Harapannya untuk memiliki keluarga yang harmonis sudah lenyap. Yang tersisa hanya sesak dan hampa.
Luka di tangannya pun semakin melebar. Reza sedikit memperdalam goresannya, berharap rasa sakit di hatinya segera hilang. Namun, Reza malah semakin menikmatinya.
Hai, kewarasan, ada di mana sekarang? Katakan saja Reza nyaris gila sekarang. Ibu yang disayangi memutuskan komunikasi mereka, ayah yang harusnya menjadi panutan malah menjadikan alasan dirinya mulai menyakiti diri sendiri.
Saat nyeri ditangannya kian menjadi, barulah Reza mendecih pelan, "Sialan, sakit juga."
Darah segar menetes, mengotori lantai marmer kamarnya. Reza tersenyum, ingatkan dia untuk segera membersihkan semuanya, ya?
Reza tiba di sekolah bersamaan dengan Salma yang baru saja turun dari mobilnya.Si anak disleksia itu, kan?Reza memerhatikan interaksi Salma dengan wanita yang Reza tebak adalah ibunya Salma. Keduanya terlihat dekat, kental sekali saling menyayangi. Reza iri, jujur saja. Dia memang mendapatkan kasih sayang dari keluarga Bayu, tapi, percayalah, tidak akan sama rasanya seperti kasih sayang seorang ibu kandung.Pandangan Reza dan Salma bertemu, yang disadari oleh Alda. Alda tersenyum, Reza mengangguk canggung. Keduanya menghampiri Reza yang memang tidak jauh jaraknya."Hai, teman Salma? Namanya siapa?" tanya Alda. Reza diam sesaat. Teman? Pertemuan pertama mereka yang bisa dibilang tidak baik apa mungkin bisa disebut teman? Ya
Maya Reanita adalah gadis asal Prabumulih, Sumatera Selatan. Merantau ke Jakarta sata berhasil mendapatkan beasiswa kuliah di sana. Maya adalah orang yang tegas, berpendirian, ego yang tinggi, dan penyayang. Pertemuannya dengan Fahri saat dirinya menjabat sebagai wakil ketua klub seni di kampusnya.Fahri adalah seorang mahasiswa dan pengusaha muda saat itu. Selalu didesak menikah, Fahri memilih Maya untuk menjadi istrinya. Keduanya menjalani rumah tangga yang adem ayem tanpa keributan. Bohong jika Maya tidak mencintai Fahri setelah hidup bersama pria itu dan mendapatkan seorang anak yang lucu dan cerdas seperti Reza.Pernikahan mereka mulai goyang saat Maya memergoki Fahri berpelukan dengan sekretarisnya siang itu, saat Reza masih berumur 10 tahun. Setidaknya, itulah ingatan masa kecil Reza yang masih membekas hingga saat ini. Pertengka
Reza duduk di barisan depan kursi ruang sidang di dampingi oleh tantenya. Hari ini adalah sidang perceraian kedua orang tuanya. Setelah dua tahun mengalami masalah dalam rumah tangga, keduanya memilih berpisah. Keduanya bahkan tidak bertanya atau mendengarkan pendapat Reza. Tidak ada yang mau tahu tentang isi hati Reza.Setelah menunggu berjam-jam di sana, sambil menahan sesak dan amarah, keduanya resmi bercerai dengan tuduhan perselingkuhan mamanya dan hak asuh anak jatuh ke tangan sang ayah. Reza hancur sehancur-hancurnya, remuk tanpa bisa diperbaiki. Doanya untuk menyatukan kedua orang tuanya ternyata tidak dikabulkan. Ditatapnya nanar kedua orang tua yang sebentar lagi tidak akan bersamanya secara lengkap. Dia akan tinggal dengan ayahnya setelah hari ini. Tangisnya, penolakannya, dan harapannya untuk keduanya
Reza tengah di jalan lepas pulang sekolah saat melihat gerombolan anak laki-laki dan perempuan sedang mengerubungi sesuatu. Reza tidak ingin peduli, tapi saat mendengar seseorang terisak, mau tidak mau dia harus berperan sebagai pahlawan kesiangan sejenak."Ngapain lagi, sih? Ganggu orang mau pulang aja," gumamnya kesal. Iya, Reza kesal bukan main. Bukan pada si korban, tapi lebih pada dirinya sendiri.Tak jauh dari tempatnya berdiri, ada banyak tepung berceceran di jalan yang sepi. Lumayan pas dijadikan tempat untuk merundungi orang lemah.Mata Reza menyipit, "SD tetangga, tuh. Kayaknya adik kelas."Salah satu dari mereka melempari anak malang itu dengan kacang goreng. Reza bersiap untuk berteriak.
"Ja!!"Reza menoleh tanpa minat ke arah suara yang tadi memanggil namanya. Cowok itu mendengus saat Randi berdiri di sampingnya dengan tatapan menusuk."Belum pulang?" tanya Reza santai."Pulang pala lo! Ngapain lo di sini?""Kelihatannya? Yuk, balik." Dengan santai Reza merangkul Randi yang langsung di tepis kasar."Mau sampai kapan lo begini? Nggak takut mati? Inget, dosa lo masih numpuk. Neraka aja ogah nampung orang kayak lo!" ucap Randi pedas. Yang malah terdengar sangat perhatian di telinga Reza."Lo lama-lama mirip Bayu, Ran. Cocok lo berdua.""Ja, Gue serius!" ucap Randi ta
Reza mendarat dengan sukses di taman belakang sekolah. Dia baru saja selesai tawuran dengan musuh bebuyutan sekolahnya, SMA Budi Pertiwi. Beruntung, guru jam pertama dan keduanya hari ini tidak masuk.Reza menyandarkan tubuhnya pada sebuah pohon besar yang berhadapan langsung dengan danau buatan. Dikeluarkannya sebilah silet dari saku seragamnya dan mulai menggerakkan ujung silet tersebut di sekitar pergelangan tangannya. Rasa perih namun menyenangkan langsung dirasa Reza saat luka yang beberapa hari lalu kembali terbuka. Ditambah, darah segar yang sedikit demi sedikit mengotori rumput.Reza baru saja pulang dari pesta ulang tahun yang diadakan di rumah Dirga. Diliriknya sekali lagi jam di tangan yang sudah menunjukkan angka sepuluh. Reza pulang bersamaan dengan Maya yang juga baru pulang dari kantor. Hanya saja, ibunya itu tidak me
Reza melepas helmnya. Matanya menatap tajam arena balap yang sudah sering ia datangi. Seseorang tersenyum mendatanginya. Mereka bersalaman."Dateng juga lo.""Mana pihak lawan? Takut?" jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam."Bentar lagi juga muncul. Siap jadi pemenang?" tanya Rega.Reza tersenyum miring tanpa menjawab. Pertanyaan retorik. Begitu pikir Reza.Tanpa diketahui ketiga sahabatnya, Reza sudah sering menjadi pembalap liar. Awalnya sekadar melihat pertandingan orang lain, lalu Rega menawarinya ikut, hingga saat ini, Reza selalu menerima tantangan balapan setiap dia sedang emosi. Menurutnya, ini cara paling menyenangkan untuk membebaskan rasa sesak di dadanya. Meskipun ha
Reza duduk di barisan depan kursi ruang sidang di dampingi oleh tantenya. Hari ini adalah sidang perceraian kedua orang tuanya. Setelah dua tahun mengalami masalah dalam rumah tangga, keduanya memilih berpisah. Keduanya bahkan tidak bertanya atau mendengarkan pendapat Reza. Tidak ada yang mau tahu tentang isi hati Reza.Setelah menunggu berjam-jam di sana, sambil menahan sesak dan amarah, keduanya resmi bercerai dengan tuduhan perselingkuhan mamanya dan hak asuh anak jatuh ke tangan sang ayah. Reza hancur sehancur-hancurnya, remuk tanpa bisa diperbaiki. Doanya untuk menyatukan kedua orang tuanya ternyata tidak dikabulkan. Ditatapnya nanar kedua orang tua yang sebentar lagi tidak akan bersamanya secara lengkap. Dia akan tinggal dengan ayahnya setelah hari ini. Tangisnya, penolakannya, dan harapannya untuk keduanya
Maya Reanita adalah gadis asal Prabumulih, Sumatera Selatan. Merantau ke Jakarta sata berhasil mendapatkan beasiswa kuliah di sana. Maya adalah orang yang tegas, berpendirian, ego yang tinggi, dan penyayang. Pertemuannya dengan Fahri saat dirinya menjabat sebagai wakil ketua klub seni di kampusnya.Fahri adalah seorang mahasiswa dan pengusaha muda saat itu. Selalu didesak menikah, Fahri memilih Maya untuk menjadi istrinya. Keduanya menjalani rumah tangga yang adem ayem tanpa keributan. Bohong jika Maya tidak mencintai Fahri setelah hidup bersama pria itu dan mendapatkan seorang anak yang lucu dan cerdas seperti Reza.Pernikahan mereka mulai goyang saat Maya memergoki Fahri berpelukan dengan sekretarisnya siang itu, saat Reza masih berumur 10 tahun. Setidaknya, itulah ingatan masa kecil Reza yang masih membekas hingga saat ini. Pertengka
Reza tiba di sekolah bersamaan dengan Salma yang baru saja turun dari mobilnya.Si anak disleksia itu, kan?Reza memerhatikan interaksi Salma dengan wanita yang Reza tebak adalah ibunya Salma. Keduanya terlihat dekat, kental sekali saling menyayangi. Reza iri, jujur saja. Dia memang mendapatkan kasih sayang dari keluarga Bayu, tapi, percayalah, tidak akan sama rasanya seperti kasih sayang seorang ibu kandung.Pandangan Reza dan Salma bertemu, yang disadari oleh Alda. Alda tersenyum, Reza mengangguk canggung. Keduanya menghampiri Reza yang memang tidak jauh jaraknya."Hai, teman Salma? Namanya siapa?" tanya Alda. Reza diam sesaat. Teman? Pertemuan pertama mereka yang bisa dibilang tidak baik apa mungkin bisa disebut teman? Ya
"Nak Eja?" panggil seorang wanita berumur tiga puluh lima tahun itu."Mama Ayu.""Kemana aja baru mampir? Bayu bilang kemarin mau ke sini. Ditungguin malah nggak dateng."Namanya Ayu, Reza biasa memanggilnya Mama Ayu. Beliau sudah Reza anggap seperti ibu kandungnya sendiri. Keluarga Bayu yang lain juga sangat baik padanya. Kadang, Reza iri."Sibuk, Ma. Mama Ayu sehat?" Reza menyalami Ayu dengan sopan. Ayu mengusap rambut Reza yang sudah dia anggap seperti anak sendiri."Alhamdulillah, sehat. Masuk, yuk? Mama mau masak udang goreng tepung asam manis kesukaan kamu." Ayu menggandeng Reza memasukki rumahnya.Keduanya sudah ada di dapur.
Reza melepas helmnya. Matanya menatap tajam arena balap yang sudah sering ia datangi. Seseorang tersenyum mendatanginya. Mereka bersalaman."Dateng juga lo.""Mana pihak lawan? Takut?" jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam."Bentar lagi juga muncul. Siap jadi pemenang?" tanya Rega.Reza tersenyum miring tanpa menjawab. Pertanyaan retorik. Begitu pikir Reza.Tanpa diketahui ketiga sahabatnya, Reza sudah sering menjadi pembalap liar. Awalnya sekadar melihat pertandingan orang lain, lalu Rega menawarinya ikut, hingga saat ini, Reza selalu menerima tantangan balapan setiap dia sedang emosi. Menurutnya, ini cara paling menyenangkan untuk membebaskan rasa sesak di dadanya. Meskipun ha
Reza mendarat dengan sukses di taman belakang sekolah. Dia baru saja selesai tawuran dengan musuh bebuyutan sekolahnya, SMA Budi Pertiwi. Beruntung, guru jam pertama dan keduanya hari ini tidak masuk.Reza menyandarkan tubuhnya pada sebuah pohon besar yang berhadapan langsung dengan danau buatan. Dikeluarkannya sebilah silet dari saku seragamnya dan mulai menggerakkan ujung silet tersebut di sekitar pergelangan tangannya. Rasa perih namun menyenangkan langsung dirasa Reza saat luka yang beberapa hari lalu kembali terbuka. Ditambah, darah segar yang sedikit demi sedikit mengotori rumput.Reza baru saja pulang dari pesta ulang tahun yang diadakan di rumah Dirga. Diliriknya sekali lagi jam di tangan yang sudah menunjukkan angka sepuluh. Reza pulang bersamaan dengan Maya yang juga baru pulang dari kantor. Hanya saja, ibunya itu tidak me
"Ja!!"Reza menoleh tanpa minat ke arah suara yang tadi memanggil namanya. Cowok itu mendengus saat Randi berdiri di sampingnya dengan tatapan menusuk."Belum pulang?" tanya Reza santai."Pulang pala lo! Ngapain lo di sini?""Kelihatannya? Yuk, balik." Dengan santai Reza merangkul Randi yang langsung di tepis kasar."Mau sampai kapan lo begini? Nggak takut mati? Inget, dosa lo masih numpuk. Neraka aja ogah nampung orang kayak lo!" ucap Randi pedas. Yang malah terdengar sangat perhatian di telinga Reza."Lo lama-lama mirip Bayu, Ran. Cocok lo berdua.""Ja, Gue serius!" ucap Randi ta
Reza tengah di jalan lepas pulang sekolah saat melihat gerombolan anak laki-laki dan perempuan sedang mengerubungi sesuatu. Reza tidak ingin peduli, tapi saat mendengar seseorang terisak, mau tidak mau dia harus berperan sebagai pahlawan kesiangan sejenak."Ngapain lagi, sih? Ganggu orang mau pulang aja," gumamnya kesal. Iya, Reza kesal bukan main. Bukan pada si korban, tapi lebih pada dirinya sendiri.Tak jauh dari tempatnya berdiri, ada banyak tepung berceceran di jalan yang sepi. Lumayan pas dijadikan tempat untuk merundungi orang lemah.Mata Reza menyipit, "SD tetangga, tuh. Kayaknya adik kelas."Salah satu dari mereka melempari anak malang itu dengan kacang goreng. Reza bersiap untuk berteriak.