Reza mendarat dengan sukses di taman belakang sekolah. Dia baru saja selesai tawuran dengan musuh bebuyutan sekolahnya, SMA Budi Pertiwi. Beruntung, guru jam pertama dan keduanya hari ini tidak masuk.
Reza menyandarkan tubuhnya pada sebuah pohon besar yang berhadapan langsung dengan danau buatan. Dikeluarkannya sebilah silet dari saku seragamnya dan mulai menggerakkan ujung silet tersebut di sekitar pergelangan tangannya. Rasa perih namun menyenangkan langsung dirasa Reza saat luka yang beberapa hari lalu kembali terbuka. Ditambah, darah segar yang sedikit demi sedikit mengotori rumput.
Reza baru saja pulang dari pesta ulang tahun yang diadakan di rumah Dirga. Diliriknya sekali lagi jam di tangan yang sudah menunjukkan angka sepuluh. Reza pulang bersamaan dengan Maya yang juga baru pulang dari kantor. Hanya saja, ibunya itu tidak menyadari keberadaannya.
"Dari mana saja kamu? Jalan sama selingkuhanmu itu?" Reza hendak masuk namun diurungkan saat mendengar suara sang ayah menggelegar dari ruang tamu.
Berantem ... lagi? batin Reza miris.
"Nggak salah? Bukannya kamu yang selingkuh dengan sekretarismu yang jalang itu?" balas Maya dingin. Matanya menatap penuh benci pria berstatus suaminya itu.
"Jaga bicaramu, Maya! Saya tidak ada hubungan apa pun dengan Raline!"
"Hah! Mana ada maling mau mengaku, Fahri! Kebusukkanmu itu memang sudah mendarah daging."
"Dasar jal—"
Ucapan Fahmi terputus saat Reza dengan santai memasukki ruang tamu. Amarah Fahri kian menjadi-jadi saat Reza melewatinya begitu saja dengan tatapan penuh benci.
"Dari mana saja kamu, Anak Sial? Anak sama Ibu sama saja, suka keluyuran nggak jelas," ucap Fahri ketus. Reza menghentikan langkahnya, berbalik menatap kedua orang tuanya.
"Buat apa Anda repot-repot bertanya tentang kemana saya pergi? Urus aja saham dan berkas sialan Anda."
"Anak kurang ajar! Nggak tahu terima kasih! Kamu lihat hasil didikan kamu, Maya? Jadi liar macam binatang." Fahri menampar pipi kiri Reza. Nafasnya memburu menatap marah anaknya.
"Cukup, Mas! Jangan kasar sama Eja!" Maya memeluk putra semata wayangnya.
"Bela saja terus anak kamu. Nggak berguna! Cuma bisa tawuran dan bolos sekolah. Mau jadi apa hidup kamu, Eja? Jadi gembel?!"
"CUKUP, FAHRI!" jerit Maya marah.
"Tch! Sudah selesai, kan? Saya pergi." Reza melepas paksa pelukan Maya. Wanita itu menangis menatap Reza yang mulai tak terlihat.
"Kamu berdarah!" Reza tersentak dan tanpa sengaja malah memperdalam luka di pergelangannya.
"Heh, diem!" bentak Reza. Salma langsung diam tak berkutik. Reza meringis saat lukanya cukup lebar.
Sial! Perih juga.
Reza beralih menatap Salma yang kini diam ketakutan. Kesal rasanya saat cewek yang tidak dia kenal menganggu aktifitasnya.
"Ki-kita ke UKS, ya? Tangan kamu luka."
"Heh, emangnya ini ulah siapa, hm?" omel Reza. Dia langsung berdiri dan hendak beranjak pergi namun tertahan oleh Salma yang memegang ujung seragamnya.
"Tunggu—"
"Lepas! Gue mau pergi," ketus Reza.
"Ta-tapi luka kamu—"
"Lepas! Budek, lo?"
Salma diam. Antara takut, kesal, dan khawatir. Padahal dia berniat baik mau mengobati luka cowok di depannya ini, tapi, kenapa malah dia yang kena omel?
"Aku minta maaf udah buat kamu luka. Ta-tapi kalo nggak diobatin, bisa infeksi."
Reza menatapnya tajam. "Bahkan kalo gue mati pun, nggak ada urusannya sama lo," bisik Reza tajam. Dia melepas paksa cengkraman Salma dan kembali berjalan.
"Tunggu!"
Shit! Nelen anak orang dosa nggak, sih?
"Mau lo apa, sih?" sekali lagi, Reza berteriak di depan Salma.
Dengan tangan bergetar, Salma memberikan sebotol air mineral yang tadi dia beli di kantin. Reza terdiam, sadar kala cewek di hadapannya ini bergetar ketakutan. Dia menghela nafas pelan dan pergi begitu saja tanpa menerima botol minum pemberian Salma.
Cowok yang Salma yakini adalah kakak kelasnya itu terus berjalan sampai tidak bisa dia lihat lagi. Heran, baru ini bertemu orang yang mau ditolong, marah balik marah padanya. Dengan berat hati, Salma membiarkan kakak kelasnya itu dan kembali ke ruang olahraga.
Dita pasti ngomel, deh.
"Salma!" seru Dita dari kejauhan. Salma memerlihatkan cengiran sok polosnya saat sahabatnya itu sudah ada di depannya.
"Ini anak kambing emang nggak bisa dipegang omongannya, ya?" omel Dita. Tangannya menjitak Salma, "Lama banget cuma ke kantin."
"Maaf, tadi aku kesasar di taman belakang"
Trus ketemu Kating aneh yang hobi ngomel-ngomel.
"Apa gue bilang? Udah sana absen dulu ke Pak Zul." Dita menarik Salma masuk ke area lapangan menemui guru olahraga yang sedang mengawasi murid-muridnya.
Selepas pengambilan nilai, Salma, Dita, dan beberapa teman ceweknya duduk di kursi penonton, menyoraki teman-teman cowoknya yang sedang bermain futsal.
"Si Anwar gaya doang tengil, tapi, giliran ngoper bola aja nggak becus. Gebetan lo, Dit," ucap Dewi.
Dita berpose seakan mau muntah mendengarnya. "Gue sama Anwar? Iyuh lah! Cowok kadal kayak dia mah buat apa?"
"Eh, si Rangga jago juga main futsal. Anjir ngelap keringet aja keren banget," seru Lidya. Dewi, Dita, dan Salma langsung menatapnya.
"Lo naksir sama si kedelai hitam itu?"
"Apanya yang kedelai hitam?"
"Ya, itu, Rangga. Dia kan hitam manis kayak kecap bango," jawab Dewi. Dia ikut memerhatikan Rangga yang tampak lebih manis saat tersenyum atau tertawa bareng teman-temannya.
"Gue naksir dia udah lama. Dari kelas dua SMP."
"SERIUS SUKA SAMA RANGGA??" teriak Dewi heboh. Lidya sampai harus menutupi wajahnya karena malu.
"Dewi... lo bisa kontrol suara lo nggak, sih?" Lidya menggeram kesal dengan pelan. Dewi yang sepertinya sudah sadar situasi dan perbuatannya langsung duduk dan memeluk Salma. Membenamkan wajahnya di tubuh Salma yang lebih kecil darinya.
"Eh, lo wangi bayi, Sal. Ih! suka bangeeett." Salma duduk dengan kaku, melirik Dita mencoba meminta pertolongan. Dita tersenyum tulus.
"Salma kan polos, orang baik, ya, jelas aja bau bayi. Enak dicium. Kalo lo mah bau kabel kebakar. Gosipin orang mulu."
"Garing banget, Dit. Lo mau ngelawak?" sindir Dewi.
Lidya bersyukur bahwa Dewi mulai melupakan pembahasan mereka sebelumnya. Memang ide buruk bercerita di depan Dewi si lambe turah sekolah. Bukannya untung, malah buntung.
••¤¤••
Tepat pukul sepuluh, bel istirahat pertama berbunyi. Pelajaran olahraga kelas IPS 3 pun selesai. Mereka berbondong-bondong ke ruang ganti. Beberapa anak laki-laki bahkan memutuskan mandi.
Suasana kantin ramai seperti biasa. Kedatangan Reza, Randi, dan Dirga langsung disambut antusias oleh penghuni Cakrawala. Dita memandang bosan ketiga cowok paling hits di sekolahnya.
"Gue bersyukur bisa keterima masuk sini. Tiap jam istirahat bisa lihat wajah ganteng mereka itu bikin mood naik lagi. Belajar juga makin semangat." Dewi menatap penuh kagum ke arah Randi. Mereka selalu duduk di meja yang sama, seakan itu mutlak milik mereka.
"Gue lebih bersyukur kalo tiga mahluk tengil itu enyah dari sini," balas Dita sinis.
"Sstt.. itu Bayu, kan? Gila, beneran Bayu?" Belum habis pekikan cewek-cewek di kantin tentang ketiga cowok itu, teriakan mereka bertambah saat seorang cowok dengan senyum sejuta watt-nya memasukki kantin. Sesekali cowok yang terlihat bersinar itu membalas sapaan beberapa orang yang sebenarnya tidak dia kenal.
"Gila gila gila! Itu Kak Bayu, Dit! Aaaaa... sumpah, ya, itu orang, tiga bulan di NY makin ganteng banget! Uuuhh... stylenya itu, lho, udah seganteng Shawn Mendes." Dewi sama histerisnya dengan beberapa cewek di sekitar mereka. Bahkan, ada yang terang-terangan menggoda Bayu.
"Berisik, Dewi, gue mau makan," ketus Dita. Lidya mengelus lengan Dita yang terlihat kesal.
"Lo kenapa, Dit? Kok ngelihat Bayu malah makin sinis? Coba deh kayak Salma yang anteng sambil lihatin Kak Reza."
Mendengar namanya disebut, Salma menoleh, menatap Dewi dan Dita bergantian. "Ada apa?"
Lidya mengangkat bahunya. "Lanjut makan, yuk, Sal. Nggak usah dengerin dua orang gila ini tengkar. Bikin sakit kuping." Salma terlihat bingung awalnya. Namun, dia memilih tidak bertanya lebih lanjut.
Tatapannya kembali ke tempat Reza duduk. Sejak terakhir bertemu, Salma tidak bisa berhenti memikirkan Reza. Banyak pertanyaan yang mengelilingi kepalanya, dan tak ada jawaban yang bisa dia dapat.
Katanya, Kak Reza punya sakit mental, apa iya? Orang normal macam apa yang nyakitin dirinya sendiri? Terus-
"... Ma? Salma?" Salma tersentak kaget saat Dita menyentil keningnya.
"Nah, sadar juga dia," celetuk Dewi.
"Kok aku disentil?" tanya Salma bingung. Dilihatnya suasana kantin yang sudah tidak seramai sebelumnya.
"Ngelamun mulu, sih. Kalo sampai lo kesambet setan lambe turah kayak si Dewi, kan, bisa gawat nanti, Sal." Dewi mendelik ke arah Dita yang malah membicarakannya.
"Ngapain bawa-bawa nama gue, sih? Lagian, ya, gue itu Dewi Aryaningsih, calon anggota jurnalistik sekolah, bukan lambe turah."
"Heh, jurnalis itu nggak pernah ngegosipin orang, apalagi teriak-teriak manggilin Randi CS macam orang ketiban duren."
"Ketiban duren mah bocor, dong," seru Dewi tak terima.
Lidya yang jengah langsung menjewer telinga Dewi. "Udah, berisik! Bisa diem nggak? Buruan ke kelas."
"Aduh! Jangan di jewer kuping gue. Putus ini, Lid, putus, ya ampuunn. Sakit, ih! Nggak ada gantinya ini." Lidya langsung menggeret Dewi tanpa mau mendengar keluhan Dewi yang menyerukan kata 'sakit'.
"Bentar lagi Idul Qurban, banyak kuping kambing, Dew." Dita terbahak, beberapa orang yang masih ada di sekitar mereka ikut tertawa.
"Dita jahat banget. Kasihan Dewi, tuh, sampe diketawain gitu," tegur Salma pelan. Dita tersenyum sambil merangkul sahabatnya itu, sambil memandang sekelilingnya.
"Yang penting bukan lo yang jadi bahan tertawaan mereka."
Bergeser dari tempat Salma berada, meja tempat Reza makan mendadak ramai oleh beberapa teman sekelasnya yang ikut bergabung berkat adanya Bayu. Cowok yang baru saja menyelesaikan pertukaran pelajarnya di New York itu sempat mendapat protes dari ketiga sahabatnya karena tidak bilang akan datang ke sekolah.
"Tahu gitu, kan, kita bolos buat jemput lo ke Bandara, Bay." Dirga masih tidak terima bahwa Bayu tidak mengabarinya. Dia bisa minta izin dispensasi untuk menjemput Bayu yang tentu saja langsung mendapat sorakan dari teman-temannya.
"Itu mah emang pengennya lo bolos sekolah, Ga," ejek Rizal, "Eh, tapi, Bay, gimana hidup di NY? Merdeka banget, dong, lihat bule-bule pake bikini di sepanjang jalan."
"Alah, Semvak! Pertanyaan lo porno banget, Zal," ejek Randi balik.
"Nggak ada bule pake bikini di jalan, Zal, adanya ya di pantai," jawab Bayu. Dia sengaja menggantung kata-katanya. "Tapi kalau bule ciuman di pinggir jalan baru banyak. Hahaha."
"Bangke! Ngapain lo bahas, anjir." Dirga protes seketika.
"Yang mancing bahas bikini tadi siapa? Ya, gue tembak aja langsung pake itu. Sama aja, kan?" bela Bayu.
"Terus, asrama lo di mana? Sekamar berapa orang?" tanya Fara. Rata-rata cewek IPA 1 selain cantik dan pintar, mereka juga di kenal tomboy. Mereka sangat akrab satu sama lain tanpa memandang gender. Tidak ada perbedaan topik bahasan. Mereka sudah paham apa saja yang boleh maupun tidak boleh mereka bahas jika sedang berkumpul seperti ini. Cowok IPA 1 masih menghormati teman rekan cewek mereka.
"Gue tinggal nggak jauh dari sekolah. Cuma satu blok doang jaraknya. Kalo jalan kaki, nggak sampai lima menit udah sampai di sekolah. Satu kamar buat dua orang, tanpa sharing dapur dan kamar mandi. Enak, sih, jadi gue nggak harus rebutan kamar mandi sama penghuni asrama yang lain."
"Kebayang banget, sih, kalo sampe kamar mandi dan dapur aja berbagi sama yang di luar kamar."
"Karena ada asrama yang kayak gitu. Asrama Kakak gue di SIPA juga sharing. Udah gitu, jarak dari asrama ke kampus juga lumayan. Kalau jalan kaki bisa lima belas menit baru sampai." ucap Fara. Dia langsung ingat derita kakanya yang harus berbagi kamar mandi dan dapur semasa kuliah di SIPA, Columbia.
"Iya, gila, Kakak lo kan penerima LPDP terus lanjut ke SIPA, ya? Target gue, tuh, bisa kuliah di sana," seru Rizal penuh percaya diri.
"Benerin dulu otak lo kalo mau kuliah di SIPA. Di sana nggak ada otak ngeres kayak lo. Isinya cuma belajar dan belajar, pulang ke Indonesia, bangun sistem buat kemajuan negara kita." Randi yang sedari tadi diam pun akhirnya bicara. Rizal hanya bisa mencibir.
"Dengerin kata Ketos. Eh, by the way, kapan lo lengser? Udah ada kandidat buat OSIS baru?" tanya Andika—sekretaris bidang I.
"Rapat minggu depan," balas Randi.
Reza hanya diam mengamati. Dia sedang malas ikut masuk ke dalam pembahasan mereka. Pikirannya sedang ada di tempat lain. Memikirkan cewek yang tadi menatapnya kosong saat di kantin. Cewek yang sama yang memergokinya sedang sakau di taman belakang.
Nggak bakal gue lepasin.
Reza melepas helmnya. Matanya menatap tajam arena balap yang sudah sering ia datangi. Seseorang tersenyum mendatanginya. Mereka bersalaman."Dateng juga lo.""Mana pihak lawan? Takut?" jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam."Bentar lagi juga muncul. Siap jadi pemenang?" tanya Rega.Reza tersenyum miring tanpa menjawab. Pertanyaan retorik. Begitu pikir Reza.Tanpa diketahui ketiga sahabatnya, Reza sudah sering menjadi pembalap liar. Awalnya sekadar melihat pertandingan orang lain, lalu Rega menawarinya ikut, hingga saat ini, Reza selalu menerima tantangan balapan setiap dia sedang emosi. Menurutnya, ini cara paling menyenangkan untuk membebaskan rasa sesak di dadanya. Meskipun ha
"Nak Eja?" panggil seorang wanita berumur tiga puluh lima tahun itu."Mama Ayu.""Kemana aja baru mampir? Bayu bilang kemarin mau ke sini. Ditungguin malah nggak dateng."Namanya Ayu, Reza biasa memanggilnya Mama Ayu. Beliau sudah Reza anggap seperti ibu kandungnya sendiri. Keluarga Bayu yang lain juga sangat baik padanya. Kadang, Reza iri."Sibuk, Ma. Mama Ayu sehat?" Reza menyalami Ayu dengan sopan. Ayu mengusap rambut Reza yang sudah dia anggap seperti anak sendiri."Alhamdulillah, sehat. Masuk, yuk? Mama mau masak udang goreng tepung asam manis kesukaan kamu." Ayu menggandeng Reza memasukki rumahnya.Keduanya sudah ada di dapur.
Reza tiba di sekolah bersamaan dengan Salma yang baru saja turun dari mobilnya.Si anak disleksia itu, kan?Reza memerhatikan interaksi Salma dengan wanita yang Reza tebak adalah ibunya Salma. Keduanya terlihat dekat, kental sekali saling menyayangi. Reza iri, jujur saja. Dia memang mendapatkan kasih sayang dari keluarga Bayu, tapi, percayalah, tidak akan sama rasanya seperti kasih sayang seorang ibu kandung.Pandangan Reza dan Salma bertemu, yang disadari oleh Alda. Alda tersenyum, Reza mengangguk canggung. Keduanya menghampiri Reza yang memang tidak jauh jaraknya."Hai, teman Salma? Namanya siapa?" tanya Alda. Reza diam sesaat. Teman? Pertemuan pertama mereka yang bisa dibilang tidak baik apa mungkin bisa disebut teman? Ya
Maya Reanita adalah gadis asal Prabumulih, Sumatera Selatan. Merantau ke Jakarta sata berhasil mendapatkan beasiswa kuliah di sana. Maya adalah orang yang tegas, berpendirian, ego yang tinggi, dan penyayang. Pertemuannya dengan Fahri saat dirinya menjabat sebagai wakil ketua klub seni di kampusnya.Fahri adalah seorang mahasiswa dan pengusaha muda saat itu. Selalu didesak menikah, Fahri memilih Maya untuk menjadi istrinya. Keduanya menjalani rumah tangga yang adem ayem tanpa keributan. Bohong jika Maya tidak mencintai Fahri setelah hidup bersama pria itu dan mendapatkan seorang anak yang lucu dan cerdas seperti Reza.Pernikahan mereka mulai goyang saat Maya memergoki Fahri berpelukan dengan sekretarisnya siang itu, saat Reza masih berumur 10 tahun. Setidaknya, itulah ingatan masa kecil Reza yang masih membekas hingga saat ini. Pertengka
Reza duduk di barisan depan kursi ruang sidang di dampingi oleh tantenya. Hari ini adalah sidang perceraian kedua orang tuanya. Setelah dua tahun mengalami masalah dalam rumah tangga, keduanya memilih berpisah. Keduanya bahkan tidak bertanya atau mendengarkan pendapat Reza. Tidak ada yang mau tahu tentang isi hati Reza.Setelah menunggu berjam-jam di sana, sambil menahan sesak dan amarah, keduanya resmi bercerai dengan tuduhan perselingkuhan mamanya dan hak asuh anak jatuh ke tangan sang ayah. Reza hancur sehancur-hancurnya, remuk tanpa bisa diperbaiki. Doanya untuk menyatukan kedua orang tuanya ternyata tidak dikabulkan. Ditatapnya nanar kedua orang tua yang sebentar lagi tidak akan bersamanya secara lengkap. Dia akan tinggal dengan ayahnya setelah hari ini. Tangisnya, penolakannya, dan harapannya untuk keduanya
Reza tengah di jalan lepas pulang sekolah saat melihat gerombolan anak laki-laki dan perempuan sedang mengerubungi sesuatu. Reza tidak ingin peduli, tapi saat mendengar seseorang terisak, mau tidak mau dia harus berperan sebagai pahlawan kesiangan sejenak."Ngapain lagi, sih? Ganggu orang mau pulang aja," gumamnya kesal. Iya, Reza kesal bukan main. Bukan pada si korban, tapi lebih pada dirinya sendiri.Tak jauh dari tempatnya berdiri, ada banyak tepung berceceran di jalan yang sepi. Lumayan pas dijadikan tempat untuk merundungi orang lemah.Mata Reza menyipit, "SD tetangga, tuh. Kayaknya adik kelas."Salah satu dari mereka melempari anak malang itu dengan kacang goreng. Reza bersiap untuk berteriak.
"Ja!!"Reza menoleh tanpa minat ke arah suara yang tadi memanggil namanya. Cowok itu mendengus saat Randi berdiri di sampingnya dengan tatapan menusuk."Belum pulang?" tanya Reza santai."Pulang pala lo! Ngapain lo di sini?""Kelihatannya? Yuk, balik." Dengan santai Reza merangkul Randi yang langsung di tepis kasar."Mau sampai kapan lo begini? Nggak takut mati? Inget, dosa lo masih numpuk. Neraka aja ogah nampung orang kayak lo!" ucap Randi pedas. Yang malah terdengar sangat perhatian di telinga Reza."Lo lama-lama mirip Bayu, Ran. Cocok lo berdua.""Ja, Gue serius!" ucap Randi ta
Reza duduk di barisan depan kursi ruang sidang di dampingi oleh tantenya. Hari ini adalah sidang perceraian kedua orang tuanya. Setelah dua tahun mengalami masalah dalam rumah tangga, keduanya memilih berpisah. Keduanya bahkan tidak bertanya atau mendengarkan pendapat Reza. Tidak ada yang mau tahu tentang isi hati Reza.Setelah menunggu berjam-jam di sana, sambil menahan sesak dan amarah, keduanya resmi bercerai dengan tuduhan perselingkuhan mamanya dan hak asuh anak jatuh ke tangan sang ayah. Reza hancur sehancur-hancurnya, remuk tanpa bisa diperbaiki. Doanya untuk menyatukan kedua orang tuanya ternyata tidak dikabulkan. Ditatapnya nanar kedua orang tua yang sebentar lagi tidak akan bersamanya secara lengkap. Dia akan tinggal dengan ayahnya setelah hari ini. Tangisnya, penolakannya, dan harapannya untuk keduanya
Maya Reanita adalah gadis asal Prabumulih, Sumatera Selatan. Merantau ke Jakarta sata berhasil mendapatkan beasiswa kuliah di sana. Maya adalah orang yang tegas, berpendirian, ego yang tinggi, dan penyayang. Pertemuannya dengan Fahri saat dirinya menjabat sebagai wakil ketua klub seni di kampusnya.Fahri adalah seorang mahasiswa dan pengusaha muda saat itu. Selalu didesak menikah, Fahri memilih Maya untuk menjadi istrinya. Keduanya menjalani rumah tangga yang adem ayem tanpa keributan. Bohong jika Maya tidak mencintai Fahri setelah hidup bersama pria itu dan mendapatkan seorang anak yang lucu dan cerdas seperti Reza.Pernikahan mereka mulai goyang saat Maya memergoki Fahri berpelukan dengan sekretarisnya siang itu, saat Reza masih berumur 10 tahun. Setidaknya, itulah ingatan masa kecil Reza yang masih membekas hingga saat ini. Pertengka
Reza tiba di sekolah bersamaan dengan Salma yang baru saja turun dari mobilnya.Si anak disleksia itu, kan?Reza memerhatikan interaksi Salma dengan wanita yang Reza tebak adalah ibunya Salma. Keduanya terlihat dekat, kental sekali saling menyayangi. Reza iri, jujur saja. Dia memang mendapatkan kasih sayang dari keluarga Bayu, tapi, percayalah, tidak akan sama rasanya seperti kasih sayang seorang ibu kandung.Pandangan Reza dan Salma bertemu, yang disadari oleh Alda. Alda tersenyum, Reza mengangguk canggung. Keduanya menghampiri Reza yang memang tidak jauh jaraknya."Hai, teman Salma? Namanya siapa?" tanya Alda. Reza diam sesaat. Teman? Pertemuan pertama mereka yang bisa dibilang tidak baik apa mungkin bisa disebut teman? Ya
"Nak Eja?" panggil seorang wanita berumur tiga puluh lima tahun itu."Mama Ayu.""Kemana aja baru mampir? Bayu bilang kemarin mau ke sini. Ditungguin malah nggak dateng."Namanya Ayu, Reza biasa memanggilnya Mama Ayu. Beliau sudah Reza anggap seperti ibu kandungnya sendiri. Keluarga Bayu yang lain juga sangat baik padanya. Kadang, Reza iri."Sibuk, Ma. Mama Ayu sehat?" Reza menyalami Ayu dengan sopan. Ayu mengusap rambut Reza yang sudah dia anggap seperti anak sendiri."Alhamdulillah, sehat. Masuk, yuk? Mama mau masak udang goreng tepung asam manis kesukaan kamu." Ayu menggandeng Reza memasukki rumahnya.Keduanya sudah ada di dapur.
Reza melepas helmnya. Matanya menatap tajam arena balap yang sudah sering ia datangi. Seseorang tersenyum mendatanginya. Mereka bersalaman."Dateng juga lo.""Mana pihak lawan? Takut?" jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam."Bentar lagi juga muncul. Siap jadi pemenang?" tanya Rega.Reza tersenyum miring tanpa menjawab. Pertanyaan retorik. Begitu pikir Reza.Tanpa diketahui ketiga sahabatnya, Reza sudah sering menjadi pembalap liar. Awalnya sekadar melihat pertandingan orang lain, lalu Rega menawarinya ikut, hingga saat ini, Reza selalu menerima tantangan balapan setiap dia sedang emosi. Menurutnya, ini cara paling menyenangkan untuk membebaskan rasa sesak di dadanya. Meskipun ha
Reza mendarat dengan sukses di taman belakang sekolah. Dia baru saja selesai tawuran dengan musuh bebuyutan sekolahnya, SMA Budi Pertiwi. Beruntung, guru jam pertama dan keduanya hari ini tidak masuk.Reza menyandarkan tubuhnya pada sebuah pohon besar yang berhadapan langsung dengan danau buatan. Dikeluarkannya sebilah silet dari saku seragamnya dan mulai menggerakkan ujung silet tersebut di sekitar pergelangan tangannya. Rasa perih namun menyenangkan langsung dirasa Reza saat luka yang beberapa hari lalu kembali terbuka. Ditambah, darah segar yang sedikit demi sedikit mengotori rumput.Reza baru saja pulang dari pesta ulang tahun yang diadakan di rumah Dirga. Diliriknya sekali lagi jam di tangan yang sudah menunjukkan angka sepuluh. Reza pulang bersamaan dengan Maya yang juga baru pulang dari kantor. Hanya saja, ibunya itu tidak me
"Ja!!"Reza menoleh tanpa minat ke arah suara yang tadi memanggil namanya. Cowok itu mendengus saat Randi berdiri di sampingnya dengan tatapan menusuk."Belum pulang?" tanya Reza santai."Pulang pala lo! Ngapain lo di sini?""Kelihatannya? Yuk, balik." Dengan santai Reza merangkul Randi yang langsung di tepis kasar."Mau sampai kapan lo begini? Nggak takut mati? Inget, dosa lo masih numpuk. Neraka aja ogah nampung orang kayak lo!" ucap Randi pedas. Yang malah terdengar sangat perhatian di telinga Reza."Lo lama-lama mirip Bayu, Ran. Cocok lo berdua.""Ja, Gue serius!" ucap Randi ta
Reza tengah di jalan lepas pulang sekolah saat melihat gerombolan anak laki-laki dan perempuan sedang mengerubungi sesuatu. Reza tidak ingin peduli, tapi saat mendengar seseorang terisak, mau tidak mau dia harus berperan sebagai pahlawan kesiangan sejenak."Ngapain lagi, sih? Ganggu orang mau pulang aja," gumamnya kesal. Iya, Reza kesal bukan main. Bukan pada si korban, tapi lebih pada dirinya sendiri.Tak jauh dari tempatnya berdiri, ada banyak tepung berceceran di jalan yang sepi. Lumayan pas dijadikan tempat untuk merundungi orang lemah.Mata Reza menyipit, "SD tetangga, tuh. Kayaknya adik kelas."Salah satu dari mereka melempari anak malang itu dengan kacang goreng. Reza bersiap untuk berteriak.