Happy Reading Langit senja tampak mengabu, seperti pikiran Nara yang berkabut oleh konflik batin yang tak kunjung reda. Di kamar penginapan kecil dekat stasiun Metro, ia duduk membatu di tepi ranjang, menatap layar ponselnya yang gelap. Tangannya menggenggam erat map merah berisi bukti dan kesaksian Dr. Theresia. Tapi yang lebih menyesakkan bukanlah isi dokumen itu—melainkan kenyataan bahwa semua jejak kini mengarah pada Rehan. Ia telah mencoba menelepon Rehan dua kali sejak meninggalkan rumah Dr. Theresia, namun tak satu pun dijawab. Mungkin karena sinyal buruk… atau mungkin karena Rehan tahu. "Dia tahu aku tahu," gumam Nara pelan. Ponselnya akhirnya berdering. Nama Rehan menyala di layar. Seketika, jantung Nara seakan meloncat ke tenggorokan. Ia ragu. Haruskah diangkat? Atau lebih baik ia menghindar? Dengan napas dalam, ia menyentuh tombol hijau. "Nara…" suara Rehan berat, pelan, tapi tetap membawa kehangatan yang selama ini menenangkannya. “Aku tahu,” jawab Nara cepat
Happy Reading Tangga itu sempit, dindingnya lembap dan berlumut, seolah tak tersentuh cahaya selama bertahun-tahun. Setiap langkah yang mereka ambil menimbulkan gema yang menyeramkan, memantul dan menyatu dengan suara tetesan air dari langit-langit lorong bawah tanah.Di belakang Rehan, Nara menggenggam senter kecil yang baru saja mereka nyalakan setelah menuruni dua puluh anak tangga pertama. Ia tidak banyak bicara, pikirannya masih mengambang antara ingin mempercayai Rehan atau menjadikannya sebagai tersangka terakhir.Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di sebuah pintu logam besar, terukir dengan pola geometris menyerupai jaringan saraf otak. Di tengahnya, terdapat pemindai retina dan lubang kecil seukuran koin.Rehan menarik napas. “Kamu masih ingat foto Ares yang kamu temukan di buku tua milik Dr. Theresia?”Nara mengangguk. “Yang sedang memegang lencana kampus?”“Itu bukan lencana. Itu koin akses. Kita harus menyalin polanya. Aku sudah cetak duplikatnya.”Ia mengeluark
Happy ReadingSejak besi terbuka dan Rehan hampir mengorbankan dirinya demi sebuah kebenaran yang terkubur. Sejak mereka duduk di atas aspal dingin, saling menggenggam napas dan ketakutan.Kini, semuanya terasa jauh… seperti kenangan dari dunia lain.Apartemen Rehan berada di lantai sembilan, menghadap langsung ke langit Jakarta yang sering kelabu. Tapi sore ini, langit tampak jernih, semburat oranye mengalir lembut dari balik jendela lebar yang dibiarkan terbuka.Nara berdiri di dapur, mengenakan kaus Rehan yang kebesaran, dan celana pendek yang bahkan tidak kelihatan dari sudut pandang Rehan yang duduk di sofa.Ia sedang menyusun dua mug cokelat panas—satu dengan marshmallow, satu lagi polos. Rehan memperhatikannya dari balik sandaran, wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kagum.“Kenapa kamu selalu bikin dua mug yang beda?” tanya Rehan akhirnya.Nara menoleh, senyum tipis bermain di bibirnya. “Supaya kamu tahu, aku masih ingat yang kamu suka.
Happy ReadingPagi itu, sinar matahari menembus tirai apartemen, membentuk pola lembut di dinding. Nara sudah bangun lebih dulu. Ia berdiri di balkon, mengenakan kemeja Rehan yang terlalu besar untuk tubuhnya, rambutnya berantakan oleh angin pagi, tapi wajahnya tampak tenang.Rehan datang dari belakang, memeluk pinggangnya pelan. “Pagi.”“Pagi,” jawab Nara tanpa menoleh, tapi ia menaruh tangannya di atas tangan Rehan yang melingkar di perutnya.Beberapa detik berlalu dalam hening.“Aku harus bilang sesuatu,” ucap Nara akhirnya.Rehan menghela napas. “Aku juga.”Mereka saling berpandangan. Nara yang lebih dulu bicara.“Ibuku menelepon semalam. Mereka dengar tentang kita... dan dia nggak setuju.”Rehan mengerutkan kening. “Karena aku?”Nara mengangguk pelan. “Karena masa lalumu. Karena keluargamu. Karena semua... yang pernah kamu lakukan dan siapa kamu sekarang.”Rehan melangkah mundur satu langkah, memalingkan wajahnya. Luka lama di matanya muncul kembali. “Aku sudah berubah, Nar.”“Ak
Happy ReadingSetelah beberapa hari menghabiskan waktu di Paris, Rehan dan Nara kembali ke apartemen mereka yang nyaman. Tidak ada lagi suara riuh kota, tidak ada lagi orang yang menggoda atau mengingatkan mereka tentang tanggung jawab. Hanya ada mereka berdua, saling berhadapan dengan waktu yang seolah berhenti.Malam itu, hujan kembali turun dengan lembut di luar, menciptakan suasana tenang di dalam apartemen. Rehan dan Nara duduk berdampingan di sofa, menatap keluar jendela, memandangi kilatan cahaya yang berpadu dengan suara gemericik hujan."Kenapa tiba-tiba merasa begitu tenang, ya?" tanya Nara, suara lembut dan penuh rasa ingin tahu.Rehan menoleh padanya, matanya dalam dan penuh perhatian. "Karena aku tidak ingin ada yang mengganggu kita, Nar. Aku ingin menikmati momen ini—tanpa keraguan, tanpa masa lalu yang mengintai."Nara tersenyum, namun senyum itu sedikit terpaksa. "Masa lalu kita selalu mengintai, kan? Entah itu orang tua kita, pekerjaan kita, atau... hal-hal lain yang
Happy ReadingPagi itu, Jakarta terlihat berbeda. Meski hujan masih mengguyur kota, langit mulai cerah seiring waktu yang berlalu. Rehan dan Nara memutuskan untuk menghabiskan pagi mereka bersama, menepi sejenak dari hiruk pikuk pekerjaan yang terus menerus datang. Mereka berdua sudah cukup lelah dengan semua yang telah mereka lewati. Keduanya ingin merasakan momen kedamaian yang seharusnya mereka miliki sejak lama.Nara duduk di sofa sambil memandangi keluar jendela, melihat butiran hujan yang menari-nari di kaca. Rehan masuk dengan secangkir kopi hangat dan duduk di sampingnya, menyentuh tangan Nara dengan lembut."Apa yang kamu pikirkan, Nar?" tanya Rehan, suaranya penuh kelembutan.Nara tersenyum tipis, menoleh pada Rehan. "Aku hanya berpikir tentang kita, tentang masa depan kita. Rasanya semuanya terlalu cepat, tapi juga terasa begitu tepat."Rehan memegang tangan Nara lebih erat. "Kadang, kita hanya perlu berhenti dan merasakan setiap detik yang ada, Nar. Tidak semua hal harus d
Happy ReadingHari itu hujan masih mengguyur Jakarta. Di sebuah kafe kecil yang hangat, Nara duduk di meja pojok dengan secangkir teh chamomile di tangannya. Di depannya, Kelly, sahabat sekaligus teman dokter Nara, sedang menatapnya dengan penasaran."Jadi, apa yang terjadi kemarin?" tanya Kelly, sambil mengaduk kopi di gelasnya. Wajah Kelly tampak antusias, seperti biasa, saat Nara tampak termenung atau membawa kabar penting.Nara tersenyum kecil, memandangi cangkirnya sejenak sebelum menatap Kelly dengan tatapan yang penuh makna. "Rehan memberi aku kejutan," kata Nara dengan suara yang lembut, namun ada kebahagiaan yang jelas terasa dalam kata-katanya.Kelly menatapnya dengan mata yang berbinar. "Rehan? Wow, kedengarannya seru banget. Apa yang dia lakukan? Surpri-senya seperti apa?"Nara terdiam sejenak, mengingat kembali momen itu. Hatinya berdebar-debar hanya dengan mengingatnya. "Jadi, setelah semua yang kami lewati... dia mengajak aku liburan. Ke Paris."Kelly hampir tersedak ko
Happy Reading Suasana di kantor Rehan terasa lebih tegang dari biasanya. Hujan yang turun deras di luar seolah mencerminkan amarah yang sedang meluap di dalam dirinya. Rehan duduk di ruang kerjanya yang luas, dikelilingi oleh dinding kaca yang menghadap ke pusat kota Jakarta. Namun kali ini, pemandangan kota yang semula menenangkan kini tak mampu meredakan kegelisahannya.Pagi itu, beberapa proyek penting yang telah direncanakan selama berbulan-bulan terhenti akibat kelalaian yang tidak termaafkan dari timnya. Proyek besar yang semestinya telah selesai minggu lalu, kini terbengkalai karena kesalahan administrasi yang fatal. Itu adalah pekerjaan yang harusnya dikerjakan dengan sempurna, dan Rehan tidak pernah mentolerir kesalahan semacam itu.Seseorang mengetuk pintu ruang kerjanya, dan seorang staf senior, Adrian, masuk dengan langkah ragu. “Rehan, saya ingin melaporkan tentang kelanjutan proyek di divisi operasional. Namun, ada beberapa masalah yang—”“Masalah?” Rehan menyela dengan
Happy ReadingNara duduk sendirian di kamarnya. Di luar, suara pesta kecil terdengar dari ruang tengah—keluarga Aldo dan keluarganya sedang membahas menu catering, seperti dua perusahaan besar yang sedang merancang kerja sama strategis. Tapi di balik pintu kayu itu, dunia Nara berbeda. Sunyi. Pengap. Penuh tanya.Ia memandangi layar ponselnya selama hampir satu jam. Jari-jarinya sudah membuka kontak *Rehan* berkali-kali, bahkan sempat mengetik pesan: _"Rehan, bisakah aku bicara denganmu sebentar? Aku butuh bantuan."_ Lalu menghapusnya lagi.Sialnya, *Rehan* bukan lagi Rehan yang ia kenal dulu. Bukan lelaki yang dulu menatapnya seolah-olah dunia hanya ada mereka berdua. Rehan sekarang adalah pria asing yang dingin, liar, dan menjauh. Nara tahu kabar tentang Rehan bukan dari mulut Rehan sendiri—tapi dari bisik-bisik sosial media dan obrolan tak sengaja di kafe.*"Lo liat Rehan semalam? Sama si cewek tinggi itu. Gila... dia balik ke mode brengsek ya."**"Bukan cuma satu, katanya dia
Happy ReadingHari-hari berlalu cepat, seperti ombak yang menabrak pantai tanpa henti. Namun, berbeda dengan irama laut yang mempesona, hari-hari Nara justru terasa monoton, menyesakkan, dan penuh beban yang tak terlihat. Ia tersenyum di luar, tetapi hatinya mulai retak pelan-pelan, tak bisa lagi menyembunyikan luka yang belum sembuh.Persiapan pernikahannya dengan Aldo berjalan sempurna di mata semua orang. Tanggal sudah ditetapkan, undangan mulai dicetak, dan gedung mewah di pinggiran kota sudah dibooking dengan DP penuh. Ibunya bahkan memamerkan desain undangan di grup keluarga, sambil menambahkan emotikon hati.Namun di dalam kamar yang penuh bunga palsu dan pita pernikahan, Nara duduk sendiri di pojok ranjang, memeluk lutut. Gaun pengantin tergantung di sudut ruangan, berkilau seperti harapan yang tak pernah dimilikinya.Tangannya meraih buku catatan lusuh yang dulu ia gunakan untuk menulis mimpi-mimpi saat remaja. Ia membolak-balik halaman hingga menemukan tulisan bertahun-tahun
Happy Reading Sudah dua minggu berlalu sejak pertemuan pertama Nara dan Aldo. Sejak malam itu, hidup Nara terasa seperti rollercoaster—bergerak cepat tanpa sempat ia kendalikan arahnya. Hari-harinya kini diisi oleh pertemuan keluarga, diskusi tentang gedung pernikahan, dan pesan-pesan dari Aldo yang selalu sopan, perhatian, dan... terlalu sempurna. Terlalu tidak Rehan."Nara, minggu depan kita survei tempat ya. Mama Aldo sudah reservasi beberapa venue di luar kota, sekalian kita bisa ambil foto prewedding," suara ibunya memecah lamunannya pagi itu.Nara hanya mengangguk pelan sambil menyeruput kopi yang rasanya hambar seperti perasaannya hari ini. Di atas meja, kalender penuh coretan tinta merah: jadwal fitting gaun, pertemuan dengan WO, konsultasi dekorasi, hingga daftar tamu.Segalanya berjalan seperti yang diinginkan keluarganya. Pernikahan ini seperti proyek besar yang digerakkan oleh ambisi dua keluarga—bukan cinta dua hati.Aldo, seperti biasa, datang tepat waktu untuk menjempu
Happy Reading Hari itu, Nara merasa seakan langit dan bumi bergerak begitu cepat, meninggalkannya dalam kebingungan. Pagi itu, ia baru saja mendapat kabar dari ibunya bahwa Aldo, calon yang dipilih oleh orang tuanya, akan datang ke rumah untuk makan malam bersama keluarga. Ini adalah pertemuan pertama mereka yang dirancang untuk memperkenalkan mereka lebih dekat. Tanpa ragu, Nara merasa tekanan itu semakin berat.Di ruang tamu rumahnya yang luas, Nara bisa mendengar riuh suara percakapan orang tuanya yang sedang mempersiapkan segala sesuatunya. Ibunya memerintahkan pembantu untuk menata meja makan, sementara ayahnya tampak sibuk menyiapkan daftar topik pembicaraan yang harus dibicarakan selama makan malam nanti. Nara duduk di ruang kerja, menatap layar laptopnya tanpa benar-benar melihatnya. Hatinya dipenuhi keraguan."Kenapa semuanya terasa begitu cepat?" pikir Nara. "Apa aku bisa menjalani hidup seperti yang diinginkan mereka, atau ini hanya tentang menjalani hidup yang bukan milik
Happy Reading Nara duduk di balkon rumahnya, menatap matahari terbenam di ufuk barat. Langit yang berwarna oranye keemasan seakan memantulkan perasaan yang bercampur aduk dalam hatinya. Ia merasa rindu pada Rehan, rindu akan kehangatan yang pernah mereka bagi, rindu pada sosok yang dulu bisa membuatnya tertawa tanpa beban. Namun, di sisi lain, rasa takut dan cemas juga menghantuinya. Bagaimana jika perasaan itu hanya membawa luka lagi? Apa yang akan terjadi jika ia kembali ke dalam hubungan yang belum selesai? Apa yang akan terjadi pada impian yang sudah ia bangun dengan susah payah?“Kenapa ini harus sesulit ini?” gumam Nara, menatap tangan yang erat menggenggam cangkir teh hangat. "Aku hanya ingin memilih dengan hati."Namun, Nara tahu bahwa hidupnya tak selalu bisa diatur berdasarkan perasaan semata. Ada banyak faktor yang harus ia pertimbangkan. Salah satunya adalah orang tuanya.Beberapa minggu terakhir, perasaan itu mulai menyusup kembali. Ia mulai merasa bahwa mungkin saja, ad
Happy Reading Malam itu, Nara terbaring di tempat tidurnya, memikirkan semua yang telah terjadi. Rasa sakit yang ia rasakan bukan hanya karena tubuhnya yang lelah, tetapi juga karena beban yang ada di dalam dirinya. Setiap keputusan yang ia buat, setiap langkah yang ia ambil, terasa seperti beban yang semakin menumpuk. Terlalu banyak yang harus dipikirkan, dan kadang-kadang, ia merasa seperti kehilangan arah.Namun, keesokan paginya, Nara bangun dengan perasaan yang berbeda. Walaupun tubuhnya masih merasa lelah, ada tekad yang baru tumbuh di dalam dirinya. Ia tahu, ia tidak bisa terus terpuruk dalam bayang-bayang masa lalu. Ia tidak bisa terus membiarkan rasa cemas dan kesedihan menguasai hidupnya. Waktu untuk berlarut-larut dalam kesedihan sudah selesai.Nara mengatur nafasnya dalam-dalam dan berkomitmen pada dirinya sendiri untuk tidak lagi terjebak dalam kegelapan. "Aku akan lebih kuat. Aku akan kembali bangkit. Tidak ada waktu untuk menyerah," pikirnya.Setelah sarapan ringan, Na
Happy ReadingHari-hari Nara setelah meninggalkan rumah sakit tidak mudah. Di luar, semuanya terlihat baik-baik saja, seolah-olah Nara telah sepenuhnya pulih dari masa lalu yang begitu menyakitkan. Namun, di dalam, ia merasakan sebaliknya. Walaupun ia berhasil mengambil langkah besar dengan meninggalkan Rehan, kenyataan bahwa ia harus terus melangkah sendirian membuat tubuhnya lelah, baik fisik maupun mental.Setiap pagi, Nara bangun dengan perasaan berat. Langkah-langkahnya terasa lebih lambat, pikirannya lebih kosong. Dunia di luar tampak terlalu ramai, penuh dengan suara-suara yang menggema dalam kepalanya. Tugas-tugas yang sebelumnya ia lakukan dengan semangat, kini terasa seperti beban yang tak terangkat. Mengurus *Bersuara*, memimpin gerakan sosial yang kini semakin besar, dan mengelola bisnis fashionnya, semuanya mulai terasa seperti tugas yang menumpuk tanpa akhir.Pada suatu pagi yang cerah, Nara terbangun dengan pusing di kepalanya. Ia mencoba bangun dari tempat tidur, namun
Happy ReadingSetelah kabar bahwa Rehan mungkin akan sadar segera, Nara merasa seperti ada sinar yang menyinari bagian terdalam hatinya, yang selama ini gelap dan penuh keraguan. Namun, sinar itu juga datang dengan bayang-bayang yang semakin panjang, menggoda dirinya untuk berpikir apakah ia siap menghadapi kenyataan jika Rehan benar-benar kembali. Setiap kali ia memasuki rumah sakit, ia merasakan kegelisahan yang tak pernah pergi. Ada harapan, tapi ada juga ketakutan. Selama lima bulan ini, Nara sudah cukup banyak belajar tentang dirinya sendiri, tentang apa yang sebenarnya ia inginkan, dan tentang betapa berbedanya perasaannya terhadap Rehan. Sebelumnya, ia hanya berpikir bahwa ia mencintai Rehan. Namun, seiring berjalannya waktu, Nara mulai merasakan sesuatu yang lebih kompleks—sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar cinta. Ia merasa terikat, bukan hanya oleh kenangan, tapi juga oleh harapan yang tak terucapkan.Hari itu, seperti biasanya, Nara datang ke rumah sakit setelah
Happy Reading Lima bulan telah berlalu sejak kecelakaan itu. Lima bulan sejak Nara terakhir kali memegang tangan Rehan, berbisik padanya, berharap bahwa keajaiban akan terjadi, bahwa Rehan akan terbangun dan kembali kepadanya. Namun kenyataan jauh lebih kejam daripada harapan yang ia pelihara.Pagi itu, Nara kembali melangkah ke rumah sakit, langkahnya terasa berat, seakan ada beban yang semakin menggerogoti hatinya. Setiap kali ia melewati lorong rumah sakit, rasa cemasnya seakan semakin menggila. Rehan belum juga sadar, meskipun tim medis terus memberikan harapan bahwa keadaan fisiknya perlahan membaik. Tetapi keadaan mentalnya? Itu adalah sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh siapa pun.Ruang ICU tempat Rehan dirawat masih sama seperti lima bulan yang lalu. Suara mesin yang monoton, selang-selang yang terhubung dengan tubuh Rehan, dan kesunyian yang mencekam. Nara tahu, semakin ia datang ke sini, semakin ia merasa terjebak dalam lingkaran yang tidak bisa ia putuskan. Apa yang ia