Happy ReadingSetelah beberapa hari menghabiskan waktu di Paris, Rehan dan Nara kembali ke apartemen mereka yang nyaman. Tidak ada lagi suara riuh kota, tidak ada lagi orang yang menggoda atau mengingatkan mereka tentang tanggung jawab. Hanya ada mereka berdua, saling berhadapan dengan waktu yang seolah berhenti.Malam itu, hujan kembali turun dengan lembut di luar, menciptakan suasana tenang di dalam apartemen. Rehan dan Nara duduk berdampingan di sofa, menatap keluar jendela, memandangi kilatan cahaya yang berpadu dengan suara gemericik hujan."Kenapa tiba-tiba merasa begitu tenang, ya?" tanya Nara, suara lembut dan penuh rasa ingin tahu.Rehan menoleh padanya, matanya dalam dan penuh perhatian. "Karena aku tidak ingin ada yang mengganggu kita, Nar. Aku ingin menikmati momen ini—tanpa keraguan, tanpa masa lalu yang mengintai."Nara tersenyum, namun senyum itu sedikit terpaksa. "Masa lalu kita selalu mengintai, kan? Entah itu orang tua kita, pekerjaan kita, atau... hal-hal lain yang
Happy ReadingPagi itu, Jakarta terlihat berbeda. Meski hujan masih mengguyur kota, langit mulai cerah seiring waktu yang berlalu. Rehan dan Nara memutuskan untuk menghabiskan pagi mereka bersama, menepi sejenak dari hiruk pikuk pekerjaan yang terus menerus datang. Mereka berdua sudah cukup lelah dengan semua yang telah mereka lewati. Keduanya ingin merasakan momen kedamaian yang seharusnya mereka miliki sejak lama.Nara duduk di sofa sambil memandangi keluar jendela, melihat butiran hujan yang menari-nari di kaca. Rehan masuk dengan secangkir kopi hangat dan duduk di sampingnya, menyentuh tangan Nara dengan lembut."Apa yang kamu pikirkan, Nar?" tanya Rehan, suaranya penuh kelembutan.Nara tersenyum tipis, menoleh pada Rehan. "Aku hanya berpikir tentang kita, tentang masa depan kita. Rasanya semuanya terlalu cepat, tapi juga terasa begitu tepat."Rehan memegang tangan Nara lebih erat. "Kadang, kita hanya perlu berhenti dan merasakan setiap detik yang ada, Nar. Tidak semua hal harus d
Happy ReadingHari itu hujan masih mengguyur Jakarta. Di sebuah kafe kecil yang hangat, Nara duduk di meja pojok dengan secangkir teh chamomile di tangannya. Di depannya, Kelly, sahabat sekaligus teman dokter Nara, sedang menatapnya dengan penasaran."Jadi, apa yang terjadi kemarin?" tanya Kelly, sambil mengaduk kopi di gelasnya. Wajah Kelly tampak antusias, seperti biasa, saat Nara tampak termenung atau membawa kabar penting.Nara tersenyum kecil, memandangi cangkirnya sejenak sebelum menatap Kelly dengan tatapan yang penuh makna. "Rehan memberi aku kejutan," kata Nara dengan suara yang lembut, namun ada kebahagiaan yang jelas terasa dalam kata-katanya.Kelly menatapnya dengan mata yang berbinar. "Rehan? Wow, kedengarannya seru banget. Apa yang dia lakukan? Surpri-senya seperti apa?"Nara terdiam sejenak, mengingat kembali momen itu. Hatinya berdebar-debar hanya dengan mengingatnya. "Jadi, setelah semua yang kami lewati... dia mengajak aku liburan. Ke Paris."Kelly hampir tersedak ko
Happy Reading Suasana di kantor Rehan terasa lebih tegang dari biasanya. Hujan yang turun deras di luar seolah mencerminkan amarah yang sedang meluap di dalam dirinya. Rehan duduk di ruang kerjanya yang luas, dikelilingi oleh dinding kaca yang menghadap ke pusat kota Jakarta. Namun kali ini, pemandangan kota yang semula menenangkan kini tak mampu meredakan kegelisahannya.Pagi itu, beberapa proyek penting yang telah direncanakan selama berbulan-bulan terhenti akibat kelalaian yang tidak termaafkan dari timnya. Proyek besar yang semestinya telah selesai minggu lalu, kini terbengkalai karena kesalahan administrasi yang fatal. Itu adalah pekerjaan yang harusnya dikerjakan dengan sempurna, dan Rehan tidak pernah mentolerir kesalahan semacam itu.Seseorang mengetuk pintu ruang kerjanya, dan seorang staf senior, Adrian, masuk dengan langkah ragu. “Rehan, saya ingin melaporkan tentang kelanjutan proyek di divisi operasional. Namun, ada beberapa masalah yang—”“Masalah?” Rehan menyela dengan
Happy Reading Hari-hari berlalu dengan cepat setelah kejadian di kantor itu. Rehan masih teringat betul betapa tegangnya suasana ketika ia marah besar pada stafnya. Namun, meskipun itu adalah tindakan yang penuh emosi, ia merasa sedikit lega setelah mendengarkan nasihat dari Nara. Keadaan di kantor memang belum sepenuhnya membaik, tetapi Rehan mencoba untuk lebih sabar.Keesokan harinya, Rehan datang ke kantor lebih pagi dari biasanya, seperti biasanya ia selalu ingin memulai hari dengan langkah pasti. Pagi itu, meski hujan masih turun, ia memutuskan untuk mengambil langkah pertama dalam memperbaiki keadaan. Ia mulai berbicara dengan setiap anggota tim secara pribadi, mendengarkan keluhan mereka, dan memberikan solusi yang lebih realistis.Namun, meskipun dia terlihat lebih tenang, ada satu hal yang mengganjal pikirannya: hubungan dengan Nara.Sejak kejadian itu, hubungan mereka menjadi sedikit canggung. Meskipun Nara selalu memberikan dukungan, Rehan merasa dia masih belum sepenuhny
Happy Reading Hari itu, langit Jakarta masih kelabu sejak pagi. Hujan semalam belum benar-benar reda, menyisakan genangan dan udara lembap yang mengendap di sela-sela jalan kota. Nara berdiri di depan kaca ruang ganti rumah sakit dengan jas putih yang sudah lusuh oleh waktu. Tangannya merapikan name tag yang tergantung lesu di dada. “dr. Nara A. Putri – Sp.KJ.”Ia menarik napas panjang sebelum melangkah masuk ke ruang konseling. Sudah dua minggu terakhir ia menangani pasien baru, seorang pria usia 30-an yang mengidap OCD (Obsessive Compulsive Disorder) dengan tingkat kecemasan yang sangat tinggi. Dan hari ini, adalah sesi keempat.“Selamat pagi, Dok,” sapa sang pasien dengan nada ragu, sebelum duduk. Jemarinya sibuk merapikan tisu di meja—meluruskannya sejajar dengan pena, lalu menyentuhnya lagi, lalu lagi.Nara duduk perlahan, mencatat tanpa memotong. “Pagi juga, Mas Dani. Mau cerita dulu apa yang dirasakan belakangan ini?”Selama 45 menit berikutnya, ruangan itu dipenuhi cerita ten
Happy Reading Pagi Jakarta belum sepenuhnya terang ketika Nara terbangun dari tidurnya. Tubuhnya masih terasa berat, tapi pelukan hangat semalam dari Rehan menyisakan rasa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Walau tak banyak kata, kehadiran pria itu seperti penawar kelelahan yang tak terdefinisi.Ia belum sempat benar-benar beranjak dari tempat tidur saat sebuah pesan masuk.Rehan > “Pagi, dokter hebatku. Hari ini kamu cuti. Aku sudah minta izin ke rumah sakit lewat dr. Kelly. Jangan marah, aku cuma mau kamu istirahat. Siap-siap, aku jemput jam sepuluh. Pakai baju yang santai, ya.”Nara tersenyum kecil, antara terharu dan geli. *Kok bisa-bisanya dia konspirasi sama Kelly?* Tapi ada bagian dari dirinya yang diam-diam senang—akhirnya, ada yang cukup peduli untuk bilang, “Berhenti sebentar.”***Rehan datang tepat waktu, seperti biasa. Kali ini dengan mobil coupe favoritnya yang warnanya hampir semirip dengan matanya—hitam keabu-abuan, misterius, dan tajam.“Kenapa enggak
Happy Reading Setelah menikmati waktu yang penuh kehangatan di restoran es krim itu, Rehan mengajak Nara untuk melanjutkan liburan mereka. Kali ini, tujuan mereka bukan hanya sekadar bersenang-senang, tetapi untuk benar-benar melarikan diri dari rutinitas dan menemukan kedamaian di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk Jakarta.Mereka menuju Bandung, kota yang terkenal dengan keindahan alamnya yang memukau. Jalanan menuju Bandung dipenuhi dengan pemandangan pegunungan yang mempesona, dan udara sejuk mulai terasa menyelimuti mereka begitu mereka tiba di luar kota. Rehan mengemudi dengan santai, sementara Nara duduk di sebelahnya, matanya sesekali mengarah ke luar jendela, menikmati keindahan alam yang menghampar luas."Bandung selalu punya cara untuk membuat segalanya terasa lebih tenang," ujar Nara sambil menghirup udara segar dari luar mobil. "Aku bahkan hampir lupa betapa sibuknya aku sebelum ini."Rehan tersenyum tipis. "Terkadang, kita butuh jarak untuk menyadari apa yang sebenarnya
Happy ReadingHoneymoon Nara dan Aldo dimulai dengan antusiasme yang cukup besar. Setelah berbulan-bulan menjalani kehidupan yang penuh rutinitas, mereka memutuskan untuk pergi ke Turki, sebuah destinasi yang selalu Nara impikan sejak lama. Baginya, Turki bukan hanya sekadar tempat wisata, tetapi juga simbol dari kebebasan, petualangan, dan pengalaman baru. Aldo, yang sudah mengetahui betapa Nara sangat ingin mengunjungi tempat itu, akhirnya setuju untuk merencanakan perjalanan yang istimewa.Setibanya di Istanbul, Nara merasa seolah-olah dia memasuki dunia baru yang penuh keajaiban. Kota ini, dengan keindahan arsitektur Ottoman-nya, budaya yang kaya, dan suasana yang hidup, membuatnya terpesona. Aldo, yang meskipun terlihat sibuk dengan urusan bisnisnya, berusaha menyempatkan diri untuk menikmati momen bersama Nara. Ia tahu bahwa perjalanan ini sangat penting bagi istrinya, dan dia ingin membuatnya terasa spesial.Pada hari pertama, mereka mengunjungi Hagia Sophia, tempat yang sangat
Happy ReadingKehidupan rumah tangga Nara dan Aldo berjalan dengan ritme yang teratur, hampir seperti mesin yang terus berputar tanpa henti. Setiap pagi, Nara bangun dengan rutinitas yang hampir sama: menyiapkan sarapan untuk Aldo, merapikan rumah, dan mempersiapkan dokumen-dokumen pekerjaan yang selalu menumpuk. Aldo, dengan sifatnya yang sibuk, sering kali pergi pagi-pagi buta untuk rapat atau pertemuan bisnis, meninggalkan Nara dalam kesendirian yang terkadang mencekam.Pada awalnya, Nara mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aldo adalah pria yang baik, penuh perhatian, dan sangat mencintainya. Keluarga mereka menyetujui hubungan ini, dan dia merasa ada rasa tanggung jawab untuk membuat pernikahannya berhasil. Tapi seiring berjalannya waktu, ada rasa kosong yang terus berkembang dalam dirinya. Kehidupan mereka terasa lebih seperti rutinitas yang tak terhindarkan, tanpa ada percikan gairah atau cinta yang menggebu seperti dulu bersama Rehan.Setiap kal
Happy ReadingRehan duduk sendirian di sebuah bar yang remang-remang, memandang kosong ke arah gelas wine yang sudah hampir habis. Pikirannya kacau, berputar-putar dalam kekosongan yang semakin dalam. Di layar ponselnya, foto pernikahan Nara dengan Aldo terpampang jelas. Senyum Nara yang dulu selalu menjadi sumber kebahagiaannya kini justru menjadi pisau yang menusuk. Itu adalah foto yang diambil di hari bahagia mereka, momen yang harusnya penuh kebahagiaan, tetapi baginya malah membawa penderitaan.Jari-jarinya yang gemetar membuka foto itu lebih lebar, melihat wajah Nara yang begitu cantik dalam balutan gaun pengantin putih. Meski senyum itu tampak sempurna, ada sesuatu yang berbeda. Nara tampaknya sudah bukan lagi wanita yang dulu ia kenal, wanita yang pernah ia cintai dengan sepenuh hati. Rehan merasa hancur melihatnya, karena pada akhirnya, dia adalah orang yang melepaskan Nara. Ia tak pernah bisa memberikan apa yang Nara butuhkan.Di sekelilingnya, tawa teman-teman pelacur yang
Happy ReadingMalam itu, resepsi pernikahan Nara dan Aldo berlangsung dengan penuh kemewahan dan kehangatan. Gedung besar tempat acara digelar dipenuhi dengan lampu-lampu kristal yang berkilau, dekorasi bunga-bunga mewah yang menghiasi setiap sudut, dan suasana yang penuh dengan tawa dan percakapan para tamu undangan. Musik yang merdu mengalun di seluruh ruangan, memberikan kesan elegan namun tetap intim. Namun, meskipun segala sesuatu tampak sempurna, Nara merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, seakan ada kekosongan yang tak bisa ia isi.Aldo, tampak begitu bahagia. Senyum lebar menghiasi wajahnya, sementara tangan kanannya menggenggam tangan Nara dengan penuh perhatian. "Kamu terlihat cantik sekali malam ini," kata Aldo dengan lembut, menatap Nara penuh kasih sayang.Nara membalas dengan senyuman tipis. "Terima kasih," jawabnya pelan, namun pikirannya kembali melayang ke masa lalu. Di tengah keramaian ini, ia merasa terasing. Pikirannya melayang pada Rehan, pria yang dulu
Happy ReadingHari yang telah ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Tanggal yang ditetapkan untuk pernikahan Nara dan Aldo. Cuaca pagi itu cerah, matahari bersinar terang, dan angin sepoi-sepoi seolah menjadi pertanda baik bagi hari yang penuh makna ini. Segala persiapan telah dilakukan dengan sempurna, dan keluarga Nara serta Aldo siap untuk merayakan pernikahan yang dianggap sebagai sebuah kebahagiaan baru, sebuah langkah besar dalam hidup mereka.Namun, di balik kegembiraan itu, ada sebuah perasaan yang sulit untuk diungkapkan—sesuatu yang mengganjal di hati Nara. Hari ini, meskipun sudah lama dipersiapkan, tidak sepenuhnya membuat hatinya merasa lega. Nara duduk di ruang rias, mengenakan gaun pengantin yang indah, wajahnya dihiasi riasan tipis namun elegan. Ia memandang dirinya di cermin besar di depannya, mencoba mencerna semuanya.Saat ia menatap cermin, bayangan masa lalu muncul begitu saja. Rehan. Bayangan tentang bagaimana mereka dulu berbicara tentang masa depan, tentang impian yan
Happy ReadingHari pernikahan Nara semakin dekat, hanya tinggal beberapa hari lagi. Persiapannya sudah hampir rampung—gaun pengantin telah selesai dijahit, catering telah dipilih, dan dekorasi sudah hampir selesai dipasang di gedung. Semua orang tampaknya sibuk menyusun detail kecil demi detail kecil yang akan membuat hari itu sempurna. Namun, ada satu hal yang tidak bisa dipersiapkan dengan baik: hati Nara.Pagi itu, Nara terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Mimpinya yang buruk tentang Rehan masih menghantuinya, dan meskipun ia mencoba untuk terus maju dengan hidup barunya, bayangan masa lalu itu terus membayanginya. Rehan—laki-laki yang telah menjadi bagian dari cerita hidupnya, laki-laki yang entah kenapa masih memegang tempat khusus di hatinya—meskipun mereka sudah saling berpisah.Dengan cepat, Nara menyambar ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidurnya. Ia melihat satu pesan yang membuat hatinya berhenti sejenak—sebuah pesan dari sebuah nomor yang tidak diken
Happy ReadingHari pernikahan tinggal dua minggu lagi. Semua terasa bergerak cepat — undangan sudah tersebar, dekorasi dipilih, katering finalisasi menu, dan Nara seharusnya merasa bahagia.Tapi setiap malam, saat lampu kamar dipadamkan, ketenangan itu pecah.Nara kembali bermimpi. Dalam mimpinya, ia berdiri di tengah lorong panjang berwarna kelabu, mengenakan gaun pengantin putih yang kotor dan robek. Di ujung lorong, Rehan berdiri. Wajahnya pucat, matanya kosong. Ia mengulurkan tangan, memanggil Nara dengan suara serak."Kenapa kamu ninggalin aku?"Nara mencoba berlari, namun kakinya terasa berat, seperti terjebak lumpur. Suara Rehan menggema di dinding lorong."Kenapa kamu bohong soal bahagiamu?"Nara terbangun dengan nafas tersengal. Tubuhnya berkeringat dingin. Ia memeluk dirinya sendiri di dalam kegelapan, menahan gemetar yang mengalir dari dada hingga ke ujung jari.Itu hanya mimpi, bisiknya. Hanya mimpi. Tapi kenapa rasanya begitu nyata?***Keesokan harinya, Nara mencoba
Happy ReadingHari itu, sinar matahari terasa lebih terik dari biasanya. Mungkin karena gugup yang tak tertahankan, atau mungkin karena hari itu adalah salah satu langkah besar dalam hidup Nara — fitting pakaian akad dan resepsi sekaligus sesi foto prewedding bersama Aldo.Di studio bridal ternama di pusat kota, Nara duduk di depan cermin besar dengan lampu bulat-bulat mengelilinginya. Rambutnya sedang ditata pelan oleh penata rias, sementara beberapa kain gaun putih dengan motif halus tergantung di belakangnya, menunggu dipilih.Aldo, yang baru saja tiba, melambaikan tangan kecil ke arah Nara dari pintu. Ia mengenakan kemeja putih santai dan jeans, tampak lebih santai dibandingkan Nara yang sudah berdebar sejak pagi.“Hari ini kamu cantik banget,” kata Aldo sambil mendekat.Nara tersenyum canggung. "Baru mulai dandan juga.""Udah kelihatan kok," Aldo mengedipkan mata bercanda, membuat Nara sedikit lega.*Gaun pertama yang dikenakan Nara adalah kebaya putih bersulam benang perak, dip
Happy ReadingHari-hari setelah lamaran berlalu dengan tenang namun padat. Undangan mulai dicetak, gedung sudah dipesan, dan katering tengah melalui uji rasa. Persiapan pernikahan berjalan seperti alur yang sudah ditentukan. Tapi bagi Nara, setiap langkahnya seperti menapaki jalan baru yang belum sepenuhnya ia mengerti.Aldo, di sisi lain, tampak sabar dan penuh pengertian. Ia tidak pernah memaksa, tidak pernah terlalu mendesak. Ia hadir seperti air: mengalir, tenang, dan pelan-pelan mengisi ruang kosong yang ditinggalkan luka.*Pagi itu mereka bertemu di sebuah kafe yang tenang, dikelilingi jendela besar dan rak-rak buku. Aldo datang lebih dulu, mengenakan kemeja biru langit dan senyum yang tulus.“Aku udah pesenin teh chamomile buat kamu. Kamu suka itu, kan?” tanyanya begitu Nara duduk.Nara mengangguk pelan, sedikit terkejut. “Kamu masih ingat?”Aldo mengangkat bahu dengan senyum kecil. “Aku belajar memperhatikan.”Mereka tertawa ringan. Untuk pertama kalinya sejak lamaran, tawa i