“Astaga, motorku ketinggalan dan hapeku juga gak ada.”Aku menepuk dahi setelah sadar tidak ada ponselku di kantong, sedangkan dompet dan isinya aman. Aku tadi ke sana naik motor dan pulang malah naiuk mobil Rian. Pastinya harus ganti rugi jika sampai hilang. Aku gak bisa menjamin kalau motor itu tetap aman di halaman rumah Delon sampai besok pagi. “Haduh, Raka. Udah hampir modar, kamu masih sempat mikirin motor. Kalaupun mereka jual, gak apa-apalah ganti rugi ke tempat penyewaan motor. Berapalah itu? Kamu kan sudah pegang uang Delon. Yang penting sekarang, hapemu. Ada yang penting gak di sana?” cecar Rian, melirikku dari spion tengah.Ah iya, aku baru ingat kalau menyimpan uang Delon yang kuambil dari m-bankingnya. Aku tak perlu merogoh uang tabunagn sendiri untuk masalah itu.“Bener juga. Untung kamu ingatin,” kekehku. Aku memang pernah menceritakan hal itu pada Rian. Untung saja di ponselku tidak ada foto-foto istri dan anak kami. Aku lebih suka mengambil foto atau video pakai pon
“Ngapain ngendap-ngendap gitu, Bang?”Astagfirulloh. Aku mengusap-usap dada. Bagaimana bisa tiba-tiba Hamdan ada di belakangku dan menepuk pundak ini? Untung saja aku tak punya riwayat penyakit jantung.“Kalau aku jantungan, Bang Hamdan mau tanggung jawab? Gak boleh ngagetin gitu loh,” protesku. Dia menautkan alis, memandangiku dari kepala sampai kaki.“Perasaan gak ngangetin kok. Berarti pikiran Abang terlalu fokus sampai kaget begitu. Kalaupun jantungan, gampang kok. Kan udah di rumah sakit,” balasnya santai, lalu tertawa sekilas setelah aku memelotot. Dia pun ketularan menyebalkan kayak Rian.Aku berjalan mendahului, mengintip dari balik kaca pintu kamar. Aku tersenyum bahagia dan juga merasa terasing. Bapak dan Ibu sedang makan di sana. Sedangkan Alina disuapi Rian. Lalu aku? Di sini dalam keadaan masih lapar.Aku mengucapkan salam seraya membuka pintu dan menghampiri mereka. Ibu terlihat berbinar bahagia melihatku datang. “Kamu sudah pulang, Nak? Sini duduk!” Ibu menepuk lantai
“Tidak bisa. Ini tidak bisa dibiarkan. Papa jangan terpengaruh dengan kata-kata orang kampung yang ngebet pengin kaya ini. Sudah minta uang banyak, malah ngelunjak menyuruh kita untuk memenjarakan Delon. Memangnya dia siapa sampai harus dituruti kata-katanya,” sergah Bu Nugroho. Wajahnya begis dan angkuh, menatapku tajam. Aku mengusap-usap dagu sambil memperhatikan wajah lelaki paruh baya di hadapanku. Wajahnya masih kelihatan syok, menutup mulut dengan tangan kanan. Aku beralih menatap istrinya yang sedang berdiri dengan napas memburu. “Saya tidak memaksa kok, Bu. Ini hanya syarat yang saya ajukan. Kalau merasa sanggup, terima saja. Kalau tidak, ya enggak usah,” balasku dengan santai. “Biarkan hukum yang berbicara. Jika publik ikut mengawal kasus ini, maka hampir bisa dipastikan hukuman akan semakin berat.”Papanya Delon menyugar rambut dengan kasar, belum menerima syaratku, tapi juga tak membenarkan ucapan istrinya. Mungkin saat ini dia sedang dilema. Mungkin dia terlalu berekspek
Sejak Raka membawa kabar baik tentang keadilan buat Alina, hatiku lebih tenang dan merasa aman. Ini semua tak lepas dari bantuan banyak pihak yang mempermudah prosesnya. Seperti kata dokter Rian, Alina ibarat setangkai lidi, tapi kalau semua sudah bersatu, kami bisa menumpas sampah masyarakat seperti Delon.Aku baru bisa ke rumah sakit setelah memandikan cucuku dan juga memberikan susu. Setelah kenyang dan badannya segar, dia akan mulai ceria. Suamiku sedang membawanya ke luar, cari angin segar.“Ibuuuu.” Alina membentangkan tangan seraya tersenyum begitu aku memasuki ruangannya. Wajahnya terlihat ceria, meskipun badannya yang kurus tak bisa menyembunyikan kalau dia pernah menderita. “Kayaknya kamu lebih segar hari ini, Nak. Kamu mau diajak jalan-jalan?” tanyaku seraya mencium keningnya.“Iya, Bu. Mana Bang Raka? Katanya dia mau ajak aku jalan-jalan ke luar.” Bibirnya mengerucut, menatap ke arah pintu dan tak ada yang muncul lagi dari sana.“Abangmu lagi ada sedikit urusan. Ibu saja
Aku mengambil ponsel dan menelpon suamiku. Dua kali panggilan, belum diangkat juga. Lelaki tua itu tak suka menggunakan nada dering panggilan. Hanya getaran saja. Tapi sangat jarang dia meninggalkan ponselnya.“Tunggu sebentar, ya, Nak. Ibu akan mencari bapakmu.”“Aku gak mau ditinggalain, Bu. Aku takut sendirian.” Alina menahan tanganku. Aku mendesah pelan dan menganggukkan kepala. Namun, senyumku terbit karena panggilan masuk dari suamiku.“Iya, ada pa, Bu?” tanyanya langsung begitu tersambung.“Bapak lagi dimana?”“Di taman.”“Ibu dan Alina juga di taman.”Aku berdiri, celingukan mencarinya dan ternyata suamiku juga melakukan hal yang sama. Pandangan kami bertemu dan kulambaikan tangan. Ternyata dia tidak jauh dari tempatku berdiri sekarang.“Sini, Pak. Alina mau ketemu.”“Lalu Cici siapa yang jaga. Bukannya gak boleh mereka ketemu?”“Sekarang, Alina yang minta ketemu cucu kita, Pak,” balasku. “Buruan ke sini, Pak.”“I-iya, Bu.”Aku kembali duduk, mengusap-usap punggung putriku yan
“Kamu kira begitu berharga buatku, hah? Jangan sok menasehatiku!” bentak lelaki yang bergelar suamiku. Dia mendorong dadaku. Untung saja, tidak sampai terjatuh karena kakiku refleks mundur.Bang Delon berjalan sempoyongan dengan bau alkohol yang tajam, diantar seorang perempuan berpakaian menggoda. Astaghfirulloh. “Urus tuh suami lo. Gue mau cabut,” cetus wanita berambut pirang itu. Dia adalah wanita yang berbeda saat mengantar suamiku pulang kemarin malam.Kuusap perutku yang membuncit. Aku harus banyak bersabar. Di dalam rahimku ada buah cinta kami. Pasti ini hanya ujian pernikahan. Mungkin, besok atau lusa dia akan berubah, kembali menjadi suamiku yang terbaik.Namun, apa dayaku? Perilaku Bang Delon semakin menjadi-jadi. Setelah melakukan USG, jenis kelamin janin dalam kandunganku selalu diungkit. Kenapa perempuan selalu disalahkan untuk sesuatu di luar kendalinya? Lagian anak ini, apa dia tak berhak dicintai hanya karena dia perempuan? Lalu suamiku, apa dia lupa kalau mamanya jug
“Kamu kira begitu berharga buatku, hah? Jangan sok menasehatiku!” bentak lelaki yang bergelar suamiku. Dia mendorong dadaku. Untung saja, tidak sampai terjatuh karena kakiku refleks mundur.Bang Delon berjalan sempoyongan dengan bau alkohol yang tajam, diantar seorang perempuan berpakaian menggoda. Astaghfirulloh. “Urus tuh suami lo. Gue mau cabut,” cetus wanita berambut pirang itu. Dia adalah wanita yang berbeda saat mengantar suamiku pulang kemarin malam.Kuusap perutku yang membuncit. Aku harus banyak bersabar. Di dalam rahimku ada buah cinta kami. Pasti ini hanya ujian pernikahan. Mungkin, besok atau lusa dia akan berubah, kembali menjadi suamiku yang terbaik.Namun, apa dayaku? Perilaku Bang Delon semakin menjadi-jadi. Setelah melakukan USG, jenis kelamin janin dalam kandunganku selalu diungkit. Kenapa perempuan selalu disalahkan untuk sesuatu di luar kendalinya? Lagian anak ini, apa dia tak berhak dicintai hanya karena dia perempuan? Lalu suamiku, apa dia lupa kalau mamanya jug
“Ada apa ini nangis-nangis? Saatnya tidur, Bu,” tegur Bapak. “Jangan terus membuat Alina menangis.”“Justru Alina yang membuat Ibu menangis. Anak ini, dia terus saja mengiris bawang di dekat mata Ibu.”Perempuan yang melahirkanku mengurai pelukan dan membantuku tiduran di lantai mobil yang sudah dialasi kasur busa. Bang Raka duduk di depan bersama sopir, sedangkan aku, Cici, Bapak dan Ibu bisa rebahan di belakang. “Mungkin sekarang kamu masih trauma, Nak. Ibu pun sama, tak ingin kamu terluka lagi. Tapi tetap saja Ibu berharap suatu saat nanti kamu ditemukan lelaki yang tepat. Anggap saja semua orang teman, tapi kendalikan perasaan, ya, Nak.”“Iya, Bu.”Aku memejamkan mata, meskipun belum ingin tidur. Kurasakan tangan Ibu menepuk-nepuk lenganku dengan pelan. Betapa takdir tiada yang tahu. Dulu Bapak dan ibu ikut mengantarku ke rumah suamiku, dan sekarang mereka menjemput wanita ringkih ini, membawaku pulang ke rumah masa kecil yang sudah direnovasi beberapa kali. Setelah menikah, ruma
Setelah mengantar Delima pulang, aku menyusul Mama ke hotel langganan setiap datang ke sini. Benar saja dugaanku, Mama sudah di hotel dan tidak pergi kemana-mana.“Mama mau pulang sekarang? Katanya mau nginap barang sehari dua hari,” tuturku. Kulihat Mama sudah mengemasi barang-barangnya.“Buat apa Mama di sini, kamu hanya bikin kesal saja. Punya satu anak laki-laki tapi tak berguna. Mama sudah tua, tapi kamu masih belum kepikiran untuk kasih menantu.”Aku tersenyum tipis dan menyentuh lengan Mama. Kutahu, itulah kegundahan Mama selama ini. Takut jika ajalnya duluan menjemput, sementara aku masih sendiri. Mama terkesan memaksa untuk kebahagiaan pribadi, tapi sebenarnya cemas dengan nasibku kelak di masa depan.“Aku bukan tak mau menikah, Ma. Namun, memang dasarnya belum ada yang mau.” Aku beralasan.“Mulai sekarang, jangan sok jual mahal lagi, Delon. Umurmu juga makin tua. Kamu itu dapat istri saja sudah syukur. Tak usah berharap dapat gadis yang cantik dan tanpa ada cela,” cetus Mama
Dua minggu kemudian, Mama memintaku untuk datang ke sebuah restoran yang berada di kota ini. Seperti ucapan Mama sebelumnya, dia ingin menjodohkanku dengan wanita pilihannya sendiri. Namun, aku heran kenapa Mama malah mengajak ketemuan di sini dan hanya datang sendirian tanpa ditemani Papa seperti biasanya? Padahal, kami beda kota. Apa Mama bawa calon menantunya sendiri ke sini? Atau memang orang sini? Entahlah. Mama kadang tak bisa ditebak. Papa sendiri yang jadi teman tidurnya selama ini tak bisa memahami pola pikir Mama.Ah, banyaknya pertanyaan bersarang dalam benakku tentang wanita yang memikat hati Mama. Daripada penasaran, lebih baik nanti saja kulihat siapa wanita itu. Aku memarkirkan kenderaan roda empatku di depan restoran dan langsung masuk. Dari kejauhan, kulihat Mama sedang mengobrol dengan seorang perempuan berjilbab panjang. Posisi wanita itu membelakangiku dan Mama menghadap ke arah pintu masuk. Begitu mata kami bertemu, Mama melambaikan tangan agar aku datang ke sana.
Malam harinya, kami merayakan ulang tahun Cici di restoran yang sudah kupesan sebelumnya. Hanya dihadiri kami saja tanpa ada tambahan siapa-siapa. Cici terlihat bahagia dan tak pernah lepas senyumannya ketika beberapa hadiah dia dapatkan.Seperti janjiku pada Rian, aku akan mengantar Cici pulang sebelum jam yang ditentukan. Walaupun aku adalah ayah kandungnya, tapi tetap harus menghormati peraturan yang dibuat oleh Alina dan suaminya. Biar bagaimana pun, aku tak banyak berkontribusi terhadap anak ini. Mereka lah yang merawat Cici dari kecil hingga sebesar ini.Aku membantu membawakan hadiah-hadiah untuk Cici dan meletakkannya di dekat pintu. Putriku terdengar berteriak memanggil bunda dan neneknya untuk menceritakan tentang hadiah-hadiah yang dia dapatkan.“Wah, kamu antar lebih cepat rupanya,” ujar Rian, menyambutku di teras rumahnya.“Iya, aku takutlah nanti gak diizinin ketemu sama putriku sendiri.” Aku terkekeh dan disambut tawa oleh Rian. “Aku langsung balik kalau begitu, ya, Ri
*Hari ini, Cici berulang tahun. Aku berniat merayakan hari kelahiran putriku bersama Papa dan Mama. Hari kelahiran yang pertama kali kurayakan karena selama ini kami tidak tinggal bersama. Aku ingin mengukir momen indah di memori anak gadisku tentang ayahnya ini. Jika kelak dia dewasa, dia tetap mengingatku sebagai sosok ayah yang baik. Ayah kandung yang pantas dibanggakan dan diceritakan pada teman-temannya.“Aku jemput Cici dulu, ya, Pa, Ma. Semoga saja mereka mengizinkanku membawa Cici.”“Kami ikut.” Papa dan Mama kompak menjawab.Aku menautkan alis dan melihat keseriusan di wajah keduanya. “Beneran mau ikut? Apa Papa dan Mama tak sungkan nantinya ketemu sama Bu Rahimah?” cecarku.“Jadi Bu Rahimah tinggal di sana juga?” tanya Papa.Aku mengangguk. “Semenjak Alina hamil besar dan kini sudah melahirkan anak keduanya, mantan mertuaku tinggal di sana, Pa. Mungkin mau memberikan perhatian lebih agar Alina tak merasa diabaikan oleh ibunya. Belajar dari pengalaman saat mau melahirkan Cic
Aku pulang ke kafe cukup terkejut dengan kedatangan Papa dan Mama, menunggu di bagian depan. Mungkin karena aku belum mengabari mereka sepulang dari rumah Elsa kemarin, makanya sampai menyusul ke sini. Aku menyalami keduanya dan langsung mengajak mereka masuk ke kafe yang hampir akan tutup jam segini.“Papa dan Mama kok bisa di sini? Gak ngasih kabar pula? Naik apa ke sini, Pa, Ma?” cecarku.Kami kini memang hanya punya satu kenderaan roda empat, yaitu yang sering kugunakan. Semenjak pernah merasakan lumpuh, meski sudah sembuh, Papa tidak kepengen lagi mengemudikan mobil. Jika sesekali ada urusan keluar, Papa lebih memilih naik ojek motor atau mobil. Sedangkan Mama, karena sudah lama tak pernah bawa mobil, kepercayaan diri dan keberaniannya telah hilang untuk berkendara di jalan umum. Pun aku tak mengizinkan Mama belajar lagi, takut kalau terjadi apa-apa.“Bagaimana kami mau ngasih kabar? Kamu saja tak pernah angkat telpon,” cetus Mama.Aku menggaruk-garuk kepala yang mendadak terasa
“Mas, kenapa melamun terus? Mau dibuatkan minum?” Delima mengagetkanku, membuyarkan lamunan.“Aku baik-baik saja. Gimana kerjanya? Bisa?”“Bisa, Mas. Di sini enak kok kerjanya. Teman-teman ramah dan pengunjungnya santun. Kadang kan di kafe-kafe banyak pelanggan genit yang suka godain cewek-cewek, kalau di sini tidak ada.”Aku tersenyum dan mengangguk. Keselamatan dan kenyamanan kerja para pegawai adalah tanggung jawabku. Kalau ada yang bersikap kurang ajar, mending aku kehilangan pelanggan daripada mengorbankan pelayan.“Hai cantik, cappucino-nya dua!”Dua orang laki-laki datang dan tersenyum genit ke arah Delima. Meskipun kami sedang mengobrol, sepertinya mereka langsung mengenali Delima adalah pelayan kafe ini karena memakai seragam khusus seperti pegawai yang lainnya.Baru saja Delima memuji kalau pelanggan kafeku sopan-sopan, sekarang sudah ada dua laki-laki yang kayaknya setengah mabuk dari cara duduknya dan berjalan tadi.“Sana siapkan biar aku yang antar sama mereka,” titahku p
“Yang sabar, ya, Mas. Suatu saat kamu akan dapat pengganti yang lebih baik. Mungkin Mbak Elsa bukan jodoh yang terbaik buat Mas Delon,” ujar Wina. Ucapannya kelihatan tulus. Mungkin senyumannya tadi bukan bermaksud bahagia di atas penderitaanku.“Iya, kalau gitu aku pulang dulu, ya. Kamu juga pasti butuh istirahat banyak.”“Kok cepat banget pulangnya? Padahal baru nyampe loh.”“Besok aku bisa datang lagi, yang penting sudah ketemu sama Reza. Gak enak juga dilihat tetangga kalau aku bertandang ke sini malam-malam,” tukasku.“Terima kasih kalau begitu karena sudah berkunjung. Semoga hatimu baik-baik saja, ya, Mas.”Aku mengangguk, menyentuh pipi bocah menggemaskan yang sudah tertidur, lalu pulang. tak langsung ke kafe yang merangkap tempat tinggalku. Untuk menghilangkan suntuk, aku pergi ke taman kota, duduk di bangku besi yang tersedia. Cuaca lagi bagus dan di langit sedang banyak bintang menghiasi.“Tolong! Tolong lepasin aku!”Suara teriakan wanita membuatku langsung mengedarkan pand
Adakah laki-laki paling malang di dunia ini selain aku? Tak bisakah pintu taubat mengubah nasibku? Ya Allah, aku tahu, diri ini adalah manusia bejat di masa lalu. Namun, aku sudah lama menjauhi maksiat. Apakah pendosa sepertiku tak berhak dapat jodoh di dunia ini lagi?Tak terasa, air mata menetes begitu saja. Mungkin benarlah kata orang bijak kalau kita tak pantas menggantungkan harapan pada manusia. Sepercaya apapun kita, tetap saja harus bersiap akan kecewa. Segala kemungkina buruk itu pasti ada dan kini aku mengalaminya.Elsa, wanita yang selama ini jadi idaman hatiku. Kecocokan kami hampir seratus persen. Tak ada keluhan berarti tentangnya dalam hatiku. Dia nyaris sempurna bagiku untuk dijadikan pendamping hidup. Namun, siapa yang tega menghancurkan mimpiku? Siapa yang mengirim pesan pada Elsa kalau aku punya penyakit HIV? Ini pasti ulah orang-orang terdekatku, atau para wanita yang pernah hadir dalam hidupku. Aku lumayan banyak dekat dengan wanita, lalu mereka memilih pergi kare
Setelah Wina lahiran, aku mengontrak rumah untuknya. Dia mandiri juga mengurus bayinya. Namun, meskipun begitu, aku tetap mencari orang untuk membantunya. Hari ini aku dan Elsa menjenguk Wina dan bayinya untuk memastikan semua baik-baik saja.“Aku ada kabar buruk sekaligus baik,” ujar Wina.“Apa, Win?” tanya Elsa.“Kabar buruknya, anakku sudah yatim. Namun, aku bahagia karena akhirnya terlepas dari lelaki itu tanpa harus ketakutan lagi dia kejar-kejar. Mantan suamiku sudah meninggal karena kecelakaan. Aku baru lihat berita online-nya.”Aku dan Elsa berpandangan. Jujur saja, aku juga tak tahu mau bilang selamat atau sedih. Aku prihatin karena anak yang baru lahir itu tak punya ayah lagi, tapi di lain sisi Wina akhirnya terbebas dari lelaki kejam itu.“Mungkin ini yang terbaik buat kalian, Win. Lagian, meskipun mantan suamimu masih hidup, Reza tak bisa menuntut apa-apa pada bapaknya. Kamu dan mantan suamimu hanya nikah siri dan tidak tercatat dalam dokumen negara. Kamu sebagai ibu harus