“Tidak bisa. Ini tidak bisa dibiarkan. Papa jangan terpengaruh dengan kata-kata orang kampung yang ngebet pengin kaya ini. Sudah minta uang banyak, malah ngelunjak menyuruh kita untuk memenjarakan Delon. Memangnya dia siapa sampai harus dituruti kata-katanya,” sergah Bu Nugroho. Wajahnya begis dan angkuh, menatapku tajam. Aku mengusap-usap dagu sambil memperhatikan wajah lelaki paruh baya di hadapanku. Wajahnya masih kelihatan syok, menutup mulut dengan tangan kanan. Aku beralih menatap istrinya yang sedang berdiri dengan napas memburu. “Saya tidak memaksa kok, Bu. Ini hanya syarat yang saya ajukan. Kalau merasa sanggup, terima saja. Kalau tidak, ya enggak usah,” balasku dengan santai. “Biarkan hukum yang berbicara. Jika publik ikut mengawal kasus ini, maka hampir bisa dipastikan hukuman akan semakin berat.”Papanya Delon menyugar rambut dengan kasar, belum menerima syaratku, tapi juga tak membenarkan ucapan istrinya. Mungkin saat ini dia sedang dilema. Mungkin dia terlalu berekspek
Sejak Raka membawa kabar baik tentang keadilan buat Alina, hatiku lebih tenang dan merasa aman. Ini semua tak lepas dari bantuan banyak pihak yang mempermudah prosesnya. Seperti kata dokter Rian, Alina ibarat setangkai lidi, tapi kalau semua sudah bersatu, kami bisa menumpas sampah masyarakat seperti Delon.Aku baru bisa ke rumah sakit setelah memandikan cucuku dan juga memberikan susu. Setelah kenyang dan badannya segar, dia akan mulai ceria. Suamiku sedang membawanya ke luar, cari angin segar.“Ibuuuu.” Alina membentangkan tangan seraya tersenyum begitu aku memasuki ruangannya. Wajahnya terlihat ceria, meskipun badannya yang kurus tak bisa menyembunyikan kalau dia pernah menderita. “Kayaknya kamu lebih segar hari ini, Nak. Kamu mau diajak jalan-jalan?” tanyaku seraya mencium keningnya.“Iya, Bu. Mana Bang Raka? Katanya dia mau ajak aku jalan-jalan ke luar.” Bibirnya mengerucut, menatap ke arah pintu dan tak ada yang muncul lagi dari sana.“Abangmu lagi ada sedikit urusan. Ibu saja
Aku mengambil ponsel dan menelpon suamiku. Dua kali panggilan, belum diangkat juga. Lelaki tua itu tak suka menggunakan nada dering panggilan. Hanya getaran saja. Tapi sangat jarang dia meninggalkan ponselnya.“Tunggu sebentar, ya, Nak. Ibu akan mencari bapakmu.”“Aku gak mau ditinggalain, Bu. Aku takut sendirian.” Alina menahan tanganku. Aku mendesah pelan dan menganggukkan kepala. Namun, senyumku terbit karena panggilan masuk dari suamiku.“Iya, ada pa, Bu?” tanyanya langsung begitu tersambung.“Bapak lagi dimana?”“Di taman.”“Ibu dan Alina juga di taman.”Aku berdiri, celingukan mencarinya dan ternyata suamiku juga melakukan hal yang sama. Pandangan kami bertemu dan kulambaikan tangan. Ternyata dia tidak jauh dari tempatku berdiri sekarang.“Sini, Pak. Alina mau ketemu.”“Lalu Cici siapa yang jaga. Bukannya gak boleh mereka ketemu?”“Sekarang, Alina yang minta ketemu cucu kita, Pak,” balasku. “Buruan ke sini, Pak.”“I-iya, Bu.”Aku kembali duduk, mengusap-usap punggung putriku yan
“Kamu kira begitu berharga buatku, hah? Jangan sok menasehatiku!” bentak lelaki yang bergelar suamiku. Dia mendorong dadaku. Untung saja, tidak sampai terjatuh karena kakiku refleks mundur.Bang Delon berjalan sempoyongan dengan bau alkohol yang tajam, diantar seorang perempuan berpakaian menggoda. Astaghfirulloh. “Urus tuh suami lo. Gue mau cabut,” cetus wanita berambut pirang itu. Dia adalah wanita yang berbeda saat mengantar suamiku pulang kemarin malam.Kuusap perutku yang membuncit. Aku harus banyak bersabar. Di dalam rahimku ada buah cinta kami. Pasti ini hanya ujian pernikahan. Mungkin, besok atau lusa dia akan berubah, kembali menjadi suamiku yang terbaik.Namun, apa dayaku? Perilaku Bang Delon semakin menjadi-jadi. Setelah melakukan USG, jenis kelamin janin dalam kandunganku selalu diungkit. Kenapa perempuan selalu disalahkan untuk sesuatu di luar kendalinya? Lagian anak ini, apa dia tak berhak dicintai hanya karena dia perempuan? Lalu suamiku, apa dia lupa kalau mamanya jug
“Kamu kira begitu berharga buatku, hah? Jangan sok menasehatiku!” bentak lelaki yang bergelar suamiku. Dia mendorong dadaku. Untung saja, tidak sampai terjatuh karena kakiku refleks mundur.Bang Delon berjalan sempoyongan dengan bau alkohol yang tajam, diantar seorang perempuan berpakaian menggoda. Astaghfirulloh. “Urus tuh suami lo. Gue mau cabut,” cetus wanita berambut pirang itu. Dia adalah wanita yang berbeda saat mengantar suamiku pulang kemarin malam.Kuusap perutku yang membuncit. Aku harus banyak bersabar. Di dalam rahimku ada buah cinta kami. Pasti ini hanya ujian pernikahan. Mungkin, besok atau lusa dia akan berubah, kembali menjadi suamiku yang terbaik.Namun, apa dayaku? Perilaku Bang Delon semakin menjadi-jadi. Setelah melakukan USG, jenis kelamin janin dalam kandunganku selalu diungkit. Kenapa perempuan selalu disalahkan untuk sesuatu di luar kendalinya? Lagian anak ini, apa dia tak berhak dicintai hanya karena dia perempuan? Lalu suamiku, apa dia lupa kalau mamanya jug
“Ada apa ini nangis-nangis? Saatnya tidur, Bu,” tegur Bapak. “Jangan terus membuat Alina menangis.”“Justru Alina yang membuat Ibu menangis. Anak ini, dia terus saja mengiris bawang di dekat mata Ibu.”Perempuan yang melahirkanku mengurai pelukan dan membantuku tiduran di lantai mobil yang sudah dialasi kasur busa. Bang Raka duduk di depan bersama sopir, sedangkan aku, Cici, Bapak dan Ibu bisa rebahan di belakang. “Mungkin sekarang kamu masih trauma, Nak. Ibu pun sama, tak ingin kamu terluka lagi. Tapi tetap saja Ibu berharap suatu saat nanti kamu ditemukan lelaki yang tepat. Anggap saja semua orang teman, tapi kendalikan perasaan, ya, Nak.”“Iya, Bu.”Aku memejamkan mata, meskipun belum ingin tidur. Kurasakan tangan Ibu menepuk-nepuk lenganku dengan pelan. Betapa takdir tiada yang tahu. Dulu Bapak dan ibu ikut mengantarku ke rumah suamiku, dan sekarang mereka menjemput wanita ringkih ini, membawaku pulang ke rumah masa kecil yang sudah direnovasi beberapa kali. Setelah menikah, ruma
Kak Sri bangkit dan berjalan keluar kamar.“Gimana? Alina kepengen makan sop buatanmu yang tak ada tandingannya, kan?” Suara Bang Raka terdengar dari luar setelah Kak Sri menutup pintu.“Dia ngantuk, Bang.”“Kok tumben? Biasanya dia selalu ingin makan sop buatanmu. Sebelum sampai sini kelihatannya dia juga segar. Dia tidak ngantuk.”“Udahklah, Bang, jangan nmengganggu Alina. Biarkan dia istirahat.”Aku menutup wajah dengan selimut. Tak terasa air mataku membasahi pipi lagi. Mereka tetap bahagia, tapi aku? Alina yang baru menikah setahun lebih kini bergelar janda satu anak. Harusnya bisa dikatakan janda kembang, tapi diriku tak ubahnya bagai bunga yang layu. Tak menarik dan sepertinya sedikit harapan bisa hidup normal.Seseorang membuka pintu lagi dan masuk perlahan. Dari balik selimut, bisa kulihat kalau ibuku yang datang. Aku memejamkan mata saat nenek dari anakku menyibak sedikit selimut yang menutupi wajah.“Kamu bisa kesulitan napas kalau ditutup begini, Nak,” lirihnya dan menciu
“Alin, kamu belum tidur rupanya, Dik?” Bang Raka main nyelonong masuk saja dan duduk di tepi ranjang.“Kalau masuk kamar perempuan dewasa, ketuk pintu dulu, Bang,” protesku. Bang Raka terkekeh sambil menggaruk-garuk kepala.“Ya maaf. Lagian pintu kamarnya terbuka sedikit. Mau ngetuk pintu, takut membangunkanmu yang lagi tidur. Eh, rupanya malah duduk main hape. Kamu kenapa sih?”“Gak ada, Bang.”“Tapi sepertinya kamu baru nangis, ya? Tapi gak apa-apa. Itu tandanya kamu berperasaan. Adik Abang tidak seputus asa dulu sampai tak mau menangis atau tertawa.”Aku tersenyum tipis dan menganggukkan kepala. Hanya Bang Raka saudaraku, temanku berebutan apa saja saat masih kecil hingga remaja. Kami sering bertengkar, tapi tak lama kemudian akur lagi. Bagaimana aku bisa marah padanya?“Ada apa Abang ke sini?”“Apa tak boleh Abang masuk kamarmu lagi?” Dia malah balik nanya.“Bukan gitu, Bang. Abang juga sudah berkeluarga. Jangan sampai nanti ada yang cemburu karena Abang menghabiskan waktu banyak