“Alin, buka pintunya, Dik! Kakak mau bicara.”Kak Sri mengetuk pintu kamarku dan terus memanggil sampai beberapa kali. “Dik, ayolah jangan begini. Dengarkan dulu penjelasan Kakak agar kamu tak salah paham.”"Maafin Alin juga, Kak. Tak harusnya aku mencari-cari siapa yang salah dalam hal ini, apalagi sampai menyalahkan Kakak.”Aku memeluknya dan Kak Sri perlahan membalas pelukanku. “Setelah menikah, yang jadi keluargaku bukan hanya suami dan anak, tapi juga mertua dan ipar. Jadi, kamu sama berharganya dengan Bang Raka dan juga Ahmad bagiku. Jangan pernah berpikir kalau Kakak tak sayang padamu, apalagi dengan sengaja tidak mencegahmu ke dalam penderitaan. Itu tidak benar, Alin.”“Iya, Kak. Aku memang salah sangka,” lirihku.“Kakak tak menyalahkanmu, Alin. Ini semua sudah ketentuan yang harus kita jalanai. Jika boleh memilih, tentu kita tak ingin ada masalah yang menimpa. Bahagia di dunia dan masuk surga di akhirat tanpa hisab. Tapi sebagai manusia, kita hanya bisa menngusahakan yang ter
“Alina? Itu beneran kamu kan?” Aku menutup kameranya supaya wajahku tidak terlihat. Menghela napas berkali-kali sampai detak jantungku lebih teratur.“Alina, jangan diam saja!” ujarnya lagi.“Iya, ada apa, Dok?”“Dok? Maksudnya kodok?” Laki-laki itu sepertinya mau mengajak bercanda, tapi aku tak semangat. Rasanya semua sudah berubah sejak membaca suratnya tadi pagi.“Enggaklah, masa kodok? Abang kan dokter.”“Tapi bukan doktermu lagi, kan? Panggil abang saja, ya,” pintanya dari seberang sana. Dari layar ponsel kulihat dia menampilkan wajah memelas sambil menangkupkan tangan di depan dada. Abang? “Cepat buka kameranya, Alina! Abang mau lihat wajahmu.”“Gak usah,” cetusku.“Kenapa? Kamu gak adil nih. Bisa lihat wajahku, tapi aku tidak dikasih kesempatan yang sama.”“Kalau begitu matikan saja telponnya,” balasku tak mau disalahkan. Ini semua kerjaan Bang Raka. Dia dengan sengaja menjebakku supaya bisa bicara dengan sahabatnya. Padahal sudah kubilang tak mau bicara dengan dokter Rian.
Aku bisa melewati halaman, tapi saat mau menaiki teras rumah, aku ragu. Kulihat Bang Raka tetap mengikuti, tapi tak berniat membantu.“Bang! Aku ini adik kandungmu atau anak pungut sih? Aku udah kesusahan mau jalan, malah gak dibantuin,” cetusku.“Makanya kalau butuh bantuan, itu dibilang. Jangan diam saja. Aabang juga tak tahu kali apa yang ada dalam pikiran kamu.” Dia membantuku sambil mengomel. Aku dibantunya duduk di ruang tamu, di dekat bayiku yang sedang belajar menelungkupkan badannya.“Ayo semangat, Nak. Bunda yakin, Cici juga pasti bisa,” ujarku meskipun bayi itu pastinya tak mengerti. Kata dokter, tak ada masalah dengan tulang-tulang putriku. Dia sehat saja, tapi agak terlambat dalam proses pertumbuhannya. Biarlah begini, yang pentingh tak ada maslah serius yang membuatnya lambat berkembang. Mungkin memang ini yang terbaik agar aku sebagai bundanya bisa melihat sendiri tumbuh ekmbang anak mulai dari dia telungkup dan bisa berjalan nanti. Aku harus gigih berlatih supaya bisa
Aku menerima benda persegi di tangannya dengan ragu dan mengusap air mata. “Bang Rian?” desisku. Aku mengerjapkan mata berkali-kali untuk memastikan kalau itu memang dokter yang merawatku pas di rumah sakit.Wak Parman, tukang becak di kampung kami memasukkan dua kardus dan satu tas pakaian warna hitam di dekat pintu, lalu permisi mau pergi nyari sewa lagi.“Rian? Kamu kok bisa tiba-tiba di sini? Padahal tadi malam kita masih ngobrol dan kamu gak bilang apa-apa mau ke sini.”“Biar surprise,” kekeh lelaki yang baru datang dari kota itu.Bang Raka bangkit dan menyalami lelaki berkaus warna hijau dengan garis-garis warna coklat. “Ayo duduklah! Kok bisa tahu rumah ini? Harusnya kalau mau kemari, kabari dulu biar kujemput ke loket.”“Kan dekat dari loket, Ka. Tanya-tanya orang, langsung uwak itu nawarin mau antar ke sini. Pas pula buka rumah ini, sampai-sampai kalian tak tahu kalau aku datang.” Bang Rian tertawa lagi. tak berubah, masih suka tertawa dan tersenyum seperti saat aku masih men
”Silakan minum dulu, Rian!” Ibu membawakan seceret kecil teh manis dan tiga cangkir kosong, lalu mengisinya. Satu untukku, sedangkan Ibu memang kurang suka minum teh manis.“Bentar lagi kita makan, ya. Kebetulan bapaknya Raka lagi keluar. Sebentar lagi juga pulangan kita bisa makan bersama. Ibu masak tumis kangkung, sambel terasi dan juga ikan mas goreng.”“Waduh, mendengarnya saja Rian sudah ngiler, Bu. Padahal tadi udah sempat sararapan.” Lelaki itu terkekeh, melepaskan kaca mata yang sedikit menghalangi ketampanannya. “Ini sedikit oleh-oleh, Bu. Sama jumlahnya dengan yang akan dibawa buat keluargaku. Alasannya seperti yang Ibu aktakan tadi, kita ini adalah keluarga.”Dokter Rian menyodorkan satu kardus indomie yang dilakban dan diikat pakai tali plastik warna hitam, khas warga Indonesia ketika pulang kampung atau merantau. Begitu dibukasama Ibu, aneka makanan sudah berjejal di sana. Saat kami mau pulang hari itu, tak ada yang kepikiran beli oleh-oleh. Mungkin karena niatnya bukan j
“Assalamualaikum.”Suara salam Bapak menghentikan obrolan dua sahabat itu. Tak beda jauh dengan Ibu, Bapak pun semringah saat bersitatap dengan Bang Rian. “Ada tamu rupanya. Pantas saja ada sepatu di luar.”“Iya, Pak. Sengaja singgah ke sini agar bisa ketemu Bapak dan keluarga.” Bang Rian berdiri dan menyalami Bapak.“Mana ibumu, Alin? Biar kita makan. Nak Rian pasti sudah lapar.”Aku berdiri dan berjalan keluar untuk memanggil Ibu. Kalau sudah ke rumah cucu laki-lakinya itu, pasti tak bisa cepat. Kadang iri melihat Kak Sri yang bisa punya mertua baik kayak ibuku, sedangkan diri ini malah mendapat yang sebaliknya. Ah, ujian memang datang dalam beragam bentuk. Bukankah kesenangan itu juga ujian yang melenakan?“Memangnya Bu Rahimah kemana, Alin?”“Ya Allah. Kok bikin kaget sih, Bang?” protesku. Bagaimana tidak, Bang Rian tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. Jalanku yang lambat denagn mudah ia susul. Pastinya juga dia melangkah hati-hati sehingga tak menimbulkan suara.“Maaf. Gak ada m
“Ibu ini suka berandai-andai. Jangan sampai nanti Ibu membayangkan kalau kembali muda dan bertemu dokter Rian. Jangan-jangan Ibu bakal pilih dia daripada Bapak.” Ada yang mulai cemburu.“Kalau bisa waktu diputar kembali dan Rian jadi salah satu pesaing Bapakk, ya pasti pilih dialah. Tapi akan gak mungkin, Pak. Bapak yang terbaik buatku karena pikirannya dewasa dan bertanggung jawab. Kalau gak sama Bapak, tak mungkin Ibu bisa punya Raka dan Alina.”“Makanya kita ini sudah tua, jangan suka berkhayal muda lagi dengan yang lain. Kita bayangkan masa-masa muda kita saja,” kekeh Bapak. Sepertinya pasangan lansia itu mulai lupa kalau ada orang lain di rumah ini. Mereka mulai sikut-sikutan. Kak Sri sejak tadi ikut senyam-senyum dan membantuku berdiri. Kami meninggalakan kakek-nenek itu melanjutkan nostalgia masa muda mereka.Aku dan Kak Sri masuk ke kamarku. Di sana ada Ahmad dan Cici yang sedang bercoleteh, sahut-sahutan seperti sedang bicara serius.“Lucu banget anak-anak kita, Kak? Boleh ga
Semenjak pulang ke kampung, fisik Alina perlahan membaik. Walaupun sempat ada orang yang mau mencelakainya, tapi aku dan Sri dibantu anak-anak kecil bisa menyelamatkan putriku di waktu yang tepat.Aku sudah sempat memarahi anak-anak itu gara-gara mereka lancang menyebut putriku kayak tengkorak. Tapi anak-anak yang masih bersih hatinya itu telah menampar hatiku. Mereka hadir bagai pahlawan, mengatakan kalau melihat perempuan kurus yang mereka tertawakan sedang dalam bahaya. Kadang pertolongan datang ari arah yang tak disangka-sangka.Aku sangat mendukung rencana Alina untuk memberikan sembako pada warga kampung dan melebihkan dua karung beras bagi keluarga lima anak itu. Aku kenal semuanya mereka dan siapa orang tuanya.“Alhamdulillah. Kami merasa sangat terbantu dan berterimakasih denagn bantuan ini, Bu. Semoga rejeki keluarganya berkah dan Alina cepat sembuih seperti sedia kala.”“Aaamiin.”Aku selalu mengaminkan setiap doa dari warga desa yang mendapatkan sedikit bantuan dari putrik