Aku bisa melewati halaman, tapi saat mau menaiki teras rumah, aku ragu. Kulihat Bang Raka tetap mengikuti, tapi tak berniat membantu.“Bang! Aku ini adik kandungmu atau anak pungut sih? Aku udah kesusahan mau jalan, malah gak dibantuin,” cetusku.“Makanya kalau butuh bantuan, itu dibilang. Jangan diam saja. Aabang juga tak tahu kali apa yang ada dalam pikiran kamu.” Dia membantuku sambil mengomel. Aku dibantunya duduk di ruang tamu, di dekat bayiku yang sedang belajar menelungkupkan badannya.“Ayo semangat, Nak. Bunda yakin, Cici juga pasti bisa,” ujarku meskipun bayi itu pastinya tak mengerti. Kata dokter, tak ada masalah dengan tulang-tulang putriku. Dia sehat saja, tapi agak terlambat dalam proses pertumbuhannya. Biarlah begini, yang pentingh tak ada maslah serius yang membuatnya lambat berkembang. Mungkin memang ini yang terbaik agar aku sebagai bundanya bisa melihat sendiri tumbuh ekmbang anak mulai dari dia telungkup dan bisa berjalan nanti. Aku harus gigih berlatih supaya bisa
Aku menerima benda persegi di tangannya dengan ragu dan mengusap air mata. “Bang Rian?” desisku. Aku mengerjapkan mata berkali-kali untuk memastikan kalau itu memang dokter yang merawatku pas di rumah sakit.Wak Parman, tukang becak di kampung kami memasukkan dua kardus dan satu tas pakaian warna hitam di dekat pintu, lalu permisi mau pergi nyari sewa lagi.“Rian? Kamu kok bisa tiba-tiba di sini? Padahal tadi malam kita masih ngobrol dan kamu gak bilang apa-apa mau ke sini.”“Biar surprise,” kekeh lelaki yang baru datang dari kota itu.Bang Raka bangkit dan menyalami lelaki berkaus warna hijau dengan garis-garis warna coklat. “Ayo duduklah! Kok bisa tahu rumah ini? Harusnya kalau mau kemari, kabari dulu biar kujemput ke loket.”“Kan dekat dari loket, Ka. Tanya-tanya orang, langsung uwak itu nawarin mau antar ke sini. Pas pula buka rumah ini, sampai-sampai kalian tak tahu kalau aku datang.” Bang Rian tertawa lagi. tak berubah, masih suka tertawa dan tersenyum seperti saat aku masih men
”Silakan minum dulu, Rian!” Ibu membawakan seceret kecil teh manis dan tiga cangkir kosong, lalu mengisinya. Satu untukku, sedangkan Ibu memang kurang suka minum teh manis.“Bentar lagi kita makan, ya. Kebetulan bapaknya Raka lagi keluar. Sebentar lagi juga pulangan kita bisa makan bersama. Ibu masak tumis kangkung, sambel terasi dan juga ikan mas goreng.”“Waduh, mendengarnya saja Rian sudah ngiler, Bu. Padahal tadi udah sempat sararapan.” Lelaki itu terkekeh, melepaskan kaca mata yang sedikit menghalangi ketampanannya. “Ini sedikit oleh-oleh, Bu. Sama jumlahnya dengan yang akan dibawa buat keluargaku. Alasannya seperti yang Ibu aktakan tadi, kita ini adalah keluarga.”Dokter Rian menyodorkan satu kardus indomie yang dilakban dan diikat pakai tali plastik warna hitam, khas warga Indonesia ketika pulang kampung atau merantau. Begitu dibukasama Ibu, aneka makanan sudah berjejal di sana. Saat kami mau pulang hari itu, tak ada yang kepikiran beli oleh-oleh. Mungkin karena niatnya bukan j
“Assalamualaikum.”Suara salam Bapak menghentikan obrolan dua sahabat itu. Tak beda jauh dengan Ibu, Bapak pun semringah saat bersitatap dengan Bang Rian. “Ada tamu rupanya. Pantas saja ada sepatu di luar.”“Iya, Pak. Sengaja singgah ke sini agar bisa ketemu Bapak dan keluarga.” Bang Rian berdiri dan menyalami Bapak.“Mana ibumu, Alin? Biar kita makan. Nak Rian pasti sudah lapar.”Aku berdiri dan berjalan keluar untuk memanggil Ibu. Kalau sudah ke rumah cucu laki-lakinya itu, pasti tak bisa cepat. Kadang iri melihat Kak Sri yang bisa punya mertua baik kayak ibuku, sedangkan diri ini malah mendapat yang sebaliknya. Ah, ujian memang datang dalam beragam bentuk. Bukankah kesenangan itu juga ujian yang melenakan?“Memangnya Bu Rahimah kemana, Alin?”“Ya Allah. Kok bikin kaget sih, Bang?” protesku. Bagaimana tidak, Bang Rian tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. Jalanku yang lambat denagn mudah ia susul. Pastinya juga dia melangkah hati-hati sehingga tak menimbulkan suara.“Maaf. Gak ada m
“Ibu ini suka berandai-andai. Jangan sampai nanti Ibu membayangkan kalau kembali muda dan bertemu dokter Rian. Jangan-jangan Ibu bakal pilih dia daripada Bapak.” Ada yang mulai cemburu.“Kalau bisa waktu diputar kembali dan Rian jadi salah satu pesaing Bapakk, ya pasti pilih dialah. Tapi akan gak mungkin, Pak. Bapak yang terbaik buatku karena pikirannya dewasa dan bertanggung jawab. Kalau gak sama Bapak, tak mungkin Ibu bisa punya Raka dan Alina.”“Makanya kita ini sudah tua, jangan suka berkhayal muda lagi dengan yang lain. Kita bayangkan masa-masa muda kita saja,” kekeh Bapak. Sepertinya pasangan lansia itu mulai lupa kalau ada orang lain di rumah ini. Mereka mulai sikut-sikutan. Kak Sri sejak tadi ikut senyam-senyum dan membantuku berdiri. Kami meninggalakan kakek-nenek itu melanjutkan nostalgia masa muda mereka.Aku dan Kak Sri masuk ke kamarku. Di sana ada Ahmad dan Cici yang sedang bercoleteh, sahut-sahutan seperti sedang bicara serius.“Lucu banget anak-anak kita, Kak? Boleh ga
Semenjak pulang ke kampung, fisik Alina perlahan membaik. Walaupun sempat ada orang yang mau mencelakainya, tapi aku dan Sri dibantu anak-anak kecil bisa menyelamatkan putriku di waktu yang tepat.Aku sudah sempat memarahi anak-anak itu gara-gara mereka lancang menyebut putriku kayak tengkorak. Tapi anak-anak yang masih bersih hatinya itu telah menampar hatiku. Mereka hadir bagai pahlawan, mengatakan kalau melihat perempuan kurus yang mereka tertawakan sedang dalam bahaya. Kadang pertolongan datang ari arah yang tak disangka-sangka.Aku sangat mendukung rencana Alina untuk memberikan sembako pada warga kampung dan melebihkan dua karung beras bagi keluarga lima anak itu. Aku kenal semuanya mereka dan siapa orang tuanya.“Alhamdulillah. Kami merasa sangat terbantu dan berterimakasih denagn bantuan ini, Bu. Semoga rejeki keluarganya berkah dan Alina cepat sembuih seperti sedia kala.”“Aaamiin.”Aku selalu mengaminkan setiap doa dari warga desa yang mendapatkan sedikit bantuan dari putrik
“Yang tahu nomor Alina pastinya hanya kounter pulsa. Ini memang salahku, ngisi pulsa tidak lewat m bangking saja. Raka akan pastikan dulu apakah memang dia pelakunnya. Pamit dulu, Bu.”“Iya hati-hati, Nak. habis itu kamu ke bengkel saja, Alina biar Ibu yang tenangkan. Kasihan pelangganmu lagi rame,” ujarku. Bengkel itu tak pernah tutup meskipun kami ke kota dulu. Ada anggotanya yang menjaga. Namun, tetap saja pelanggan lebih ramai dan puas kalau Raka ada di sana. Dia lebih profesional dibanding teman-temannya.“Oke, Bu.” Raka tak lupa mencium dua balita yang tak lain adalah cucuku, lalu pergi lagi.Sri membawakan segelas air buat adik iparnya. Kubujuk putriku agar mau minum. Perlahan dia mau mengurai pelukan dan meneguk minumannya dengan pelan-pelan.“Ibu tak akan membiarkanku dikurung lagi, kan?” cecarnya. “Enggak, Alin. Kamu akan baik-baik saja, Nak.” Semenjak pulang kampung, Alina masih tidur denganku. Dia takut sendirian di kamar. Untung saja bapaknya pengertian dan tidak memperm
pov Delon.“Hancur, hancur semua harapan gara-gara anak tak berguna itu. Pantas saja ada ada pasangan yang tak punya anak, tapi mereka bisa bahagia. Sedangkan kita punya anak lelaki malah selalu bikin masalah. Rumah tak ada ketenangan.”Papa menjambak rambutnya, lalu mengusap wajah dengan kasar. Aku duduk di samping Mama yang masih pusing gara-gara tak sengaja kutonjok. Ya namanya juga tak sengaja, pastinya Mama gak marah padaku setelah sadar dari pingsannya. Tapi Papa, sejak tadi terus mengomel melebihi emak-emak di komplek saat belanja sayur.Aku menyilangkan kaki, mengutak-ngatik layar ponselku yang menampilkan wajah para gadis cantik. Merekalah pelampiasan hasratku. Andai saja Sri yang menikah denganku, maka tak mungkin aku begini. Aku akn menjaga tubuh dan hati ini hanya untuknya seorang.“Delon, kamu memang gak ada sopannya kalau diajak bicara. Kamu dengar gak sih Papa bicara?”Lelaki tua itu membentakku. Aku berdecak kesal tanpa menoleh padanya. “Dengarlah. Lalu aku harus jawab