“Puas sekali aku melihat kondisimu sekarang, Alina. Sekarang, kalaupun kau mau menikah, tak akan ada lagi yang mau,” kekehnya. “Sekarang, kau tak bisa membalasku, kan? Ayolah berdiri dan tampar wajahku.”Aku membalikkan badan, duduk sambil mengusap lutut yang kesakitan. Lelaki berusia 43 tahun itu menghirup sebatang rokok dan mengepulkan asap di wajahku. Kukibaskan tangan di depan wajah seraya terbatuk-batuk.Dia adalah Bang Laung, anak juragan sawit dari desa sebelah. Lelaki berkumis lebat itu sangat sombong karena menjadi pewaris tunggal kebun orang tuanya yang berhektar-hektar. Sejak dulu suka menggodaku, bahkan ngajakin jadi istri ketiganya dengan terang-terangan. Jelas saja aku tidak mau dan marah-marah padanya. Dia lebih tua 20 tahun dariku dan sudah punya anak banyak. Istrinya saja ada dua. Aku bukan gadis yang mendamba kekayaan secara instan, apalagi harus menggadaikan harga diri menjadi istri ketiga dari lelaki itu. Aku tahu banyak tentang dia karena sering jadi gunjingan pa
Ibu menarik napas panjang dan memelukku. “Akhirnya kamu punya teman, Nak.”“Iya, Bu. Lalu siapa teman Cici dan Ahmad di rumah? Apa Bapak dan Raka sudah pulang?” cecarku, teringat dengan dua bayi yang seumuran itu.Kak Sri berlari duluan dan Ibu mengikuti. “Ayo, kalian pulang sekarang,” seru Ibu ketika dia menoleh dan melihat kami masih berdiri di tampat yang sama.“Ayo, Kak,” ujar anak-anak itu. Kami banyak mengobrol sambil berjalan dan ikut tertawa melihat wajah-wajah polos itu. Dulu saat masih seusia mereka, dalam pandanganku sangat enak jadi orang dewasa. Tidak selalu dibatasin dan bebas mau melakukan apa yang menurutku baik. Sekarang, aku merindukan masa-masa seperti mereka, bisa tertawa bahagia tanpa harus memikirkan persoalan hidup orang dewasa. Tapi beginilah hidup, tidak bisa berhenti dan terus berputar, kecuali kematian yang menghentikan proses di dunia ini.Seperti janjiku pada mereka, aku akan mentraktrir es krim. Tak jauh dari rumah ada warung yang lumayan besar dan terse
“Alin, buka pintunya, Dik! Kakak mau bicara.” Kak Sri mengetuk pintu kamarku dan terus memanggil sampai beberapa kali. “Dik, ayolah jangan begini. Dengarkan dulu penjelasan Kakak agar kamu tak salah paham.” Aku tak menggubrisnya, terus mengusap air mata yang terus mengalir. “Hubungan kami hanya sebatas teman kuliah, Dik. Bukalah pintunya.” “Ada apa, Sri?” suara Ibu terdengar samar. Berarti sudah siap mandi. “Aku mau bicara sama Alin, Bu. Dia salah paham.” “Tentang penyebab Delon menyakitinya?” “Ibu sudah tahu?” Kak Sri terdegar kaget. Sama sepertiku. Kukira Ibu tidak tahu tentang itu. “Nanti saja bujuk lagi agar dia bicara denganmu, Sri. Sekarang biarkan saja Alina sendiri. Ibu yakin kamu tak punya niat buruk padanya. Emosinya belum stabil. Kamu ke depan saja, temani anak-anak,” tutur Ibu. Aku jadi semakin kesal. Kenapa Ibu lebih membela menantunya daripada putrinya sendiri? Aku merebahkan badan di atas ranjang, memejamkan mata hingga akhirnya tertidur. * Aku keluar kamar s
“Alin, buka pintunya, Dik! Kakak mau bicara.”Kak Sri mengetuk pintu kamarku dan terus memanggil sampai beberapa kali. “Dik, ayolah jangan begini. Dengarkan dulu penjelasan Kakak agar kamu tak salah paham.”"Maafin Alin juga, Kak. Tak harusnya aku mencari-cari siapa yang salah dalam hal ini, apalagi sampai menyalahkan Kakak.”Aku memeluknya dan Kak Sri perlahan membalas pelukanku. “Setelah menikah, yang jadi keluargaku bukan hanya suami dan anak, tapi juga mertua dan ipar. Jadi, kamu sama berharganya dengan Bang Raka dan juga Ahmad bagiku. Jangan pernah berpikir kalau Kakak tak sayang padamu, apalagi dengan sengaja tidak mencegahmu ke dalam penderitaan. Itu tidak benar, Alin.”“Iya, Kak. Aku memang salah sangka,” lirihku.“Kakak tak menyalahkanmu, Alin. Ini semua sudah ketentuan yang harus kita jalanai. Jika boleh memilih, tentu kita tak ingin ada masalah yang menimpa. Bahagia di dunia dan masuk surga di akhirat tanpa hisab. Tapi sebagai manusia, kita hanya bisa menngusahakan yang ter
“Alina? Itu beneran kamu kan?” Aku menutup kameranya supaya wajahku tidak terlihat. Menghela napas berkali-kali sampai detak jantungku lebih teratur.“Alina, jangan diam saja!” ujarnya lagi.“Iya, ada apa, Dok?”“Dok? Maksudnya kodok?” Laki-laki itu sepertinya mau mengajak bercanda, tapi aku tak semangat. Rasanya semua sudah berubah sejak membaca suratnya tadi pagi.“Enggaklah, masa kodok? Abang kan dokter.”“Tapi bukan doktermu lagi, kan? Panggil abang saja, ya,” pintanya dari seberang sana. Dari layar ponsel kulihat dia menampilkan wajah memelas sambil menangkupkan tangan di depan dada. Abang? “Cepat buka kameranya, Alina! Abang mau lihat wajahmu.”“Gak usah,” cetusku.“Kenapa? Kamu gak adil nih. Bisa lihat wajahku, tapi aku tidak dikasih kesempatan yang sama.”“Kalau begitu matikan saja telponnya,” balasku tak mau disalahkan. Ini semua kerjaan Bang Raka. Dia dengan sengaja menjebakku supaya bisa bicara dengan sahabatnya. Padahal sudah kubilang tak mau bicara dengan dokter Rian.
Aku bisa melewati halaman, tapi saat mau menaiki teras rumah, aku ragu. Kulihat Bang Raka tetap mengikuti, tapi tak berniat membantu.“Bang! Aku ini adik kandungmu atau anak pungut sih? Aku udah kesusahan mau jalan, malah gak dibantuin,” cetusku.“Makanya kalau butuh bantuan, itu dibilang. Jangan diam saja. Aabang juga tak tahu kali apa yang ada dalam pikiran kamu.” Dia membantuku sambil mengomel. Aku dibantunya duduk di ruang tamu, di dekat bayiku yang sedang belajar menelungkupkan badannya.“Ayo semangat, Nak. Bunda yakin, Cici juga pasti bisa,” ujarku meskipun bayi itu pastinya tak mengerti. Kata dokter, tak ada masalah dengan tulang-tulang putriku. Dia sehat saja, tapi agak terlambat dalam proses pertumbuhannya. Biarlah begini, yang pentingh tak ada maslah serius yang membuatnya lambat berkembang. Mungkin memang ini yang terbaik agar aku sebagai bundanya bisa melihat sendiri tumbuh ekmbang anak mulai dari dia telungkup dan bisa berjalan nanti. Aku harus gigih berlatih supaya bisa
Aku menerima benda persegi di tangannya dengan ragu dan mengusap air mata. “Bang Rian?” desisku. Aku mengerjapkan mata berkali-kali untuk memastikan kalau itu memang dokter yang merawatku pas di rumah sakit.Wak Parman, tukang becak di kampung kami memasukkan dua kardus dan satu tas pakaian warna hitam di dekat pintu, lalu permisi mau pergi nyari sewa lagi.“Rian? Kamu kok bisa tiba-tiba di sini? Padahal tadi malam kita masih ngobrol dan kamu gak bilang apa-apa mau ke sini.”“Biar surprise,” kekeh lelaki yang baru datang dari kota itu.Bang Raka bangkit dan menyalami lelaki berkaus warna hijau dengan garis-garis warna coklat. “Ayo duduklah! Kok bisa tahu rumah ini? Harusnya kalau mau kemari, kabari dulu biar kujemput ke loket.”“Kan dekat dari loket, Ka. Tanya-tanya orang, langsung uwak itu nawarin mau antar ke sini. Pas pula buka rumah ini, sampai-sampai kalian tak tahu kalau aku datang.” Bang Rian tertawa lagi. tak berubah, masih suka tertawa dan tersenyum seperti saat aku masih men
”Silakan minum dulu, Rian!” Ibu membawakan seceret kecil teh manis dan tiga cangkir kosong, lalu mengisinya. Satu untukku, sedangkan Ibu memang kurang suka minum teh manis.“Bentar lagi kita makan, ya. Kebetulan bapaknya Raka lagi keluar. Sebentar lagi juga pulangan kita bisa makan bersama. Ibu masak tumis kangkung, sambel terasi dan juga ikan mas goreng.”“Waduh, mendengarnya saja Rian sudah ngiler, Bu. Padahal tadi udah sempat sararapan.” Lelaki itu terkekeh, melepaskan kaca mata yang sedikit menghalangi ketampanannya. “Ini sedikit oleh-oleh, Bu. Sama jumlahnya dengan yang akan dibawa buat keluargaku. Alasannya seperti yang Ibu aktakan tadi, kita ini adalah keluarga.”Dokter Rian menyodorkan satu kardus indomie yang dilakban dan diikat pakai tali plastik warna hitam, khas warga Indonesia ketika pulang kampung atau merantau. Begitu dibukasama Ibu, aneka makanan sudah berjejal di sana. Saat kami mau pulang hari itu, tak ada yang kepikiran beli oleh-oleh. Mungkin karena niatnya bukan j