Sebuah kantong plastik kecil berwarna putih ia genggam erat di atas pangkuan, sedangkan tatapannya kosong ke sisi kaca. Ia sedang dalam perjalanan pulang dengan menaiki taksi sekarang, meninggalkan si pria diam-diam. Evelyn sengaja pergi sebelum Damian terjaga dari mimpi. Ia tidak bisa tidur semalaman, berbanding terbalik dengan si pria yang begitu nyenyak dibuai impian. Tubuhnya terasa begitu pegal, lengkap dengan mata membengkak sebab tangisan. Ia meratapi kebodohannya dalam diam. Ia merasa tak memiliki harga diri sekarang. Bagaimana mungkin dirinya dengan begitu mudah menyerahkan diri pada pria itu?! Apakah karena dirinya masih memendam cinta yang begitu besar? Sebelum perjalanan pulang, ia telah menyempatkan diri mampir ke apotek terdekat untuk membeli after sex pills. Ya, tentu saja dirinya tidak ingin jika kegiatan intim mereka semalam kembali membuahkan kehamilan. Terlebih Evelyn akan dipersunting oleh Aksa Wijaya keesokan harinya. 'Kumohon batalkan pernikahanmu, Eve. S
Hari pernikahan itu pada akhirnya tiba. Hari yang paling tidak diinginkan oleh Damian Alexander. Pria berdarah Jerman itu telah terlihat tampan dan rapi sekarang, mengenakan sebuah Vest warna cream yang membalut kemeja putih berlengan pendek pas badan lengkap dengan celana bahan hitam; seragam Groomsmen yang diberikan oleh si pengantin pria. Rambut pirang yang ter-pomade membuat penampilannya kian sempurna, berbanding terbalik dengan ekspresi wajahnya.Dengan kedua tangan terselip di saku celana, pria bertubuh tegap itu mengayunkan langkah menuju sebuah ruangan di mana si pengantin pria berada. Damian akan menemui Aksa terlebih dahulu untuk memberikan sepatah-dua patah kata, sebelum ... melancarkan rencananya.Ya, pria itu memang memiliki tujuan lain selain menjadi Groomsmen di acara pernikahan wanita yang ia cintai. Meski beresiko sangat besar, namun ia tak akan mampu jika hanya berpangku tangan melihat si pemilik hati dimiliki pria lain di depan mata kepalanya sendiri. Sampai di ru
Rasa berdenyut di kepala adalah sesuatu yang perlahan membuat kedua mata indah wanita itu membuka. Evelyn terbangun dengan keadaan pusing dan bingung. Ketika tangannya akan bergerak naik untuk mengurut dahi, sesuatu menahan gerakannya. Ah, Evelyn baru sadar jika kedua tangannya terikat oleh seutas tali yang terhubung pada dua tiang penyangga kelambu. Dengan posisi terlentang di atas ranjang, ia menoleh ke kanan dan kiri. Ternyata ia berada di ruangan asing, sebuah kamar mewah bercat cream. Secara refleks ia bergerak gusar dan panik, ingin melepaskan diri.Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa ia bisa berada di sini?"Akhirnya kau bangun juga. Bagaimana tidurmu? Apakah nyenyak?" Ketika sosok si pria berambut pirang muncul dari pintu kamar, pun menyapanya dengan senyuman, ingatan wanita itu kembali seutuhnya. Damian, pria itu telah menculik dirinya di hari pernikahannya!"Kau gila!" Evelyn menyalak ketika mereka bertemu tatap. Gaun pengantin yang semula membungkus tubuhnya, kini telah b
Mobil berwarna silver itu melaju di tengah fajar yang masih kelam. Aksa ada di dalamnya, di balik kemudi, sedang berkendara dengan tak fokus akibat dari begitu banyaknya alkohol yang ia tenggak semalam. Kemeja serta rambut yang acak-acakan dengan bau alkohol yang menyengat melengkapi betapa kacaunya si pria. Sembari mengemudi, salah satu tangannya memegang ponsel, pun fokusnya terbagi ke sana. Ia kembali mencoba menelepon Evelyn, menempelkan alat komunikasi itu di salah satu daun telinga. Satu detik, dua detik, hingga lipatan detik berlalu, namun tak ada jawaban apa pun dari seberang telepon. Lagi-lagi yang ia dapatkan hanya kecewa, nomor wanita itu tak pernah aktif lagi setelah menghilang."Sialan!" umpatan itu teralun secara spontan dengan penuh emosi nan putus asa. Akibatnya, ia tidak menyadari jika ada belokan tajam di depan sana. Ban berdecit dan Aksa refleks membanting setir ke kanan. Ah, hampir saja pria itu terjun bebas ke dalam jurang di sisi jalan. Maka, ia memilih menepik
Terkurung di dalam sangkar emas, begitulah ungkapan yang kiranya dapat Evelyn deskripsikan tentang nasib yang menimpa dirinya. Meskipun ia bebas ke sana-kemari mengelilingi seluruh bagian apartemen tempat dirinya disekap, namun Evelyn hanya memilih berdiam diri di dalam kamar, duduk tanpa kata seraya menatap kosong ke luar jendela dari sisi ranjang.Berbanding terbalik dengan tindakan, pikiran wanita itu melayang. Banyak hal yang menjadi buah pemikirannya, tentang semua hal yang terjadi padanya akhir-akhir ini. Apakah selamanya ia akan terkurung di tempat ini? Apakah ... selamanya ia tak akan bertemu dengan Luna ataupun kedua orang tuanya? Keluarganya?"Sayang, waktunya makan siang. Aku membawakan makanan favoritmu." Detik itu Damian datang, membuka pintu dengan sebuah nampan berisi makan siang, lengkap dengan segelas susu dan jus segar. Senyum yang awalnya terkembang cerah seketika hilang saat menyadari bahwa sarapan Evelyn masih utuh tak tersentuh, masih seperti posisi awal ketika i
Damian Alexander berdiri tegak di sana, memamerkan senyuman seakan tak berdosa. Melihat senyum pria itu, entah mengapa Arjuna justru merasa sedang diejek. Darahnya seakan naik ke ubun-ubun, pun kepalan tangannya mengetat. Bagaimana bisa Damian bersikap begitu tenang setelah menculik anak orang?! Sedangkan Arini segera bangkit berdiri, menyongsong putrinya yang masih saja berdiri mematung di sisi si pria. "Astaga, Eve ... kau baik-baik saja, Nak? Apakah kau terluka?" dengan naluri, wanita baya itu memeriksa wajah sang putri, membelai dengan kecemasan yang tak mampu tersembunyikan. Lalu, atensinya turun menyusuri tubuh kurus itu hingga kedua tangan. "Amankan Eve, Bi. Pria itu, biar aku yang mengurusnya." Arjuna menyela momen penuh rindu antara ibu dan anak itu sembari menyingsingkan lengan baju, kemudian bergegas mendekat, meninggalkan Karenina yang masih duduk di tempatnya. Evelyn sempat membelalakkan mata sebelum mengikuti tarikan lembut tangan sang ibu. Ia merasakan firasat b
Tuhan memang begitu mudah untuk membalikkan telapak tangan takdir. Jalan kehidupan yang semula terasa begitu mulus seketika berganti dengan jalanan terjal berbatu, begitu pula sebaliknya.Kehidupannya yang semula selalu berjalan lancar tanpa hambatan, kini dipenuhi bebatuan terjal. Dengan kesadaran yang semakin menipis, Damian hanya pasrah mengikuti papahan salah satu orang kepercayaan sang ayah, melangkah terseok menuju ruang keluarga.Meski tatapannya memburam, ia bisa melihat bahwa ruang keluarga itu diisi oleh beberapa orang. Ada kedua orang tuanya, pula Kiara dan ibundanya. Mereka sepertinya sedang membicarakan hal yang serius, dan tentu hal itu ada kaitannya dengan dirinya. Firasat Damian semakin memburuk, namun ia harus tetap menghadapinya."Tuan, Tuan Damian kembali." Orang kepercayaan ayahnya berhenti, yang otomatis membuat langkah Damian pun terhenti.Dan atas ucapan keras tadi, semua orang yang ada di ruangan itu menoleh serempak. Adalah Sasmitha orang pertama yang histeris
Rutinitas Evelyn tidak pernah berubah selama Luna ada bersamanya. Sebelum si balita menjemput mimpi, ia biasa membuatkan susu untuk si kecil terlebih dahulu. Segelas susu hangat dapat membantu seseorang tidur dengan lebih baik, itu yang ia tahu. Ia ingin memberikan semua hal terbaik untuk putrinya.Langkahnya terayun ringan menuju dapur, namun gerak kakinya terhenti saat kedua matanya menangkap presensi Arjuna. Pria dengan rambut gondrong terkuncir rendah itu sedang berdiri membelakanginya, sedang membuat kopi di depan pantry. Evelyn terdiam sejenak demi mengamati. Pria itu terlihat kurang baik, bahkan bubuk kopi yang dituang ke dalam gelas tampak berceceran di atas permukaan meja. Jujur saja ia sedikit merasa sungkan pada si Tuan rumah, apalagi semenjak ia kembali usai penyekapan."Ah, sial!" umpatan itu masuk ke dalam telinga Evelyn. Arjuna yang sedang kesal membanting cangkirnya, menciptakan suara gelegar yang cukup nyaring, pun keterkejutan bagi si wanita."Biarkan aku yang membu
Punggung wanita itu tak pernah luput dari penglihatannya, sedang membelakanginya. Sang ibu sedang menciptakan resep baru, tampak begitu sibuk berkutat di depan kompor. Aroma masakan yang tercium begitu lezat membuat Evelyn betah berlama-lama di sana."Apakah sudah selesai, Ma?" dari posisinya yang sedang duduk di kursi meja makan sambil bertopang dagu, Evelyn bertanya. Ia memang sedang menunggui ibunya memasak."Tunggu beberapa menit lagi." Arini menjawab, tak menoleh sedikit pun ke belakang.Karena sedikit merasa bosan, Evelyn bangkit berdiri kemudian mendekat pada sang ibu, berdiri di sampingnya. Ia menatap ke dalam panci, kemudian mencium dalam-dalam aroma yang menguar dari sana. Ah, ibunya sedang memasak mie dengan kuah gelap nan kental bertabur berbagai jenis seafood, menu baru yang belum diberi nama. "Wah, aku jadi tidak sabar ingin mencicipi resep baru Mama. Pasti enak!" Senyum manis mengurva, terlukis begitu indah menghiasi wajah Evelyn."Sudah pasti. Siapa dulu kokinya?" san
Gerbang sekolah Taman Kanak-kanak menyambut pandangan mata birunya. Damian memang berinisiatif menjemput Luna, maka ia datang lebih cepat dari waktu biasanya Burhan menjemput sang putri.Hari-hari paling menyebalkan telah berlalu dan Damian kini telah kembali pulih seperti sedia kala. Ia sembuh dengan cepat, beruntung hasil pemeriksaan terakhir menunjukkan bahwa dirinya telah benar-benar sehat. Seiring stres yang berkurang, dirinya pun semakin tersenyum lepas.Damian menepikan mobilnya di seberang jalan. Masih ada beberapa menit lagi sebelum bel pulang sekolah putrinya berbunyi dan ia memilih untuk menelepon Evelyn. Ah, mengingat seraut wajah itu membuat senyum si pria semakin cerah saja. Ia segera meraih ponsel di saku celana, segera mencari kontak nomor si wanita tercinta untuk melakukan panggilan. "Halo?" dan dari ujung telepon sana, suara merdu yang sangat Damian hafal menyapa telinganya."Aku sedang berada di depan sekolahan Luna. Jika aku menjemputnya, kau tidak keberatan, buka
Angin malam yang berembus tak mengurangi keyakinan pria dewasa itu. Meski dingin menggigit, tak membuat nyalinya menciut. Ah, bahkan andai angin topan yang bertiup pun akan dirinya terjang sekarang. Semua ia lakukan demi putra satu-satunya. Bennedict Alexander baru saja menuruni mobilnya, kini berdiri tepat di depan gerbang kediaman keluarga dari wanita yang putranya cinta. Ia sudah memikirkan matang-matang tentang keputusannya ini, ia akan bertindak. Ia hanya berharap bahwa keberuntungan akan menyertainya malam ini.Tangan kanannya terangkat demi memencet bel. Dan tak berselang lama, sang Tuan rumah keluar dari pintu utama. Pria baya itu memandang ke arahnya lengkap dengan kening berkerut, pun raut muka terkejut. Bennedict segera mempersiapkan diri jika seandainya Burhan Adhitama kembali naik pitam atas kedatangannya."Untuk apa Anda datang malam-malam begini?" Burhan menggeser gerbang saat bertanya dengan nada ketus.Bennedict menatap tepat di mata sebelum mengutarakan tujuan kedat
Selembar tisu yang pada awalnya putih bersih kini dihiasi bercak merah terang. Darah yang mengalir dari luka di jari Evelyn adalah sesuatu yang mewarnainya. Ternyata ia menggores jarinya terlalu dalam.Seraya mencoba menghentikan perdarahan dengan membalut lukanya menggunakan tisu, wanita itu datang menemui ayahnya di ruang keluarga. Pria baya itu sudah menunggu dirinya sedari tadi seraya melihat acara di televisi. "Duduklah, Papa ingin berbicara." Burhan Adhitama segera membuka kalimat ketika Evelyn sudah mendekat. Ia menepuk permukaan sofa lembut di sisinya."Di mana Luna?" Wanita beranak satu itu mendudukkan diri di sisi ayahnya, sesuai perintah."Sudah masuk ke kamar dengan Mama, Papa hanya ingin berbicara empat mata denganmu." Kernyit tercipta di dahi Burhan ketika pada akhirnya ia melihat jari Evelyn terbungkus tisu bercorak merah. "Apa yang terjadi dengan tanganmu?""Aku tak sengaja melukainya saat mengiris apel."Mata tua Burhan kini menyorot dalam pada kedua mata putrinya, s
Mentari telah hampir tenggelam seluruhnya ketika Bennedict Alexander sampai di parkiran hotel tempat Damian menginap. Putranya telah mengirimkan alamat hotel itu hampir satu jam yang lalu, maka setelah urusannya selesai, pria baya nan tampan itu segera meluncur ke sana."Tinggalkan saja mobilnya di sini, kalian boleh kembali ke Jakarta." Bennedict berucap demikian setelah turun dari mobil yang ia naiki."Siap, Tuan! Ini kunci mobilnya." Satu orang yang menjadi pemimpin kaki-tangannya, pun seseorang yang tadi mengemudikan mobilnya menyerahkan kunci. Dua orang lainnya berdiri siaga di belakang pria itu. Sedangkan Bennedict menerima kunci mobilnya begitu saja, lalu memasukkannya ke dalam saku celana sebelum berbicara. "Kerjakan tugas kalian dengan baik selama saya tidak ada di tempat," perintahnya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh orang-orangnya kemudian kembali bersuara. "Yang harus kalian ketahui, meskipun saya tidak berada di sana, saya masih akan tetap memantau kinerja kalian. Ja
Damian Alexander adalah seseorang yang lebih dahulu keluar dari pintu restoran tempat dirinya dan sang ayah mengisi perut siang ini. Setelah mereka angkat kaki dari rumah Burhan Adhitama, Bennedict Alexander memang berinisiatif mengajak putranya untuk mampir makan siang terlebih dahulu. Sebagai ayah, tentu Bennedict merasa khawatir melihat tubuh sang putra semakin kurus setiap harinya.Dan di sinilah mereka, di area parkir restoran yang cukup luas di tengah terik sang surya. Si pria muda berdarah Jerman itu masuk ke dalam mobil hitam yang ia sewa selama tinggal di Surabaya dengan tanpa kata. Melihat putranya telah berada di balik kemudi, Bennedict segera memberikan perintah pada seseorang yang sedari tadi mengikuti di belakang punggungnya."Tunggu di mobil, saya akan segera kembali."Perintah diterima, pria tinggi berjas abu-abu itu mengangguk patuh. "Baik, Tuan."Selanjutnya Bennedict bergegas menuju mobil putranya. Ia membuka pintu penumpang bagian depan, ikut masuk ke dalam mobil k
Kacamata hitam itu ia lepas kasar lalu diselipkan pada saku jas. Selanjutnya hela napas rendah terembus ketika ia mencoba bersikap tenang. Ya, ia harus tetap mampu mengontrol emosinya kendati ia cukup merasa kesal ketika melihat tingkah si putra semata wayang di depan sana.Pria matang itu adalah Bennedict Alexander. Ia datang dan mengikuti Damian sesuai janjinya; ia akan membantu putranya untuk meraih kebahagiaan. Dan kebahagian cetak biru dirinya itu adalah bersatu dengan Evelyn beserta Luna, maka sebagai seorang ayah tentu ia akan mengusahakannya dengan cara apa pun agar mampu mewujudkan impian sang putra.Sejujurnya Bennedict memiliki alasan yang kuat selain karena kasih sayangnya sebagai seorang ayah sehingga repot-repot datang ke Surabaya. Ia merasa bersalah. Ia sadar bahwa setelah kematian Darren Alexander, ia memperlakukan Damian dengan semaunya. Kasarnya, ia ingin menebus kesalahannya pada si putra bungsunya itu.Langkah panjang itu memutus jarak dengan tenang, lalu berdiri d
"Kau harus selalu mengingat apa kata Psikolog padamu." Obrolan itu mengalir di sela perjalanan menuju ke tempat parkir. Satu sesi konseling telah terlewati, dan kini mereka hendak kembali ke rumah."Iya." Pria berwajah oriental itu mengangguk, menyelaraskan langkah kaki dengan sang ibu, melewati jalan paving berpayungkan teduhnya pohon Tabebuya di sekitarnya."Jangan hanya diingat, kau harus melakukannya juga, Aksa." Lian Wijaya menyempatkan dirinya menatap sisi wajah tampan nan tirus itu, lengkap dengan ekspresi serius.Namun, putranya itu justru terkekeh kemudian berhenti melangkah demi memberikan atensi penuh pada wajah ibunya. "Baiklah, Mama. Aku akan melakukannya. Jangan khawatir begitu.""Kau satu-satunya putra Mama, Aksa. Mama hanya khawatir.""Aku tahu." Anggukan kepala Aksa berikan sebelum menyimpan kedua tangan di saku celana, bibir tipisnya mengukir senyum simpul. "Maaf karena aku sudah membuat Mama khawatir begini. Aku akan segera sembuh, seperti apa yang Psikolog katakan
"Kau sangat menyedihkan, Aksa!" kalimat itu lolos dari mulutnya ketika melihat pantulan dirinya sendiri di dalam cermin.Tatapan mata sehitam jelaga itu tak lagi berkharisma. Bagian bawah matanya yang menghitam menjadi bukti bahwa akhir-akhir ini pria itu tak pernah mendapati tidur yang nyenyak. Aksa Wijaya tampak kurus setelah gagal menikah. Dan kondisinya semakin memprihatinkan setelah menerima telepon dari Evelyn beberapa hari lalu.Suara ketukan di pintu kamarnya membuat atensi Aksa teralihkan. Sosok ibunyalah yang muncul dari balik daun pintu, menatap khawatir padanya."Mama," lirihnya.Lian Wijaya, ibunda Aksa mengalihkan tatapan mata pada nakas di sisi ranjang anaknya. Semangkuk sup jamur dan segelas air putih di atas nampan yang ia letakkan di sana pagi tadi tampak sedikit pun tak tersentuh. Sorot mata tua nan sipit itu seketika berubah sendu ketika mulai memutus jarak pada pria yang masih setia berdiri di depan cermin almarinya. "Kenapa sarapanmu masih utuh, Aksa?""Aku sedan