Ketika Andini bangun keesokan harinya, luka di kepalanya terasa lebih menyakitkan dari kemarin. Rasa sakit itu begitu hebat hingga membuat sekujur tubuhnya lemas dan tidak berdaya.Sebaliknya, Laras justru terlihat penuh semangat. Setelah membantu Andini mandi, dia pergi menghidangkan sarapan untuk gadis itu.Andini menyembunyikan rasa lemas di tubuhnya agar Laras tidak khawatir. Setelah menanyakan kondisi Ainun dan mendengar bahwa wanita itu baik-baik saja, dia baru merasa tenang dan mulai sarapan.Dari sudut matanya, Andini melirik Laras. Gadis itu terlihat ragu-ragu untuk bicara.Melihat ini, Andini menaruh peralatan makannya dan berkata, "Kalau ada yang ingin kamu sampaikan, langsung saja bicara."Laras mendekat dan berucap pada Andini, "Nona, hampa dengar Tuan Abimana dan Nona Dianti berlutut di aula leluhur semalaman. Tapi, pagi ini Nona Dianti nggak kuat lagi dan jatuh pingsan."Ternyata begitu. Andini mengambil peralatan makannya lagi sambil berujar, "Tubuhnya rapuh juga."Dian
"Nggak perlu," ujar Andini sambil menahan Laras. Dia mengernyit, lalu perlahan membuka matanya. Setelah pandangannya kembali jernih, dia baru melanjutkan, "Aku hanya pusing karena tiba-tiba berdiri."Hal ini pernah Andini alami sebelumnya saat dia berada di penatu istana. Asalkan dia duduk dan beristirahat sebentar, dia akan segera pulih.Laras tetap berkata dengan cemas, "Kepala Nona dipukul dengan keras kemarin. Lebih baik minta tabib kediaman memeriksanya!"Andini perlahan berdiri, lalu berkata sambil tersenyum, "Tabib kediaman mungkin ada di tempat Nenek. Ayolah, kita ke sana."Laras merasa kata-kata majikannya cukup masuk akal. Dia pun mengangguk dan datang untuk menopang Andini.Andini merasa Laras terlalu berlebihan. Dia masih bisa berjalan sendiri! Jadi, setelah meninggalkan Paviliun Ayana, dia melepaskan pegangan Laras.Paviliun Ayana terletak di sisi barat Kediaman Adipati, Paviliun Persik di sisi timur, dan paviliun Ainun berada di tengah-tengah.Laras berkata bahwa Dianti j
Dianti terlihat kian lemah di bawah perlindungan Rangga. Dia meringkuk di belakang tubuh pria itu, bahkan tidak berani mendongakkan kepalanya.Andini tidak tahan melihatnya dan diam-diam mengumpat di dalam hati. Hatinya makin jengkel. Dia lalu berkata dengan nada dingin, "Nenek nggak mau melihatmu, lebih baik kamu kembali!"Mungkin karena merasa dilindungi Rangga, Dianti menjadi lebih berani. Dia menjulurkan kepalanya dan membalas Andini, "Kakak bukan Nenek. Dari mana Kakak tahu kalau Nenek nggak mau melihatku?"Ekspresi Andini seketika berubah muram. Dia langsung menghampiri Dianti sambil berkata dengan dingin, "Apa kamu sudah melupakan apa yang kamu lakukan?"Melihat Andini mendekat, Dianti langsung mengingat momen menakutkan saat dia ditekan ke tanah dan dipukuli kemarin. Dia kembali bersembunyi di belakang Rangga dan meremas erat pakaian pria itu, seolah-olah sekujur tubuhnya sedang gemetar."Aku datang ke sini untuk meminta maaf sama Nenek," ujar Dianti.Merasakan ketakutan gadis
Dianti tahu bahwa Andini hanya ingin memprovokasinya. Namun, dia juga tidak bisa tinggal diam lebih lama lagi.Memang Abimana-lah yang memberikan ide agar Dianti pura-pura pingsan. Meski begitu, kata-kata ini pasti tetap akan menyakiti hati kakaknya. Dia tidak ingin kakaknya salah paham padanya!Dianti menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "Kak Andini nggak perlu memprovokasiku seperti ini. Aku akan berlutut lagi di aula leluhur! Tapi, aku benar-benar menyesali kesalahanku. Kalaupun Nenek nggak mau menemuiku, aku tetap ingin minta maaf!"Usai berkata begitu, Dianti berlutut ke arah paviliun Ainun. Air matanya berlinang saat dia berujar dengan suara lembut, "Nenek, Dian sudah tahu salah. Kelak Dian nggak akan berani buat Nenek marah lagi. Tolong maafkan Dian!"Selesai bicara, Dianti bersujud tiga kali menghadap paviliun Ainun. Sujud dan air matanya benar-benar membuat orang iba melihatnya.Andini rasa, Dianti mungkin berpikir tindakannya ini sangat berbakti, tulus, dan menyentuh. Nya
Kejadian ini kebetulan terlihat oleh Dianti yang terus-menerus menoleh ke belakang. Dianti seketika terbelalak. Dia tidak mengerti kenapa Rangga dan Andini tiba-tiba berpelukan.Suara Nayshila seketika terngiang di benak Dianti. Nayshila mengatakan bahwa Andini sengaja menggoda Rangga.Jadi, Andini menyuruh Dianti berlutut di aula leluhur untuk menjauhkannya, lalu bisa menggoda Rangga dengan mudah?Hati Dianti sangat kalut. Dia ingin menghampiri dua orang itu dan bertanya kepada mereka. Namun, dia juga sangat takut. Ucapan Rangga di Jalan Semira terngiang di telinganya.Dianti kurang lebih tahu apa yang dipikirkan Rangga. Dia takut jika dirinya bertanya langsung, dia akan terlihat seperti istri pertama yang tidak dicintai. Dia juga takut Rangga akan berpihak pada Andini dan akan melindungi Andini seperti melindunginya barusan.Jika benar-benar seperti itu, bukankah posisi Dianti dan Andini akan berubah drastis di hati Rangga? Tidak, dia tidak ingin itu terjadi!Dianti mengizinkan Rangg
Tatapan Rangga tertuju pada Laras dan akhirnya teralihkan dari Andini."Memangnya kamu siapa?" tanya Rangga dengan dingin. Saking dinginnya, Laras sampai mundur dan tidak berani berbicara lagi. Laras takut jika dia melontarkan sepatah kata lagi, lidahnya akan dipotong oleh Rangga.Laras hanya bersyukur karena ini adalah Kediaman Adipati. Semarah apa pun, Rangga seharusnya tidak akan menyakiti Andini.Rangga kembali menatap Andini. Di dalam benaknya, wajah gembira saat melihatnya dulu dan wajah ketakutan sekarang perlahan-lahan menyatu. Perasaan aneh tiba-tiba muncul di hati Rangga. Rasanya makin kuat.Rangga mengernyit dan bertanya dengan suara rendah, "Kamu yang kemari atau aku yang ke sana?"Rangga ingin memakai ancaman untuk mendapatkan kembali kendali atas Andini. Tidak disangka, Andini hanya berdiri diam di tempat.Andini tidak mengerti apa maksud Rangga menanyakan hal ini. Namun, dia sudah tahu jawabannya."Jenderal Rangga, kamu nggak perlu kemari. Aku juga nggak akan ke sana. Ja
Andini akhirnya bertemu dengan Ainun. Ketika Andini datang, kebetulan Ainun baru minum obat. Dia sedang duduk bersandar di tempat tidur dengan lemas. Begitu mendengar Farida mengatakan bahwa Andini datang, Ainun seolah-olah mendapatkan kekuatan dan segera duduk dengan tegak."Nenek," panggil Andini sambil segera masuk.Sebelum datang, Andini sudah meminta diri sendiri tidak boleh menangis saat bertemu dengan Ainun. Dia tidak mau membuat Ainun sedih. Namun, ketika melihat Ainun sangat kurus dan lemah, air mata Andini malah menetes.Padahal waktunya belum lama! Ainun terlihat sangat berbeda dibandingkan saat Andini pertama kali kembali ke Kediaman Adipati. Ainun bukan hanya tampak pucat, tetapi tubuhnya juga memancarkan aura seperti akan meninggal.Setelah melihat Ainun sekilas, Andini merasa hatinya sangat hancur. Ainun malah tersenyum. Dia menyeka air mata Andini seraya berkata, "Cucuku yang baik, kamu sudah menderita ...."Ainun tidak tahu masalah Kirana memukul kepala Andini. Saat in
Baskoro mengajak Andini bertemu lagi. Meskipun pertemuan terakhir mereka bukan kesalahan Baskoro, tetapi hal itu tetap meninggalkan kesan kelam bagi Andini. Jadi, Andini benar-benar tidak ingin menghadiri pertemuan itu.Namun, ketika memikirkan dirinya belum bertemu dengan Baskoro sejak saat itu, wajar jika Baskoro mengkhawatirkannya dengan status sebagai calon suami. Jika tidak pergi, rasanya Andini tidak berperasaan.Ketika Andini sedang dilema, Laras berujar, "Nona, sebentar lagi musim semi. Nggak baik juga Nona terus tinggal di dalam Paviliun Ayana. Gimana kalau Nona keluar jalan-jalan untuk menyegarkan pikiran?"Benar. Berada di dalam Paviliun Ayana sepanjang hari memang tenang, tetapi rasanya juga tertekan. Jadi, Andini mengangguk setuju.Baskoro mengajak Andini bertemu di Danau Mardani yang berada di sebelah timur kota. Cuaca hari ini bagus, tidak ada angin. Cahaya matahari yang menyinari tubuh memberikan sedikit kehangatan.Ketika melihat permukaan danau yang berkilauan dan bin
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it
Rangga pernah menculik Andini dan akhirnya membuat Andini terjatuh ke Sungai Mentari. Dendam itu masih terus disimpan Laras di dalam hati sampai sekarang.Meskipun statusnya hanyalah seorang pelayan biasa dan tak bisa berbuat apa-apa pada Rangga, jangan harap dia bersedia mengikuti Rangga!Selesai bicara, Laras pun membalikkan badan dan melangkah ke arah Kalingga. Kalingga masih tidak mengatakan apa-apa. Setelah mendengar kata-kata Laras barusan, seulas senyuman tipis tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.Senyuman ringan itu, sekalipun sangat tipis, tetap menyakitkan mata Rangga. Dia tidak mengerti. Kenapa Andini tidak mau bersamanya, bahkan pelayannya pun menolaknya?Rangga sontak melangkah maju, hendak menarik tangan Laras. Namun, baru satu langkah diambil, terdengar suara Kalingga yang datar. "Rangga."Hanya satu panggilan pelan, tetapi makna ancamannya sangat jelas. Apabila Rangga benar-benar menahan Laras, Kalingga pasti akan bertindak.Rangga pun berhenti. Aura yang dipancarkan
Jabal mencari tiga kuda terbaik dari kediaman dan berangkat malam itu juga menuju lokasi yang berjarak lebih dari 50 kilometer.Perjalanan tidak sepenuhnya mulus. Mayat perempuan itu ditemukan di sebuah desa kecil. Ketika mereka tiba, matahari sudah bersinar terik.Di luar desa, anak buah mereka sudah menunggu. Begitu turun dari kuda, Kalingga segera masuk ke desa. "Di mana?""Masih di tepi sungai," kata anak buah itu sambil menurunkan suaranya. "Jenderal Rangga juga ada di sana."Mendengar itu, Kalingga sempat tercengang sejenak. Dia mengikuti arah yang ditunjuk. Benar saja, di tepi sungai tak jauh dari sana, terlihat Rangga sedang membuka kain putih penutup mayat. Wajahnya memperlihatkan ekspresi jijik.Melihat itu, Kalingga merasa lega. Dari ekspresi Rangga, seharusnya itu bukan Andini. Namun, detik berikutnya, hatinya kembali diliputi amarah. Informasi itu datang dari bawahannya sendiri, kenapa Rangga bisa lebih dulu sampai di sini?Di belakang, Laras yang melihat mayat tertutup ka
Tingkah mereka yang berpura-pura mabuk tadi memang tak terlihat mencurigakan. Namun, akting setelah mereka "sadar" barusan sungguh buruk. Beberapa dari mereka bahkan langsung terbangun, padahal tidak disiram.Andini mengernyit pelan saat memikirkan hal ini, lalu secara refleks menoleh ke arah jendela. Di sana, dia melihat sosok tinggi besar itu berjalan ke arah barat, menuju ke bawah atap.Dia tak ingin berpikiran buruk tentang orang lain, tetapi saat itu di halaman hanya ada dia seorang yang bukan dari kalangan mereka. Mereka semua pura-pura mabuk, jelas-jelas untuk diperlihatkan kepadanya.Kenapa? Sedang mengujinya? Apakah karena sebelumnya dia secara tidak sengaja menunjukkan sedikit kemampuan bela dirinya?Namun, jika Surya hanya pemburu biasa, bagaimana mungkin dia bisa terpikir menggunakan cara semacam ini? Jangan-jangan identitasnya pun tidak sesederhana itu?Begitu benih kecurigaan tertanam, hal itu mulai tumbuh liar dalam hati. Andini berusaha keras mengingat semua kejadian se
Andini sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di belakangnya. Begitu keluar dari pagar bambu, kaki kirinya terasa sakit lagi. Langkahnya semakin pincang. Sebelum berjalan jauh, dia sudah mulai memanggil, "Bi Endah! Bi Endah!"Dia sama sekali tidak tahu, sebelum dia membuka mulut, sebilah belati nyaris menyentuh leher putihnya dari belakang, hanya sedikit lagi sudah akan menggorok tenggorokannya.Namun, saat dia memanggil nama Endah, belati itu tiba-tiba ditarik mundur, lalu pemiliknya buru-buru kembali ke dalam halaman.Tak lama kemudian, lampu di rumah Endah kembali menyala. Wanita itu bertanya, "Ada apa? Ada apa ini?"Andini memandang Endah dengan wajah penuh rasa bersalah. "Kak Arjuna dan teman-temannya mabuk semua, mereka tidur di luar. Aku khawatir mereka masuk angin kalau tidur di luar. Bisa Bibi bantu aku?"Di dalam pagar, para pria yang mendengarnya saling melirik, masing-masing mulai merasa bersalah."Aduh, ya sudah, aku ke sana sekarang!" sahut Endah cepat-cepat. Tak la
Kata "orang kasar" benar-benar mewujud saat ini. Andini sempat terpaku menatap mereka.Surya membelakangi Andini, tentu saja tidak menyadarinya. Namun, pria yang duduk di depannya melihat tatapan Andini, lalu melirik ke arah Surya dan mengangkat dagunya sedikit.Surya pun menoleh. Ketika melihat Andini sedang tersenyum sendiri ke arah mereka, Surya seperti baru menyadari sesuatu. Dia mendorong pria di sampingnya. "Tenang sedikit."Baru saat itu, rombongan pria itu menyadari bahwa masih ada seorang perempuan di sini. Mereka buru-buru minta maaf."Maaf ya, Nona. Kami ini orang-orang kasar, mulut kami kadang suka seenaknya!""Iya, Nona. Kalau tadi ada kata-kata yang nggak enak didengar, anggap saja kami cuma kentut!""Kamu yang kentutnya paling bau, hahahaha!""Sialan kamu!"Suasana kembali ceria, penuh tawa dan canda. Andini memandangi para pria itu. Meskipun kasar dan berisik, kehangatan dan keharmonisan ini adalah sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya.Andini pun tersenyum lem
Surya pertama kali turun ke medan perang saat usianya baru enam belas tahun.Sebagai seorang pangeran, ibunya tidak memiliki latar belakang yang kuat. Dia tahu dalam perebutan takhta, dirinya tak mungkin bisa menyaingi para kakaknya. Jika terus tinggal di ibu kota, mungkin suatu hari nanti dia akan menjadi mangsa di tangan orang lain.Karena itu, dia mengajukan diri untuk menjadi prajurit garis depan di bawah komando jenderal besar saat itu.Tahun itu, suku Tru sering mengganggu perbatasan. Rakyat Negara Darsa sangat menderita karena kekacauan itu.Dia memacu kuda di barisan paling depan, menyerbu ke medan perang. Pedang besarnya berayun liar. Saat bilah tajam itu menebas tubuh musuh, dia bahkan bisa mendengar jelas suara tulang yang terbelah.Darah hangat memercik ke wajahnya, dunia seolah-olah berubah merah seketika. Dia mendengar detak jantungnya sendiri begitu keras, tetapi tak bisa membedakan apakah itu karena takut atau justru karena gairah.Di medan perang yang kejam, di mana hi
Sambil bicara, Surya menoleh ke arah para pria kekar di belakang Anom, lalu berkata, "Kalian lakukan sendiri. Di sana ada kapak dan parang."Setelah itu, dia pun berbalik dan berjalan ke samping. Beberapa pria itu langsung maju dan menangkap Anom.Anom ketakutan setengah mati, berteriak dan menangis sambil terus memohon ampun. Namun, kekuatan para pria itu terlalu besar. Tangan Anom ditarik dan ditekan ke tanah.Kapak pun diangkat tinggi-tinggi, memantulkan kilatan dingin cahaya, lalu dihantamkan dengan keras."Argh!" Anom menjerit. Bagian selangkangannya langsung terasa hangat, seluruh tubuhnya jatuh lemas ke tanah. Namun ... ternyata tangannya masih utuh.Salah satu pria berkata dengan dingin, "Kalau masih berani ulangi lagi, kami nggak akan biarkan begitu mudah!"Pria lain mengeluarkan kantong uang dari balik bajunya dan menyerahkannya kepada Surya. "Ini, Kak.""Terima kasih. Kalian makan saja dulu sebelum pergi," ucap Surya."Siap! Nanti teman kita akan bawa daging dan arak ke sini
Endah masih terus menangis. Surya tidak tahu harus bagaimana menenangkannya. Meskipun sosoknya besar dan kekar, dia justru tampak kewalahan saat berdiri di samping Endah.Akhirnya, Andini yang menenangkan Endah untuk beberapa saat. Suasana hati Endah pun membaik. Melihat waktu sudah tidak pagi lagi dan dia masih harus turun ke ladang, Endah pun tidak berlama-lama di situ.Setelah mengantar Endah pergi, Surya menuju ke sisi barat halaman dan mulai sibuk bekerja. Dia berencana membangun atap untuk berteduh. Soalnya kalau hujan turun, dia tidak punya tempat untuk tidur.Melihat Surya sesibuk seperti itu, Andini akhirnya tak tahan untuk bertanya, "Kak Arjuna, kamu benar-benar percaya kalau Anom ambil uang itu buat bayar utang?"Uang itu bukan hasil kerja Andini, jadi dia merasa tidak berhak ikut campur. Namun, dia juga tidak tega melihat penyelamatnya ditipu.Tangan Surya tak berhenti bekerja, suaranya terdengar dalam dan tenang. "Dia pergi judi."Mendengar itu, Andini terkejut. "Kalau beg