Hanya satu persimpangan lagi, mereka akan sampai di Jalan Semira. Andini melihat ke arah kerumunan di depan. Kondisinya memang penuh sesak hingga tidak ada celah sama sekali. Akhirnya, dia pun menjawab singkat, "Oke."Andini dan Laras turun dari kereta. Dia berpesan kepada kusir agar datang menjemput mereka nanti, lalu berjalan mengikuti arus orang menuju Jalan Semira. Meskipun belum sampai ke Jalan Semira, di sepanjang jalan sudah banyak lapak kecil yang menjual berbagai barang unik dan menarik.Laras yang masih muda langsung terpikat oleh suasana itu. Dia mendadak berhenti, lalu memberi tahu Andini, "Nona, lihat! Topeng ini cantik sekali!"Laras menghampiri salah satu lapak dan mengambil mengambil sebuah topeng dengan pola riasan opera tradisional. Dia menambahkan, "Kalau Nona memakainya, pasti bagus banget!"Andini sebenarnya tidak terlalu menyukainya. Dia sedikit mengernyit, tetapi Laras sudah membeli topeng itu sebelum dia sempat berkata apa-apa. Dengan penuh semangat, dia menyera
Lagi-lagi seperti ini. Saat ini, hanya beberapa kata itu yang muncul di benak Andini. Dia paling tidak tahan melihat Dianti dengan ekspresi seperti ini.Melihat Andini menatapnya, Dianti akhirnya melangkah maju dengan ekspresi malang. Dia membungkuk hormat kepada Andini sambil berucap, "Salam hormat pada Kakak."Suara Dianti terdengar sedikit tersendat, seperti menahan tangis. Air matanya tidak tumpah, melainkan hanya menggantung di pelupuk mata. Ekspresi Dianti membuat siapa pun yang melihatnya merasa iba.Nayshila langsung bereaksi lebih dulu dengan berucap, "Dian, kenapa kamu begitu baik? Dia jelas-jelas berusaha merebut tunanganmu, tapi kamu malah menyapanya dengan sopan! Kalau jadi kamu, aku pasti sudah menamparnya!"Kerumunan orang di sekitar masih bergerak, tetapi langkah mereka melambat karena perkataan Nayshila. Sepertinya tidak ada yang ingin melewatkan drama "dua wanita memperebutkan satu pria" ini.Dianti melirik Andini dengan gugup, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Di sis
Rangga tiba-tiba bertanya lagi dengan nada dingin, "Di mana pelayanmu?"Andini menoleh ke belakang untuk melihat, lalu membalas dengan santai, "Entah, mungkin dia lagi keluyuran.""Hmph!" Meskipun mulut Nayshila masih ditutup dengan tangan, dia tetap tak kuasa mendengus seolah-olah menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak percaya.Andini malas meladeninya. Sebelum dia sempat mengatakan sesuatu, Rangga sudah mendahului, "Hari ini ramai banget. Berjalan sendirian nggak aman. Ayo, kita jalan bareng."Rangga bisa-bisanya ingin mengajaknya bersama untuk melihat lentera? Mata Dianti langsung membelalak. Air matanya pun mengalir lebih deras.Nayshila yang tadi berusaha menutup mulutnya, akhirnya tidak bisa menahan diri. Dia berseru, "Kakak!"Hanya saja setelah diperingatkan sebelumnya, Nayshila tidak berani menambahkan sepatah kata pun. Saat itulah, Laras akhirnya muncul kembali di sisinya. "Nona!"Andini menoleh dan melihat pelayannya membawa banyak barang. Ada manisan buah, kue ketan, dan se
Saat Rangga mengucapkan kalimat itu, sorot matanya begitu penuh dengan emosi hingga perasaan yang dia pendam terlihat begitu jelas.Meskipun Dianti hanya berdiri di sampingnya dan tidak bisa melihat matanya secara langsung, dia tetap bisa merasakan hasrat dalam dirinya. Itu adalah hasrat terhadap Andini.Suasana hati Dianti sontak menjadi kacau. Dia akhirnya menyadari bahwa Rangga benar-benar memiliki perasaan terhadap Andini. Lalu, bagaimana dengan dirinya? Apakah Rangga pernah menganggapnya penting?Perasaan sedih dan tertekan mengalir deras di hatinya. Dianti segera menunduk dan membiarkan air matanya jatuh satu per satu ke jalan.Namun tiba-tiba, sebuah saputangan muncul di depan matanya. Itu adalah saputangan milik Rangga. Jantung Dianti berdegup kencang. Dia meraih saputangan itu dengan hati-hati.Suara Rangga yang dingin pun terdengar. "Ayo pergi."Setelah berkata begitu, Rangga langsung berjalan ke depan tanpa menoleh. Di sisi lain, Dianti memegang saputangan itu sambil memanda
Melihat Dianti yang kini wajahnya penuh kebahagiaan tanpa jejak kesedihan dan air mata sebelumnya, Andini hanya bisa mendengus dingin dalam hati.Entah apakah Dianti sengaja menunjukkan ekspresi itu kepadanya atau mungkin Rangga memiliki cara untuk membuat Dianti kembali ceria dalam waktu singkat. Namun, semuanya tidak ada hubungan dengan dirinya.Saat pikiran itu melintas di benak Andini, pintu ruangan pribadi tiba-tiba terbuka. Laras segera bergerak ke belakang Andini, sementara Andini sendiri bangkit berdiri dan sontak bersiap untuk memberi hormat.Akan tetapi, gerakan Andini terhenti begitu melihat siapa yang masuk. Bukan Baskoro, melainkan dua pria berbadan besar dengan tubuh kekar. Jelas, mereka adalah orang yang terbiasa berlatih bela diri.Andini langsung memasang wajah dingin. Dia bertanya, "Siapa kalian? Apa kalian tahu aku ini ...."Salah satu pria menyela, "Nona Besar Keluarga Adipati, 'kan?"Andini sontak terkejut. Awalnya, dia mengira kedua pria itu hanyalah orang-orang k
Melihat kedua pria itu hendak mendekatinya, Andini akhirnya berseru dengan tegas, "Tunggu!"Dada Andini naik turun dengan cepat. Rasa takut dalam hatinya telah mencapai puncak. Namun, dia memaksa dirinya tetap tenang. Kedua pria itu tampaknya benar-benar terpengaruh oleh teriakannya dan berhenti sejenak.Andini pun menegaskan, "Seperti yang sudah kubilang, Kaisar menetapkan pernikahanku dengan Pangeran Baskoro. Sekarang, aku adalah tunangannya. Kalau kalian berani menyentuhku, itu bukan cuma melawan Keluarga Adipati, tapi juga menentang Pangeran Baskoro dan bahkan Kaisar sendiri!""Pikirkan baik-baik, apa orang yang mengutus kalian kemari benar-benar mampu melindungi kalian dari semua konsekuensi ini?" tanya Andini. Mendengar itu, kedua pria itu saling bertukar pandang seolah mempertimbangkan perkataan Andini yang masuk akal.Setelah itu, mereka menangkupkan tangan ke arah Andini. Sikap mereka menjadi lebih sopan. Salah satu dari mereka berujar dengan nada lebih lembut, "Nona, kami ini
Pemilik lapak yang berpandangan tajam langsung menyadari perhatian Dianti. Dia segera mengambil lentera berbentuk kelinci itu, lalu bertanya, "Apa Nona menyukainya? Harganya cuma 5 tahil."Rangga tanpa ragu langsung mengeluarkan uangnya. Pemilik kios tersenyum lebar saat menyerahkan lentera itu ke tangan Rangga.Namun sebelum Rangga sempat memberikan lentera itu kepada Dianti, tiba-tiba terdengar keributan dari kerumunan orang di belakang mereka. Sepertinya sesuatu yang besar telah terjadi. Dianti dan Rangga secara naluriah menoleh. Perhatian mereka tertarik oleh keributan tersebut.Berhubung tubuhnya lebih tinggi, Rangga bisa melihat lebih jauh dibandingkan Dianti. Melampaui kerumunan orang, dia langsung melihat seorang gadis pelayan dengan wajah penuh darah. Wajahnya terasa sangat familier. Sepertinya ... dia adalah pelayan Andini!Rangga terkejut seketika. Tanpa pikir panjang, dia langsung berlari ke arah gadis itu. Dianti berteriak saking terkejutnya. Baru kemudian, dia menyadari b
Ketika Andini terbangun, yang dilihatnya hanyalah kegelapan. Matanya tampaknya tertutup oleh sesuatu.Andini secara refleks mengangkat tangan, tetapi segera menyadari bahwa kedua tangannya telah diikat bersama. Seketika itu juga, dia teringat kembali pada kejadian di kedai teh. Jadi sekarang, di mana dia berada?Tempat di mana Andini berbaring terasa cukup empuk, jadi kemungkinan besar dia berada di atas ranjang. Dari luar, samar-samar ia bisa mendengar suara ribut orang-orang. Dia masih di Jalan Semira!Tempat ini kemungkinan besar adalah sebuah penginapan di Jalan Semira. Namun karena mata Andini tertutup, dia tidak bisa memastikan lokasi tepatnya. Dia juga tidak tahu waktu saat ini. Sudah berapa lama sejak dia diculik?Saat pikiran itu melintas di benak Andini, suara pintu yang terbuka terdengar. Dua pria itu telah kembali. Dia bisa mendengar salah satu dari mereka melangkah mendekatinya. Mungkin untuk memastikan apakah dia sudah sadar atau belum. Dia tidak berani bergerak sedikit p
Andini tahu Kirana datang untuk menghiburnya. Hanya saja, Andini malah menganggap ucapan Kirana tidak enak didengar. Semua ini takdir? Apa Kirana merasa Byakta pantas mati?Andini mengernyit, tetapi dia tidak mampu berdebat dengan mereka lagi. Andini menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "Aku sudah putus hubungan dengan Keluarga Adipati. Apa pun yang terjadi padaku nggak ada hubungannya dengan kalian. Aku harap ke depannya kalian jangan datang lagi."Selesai bicara, Andini langsung berjalan masuk ke kediaman. Abimana marah-marah, "Andini! Jangan nggak tahu diri! Biasanya Ibu jarang keluar, dia datang karena mengkhawatirkanmu!"Langkah Andini terhenti. Dia mengepalkan tangannya dengan erat, lalu bertanya, "Bagaimana dengan kamu?"Mendengar ucapan Andini, Abimana terdiam. Dia tidak memahami maksud Andini.Andini tiba-tiba berbalik dan lanjut bertanya seraya menatap Abimana, "Kenapa kamu datang kemari? Kamu memperhatikanku atau merasa bersalah?"Sebenarnya Andini tidak memahami satu ha
Yudha hanya ingin membawa Byakta pulang bersama keluarganya tanpa Rangga dan Andini. Mulai saat ini, para bangsawan dari ibu kota tidak berhubungan dengan Keluarga Muhadir lagi.Rangga mengangguk. Dia bisa memahami pemikiran Yudha. Tentu saja, Rangga tidak memaksakan kehendaknya.Andini juga mengerti. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menghampiri Ajeng dan melepaskan gelang gioknya. Andini berucap, "Aku nggak pantas terima gelang ini ...."Sebelum Andini menyelesaikan ucapannya, Ajeng menahan tangan Andini. Ajeng tampak kelelahan, tetapi dia tetap tersenyum kepada Andini dan menimpali, "Gelang ini sudah menjadi milikmu. Kalau kamu kembalikan padaku, Byakta pasti sedih."Andini memandang Ajeng dengan ekspresi kaget. Jika Ajeng masih meminta Andini menyimpan gelang ini, berarti Keluarga Muhadir masih mengakui Andini.Andini tidak menyangka sekarang Keluarga Muhadir masih menerimanya. Dia merasa sangat sedih. Andini memeluk Ajeng dengan erat. Dia merasa bersyukur dan juga bersalah.Ajen
Andini yang menyebabkan Yudha dan Ajeng kehilangan putranya. Dia juga menyebabkan Gayatri kehilangan kakaknya. Semua ini salah Andini.Tangisan Gayatri makin menjadi-jadi. Dia berujar, "Tapi, Kak Byakta pasti marah kalau lihat aku salahkan kamu ...."Ucapan Gayatri membuat hati Andini terasa sakit. Andini kewalahan melihat Gayatri yang menangis histeris.Gayatri tetap berusaha berbicara, "Sebelum pergi, kakakku bilang padaku dia nggak pernah begitu menyayangi seorang wanita selama hidupnya. Dia cuma ingin kamu aman dan bahagia. Biarpun harus mengorbankan nyawanya, dia juga rela."Gayatri menambahkan, "Andini, kakakku benar-benar mengorbankan nyawanya. Jadi, kamu harus aman dan bahagia! Kalau nggak, aku nggak akan ampuni kamu!"Ini adalah keinginan terakhir Byakta. Gayatri tidak bisa bicara lagi. Dia terus menangis. Gayatri tidak mengerti kenapa di dunia ini ada orang yang begitu bodoh hingga rela mengorbankan nyawanya demi keselamatan dan kebahagiaan orang lain.Namun, Gayatri tidak be
Andini tertegun. Semalam dia mendengar bandit mengatakan jika bukan karena Rangga mengutus orang untuk mengikuti Andini, mereka juga tidak akan menyangka orang yang berada di dalam peti mati adalah Byakta. Pembunuhan semalam juga tidak akan terjadi.Mungkin sekarang Andini sudah keluar dari Yolasa. Seharusnya Andini tidak menyalahkan Rangga. Bagaimanapun, Rangga hanya berniat melindungi Andini. Dia tidak menyangka semalam bandit akan muncul.Lagi pula, masalah kali ini terjadi karena bandit terlalu brutal. Mereka membantai penduduk desa, bahkan mereka tidak melepaskan bayi.Jika bukan karena masalah itu, Kaisar tidak akan buru-buru mengutus prajurit. Semua ini juga tidak akan terjadi.Namun, nasi sudah menjadi bubur. Byakta dan para prajurit telah mati. Andini tidak bisa mengatakan dirinya tidak menyalahkan Rangga.Andini diam-diam menyalahkan semua orang yang berkaitan dengan masalah ini. Akan tetapi, dia tetap menyalahkan dirinya sendiri. Jadi, Andini hanya terdiam dan menunduk.Andi
Suara langkah kaki makin mendekat. Andini langsung mundur, lalu berteriak, "Jangan mendekat!"Namun, Rangga tidak menghentikan langkahnya. Andini yang panik segera mengayunkan pedangnya. Rangga tidak menyangka Andini berniat menyakitinya. Dia buru-buru mundur.Pedang Andini menggores lengan baju Rangga. Andini merasakan serangannya kurang tepat, jadi dia mengayunkan pedangnya lagi.Siapa sangka, Rangga menggenggam pergelangan tangan Andini. Sebelum Andini sempat merespons, Rangga menarik Andini ke dalam pelukannya sambil menghibur, "Jangan takut, ini aku."Andini yang hendak memberontak langsung menghentikan gerakannya begitu mendengar suara Rangga. Tubuh Andini menegang. Dia bertanya, "Rangga?"Rangga menyahut, "Iya, ini aku. Sekarang kamu sudah aman."Andini hanya merasa tenang sesaat. Dia segera menyeka darah di wajahnya dengan baju Rangga, lalu mendorongnya dan bergegas berjalan ke luar hutan.Andini kaget saat melihat penutup peti terbuka. Dia buru-buru naik ke kereta kuda. Andini
Rangga hanya menghabiskan waktu sehari untuk membereskan masalah di Kabupaten Horta. Bandit yang ditangkap Rangga tidak bisa bertahan lama. Bandit langsung mengakui semuanya.Rangga juga mengancam Akbar sehingga Akbar yang ketakutan setengah mati tidak berani menutupi kebenarannya lagi. Masalah ini memang sangat rumit.Rangga menyuruh Cahya untuk menyelidiki masalah ini dengan teliti. Cahya sudah kehilangan lengan kirinya. Ke depannya dia tidak bisa berperang lagi. Jika Cahya bisa menyelesaikan masalah ini, dia bisa mendapatkan jabatan di pemerintahan.Biarpun hanya menjadi bupati di Kabupaten Horta, itu lebih baik daripada pulang dengan tubuh cacat dan menjadi petani.Rangga buru-buru pergi dengan menunggangi kudanya tanpa minum sedikit pun. Dia sangat panik. Sosok Andini yang pergi menjauh terus terlintas di benak Rangga. Jadi, Rangga tidak bisa menunggu lagi.Rangga terus mengejar Andini tanpa beristirahat. Begitu sampai, dia baru tahu semua orang yang diutusnya untuk melindungi And
Tenaga bandit sangat kuat. Andini merasa tangannya hampir patah. Dia berusaha menahan rasa sakit dan mencoba menggerakkan tangannya.Pedang di perut bandit juga mulai bergerak. Bandit berteriak kesakitan. Genggamannya di tangan Andini makin erat.Andini yang merasa kesakitan berteriak. Namun, teriakan Andini bukan hanya karena rasa sakit. Akhirnya, Andini berhasil memutar pedang itu.Sepertinya usus bandit itu putus, dia memuntahkan darah. Bandit itu tumbang. Andini tetap menggenggam pedang dengan erat.Wajah Andini ternodai darah sehingga dia kesulitan untuk membuka matanya. Kemudian, terdengar suara langkah kaki dan suara bandit lain lagi. "Madun! Harjo!"Andini sangat panik, tetapi dia masih bisa berpikir rasional. Andini tidak boleh terus berada di sini. Hanya saja, Andini sudah kehabisan tenaga dan tangannya terasa sakit. Bahkan, dia tidak mampu menyeka darah di wajahnya.Alhasil, Andini ditendang oleh bandit hingga terjatuh ke tanah. Bandit hendak menusuk Andini setelah melihat k
Andini terkejut saat melihat bandit yang wajahnya ternodai darah prajurit. Andini langsung mundur. Siapa sangka, dia tersandung ranting pohon dan terjatuh ke tanah.Bandit tertawa melihat kondisi Andini. Di dalam kegelapan malam, bau amis darah membuat Andini pusing.Andini yang tampak ketakutan bertanya sembari terisak, "Apa ... kamu nggak akan bunuh aku ... kalau aku ikut kamu?"Bandit makin bangga ketika melihat Andini sangat ketakutan. Dia menyahut, "Tentu saja. Yang penting kamu bersikap patuh."Andini mengangguk dan menimpali, "Aku sangat patuh. Tapi ... sepertinya aku terkilir."Bandit melihat pergelangan kaki Andini. Dia tidak curiga karena tadi Andini memang tersandung. Bandit mengamati Andini lagi. Melihat ekspresi Andini yang ketakutan, bandit menganggap Andini hanya wanita yang lemah. Andini sama sekali tidak membawa senjata, mana mungkin dia bisa membuat masalah?Bandit menghampiri Andini sambil mengangkat alis. Dia hendak memapah Andini. Sementara itu, Andini mengulurkan
Karena terkejut, prajurit itu mundur beberapa langkah ke belakang.Prajurit lain melangkah maju. Saat melihat apa yang terjadi, dia mengerutkan alisnya dan berkata, "Sekarang sudah masuk musim semi. Ular, serangga, dan binatang kecil lain mulai keluar mencari makan. Ini bukan masalah besar."Mendengar itu, yang lainnya pun mengangguk, lalu menyarungkan pedang mereka kembali.Andini juga menghela napas lega. Pandangannya tertuju pada kepala ular yang terpenggal di tepi jalan.Di bawah cahaya bulan, kepala ular yang kecil itu masih bergerak, seolah-olah berusaha bertahan. Entah kenapa, Andini merasa ini adalah pertanda buruk. Kegelisahan mulai merayap ke hatinya.Semoga saja semuanya akan berjalan lancar di perjalanan ini.Para prajurit sudah terbiasa dengan perjalanan panjang. Mereka hanya tidur 4 jam setiap malam, tetapi tetap memperhatikan Andini selama perjalanan.Namun, kegelisahan yang muncul malam itu terus membekas di hati Andini. Dia sama sekali tidak bisa tenang.Seakan-akan me