Malika akhirnya berhasil membawa Dianti kembali ke kediaman Keluarga Maheswara seperti yang diharapkannya. Namun, yang tidak dia duga adalah Rangga ternyata juga pulang.Malika sempat mengira bahwa Rangga kembali karena tahu Dianti sudah dibawa pulang, sehingga hatinya terasa lebih lega. "Suami istri itu harus membicarakan segala sesuatu dengan terbuka. Mana ada suami istri yang bertengkar selama ini?"Sambil berbicara, Malika mendorong Dianti sedikit ke arah Rangga. "Nah, Ibu sudah membawanya kembali untukmu. Jangan marah lagi. Kalian sudah lama nggak bertemu, bicaralah baik-baik. Ibu nggak akan mengganggu."Setelah itu, Malika berbalik dan pergi untuk memberi mereka waktu berdua.Dianti yang didorong hampir saja jatuh ke dalam pelukan Rangga. Namun, dia merasakan dengan jelas penolakan dari pria itu sehingga buru-buru menghentikan langkahnya. Dia pun hanya berdiri diam di sampingnya dengan patuh.Jarak mereka begitu dekat, sampai-sampai ujung jarinya hampir menyentuh punggung tangan
Rangga menatap Dianti dengan dingin. Dia tahu Dianti sama sekali tidak sesederhana seperti yang terlihat. Pasti ada niat tersembunyi di balik sikapnya.Namun, tidak masalah. Tujuan Rangga pulang adalah untuk menghentikan perkembangan hubungan Andini dan Kalingga. Jadi, meskipun harus menggunakan alasan ini untuk pergi ke sana, dia tidak keberatan. Dengan ekspresi dingin, Rangga menyetujuinya.Saat itu, Kalingga sedang membimbing Andini melempar batu. Dibandingkan sebulan yang lalu, Andini sudah mengalami banyak peningkatan. Kini, bahkan dengan jarak 10 langkah dari pohon payung, dia sudah bisa mengenai batangnya setiap kali melempar. Hanya saja, akurasinya masih belum sempurna.Andini pun duduk di tangga, sementara Kalingga memegang tangannya, membantu menyesuaikan posisinya.Saat harus membidik target, Kalingga secara alami lebih dekat ke wajah Andini, memastikan bahwa dia benar-benar fokus.Ketika Rangga masuk, pemandangan itulah yang langsung menyambutnya. Andini menutup mata kiriny
Rangga akhirnya tersadar. Dia menunduk menatap Kalingga. "Bagaimana kondisi kakimu sekarang, Kak?"Jelas-jelas bukan itu yang dia pedulikan. Kalingga tentu saja menyadari hal itu, makanya dia hanya menjawab singkat, "Lumayan."Sampai di situasi ini, jika Rangga dan Dianti tahu diri, mereka seharusnya pergi. Namun, jelas sekali Rangga tidak tahu diri."Sudah lama aku nggak bermain catur denganmu. Hari ini kebetulan ada waktu luang, bagaimana kalau kita main satu ronde?" Maksud Rangga begitu jelas.Kalingga refleks ingin menolak, tetapi sebelum dia sempat berkata apa-apa, Dianti telah membuka suara, "Itu ide bagus. Aku juga ingin mengobrol dengan Kak Andini. Banyak hal yang ingin kubahas."Kata banyak itu sengaja ditekankan.Andini akhirnya mengangkat kepalanya dan menatap Dianti. Wajah Dianti masih terlihat selembut biasanya, tetapi tatapannya jelas menunjukkan bahwa dia punya sesuatu untuk disampaikan. Sikapnya pun cukup mendominasi.Kening Andini sedikit berkerut. Rasanya aneh melihat
Andini tidak menjawabnya, melainkan terus berbicara sendiri, "Waktu itu, saat pertama kali bertemu denganku, air matamu langsung jatuh. Meskipun tetap menyebalkan seperti sekarang, aku tahu setidaknya separuh dari air matamu saat itu adalah air mata ketulusan.""Aku pernah bertanya padamu, di mana letak kesalahanmu. Jawabanmu saat itu nggak memuaskanku. Karena kesalahanmu bukan hanya memecahkan mangkuk kaca, tapi juga karena diam. Aku difitnah, tapi kamu memilih diam. Hal itu bahkan nggak berubah saat Abimana menuduhku mendorongmu ke dalam air.""Meskipun begitu, saat itu aku nggak menganggapmu jahat. Tapi, sekarang? Dianti, berapa banyak nyawa yang sudah melayang di tanganmu? Pernahkah kamu menghitungnya? Saat tengah malam, mereka nggak pernah datang menghantuimu?”Nenek, para pengemis, Ratih ....Dianti tertegun di tempatnya. Matanya menyimpan ketakutan, tetapi air matanya tidak juga jatuh. Dia sudah bukan lagi Dianti yang dulu. Dianti yang dulu tidak akan bisa menahan air matanya.A
Dianti sudah menangis dan berteriak, tetapi dua pria di dalam rumah sama sekali tidak bereaksi. Saat itulah dia menyadari bahwa cara ini sudah tidak berguna lagi.Dulu tidak peduli bagaimana keadaannya, selama dia menangis, seluruh orang di dalam kediaman pasti akan mengelilinginya, menghiburnya, dan merawatnya.Rangga pun tidak terkecuali. Namun, kini Rangga seolah-olah tidak mendengarnya. Dia tahu Rangga sudah muak padanya. Hanya saja, apakah sebersit rasa iba pun sudah tidak tersisa untuknya?Andini mengikuti arah pandang Dianti dan juga melihat ke dalam sana. Saat melihat wajah samping Rangga yang tetap dingin seperti biasanya, hatinya sedikit mencelos.Namun, bukankah Rangga memang seperti ini? Ketika melindunginya, Rangga bisa membalaskan dendamnya dengan mengacak-acak seluruh ibu kota. Ketika tidak lagi melindunginya, sikapnya bahkan lebih dingin daripada orang asing.Andini mengalihkan kembali pandangannya ke arah Dianti, menatapnya dengan dingin. "Ingat ini baik-baik. Dari sem
Aroma yang familier sekaligus asing itu menyeruak, membuat alis Andini berkerut. Karena jarak mereka yang terlalu dekat, Andini tidak berbalik. Dia hanya menatap rak buku di depannya dan bertanya dengan dingin, "Kamu datang untuk membela istrimu?"Rangga berdiri di belakangnya, menatap sanggulnya dengan alis berkerut. Tangannya terkepal erat, suaranya serak karena menahan emosi. "Kamu tahu aku nggak peduli padanya.""Aku nggak tahu." Andini membalas dengan dingin, "Aku nggak ingin tahu apa pun tentang Jenderal Rangga.""Andin ...." Suara di belakangnya terdengar sedikit bergetar. Kemudian, Rangga menarik napas dalam-dalam, seakan sudah memikirkan segalanya.Suaranya menjadi lebih tenang. "Nggak apa-apa. Ke depannya, aku akan menceritakan semuanya kepadamu pelan-pelan. Baik yang ingin kamu dengar maupun yang nggak ingin kamu dengar, aku tetap akan mengatakannya."Ucapan itu membuat Andini tertawa dingin. Ke depannya? Masa depan?"Di antara kita nggak ada yang namanya masa depan." Andini
Kedatangan Rangga dan Dianti seolah hanyalah sebuah selingan kecil yang tak mengganggu kehidupan Andini bersama Kalingga.Laras kembali membawa dua buku kedokteran dari tabib istana. Satu buku membahas kelanjutan pengobatan luka di kaki Kalingga, sedangkan yang satu lagi agak tebal, merupakan catatan pengalaman berharga sang tabib selama bertahun-tahun.Laras berkata bahwa sang tabib merasa Andini memiliki bakat, maka dia berharap Andini bisa lebih banyak belajar.Mungkin karena sudah melihat Andini tumbuh besar sejak kecil, Andini merasa sang tabib memang menyayanginya lebih dari yang lain. Kalau tidak begitu, mana mungkin dia rela memberikan buku berharga yang bisa mengungkap identitasnya?Tak ingin mengecewakan niat baik sang tabib, Andini akan membaca buku itu saat waktu luang. Tanpa sadar, pikirannya pun tidak lagi memikirkan Rangga dan Dianti.Namun yang tak disangka, hari itu Malika tiba-tiba datang ke halamannya pagi-pagi sekali dan mengatakan bahwa dia ingin mengajak Andini pe
Andini awalnya mengira, Malika datang mendadak pagi-pagi karena takut dia akan mencari-cari alasan untuk menolak ikut. Tak disangka, bahkan Nayshila pun baru tahu soal rencana ini pagi ini juga.Nayshila menggelengkan kepala. "Nggak ada! Hari ini aku tadinya mau pergi naik perahu di danau bersama Santika, tahu!"Begitu berkata demikian, Nayshila mulai mengeluh tanpa henti, "Nggak tahu dari mana Ibu dengar-dengar kabar soal biksu suci yang datang menyebarkan ajaran. Terus katanya, doa hanya akan manjur kalau semua perempuan keluarga ikut minta berkah .... Aduh, misterius sekali, aneh pula ...."Andini duduk di sampingnya, tak ikut menanggapi. Namun, dalam hati, dia mulai merasakan ada yang tidak beres. Secara refleks, dia meraba kantong kecil di pinggang tempat dia menyimpan batu kecil dan jarum perak, lalu memegang tusuk konde di rambutnya. Meski begitu, alisnya mengernyit, menunjukkan kekhawatirannya.Namun anehnya, di Kuil Amnan memang benar ada seorang biksu suci yang tengah membaca
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it
Rangga pernah menculik Andini dan akhirnya membuat Andini terjatuh ke Sungai Mentari. Dendam itu masih terus disimpan Laras di dalam hati sampai sekarang.Meskipun statusnya hanyalah seorang pelayan biasa dan tak bisa berbuat apa-apa pada Rangga, jangan harap dia bersedia mengikuti Rangga!Selesai bicara, Laras pun membalikkan badan dan melangkah ke arah Kalingga. Kalingga masih tidak mengatakan apa-apa. Setelah mendengar kata-kata Laras barusan, seulas senyuman tipis tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.Senyuman ringan itu, sekalipun sangat tipis, tetap menyakitkan mata Rangga. Dia tidak mengerti. Kenapa Andini tidak mau bersamanya, bahkan pelayannya pun menolaknya?Rangga sontak melangkah maju, hendak menarik tangan Laras. Namun, baru satu langkah diambil, terdengar suara Kalingga yang datar. "Rangga."Hanya satu panggilan pelan, tetapi makna ancamannya sangat jelas. Apabila Rangga benar-benar menahan Laras, Kalingga pasti akan bertindak.Rangga pun berhenti. Aura yang dipancarkan
Jabal mencari tiga kuda terbaik dari kediaman dan berangkat malam itu juga menuju lokasi yang berjarak lebih dari 50 kilometer.Perjalanan tidak sepenuhnya mulus. Mayat perempuan itu ditemukan di sebuah desa kecil. Ketika mereka tiba, matahari sudah bersinar terik.Di luar desa, anak buah mereka sudah menunggu. Begitu turun dari kuda, Kalingga segera masuk ke desa. "Di mana?""Masih di tepi sungai," kata anak buah itu sambil menurunkan suaranya. "Jenderal Rangga juga ada di sana."Mendengar itu, Kalingga sempat tercengang sejenak. Dia mengikuti arah yang ditunjuk. Benar saja, di tepi sungai tak jauh dari sana, terlihat Rangga sedang membuka kain putih penutup mayat. Wajahnya memperlihatkan ekspresi jijik.Melihat itu, Kalingga merasa lega. Dari ekspresi Rangga, seharusnya itu bukan Andini. Namun, detik berikutnya, hatinya kembali diliputi amarah. Informasi itu datang dari bawahannya sendiri, kenapa Rangga bisa lebih dulu sampai di sini?Di belakang, Laras yang melihat mayat tertutup ka
Tingkah mereka yang berpura-pura mabuk tadi memang tak terlihat mencurigakan. Namun, akting setelah mereka "sadar" barusan sungguh buruk. Beberapa dari mereka bahkan langsung terbangun, padahal tidak disiram.Andini mengernyit pelan saat memikirkan hal ini, lalu secara refleks menoleh ke arah jendela. Di sana, dia melihat sosok tinggi besar itu berjalan ke arah barat, menuju ke bawah atap.Dia tak ingin berpikiran buruk tentang orang lain, tetapi saat itu di halaman hanya ada dia seorang yang bukan dari kalangan mereka. Mereka semua pura-pura mabuk, jelas-jelas untuk diperlihatkan kepadanya.Kenapa? Sedang mengujinya? Apakah karena sebelumnya dia secara tidak sengaja menunjukkan sedikit kemampuan bela dirinya?Namun, jika Surya hanya pemburu biasa, bagaimana mungkin dia bisa terpikir menggunakan cara semacam ini? Jangan-jangan identitasnya pun tidak sesederhana itu?Begitu benih kecurigaan tertanam, hal itu mulai tumbuh liar dalam hati. Andini berusaha keras mengingat semua kejadian se
Andini sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di belakangnya. Begitu keluar dari pagar bambu, kaki kirinya terasa sakit lagi. Langkahnya semakin pincang. Sebelum berjalan jauh, dia sudah mulai memanggil, "Bi Endah! Bi Endah!"Dia sama sekali tidak tahu, sebelum dia membuka mulut, sebilah belati nyaris menyentuh leher putihnya dari belakang, hanya sedikit lagi sudah akan menggorok tenggorokannya.Namun, saat dia memanggil nama Endah, belati itu tiba-tiba ditarik mundur, lalu pemiliknya buru-buru kembali ke dalam halaman.Tak lama kemudian, lampu di rumah Endah kembali menyala. Wanita itu bertanya, "Ada apa? Ada apa ini?"Andini memandang Endah dengan wajah penuh rasa bersalah. "Kak Arjuna dan teman-temannya mabuk semua, mereka tidur di luar. Aku khawatir mereka masuk angin kalau tidur di luar. Bisa Bibi bantu aku?"Di dalam pagar, para pria yang mendengarnya saling melirik, masing-masing mulai merasa bersalah."Aduh, ya sudah, aku ke sana sekarang!" sahut Endah cepat-cepat. Tak la
Kata "orang kasar" benar-benar mewujud saat ini. Andini sempat terpaku menatap mereka.Surya membelakangi Andini, tentu saja tidak menyadarinya. Namun, pria yang duduk di depannya melihat tatapan Andini, lalu melirik ke arah Surya dan mengangkat dagunya sedikit.Surya pun menoleh. Ketika melihat Andini sedang tersenyum sendiri ke arah mereka, Surya seperti baru menyadari sesuatu. Dia mendorong pria di sampingnya. "Tenang sedikit."Baru saat itu, rombongan pria itu menyadari bahwa masih ada seorang perempuan di sini. Mereka buru-buru minta maaf."Maaf ya, Nona. Kami ini orang-orang kasar, mulut kami kadang suka seenaknya!""Iya, Nona. Kalau tadi ada kata-kata yang nggak enak didengar, anggap saja kami cuma kentut!""Kamu yang kentutnya paling bau, hahahaha!""Sialan kamu!"Suasana kembali ceria, penuh tawa dan canda. Andini memandangi para pria itu. Meskipun kasar dan berisik, kehangatan dan keharmonisan ini adalah sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya.Andini pun tersenyum lem
Surya pertama kali turun ke medan perang saat usianya baru enam belas tahun.Sebagai seorang pangeran, ibunya tidak memiliki latar belakang yang kuat. Dia tahu dalam perebutan takhta, dirinya tak mungkin bisa menyaingi para kakaknya. Jika terus tinggal di ibu kota, mungkin suatu hari nanti dia akan menjadi mangsa di tangan orang lain.Karena itu, dia mengajukan diri untuk menjadi prajurit garis depan di bawah komando jenderal besar saat itu.Tahun itu, suku Tru sering mengganggu perbatasan. Rakyat Negara Darsa sangat menderita karena kekacauan itu.Dia memacu kuda di barisan paling depan, menyerbu ke medan perang. Pedang besarnya berayun liar. Saat bilah tajam itu menebas tubuh musuh, dia bahkan bisa mendengar jelas suara tulang yang terbelah.Darah hangat memercik ke wajahnya, dunia seolah-olah berubah merah seketika. Dia mendengar detak jantungnya sendiri begitu keras, tetapi tak bisa membedakan apakah itu karena takut atau justru karena gairah.Di medan perang yang kejam, di mana hi
Sambil bicara, Surya menoleh ke arah para pria kekar di belakang Anom, lalu berkata, "Kalian lakukan sendiri. Di sana ada kapak dan parang."Setelah itu, dia pun berbalik dan berjalan ke samping. Beberapa pria itu langsung maju dan menangkap Anom.Anom ketakutan setengah mati, berteriak dan menangis sambil terus memohon ampun. Namun, kekuatan para pria itu terlalu besar. Tangan Anom ditarik dan ditekan ke tanah.Kapak pun diangkat tinggi-tinggi, memantulkan kilatan dingin cahaya, lalu dihantamkan dengan keras."Argh!" Anom menjerit. Bagian selangkangannya langsung terasa hangat, seluruh tubuhnya jatuh lemas ke tanah. Namun ... ternyata tangannya masih utuh.Salah satu pria berkata dengan dingin, "Kalau masih berani ulangi lagi, kami nggak akan biarkan begitu mudah!"Pria lain mengeluarkan kantong uang dari balik bajunya dan menyerahkannya kepada Surya. "Ini, Kak.""Terima kasih. Kalian makan saja dulu sebelum pergi," ucap Surya."Siap! Nanti teman kita akan bawa daging dan arak ke sini
Endah masih terus menangis. Surya tidak tahu harus bagaimana menenangkannya. Meskipun sosoknya besar dan kekar, dia justru tampak kewalahan saat berdiri di samping Endah.Akhirnya, Andini yang menenangkan Endah untuk beberapa saat. Suasana hati Endah pun membaik. Melihat waktu sudah tidak pagi lagi dan dia masih harus turun ke ladang, Endah pun tidak berlama-lama di situ.Setelah mengantar Endah pergi, Surya menuju ke sisi barat halaman dan mulai sibuk bekerja. Dia berencana membangun atap untuk berteduh. Soalnya kalau hujan turun, dia tidak punya tempat untuk tidur.Melihat Surya sesibuk seperti itu, Andini akhirnya tak tahan untuk bertanya, "Kak Arjuna, kamu benar-benar percaya kalau Anom ambil uang itu buat bayar utang?"Uang itu bukan hasil kerja Andini, jadi dia merasa tidak berhak ikut campur. Namun, dia juga tidak tega melihat penyelamatnya ditipu.Tangan Surya tak berhenti bekerja, suaranya terdengar dalam dan tenang. "Dia pergi judi."Mendengar itu, Andini terkejut. "Kalau beg