Andini awalnya mengira, Malika datang mendadak pagi-pagi karena takut dia akan mencari-cari alasan untuk menolak ikut. Tak disangka, bahkan Nayshila pun baru tahu soal rencana ini pagi ini juga.Nayshila menggelengkan kepala. "Nggak ada! Hari ini aku tadinya mau pergi naik perahu di danau bersama Santika, tahu!"Begitu berkata demikian, Nayshila mulai mengeluh tanpa henti, "Nggak tahu dari mana Ibu dengar-dengar kabar soal biksu suci yang datang menyebarkan ajaran. Terus katanya, doa hanya akan manjur kalau semua perempuan keluarga ikut minta berkah .... Aduh, misterius sekali, aneh pula ...."Andini duduk di sampingnya, tak ikut menanggapi. Namun, dalam hati, dia mulai merasakan ada yang tidak beres. Secara refleks, dia meraba kantong kecil di pinggang tempat dia menyimpan batu kecil dan jarum perak, lalu memegang tusuk konde di rambutnya. Meski begitu, alisnya mengernyit, menunjukkan kekhawatirannya.Namun anehnya, di Kuil Amnan memang benar ada seorang biksu suci yang tengah membaca
Saat kembali membuka mata, Andini mendapati dirinya sedang terbaring di dalam sebuah gua pegunungan.Sekelilingnya sangat gelap dan lembap. Kepalanya terasa berat dan pusing. Dalam keadaan setengah sadar, pandangannya menangkap sosok Nayshila yang juga terbaring tak jauh darinya.Ingatan sebelum pingsan langsung menghantam kesadarannya. Andini seketika terbangun dengan lebih waspada. Ternyata mereka telah diculik!Dengan suara sangat pelan, dia mengguncang tubuh Nayshila. "Shila, bangun ... cepat bangun ...," bisiknya pelan karena takut terdengar oleh orang di luar.Namun, Nayshila sepertinya telah terlalu banyak menghirup serbuk itu. Dia sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan terbangun.Saat itulah Andini sadar bahwa konde di rambutnya telah terlepas. Begitu bergerak sedikit saja, rambut panjangnya langsung terurai jatuh ke bahu.Tusuk konde miliknya hilang. Bahkan konde yang ada di kepala Nayshila pun sudah tidak ada! Kenapa mereka mengambil tusuk konde itu?Kecurigaan langsu
Namun Andini tidak menunggu Panji bereaksi. Dia langsung mencabut sebatang jarum perak lainnya dan kembali menusukkannya ke paha Panji.Selama ini, dia terus melatih keterampilannya saat mengobati kaki Kalingga, jadi kemampuan akupunkturnya sudah mencapai tingkat tinggi. Jarum itu menancap tepat di dua titik saraf paling menyakitkan di paha.Panji langsung terjatuh ke tanah seperti orang lumpuh."Aarrghh!" Teriakan kesakitan yang mengerikan menggema di gua itu. Tidak ingin teriakan itu menarik perhatian orang luar, Andini segera melompat ke atas tubuh Panji dan membekap mulutnya erat-erat.Panji menggeliat hebat dan berusaha melepaskan diri. Tenaganya jauh lebih kuat dari Andini. Meskipun Andini sudah menekan dengan sekuat tenaga menggunakan kedua tangan, tenaganya hampir tak sanggup menahan perlawanan Panji.Namun saat itu, sudut matanya menangkap sebongkah batu besar tak jauh darinya.Tanpa ragu, Andini meraihnya, lalu menghantamkannya dengan keras ke kepala Panji!Brak!Hanya dengan
Meskipun Rangga sama sekali tidak bisa melihat jelas seperti apa kondisi Andini saat ini, dia telah melihat cukup banyak petunjuk selama sepanjang jalan mengejarnya.Potongan kain robek yang tersangkut di dahan pohon, bercak darah di ranting dan duri, bahkan beberapa helaian rambut yang tersisa di dedaunan. Itu semua memberitahunya bahwa Andini pasti penuh luka.Andini mengatakan bahwa dia kesakitan, tapi tidak bilang di bagian mana. Akan tetapi, Andini pasti sangat kesakitan sampai-sampai dia menangis seperti itu.Saat itu juga, hati Rangga terasa remuk seketika.Tanpa berkata apa pun lagi, dia berbalik dan berjongkok di depan Andini. Sama seperti belasan tahun lalu, tidak terhitung berapa kali dia melakukan Gerakan ini.Dengan suara dalam, Rangga berkata, "Ayo."Melihat punggung yang lebar dan sangat familier itu, wajah Andini seketika hanyut dalam kenangan. Namun, tubuhnya bergerak lebih dulu daripada pikirannya. Tangannya terangkat meraih bahu Rangga dan bersandar di punggungnya ta
Jadi, saat kenangan masa lalu menghantamnya, Andini pun tenggelam di dalamnya, bahkan lupa bagaimana cara melepaskan diri. Dia benar-benar kehilangan akal. Bisa-bisanya dia beranggapan bahwa Rangga akan percaya begitu saja padanya?Sejak kapan Rangga pernah percaya padanya tanpa ragu-ragu?Sebuah hawa dingin yang mengerikan perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya. Andini merangkul dirinya sendiri, seolah ingin memberi kehangatan, walau hanya sedikit. Namun, hawa dingin itu menyerang dari segala arah dan menyelimuti tubuhnya dengan erat, sehingga membuatnya menggigil hebat.Rangga tidak tahu apa yang sedang terjadi di hati Andini. Dia hanya merasa, Andini mungkin kesal karena kejadian hari ini hingga perlakuannya menjadi sangat dingin.Menatap jubah yang masih tergenggam di tangannya, kening Rangga berkerut. Namun, dia tetap diam.Dia hanya memberi perintah pada kusir agar melanjutkan perjalanan. Lagi pula, kebenarannya bisa dia telusuri setelah kembali nanti. Tidak perlu terlalu dipikirk
Kening Andini perlahan mengerut. Jelas sekali, Nayshila salah paham padanya.Namun saat ini, dia tidak ingin berdebat dengan Nayshila. Tanpa bukti yang kuat, Nayshila tetap tidak akan percaya pada apa pun yang dikatakannya.Namun, pandangan Kalingga tiba-tiba berubah tajam. Sorot matanya meredup penuh kemarahan. Saat dia menoleh pada Nayshila, ucapannya menyiratkan teguran keras, "Sebelum kebenarannya terbukti dengan jelas, jangan asal ngomong."Nayshila langsung menunjukkan wajah tidak terima, nada bicaranya juga terdengar buru-buru, "Apanya yang belum jelas? Aku ada di sana sama Ibu! Hampir saja kami jadi korban penjahat itu! Kalau bukan karena Kak Dianti, mungkin kami berdua sudah ...!"Mengingat kembali kejadian di hutan, mata Nayshila mulai memerah. Jelas sekali dia benar-benar ketakutan dan masih trauma.Nada bicaranya pun berubah penuh keluhan, "Aku bahkan masih kepikiran Kak Andini waktu itu ... aku mau mencarinya! Tapi ternyata, dia sudah lari duluan untuk menyelamatkan diri!"
Nayshila juga merasa terkejut dalam hati.Saat tersadar kembali tadi, dia dan Malika tengah berbaring di balik sebuah batu besar dengan dikelilingi oleh empat orang penjaga berpakaian hitam.Tentunya dia sempat mencoba melawan. Namun, baru saja bertahan dengan beberapa jurus, tubuhnya sudah kembali ditekan hingga tak berdaya.Saat itulah, Dianti muncul. Dengan menyandera seorang penyerang.Mengingat kembali kejadian itu, dahi Nayshila mengernyit. Namun tetap saja, dia menoleh ke arah Andini dan berkata, "Kamu nggak usah nyindir begitu.""Kak Dianti memang nggak belajar bela diri, tapi kalau dia bisa membunuh Panji waktu lengah, tentu saja dia juga bisa menyandera penjahat waktu yang lain lengah! Yang jelas, aku dan Ibu selamat karena Kak Dianti. Itu fakta!"Dianti juga cepat-cepat mengikuti alur pembelaan Nayshila. "Kakak mungkin belum tahu, waktu itu Panji berusaha menodai aku, tapi dia malah terpeleset batu di gua. Aku benar-benar panik. Entah dapat kekuatan dari mana, aku langsung m
Tatapan terakhir yang diberikan Andini tadi penuh makna.Hati Dianti mendadak mencelos, seolah baru tersadar akan sesuatu. Dia menoleh perlahan menatap Astuti.Benar ... meski Panji sudah tewas, masih ada satu orang lain yang tahu soal kerja sama kotornya dengan Panji.Sementara itu, Astuti sendiri masih terguncang oleh tatapan dingin Andini tadi. Saat dia belum sempat pulih dari rasa takut itu, tiba-tiba sebuah sorot mata yang dingin dan penuh ancaman dari Dianti langsung menghantam dirinya.Tatapan yang sekilas itu penuh kekejaman sehingga membuat hatinya ketakutan.Astuti buru-buru menunduk dan tidak berani menatap Dianti.Di sisi lain, Nayshila berkata dengan kejam, "Apa maksudnya tadi? Apa maksudnya banyak berbuat jahat bakal celaka sendiri? Dia nyindir siapa?!"Bagaimanapun, Dianti pernah menjadi sahabat Nayshila selama tiga tahun. Tentunya, dia tahu jelas bagaimana cara meredam emosi Nayshila. Dia pun langsung berkata, "Shila, jangan begitu. Mungkin Kakak memang salah paham pada
Penjahat yang satu lagi adalah seorang duda tua di desa, bernama Dierja. Dia adalah orang yang dulu mengajari Anom berjudi.Lucunya, saat warga desa datang menghadapinya, Dierja masih berani menunjukkan kakinya yang terjepit perangkap hewan dan mengaku kalau itu akibat kecelakaan saat pergi mencari Ihatra dan ayahnya di hutan.Niatnya sebenarnya adalah untuk memeras keluarga Diah. Kalau gagal, setidaknya dia bisa mengemis sedikit uang dari kepala desa. Namun tak disangkanya, para warga langsung mengikatnya dan menyeretnya ke hadapan Surya.Mengenai kelanjutannya, Andini sendiri tidak tahu. Dia hanya tahu, keesokan paginya saat bangun tidur, Dierja sudah diseret dan dikirim ke kantor pemerintahan. Sementara itu, Anom sudah dibawa Surya ke ladang sejak pagi.Dulu, Endah selalu memanjakan anaknya dan tidak pernah membiarkan Anom menyentuh pekerjaan ladang. Namun hari ini, di bawah pengawasan langsung dari Surya, Anom dipaksa bekerja keras di bawah terik matahari selama empat jam penuh seb
"Dasar nggak peka," ujar Endah tiba-tiba.Surya mengerutkan alis. "Apa maksudnya?"Barulah Endah menurunkan suaranya dan berkata, "Kaki kiri gadis itu terluka, kenapa kamu nggak langsung gendong saja?"Surya tidak merasa dirinya salah. Dia hanya menjawab dengan tenang, "Dia bilang bisa jalan, cukup minta aku bantu topang sedikit.""Itulah kenapa aku bilang kamu ini nggak peka!" Endah menggeleng tak berdaya, lalu menghela napas, "Dasar si Anom ... sampai melakukan hal seperti ini. Arjuna, tolong bantu aku kasih dia pelajaran, ya."Tatapan Arjuna seketika berubah dingin. "Takutnya Bibi nggak tega.""Nggak ada yang perlu ditakuti," Endah menghela napas panjang. "Kamu benar. Lebih baik aku lihat dia dihukum sekarang, daripada nanti harus memungut kepalanya di lapangan eksekusi.""Mm." Arjuna mengangguk ringan, menandakan bahwa dia menerima permintaan untuk mendidik Anom.Tak lama kemudian, rombongan mereka pun kembali ke halaman rumah berpagar bambu.Mereka melihat Anom sudah berlutut di t
Andini benar-benar tidak punya tenaga untuk membuka jebakan hewan itu. Namun, setelah dia mengutak-atik sebentar, dia menyadari bahwa jebakan itu diikat dengan rantai besi tipis dan ujung rantainya terimpit di bawah sebuah batu besar.Dengan sisa tenaga yang dia punya, Andini berjuang keras menarik rantai itu keluar dari bawah batu dan akhirnya berhasil membawa jebakan yang masih menjepit kakinya. Dia pun terpincang-pincang keluar dari hutan.Meskipun tidak tahu persis arah jalan pulang, dia masih ingat dari mana dia datang tadi. Namun, sebelum berjalan jauh, dia justru melihat sosok seseorang berlari ke arahnya dari kejauhan.Sesaat, Andini merasa bimbang. Dia hampir mengira itu adalah Byakta. Dia terlalu merindukan Byakta.Namun, dia segera tersadar bahwa sosok yang dulu selalu menemani di saat terpuruk dan tak berdaya, tidak akan pernah kembali.Jadi, Andini langsung mengenali sosok yang datang itu, menepis perasaan duka dalam hatinya, memaksakan senyuman, dan berseru pelan, "Kak Ar
Anom bersikeras. "Ma ... mana aku tahu dia ke mana!"Surya menatapnya dengan sorot mata yang semakin suram. "Bi Endah hanya tanya soal sup ayam, nggak pernah bilang hilangnya gadis itu ada hubungannya denganmu. Tapi, kamu langsung panik sendiri. Itu namanya mengaku sebelum ditanya."Mendengar itu, Anom semakin gelisah. "Aku nggak salah! Jangan fitnah aku! Aku nggak punya dendam sama dia, kenapa harus mencelakainya?"Justru karena sikapnya yang begitu, semakin terlihat bahwa dia memang merahasiakan sesuatu.Endah juga marah. Dia langsung mengambil sapu dari balik pintu dan menghajarnya tanpa ampun, "Dasar anak setan! Kau bawa gadis itu ke mana, cepat bilang!"Anom menjerit-jerit, berlari ke sana sini untuk menghindari amukan Endah. Namun, dia tetap saja bersikeras. "Aku nggak tahu! Aku benar-benar nggak tahu!"Tanpa sadar, dia berlari ke arah Surya yang langsung menangkapnya dan menekan tengkuknya ke tanah. Seketika, Anom tak bisa bergerak.Suara Surya rendah dan dingin, mengandung kema
Dalam keadaan linglung, Andini teringat saat dulu dirinya ditangkap oleh Panji dan dibawa masuk ke gua.Waktu itu, dia juga berlari sekuat tenaga ke dalam hutan, hingga akhirnya tidak tahu sudah berapa lama dia terjebak di sana. Pada akhirnya, Rangga yang menggendongnya keluar dari hutan itu.Andini tak ingin mengulang nasib yang sama. Jadi, sambil terus berlari, dia juga memperhatikan keadaan di belakangnya. Melihat Anom masih belum menyerah mengejar, dia mulai panik.Malam kian larut. Hanya dalam waktu singkat setelah menerobos masuk ke hutan, Andini sudah tidak bisa melihat apa-apa saking gelapnya. Hal yang paling dia khawatirkan akhirnya terjadi.Krek! Suara tajam menggema. Kakinya terjepit jebakan hewan!"Anom! Jangan ke sini lagi!" teriak Andini panik. "Di sini banyak jebakan! Aku juga kena!"Mendengar itu, suara langkah kaki Anom pun terhenti. Mungkin karena teringat pada temannya yang juga cedera, Anom akhirnya memutuskan untuk tidak lanjut mengejar, lalu berbalik dan pergi.Di
Tepat saat itu, terdengar suara samar-samar dari arah halaman.Andini tersentak, segera bangkit dan mengintip ke luar. Dia pun melihat bayangan seseorang yang mondar-mandir di halaman."Siapa di sana?""Aku."Suara itu terdengar cukup familier.Andini mencoba menebak, "Anom?""Benar!" sahut Anom, lalu berjalan ke depan pintu sambil berkata, "Ibuku masak sup ayam malam ini. Tapi gara-gara kejadian Bi Diah, jadi lupa. Tadi baru dipanaskan lagi, terus aku disuruh antar ke sini."Memang benar, Endah sering membuatkan sup ayam untuknya setiap beberapa hari sekali. Andini tidak terlalu curiga, jadi berkata, "Taruh saja di depan pintu, nanti aku ambil.""Baik!" Jawaban Anom cepat dan ringan.Tak lama kemudian, Andini melihat Anom keluar dari halaman. Dia bangkit, tertatih-tatih menuju pintu.Begitu membuka pintu, memang benar ada semangkuk sup ayam di atas lantai. Dia perlahan berjongkok, hendak mengambil mangkuk itu.Tepat saat itu, dari sudut halaman, tiba-tiba muncul bayangan. Sebelum Andi
Saat Surya kembali ke Desa Teluk Horta, matahari sudah terbenam. Dari kejauhan, dia langsung melihat halaman rumahnya dikerumuni oleh banyak orang.Hatinya langsung mencelos, tak tahu apa yang sedang terjadi. Seseorang melihatnya dan langsung berteriak, "Itu dia! Dia sudah kembali!"Semua orang pun serentak menoleh ke arah Surya.Begitu memasuki halaman, Surya langsung melihat Diah terbaring di tengah halaman. Di samping, Andini sedang berlutut.Terlihat dia memegang sebatang jarum sulam dan sedang menusukkannya ke tubuh Diah, yang matanya tampak sayu, antara sadar dan tidak."Ada apa ini?" Suara Surya terdengar dalam.Endah segera melangkah ke depan, menjelaskan, "Ihatra bertengkar sama ayahnya, terus kabur ke dalam hutan. Ayahnya takut terjadi apa-apa, jadi ikut masuk hutan juga.""Diah menunggu di rumah sampai langit hampir gelap. Dia panik dan langsung pingsan. Untungnya gadis ini menguasai ilmu medis. Baru dua tusukan jarum saja, Diah langsung siuman."Mendengar itu, tatapan Surya
Melihat punggung Surya yang semakin menjauh, Endah hanya bisa menghela napas, lalu berbalik dan berkata kepada Andini, "Aku rebus dulu ayamnya, nanti aku balik lagi ke sini."Usai berkata begitu, dia pun pergi.Andini duduk di dalam rumah, memandangi punggung Endah yang perlahan menghilang. Dia juga melihat dengan jelas bahwa Anom belum pergi.Anak itu masih berdiri di tempatnya, menatap Andini dari balik jendela. Saat Andini memandang balik ke arahnya, Anom buru-buru mengalihkan pandangan dan berseru, "Bu, tunggu aku!"Setelah itu, dia pun berbalik dan pergi. Namun, sorot mata Anom tak luput dari pandangan Andini.Tatapan yang dilontarkan padanya mengandung kebencian. Perasaan itu terlalu familier bagi Andini. Dulu ketika Dianti diam-diam memandangnya, sorot mata itu sama persis.Dua jam kemudian, Surya akhirnya tiba di kota kecil. Dia menjual hasil buruannya ke rumah makan yang sudah akrab dengannya, lalu berkeliling sesaat dan masuk ke sebuah gang kecil. Kemudian, dia mendorong pint
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it