Meskipun Rangga sama sekali tidak bisa melihat jelas seperti apa kondisi Andini saat ini, dia telah melihat cukup banyak petunjuk selama sepanjang jalan mengejarnya.Potongan kain robek yang tersangkut di dahan pohon, bercak darah di ranting dan duri, bahkan beberapa helaian rambut yang tersisa di dedaunan. Itu semua memberitahunya bahwa Andini pasti penuh luka.Andini mengatakan bahwa dia kesakitan, tapi tidak bilang di bagian mana. Akan tetapi, Andini pasti sangat kesakitan sampai-sampai dia menangis seperti itu.Saat itu juga, hati Rangga terasa remuk seketika.Tanpa berkata apa pun lagi, dia berbalik dan berjongkok di depan Andini. Sama seperti belasan tahun lalu, tidak terhitung berapa kali dia melakukan Gerakan ini.Dengan suara dalam, Rangga berkata, "Ayo."Melihat punggung yang lebar dan sangat familier itu, wajah Andini seketika hanyut dalam kenangan. Namun, tubuhnya bergerak lebih dulu daripada pikirannya. Tangannya terangkat meraih bahu Rangga dan bersandar di punggungnya ta
Jadi, saat kenangan masa lalu menghantamnya, Andini pun tenggelam di dalamnya, bahkan lupa bagaimana cara melepaskan diri. Dia benar-benar kehilangan akal. Bisa-bisanya dia beranggapan bahwa Rangga akan percaya begitu saja padanya?Sejak kapan Rangga pernah percaya padanya tanpa ragu-ragu?Sebuah hawa dingin yang mengerikan perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya. Andini merangkul dirinya sendiri, seolah ingin memberi kehangatan, walau hanya sedikit. Namun, hawa dingin itu menyerang dari segala arah dan menyelimuti tubuhnya dengan erat, sehingga membuatnya menggigil hebat.Rangga tidak tahu apa yang sedang terjadi di hati Andini. Dia hanya merasa, Andini mungkin kesal karena kejadian hari ini hingga perlakuannya menjadi sangat dingin.Menatap jubah yang masih tergenggam di tangannya, kening Rangga berkerut. Namun, dia tetap diam.Dia hanya memberi perintah pada kusir agar melanjutkan perjalanan. Lagi pula, kebenarannya bisa dia telusuri setelah kembali nanti. Tidak perlu terlalu dipikirk
Kening Andini perlahan mengerut. Jelas sekali, Nayshila salah paham padanya.Namun saat ini, dia tidak ingin berdebat dengan Nayshila. Tanpa bukti yang kuat, Nayshila tetap tidak akan percaya pada apa pun yang dikatakannya.Namun, pandangan Kalingga tiba-tiba berubah tajam. Sorot matanya meredup penuh kemarahan. Saat dia menoleh pada Nayshila, ucapannya menyiratkan teguran keras, "Sebelum kebenarannya terbukti dengan jelas, jangan asal ngomong."Nayshila langsung menunjukkan wajah tidak terima, nada bicaranya juga terdengar buru-buru, "Apanya yang belum jelas? Aku ada di sana sama Ibu! Hampir saja kami jadi korban penjahat itu! Kalau bukan karena Kak Dianti, mungkin kami berdua sudah ...!"Mengingat kembali kejadian di hutan, mata Nayshila mulai memerah. Jelas sekali dia benar-benar ketakutan dan masih trauma.Nada bicaranya pun berubah penuh keluhan, "Aku bahkan masih kepikiran Kak Andini waktu itu ... aku mau mencarinya! Tapi ternyata, dia sudah lari duluan untuk menyelamatkan diri!"
Nayshila juga merasa terkejut dalam hati.Saat tersadar kembali tadi, dia dan Malika tengah berbaring di balik sebuah batu besar dengan dikelilingi oleh empat orang penjaga berpakaian hitam.Tentunya dia sempat mencoba melawan. Namun, baru saja bertahan dengan beberapa jurus, tubuhnya sudah kembali ditekan hingga tak berdaya.Saat itulah, Dianti muncul. Dengan menyandera seorang penyerang.Mengingat kembali kejadian itu, dahi Nayshila mengernyit. Namun tetap saja, dia menoleh ke arah Andini dan berkata, "Kamu nggak usah nyindir begitu.""Kak Dianti memang nggak belajar bela diri, tapi kalau dia bisa membunuh Panji waktu lengah, tentu saja dia juga bisa menyandera penjahat waktu yang lain lengah! Yang jelas, aku dan Ibu selamat karena Kak Dianti. Itu fakta!"Dianti juga cepat-cepat mengikuti alur pembelaan Nayshila. "Kakak mungkin belum tahu, waktu itu Panji berusaha menodai aku, tapi dia malah terpeleset batu di gua. Aku benar-benar panik. Entah dapat kekuatan dari mana, aku langsung m
Tatapan terakhir yang diberikan Andini tadi penuh makna.Hati Dianti mendadak mencelos, seolah baru tersadar akan sesuatu. Dia menoleh perlahan menatap Astuti.Benar ... meski Panji sudah tewas, masih ada satu orang lain yang tahu soal kerja sama kotornya dengan Panji.Sementara itu, Astuti sendiri masih terguncang oleh tatapan dingin Andini tadi. Saat dia belum sempat pulih dari rasa takut itu, tiba-tiba sebuah sorot mata yang dingin dan penuh ancaman dari Dianti langsung menghantam dirinya.Tatapan yang sekilas itu penuh kekejaman sehingga membuat hatinya ketakutan.Astuti buru-buru menunduk dan tidak berani menatap Dianti.Di sisi lain, Nayshila berkata dengan kejam, "Apa maksudnya tadi? Apa maksudnya banyak berbuat jahat bakal celaka sendiri? Dia nyindir siapa?!"Bagaimanapun, Dianti pernah menjadi sahabat Nayshila selama tiga tahun. Tentunya, dia tahu jelas bagaimana cara meredam emosi Nayshila. Dia pun langsung berkata, "Shila, jangan begitu. Mungkin Kakak memang salah paham pada
Namun, Dianti hanya bisa memainkan peran gadis lemah, lalu menunduk sedikit ke arah Rangga dan berkata lembut, "Kalau begitu, aku pamit istirahat dulu ya, Kak Rangga. Kakak juga sebaiknya cepat istirahat."Selesai bicara, dia pun membalikkan tubuh dan pergi.Rangga menatap punggungnya yang menjauh, sementara tangannya secara refleks menyentuh jubah yang tadi dikenakan Andini. Sorot matanya makin dalam dan kelam.Sepanjang perjalanan kembali ke kediamannya, Dianti tak mengucapkan sepatah kata pun. Saat tiba di kamarnya, dia baru berkata dengan pelan, "Tutup pintunya."Hati Astuti sontak menjadi tegang, tapi tetap menuruti perintah itu. Dia pun berbalik dan menutup pintu. Namun, saat dia berbalik kembali, Dianti sudah berdiri di belakangnya.Saking dekatnya, Astuti hampir terjatuh karena terkejut. Wajahnya langsung pucat, rasa ketakutan memenuhi mata dan tubuhnya.Melihat ekspresi itu, Dianti justru tersenyum manis, "Dasar gadis bodoh, takut apa?"Sambil tertawa kecil, dia menggenggam ta
Sementara itu, di kediaman Keluarga Maheswara, lampu-lampu masih menyala terang. Andini baru selesai membersihkan diri sejam yang lalu.Laras berdiri di belakangnya dan membantu mengeringkan rambutnya yang masih setengah basah, sambil diam-diam menyeka air mata. Tadi, dia melihat semuanya dengan jelas.Tubuh Nona-nya penuh dengan bekas luka. Baik luka lama maupun yang baru, semuanya membuat hatinya seakan remuk berkeping-keping. Bahkan rambutnya pun banyak yang patah, kulit kepala ada goresan-goresan .... Terbayang sudah betapa berat penderitaan yang dialami Nona-nya malam ini.Namun di luar sana, masih saja ada orang yang menyalahkan Nona-nya karena kabur sendiri!Sungguh keterlaluan! Kalau bukan karena terancam nyawa, mana mungkin Nona-nya tega menyiksa diri sampai seperti itu?Laras benar-benar marah sekaligus sangat sedih. Namun, dia hanya bisa menahan isak tangisnya dalam-dalam, takut kalau suara tangisnya sampai terdengar oleh Andini.Namun, Andini tetap mendengarnya. Dia menoleh
Laras berdiri di samping, tampak berpikir dalam diam. "Jadi, apakah mungkin ... Panji merasa nggak terima waktu sadar kembali, lalu ingin melampiaskannya pada Nona Dianti dan akhirnya malah dibunuh olehnya?"Kalingga menatap tajam ke depan dan berkata dengan dingin, "Memang ada kemungkinan. Tapi, kemungkinan besar, Dianti sengaja membunuhnya untuk menutup mulut."Andini mengangguk setuju. "Aku juga berpikir begitu. Dia mungkin membunuh Panji saat Panji masih dalam keadaan pingsan. Kalau nggak, Dianti mana mungkin bisa mengalahkan Panji?"Bagaimanapun juga, Dianti tidak pernah belajar bela diri.Jabal terlihat terkejut. "Padahal Nona Dianti itu kelihatannya begitu lemah lembut, masa dia benar-benar bisa sekejam itu?"Laras mendengus pelan. "Itu cuma topengnya saja! Dulu dia menyewa orang untuk membunuh Ratih, dan sekarang malah berani membunuh dengan tangannya sendiri. Siapa tahu ke depannya apa lagi yang akan dilakukannya?"Semakin dipikir, Laras merasa Dianti adalah perempuan yang san
Dalam keadaan linglung, Andini teringat saat dulu dirinya ditangkap oleh Panji dan dibawa masuk ke gua.Waktu itu, dia juga berlari sekuat tenaga ke dalam hutan, hingga akhirnya tidak tahu sudah berapa lama dia terjebak di sana. Pada akhirnya, Rangga yang menggendongnya keluar dari hutan itu.Andini tak ingin mengulang nasib yang sama. Jadi, sambil terus berlari, dia juga memperhatikan keadaan di belakangnya. Melihat Anom masih belum menyerah mengejar, dia mulai panik.Malam kian larut. Hanya dalam waktu singkat setelah menerobos masuk ke hutan, Andini sudah tidak bisa melihat apa-apa saking gelapnya. Hal yang paling dia khawatirkan akhirnya terjadi.Krek! Suara tajam menggema. Kakinya terjepit jebakan hewan!"Anom! Jangan ke sini lagi!" teriak Andini panik. "Di sini banyak jebakan! Aku juga kena!"Mendengar itu, suara langkah kaki Anom pun terhenti. Mungkin karena teringat pada temannya yang juga cedera, Anom akhirnya memutuskan untuk tidak lanjut mengejar, lalu berbalik dan pergi.Di
Tepat saat itu, terdengar suara samar-samar dari arah halaman.Andini tersentak, segera bangkit dan mengintip ke luar. Dia pun melihat bayangan seseorang yang mondar-mandir di halaman."Siapa di sana?""Aku."Suara itu terdengar cukup familier.Andini mencoba menebak, "Anom?""Benar!" sahut Anom, lalu berjalan ke depan pintu sambil berkata, "Ibuku masak sup ayam malam ini. Tapi gara-gara kejadian Bi Diah, jadi lupa. Tadi baru dipanaskan lagi, terus aku disuruh antar ke sini."Memang benar, Endah sering membuatkan sup ayam untuknya setiap beberapa hari sekali. Andini tidak terlalu curiga, jadi berkata, "Taruh saja di depan pintu, nanti aku ambil.""Baik!" Jawaban Anom cepat dan ringan.Tak lama kemudian, Andini melihat Anom keluar dari halaman. Dia bangkit, tertatih-tatih menuju pintu.Begitu membuka pintu, memang benar ada semangkuk sup ayam di atas lantai. Dia perlahan berjongkok, hendak mengambil mangkuk itu.Tepat saat itu, dari sudut halaman, tiba-tiba muncul bayangan. Sebelum Andi
Saat Surya kembali ke Desa Teluk Horta, matahari sudah terbenam. Dari kejauhan, dia langsung melihat halaman rumahnya dikerumuni oleh banyak orang.Hatinya langsung mencelos, tak tahu apa yang sedang terjadi. Seseorang melihatnya dan langsung berteriak, "Itu dia! Dia sudah kembali!"Semua orang pun serentak menoleh ke arah Surya.Begitu memasuki halaman, Surya langsung melihat Diah terbaring di tengah halaman. Di samping, Andini sedang berlutut.Terlihat dia memegang sebatang jarum sulam dan sedang menusukkannya ke tubuh Diah, yang matanya tampak sayu, antara sadar dan tidak."Ada apa ini?" Suara Surya terdengar dalam.Endah segera melangkah ke depan, menjelaskan, "Ihatra bertengkar sama ayahnya, terus kabur ke dalam hutan. Ayahnya takut terjadi apa-apa, jadi ikut masuk hutan juga.""Diah menunggu di rumah sampai langit hampir gelap. Dia panik dan langsung pingsan. Untungnya gadis ini menguasai ilmu medis. Baru dua tusukan jarum saja, Diah langsung siuman."Mendengar itu, tatapan Surya
Melihat punggung Surya yang semakin menjauh, Endah hanya bisa menghela napas, lalu berbalik dan berkata kepada Andini, "Aku rebus dulu ayamnya, nanti aku balik lagi ke sini."Usai berkata begitu, dia pun pergi.Andini duduk di dalam rumah, memandangi punggung Endah yang perlahan menghilang. Dia juga melihat dengan jelas bahwa Anom belum pergi.Anak itu masih berdiri di tempatnya, menatap Andini dari balik jendela. Saat Andini memandang balik ke arahnya, Anom buru-buru mengalihkan pandangan dan berseru, "Bu, tunggu aku!"Setelah itu, dia pun berbalik dan pergi. Namun, sorot mata Anom tak luput dari pandangan Andini.Tatapan yang dilontarkan padanya mengandung kebencian. Perasaan itu terlalu familier bagi Andini. Dulu ketika Dianti diam-diam memandangnya, sorot mata itu sama persis.Dua jam kemudian, Surya akhirnya tiba di kota kecil. Dia menjual hasil buruannya ke rumah makan yang sudah akrab dengannya, lalu berkeliling sesaat dan masuk ke sebuah gang kecil. Kemudian, dia mendorong pint
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it
Rangga pernah menculik Andini dan akhirnya membuat Andini terjatuh ke Sungai Mentari. Dendam itu masih terus disimpan Laras di dalam hati sampai sekarang.Meskipun statusnya hanyalah seorang pelayan biasa dan tak bisa berbuat apa-apa pada Rangga, jangan harap dia bersedia mengikuti Rangga!Selesai bicara, Laras pun membalikkan badan dan melangkah ke arah Kalingga. Kalingga masih tidak mengatakan apa-apa. Setelah mendengar kata-kata Laras barusan, seulas senyuman tipis tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.Senyuman ringan itu, sekalipun sangat tipis, tetap menyakitkan mata Rangga. Dia tidak mengerti. Kenapa Andini tidak mau bersamanya, bahkan pelayannya pun menolaknya?Rangga sontak melangkah maju, hendak menarik tangan Laras. Namun, baru satu langkah diambil, terdengar suara Kalingga yang datar. "Rangga."Hanya satu panggilan pelan, tetapi makna ancamannya sangat jelas. Apabila Rangga benar-benar menahan Laras, Kalingga pasti akan bertindak.Rangga pun berhenti. Aura yang dipancarkan
Jabal mencari tiga kuda terbaik dari kediaman dan berangkat malam itu juga menuju lokasi yang berjarak lebih dari 50 kilometer.Perjalanan tidak sepenuhnya mulus. Mayat perempuan itu ditemukan di sebuah desa kecil. Ketika mereka tiba, matahari sudah bersinar terik.Di luar desa, anak buah mereka sudah menunggu. Begitu turun dari kuda, Kalingga segera masuk ke desa. "Di mana?""Masih di tepi sungai," kata anak buah itu sambil menurunkan suaranya. "Jenderal Rangga juga ada di sana."Mendengar itu, Kalingga sempat tercengang sejenak. Dia mengikuti arah yang ditunjuk. Benar saja, di tepi sungai tak jauh dari sana, terlihat Rangga sedang membuka kain putih penutup mayat. Wajahnya memperlihatkan ekspresi jijik.Melihat itu, Kalingga merasa lega. Dari ekspresi Rangga, seharusnya itu bukan Andini. Namun, detik berikutnya, hatinya kembali diliputi amarah. Informasi itu datang dari bawahannya sendiri, kenapa Rangga bisa lebih dulu sampai di sini?Di belakang, Laras yang melihat mayat tertutup ka
Tingkah mereka yang berpura-pura mabuk tadi memang tak terlihat mencurigakan. Namun, akting setelah mereka "sadar" barusan sungguh buruk. Beberapa dari mereka bahkan langsung terbangun, padahal tidak disiram.Andini mengernyit pelan saat memikirkan hal ini, lalu secara refleks menoleh ke arah jendela. Di sana, dia melihat sosok tinggi besar itu berjalan ke arah barat, menuju ke bawah atap.Dia tak ingin berpikiran buruk tentang orang lain, tetapi saat itu di halaman hanya ada dia seorang yang bukan dari kalangan mereka. Mereka semua pura-pura mabuk, jelas-jelas untuk diperlihatkan kepadanya.Kenapa? Sedang mengujinya? Apakah karena sebelumnya dia secara tidak sengaja menunjukkan sedikit kemampuan bela dirinya?Namun, jika Surya hanya pemburu biasa, bagaimana mungkin dia bisa terpikir menggunakan cara semacam ini? Jangan-jangan identitasnya pun tidak sesederhana itu?Begitu benih kecurigaan tertanam, hal itu mulai tumbuh liar dalam hati. Andini berusaha keras mengingat semua kejadian se
Andini sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di belakangnya. Begitu keluar dari pagar bambu, kaki kirinya terasa sakit lagi. Langkahnya semakin pincang. Sebelum berjalan jauh, dia sudah mulai memanggil, "Bi Endah! Bi Endah!"Dia sama sekali tidak tahu, sebelum dia membuka mulut, sebilah belati nyaris menyentuh leher putihnya dari belakang, hanya sedikit lagi sudah akan menggorok tenggorokannya.Namun, saat dia memanggil nama Endah, belati itu tiba-tiba ditarik mundur, lalu pemiliknya buru-buru kembali ke dalam halaman.Tak lama kemudian, lampu di rumah Endah kembali menyala. Wanita itu bertanya, "Ada apa? Ada apa ini?"Andini memandang Endah dengan wajah penuh rasa bersalah. "Kak Arjuna dan teman-temannya mabuk semua, mereka tidur di luar. Aku khawatir mereka masuk angin kalau tidur di luar. Bisa Bibi bantu aku?"Di dalam pagar, para pria yang mendengarnya saling melirik, masing-masing mulai merasa bersalah."Aduh, ya sudah, aku ke sana sekarang!" sahut Endah cepat-cepat. Tak la