Andini mengernyit dan menatap Abimana dengan kesal. Seharusnya, siapa pun yang memiliki mata pasti bisa melihat bahwa kejadian barusan berada di luar kendali Andini, 'kan?Namun tidak bisa dipungkiri, kedua saudara dari Keluarga Biantara ini memang tidak memiliki mata.Saat Andini ingin membantah, Rangga langsung menyela, "Ini salahku, nggak ada hubungannya dengan Andini."Tidak disangka, Rangga langsung mengambil tanggung jawab masalah ini.Air mata Dianti semakin deras. "Kak Rangga ...."Sedari tadi, Dianti terus meyakinkan diri bahwa semua ini salahnya Andini. Dia yakin Andini telah merayu Rangga. Oleh karena itu, dia begitu marah terhadap Andini. Siapa sangka, Rangga mengaku bahwa ini salahnya.Seketika, hati Dianti serasa ditusuk dengan ribuan pedang. Dia tak kuasa meratap, "Kalau Kak Rangga suka Kak Andini, Kak Rangga bisa ... bisa bilang saja langsung. Lagi pula, pernikahan itu awalnya memang buat Kak Andini.""Aku yang sudah merebut milik Kak Andini, kukembalikan saja! Tapi, ka
Salah orang?Dianti yang tidak kunjung tenang dihibur oleh Abimana, langsung berhenti menangis begitu mendengarnya.Dia menoleh dan menatap Rangga dengan mata terbelalak. "Kak Rangga salah mengenali Kak Andini sebagai ... siapa?"Tanpa sadar, Rangga mengernyit. Menurutnya, ucapannya sudah cukup jelas, kenapa Dianti masih perlu menanyakannya?Namun bagi Dianti, setelah melihat adegan romantis di antara Andini dan Rangga, dia harus mendapatkan jawaban yang lebih konkret.Hanya saja, Rangga tidak lagi menjawab. Suasana kembali menjadi canggung.Abimana buru-buru menjelaskan, "Tentu saja salah mengenalnya sebagai kamu. Pasti Rangga sudah terlalu mabuk, lalu pelayan melaporkan kedatangan putri dari Kediaman Adipati, jadi Rangga langsung mengira itu kamu."Usai berkata, Abimana segera menendang kaki Rangga dari bawah meja dan memberinya isyarat mata. "Benar, bukan?"Rangga menatap Abimana dengan sinis sebelum mengiakan pelan.Namun, dia yang merupakan seorang jenderal, sebenarnya sudah serin
Jadi, Rangga bukan salah mengenali orang!Melihat mata Dianti yang tiba-tiba membelalak dan kembali dipenuhi air mata, Andini merasakan kepuasan yang samar di hatinya.Dia menyeringai, lalu berkata kepada Dianti dengan nada mengejek, "Aku berada di istana selama tiga tahun. Begitu aku keluar, Nyonya Kirana langsung sibuk mengatur pernikahanku, begitu pula Tuan Abimana. Wajar saja, umur 18 tahun memang sudah cukup dewasa.""Lalu, bagaimana denganmu, Nona Dianti? Kamu sudah lama bertunangan dengan Jenderal Rangga, tapi kenapa sampai sekarang belum juga menikah? Apa selama tiga tahun ini belum menemukan hari yang baik?"Serangan yang menusuk hati. Meskipun alasan mereka belum menikah adalah karena sang nenek bersikeras menunggu kepulangan Andini untuk menanyakan pendapatnya terlebih dahulu, Dianti tahu jika Rangga benar-benar menginginkannya, tidak ada yang bisa menghalanginya.Fakta bahwa mereka belum menikah hingga kini hanya membuktikan satu hal, yaitu Rangga memang tidak menginginkann
Sejam kemudian, Abimana dan Rangga akhirnya kembali ke ruangan.Melihat hanya ada Andini di dalam, Abimana sontak terkejut. "Di mana Dian?"Andini menuangkan secangkir teh untuk dirinya sendiri dengan santai. "Sudah pergi.""Pergi ke mana?" tanya Abimana buru-buru.Andini hanya mengangkat bahu. "Aku bukan cacing dalam perut Nona Dianti. Bagaimana aku tahu dia pergi ke mana?""Kamu!" Abimana merasa sesak karena sikap Andini. Namun, karena tujuan utama hari ini adalah membahas pernikahan Andini, dia menekan emosinya dengan paksa. "Sudahlah, para tamu sudah datang dan jamuan akan segera dimulai. Kalau nggak ada urusan, keluarlah untuk melihat-lihat."Setelah berkata begitu, Abimana langsung berbalik dan berjalan keluar terlebih dahulu.Andini menyesap teh di tangannya sebelum perlahan-lahan berdiri dan mengikutinya keluar.Namun, saat melewati Rangga, pria itu tiba-tiba menghalanginya."Apa yang kamu katakan padanya?" Suara rendah Rangga mengandung sedikit kewaspadaan, jauh berbeda dari s
Itu adalah tawa yang tulus, bahkan mengandung sedikit kekaguman.Kenapa? Rangga tidak mengerti.Di sisi lain, Abimana yang menyaksikan itu juga merasa dadanya sesak.Namun, jika Andini sama sekali tidak terganggu melihat Byakta menjadi pelayan, dia akan mengambil tindakan selanjutnya.Abimana pun melirik ke sudut aula di lantai bawah. Di sudut itu, duduk seorang pria yang tampak terus melirik ke lantai dua.Saat pria itu menyadari tatapan Abimana, dia seperti menerima sinyal. Dia langsung melambaikan tangan ke arah Byakta sambil berseru, "Hei, kamu, ke sini!"Mendengar suara itu, Andini juga menoleh ke arah pria itu. Wajahnya langsung berubah dingin.Itu Dimas! Pria yang hampir menenggelamkannya dulu!Andini tidak menyangka bahwa setelah dia menampar Abimana, pria itu masih berani memanggil Dimas ke sini!Andini mengerutkan kening dan melotot tajam ke arah Abimana.Abimana jelas merasakan tatapan tajam itu, tetapi dia pura-pura tidak peduli dan tetap fokus menatap ke bawah.Pada saat i
Wajah Andini tampak datar. Dia menghentikan Byakta, lalu mengambil makanan yang berantakan di lantai.Byakta terkejut, mengira Andini ingin memakan makanan itu untuk menggantikannya. Dia hendak mencegahnya, tetapi tak disangka Andini langsung menyodokkan makanan di tangannya ke mulut Dimas.Dimas buru-buru menghindar, tetapi makanan itu tetap mengenai wajahnya. Sebagai putra dari keluarga Menteri Perekonomian, kapan dia pernah menerima penghinaan seperti ini?Dimas langsung naik pitam. "Kamu pikir kamu siap? Berani sekali kamu menyentuhku!""Aku nenek moyangmu!" Suara Andini tidak terlalu keras, tetapi cukup jelas untuk didengar semua orang yang hadir.Di seluruh ibu kota, hampir tidak ada wanita yang berani berbicara seperti ini kepada Dimas. Seketika, semua orang mulai memperhatikan Andini dengan saksama.Dimas sebelumnya selalu menghindari Andini. Ini adalah pertama kalinya dia melihatnya dari jarak sedekat ini. Dia memandang Andini cukup lama sebelum akhirnya sadar. "Oh, aku pikir
Segera, beberapa orang mulai berkomentar."Betul, kalau bukan karena menghormati Keluarga Adipati, aku juga nggak akan datang!""Ibuku yang memaksaku datang, katanya untuk melengkapi jumlah tamu saja.""Jujur saja, aku nggak tertarik pada wanita seperti dia. Dia cuma mengandalkan Keluarga Adipati.""Tapi, dia cuma anak angkat. Lagi pula, ibuku juga nggak menyetujuinya."Dalam sekejap, semua orang melontarkan hinaan untuk Andini.Di lantai dua, wajah Abimana dan Rangga sudah sangat suram.Abimana menggenggam erat pagar di depannya. Ketika matanya bertemu dengan tatapan Andini yang penuh amarah, dia tahu dia telah membuat kekacauan besar lagi hari ini.Byakta lebih marah lagi. Bahkan Andini bisa merasakan lengan yang digenggamnya sudah sekeras baja.Takut Byakta akan melakukan sesuatu yang terlalu gegabah karena marah, Andini buru-buru menoleh dan memberinya senyuman lembut.Byakta terkejut. Dia tidak menyangka dalam situasi seperti ini, Andini masih bisa tersenyum dengan begitu lembut d
Sekelompok pemuda yang biasanya hanya tahu mabuk-mabukan dan bersenang-senang ini, tentu tidak pernah melihat niat membunuh yang begitu mengerikan. Dalam sekejap, mereka semua terdiam ketakutan.Meskipun orang yang tergeletak di lantai masih berdarah, tidak ada seorang pun dari mereka berani mendekat untuk memeriksa keadaannya. Bahkan di lantai dua, Abimana dan Rangga hanya berdiri dengan alis berkerut, tidak mengatakan sepatah kata pun.Dimas jelas juga terkejut. Namun, mungkin karena ancaman Byakta tadi seperti ditujukan kepadanya, rasa malu dan marah bercampur menjadi satu.Entah dari mana datangnya keberaniannya, Dimas tiba-tiba berteriak dengan lantang, "Berani sekali kamu! Semua yang ada di sini adalah dari keluarga kaya dan terpandang. Aku akan melaporkanmu ke pihak berwajib dan memastikanmu dipenjara sepuluh tahun!""Nggak masalah!" Wajah Byakta tetap dingin. Matanya menatap tajam ke arah Dimas. Suaranya begitu rendah hingga terdengar menakutkan. "Kalaupun aku harus membayar de
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it
Rangga pernah menculik Andini dan akhirnya membuat Andini terjatuh ke Sungai Mentari. Dendam itu masih terus disimpan Laras di dalam hati sampai sekarang.Meskipun statusnya hanyalah seorang pelayan biasa dan tak bisa berbuat apa-apa pada Rangga, jangan harap dia bersedia mengikuti Rangga!Selesai bicara, Laras pun membalikkan badan dan melangkah ke arah Kalingga. Kalingga masih tidak mengatakan apa-apa. Setelah mendengar kata-kata Laras barusan, seulas senyuman tipis tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.Senyuman ringan itu, sekalipun sangat tipis, tetap menyakitkan mata Rangga. Dia tidak mengerti. Kenapa Andini tidak mau bersamanya, bahkan pelayannya pun menolaknya?Rangga sontak melangkah maju, hendak menarik tangan Laras. Namun, baru satu langkah diambil, terdengar suara Kalingga yang datar. "Rangga."Hanya satu panggilan pelan, tetapi makna ancamannya sangat jelas. Apabila Rangga benar-benar menahan Laras, Kalingga pasti akan bertindak.Rangga pun berhenti. Aura yang dipancarkan
Jabal mencari tiga kuda terbaik dari kediaman dan berangkat malam itu juga menuju lokasi yang berjarak lebih dari 50 kilometer.Perjalanan tidak sepenuhnya mulus. Mayat perempuan itu ditemukan di sebuah desa kecil. Ketika mereka tiba, matahari sudah bersinar terik.Di luar desa, anak buah mereka sudah menunggu. Begitu turun dari kuda, Kalingga segera masuk ke desa. "Di mana?""Masih di tepi sungai," kata anak buah itu sambil menurunkan suaranya. "Jenderal Rangga juga ada di sana."Mendengar itu, Kalingga sempat tercengang sejenak. Dia mengikuti arah yang ditunjuk. Benar saja, di tepi sungai tak jauh dari sana, terlihat Rangga sedang membuka kain putih penutup mayat. Wajahnya memperlihatkan ekspresi jijik.Melihat itu, Kalingga merasa lega. Dari ekspresi Rangga, seharusnya itu bukan Andini. Namun, detik berikutnya, hatinya kembali diliputi amarah. Informasi itu datang dari bawahannya sendiri, kenapa Rangga bisa lebih dulu sampai di sini?Di belakang, Laras yang melihat mayat tertutup ka
Tingkah mereka yang berpura-pura mabuk tadi memang tak terlihat mencurigakan. Namun, akting setelah mereka "sadar" barusan sungguh buruk. Beberapa dari mereka bahkan langsung terbangun, padahal tidak disiram.Andini mengernyit pelan saat memikirkan hal ini, lalu secara refleks menoleh ke arah jendela. Di sana, dia melihat sosok tinggi besar itu berjalan ke arah barat, menuju ke bawah atap.Dia tak ingin berpikiran buruk tentang orang lain, tetapi saat itu di halaman hanya ada dia seorang yang bukan dari kalangan mereka. Mereka semua pura-pura mabuk, jelas-jelas untuk diperlihatkan kepadanya.Kenapa? Sedang mengujinya? Apakah karena sebelumnya dia secara tidak sengaja menunjukkan sedikit kemampuan bela dirinya?Namun, jika Surya hanya pemburu biasa, bagaimana mungkin dia bisa terpikir menggunakan cara semacam ini? Jangan-jangan identitasnya pun tidak sesederhana itu?Begitu benih kecurigaan tertanam, hal itu mulai tumbuh liar dalam hati. Andini berusaha keras mengingat semua kejadian se
Andini sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di belakangnya. Begitu keluar dari pagar bambu, kaki kirinya terasa sakit lagi. Langkahnya semakin pincang. Sebelum berjalan jauh, dia sudah mulai memanggil, "Bi Endah! Bi Endah!"Dia sama sekali tidak tahu, sebelum dia membuka mulut, sebilah belati nyaris menyentuh leher putihnya dari belakang, hanya sedikit lagi sudah akan menggorok tenggorokannya.Namun, saat dia memanggil nama Endah, belati itu tiba-tiba ditarik mundur, lalu pemiliknya buru-buru kembali ke dalam halaman.Tak lama kemudian, lampu di rumah Endah kembali menyala. Wanita itu bertanya, "Ada apa? Ada apa ini?"Andini memandang Endah dengan wajah penuh rasa bersalah. "Kak Arjuna dan teman-temannya mabuk semua, mereka tidur di luar. Aku khawatir mereka masuk angin kalau tidur di luar. Bisa Bibi bantu aku?"Di dalam pagar, para pria yang mendengarnya saling melirik, masing-masing mulai merasa bersalah."Aduh, ya sudah, aku ke sana sekarang!" sahut Endah cepat-cepat. Tak la
Kata "orang kasar" benar-benar mewujud saat ini. Andini sempat terpaku menatap mereka.Surya membelakangi Andini, tentu saja tidak menyadarinya. Namun, pria yang duduk di depannya melihat tatapan Andini, lalu melirik ke arah Surya dan mengangkat dagunya sedikit.Surya pun menoleh. Ketika melihat Andini sedang tersenyum sendiri ke arah mereka, Surya seperti baru menyadari sesuatu. Dia mendorong pria di sampingnya. "Tenang sedikit."Baru saat itu, rombongan pria itu menyadari bahwa masih ada seorang perempuan di sini. Mereka buru-buru minta maaf."Maaf ya, Nona. Kami ini orang-orang kasar, mulut kami kadang suka seenaknya!""Iya, Nona. Kalau tadi ada kata-kata yang nggak enak didengar, anggap saja kami cuma kentut!""Kamu yang kentutnya paling bau, hahahaha!""Sialan kamu!"Suasana kembali ceria, penuh tawa dan canda. Andini memandangi para pria itu. Meskipun kasar dan berisik, kehangatan dan keharmonisan ini adalah sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya.Andini pun tersenyum lem
Surya pertama kali turun ke medan perang saat usianya baru enam belas tahun.Sebagai seorang pangeran, ibunya tidak memiliki latar belakang yang kuat. Dia tahu dalam perebutan takhta, dirinya tak mungkin bisa menyaingi para kakaknya. Jika terus tinggal di ibu kota, mungkin suatu hari nanti dia akan menjadi mangsa di tangan orang lain.Karena itu, dia mengajukan diri untuk menjadi prajurit garis depan di bawah komando jenderal besar saat itu.Tahun itu, suku Tru sering mengganggu perbatasan. Rakyat Negara Darsa sangat menderita karena kekacauan itu.Dia memacu kuda di barisan paling depan, menyerbu ke medan perang. Pedang besarnya berayun liar. Saat bilah tajam itu menebas tubuh musuh, dia bahkan bisa mendengar jelas suara tulang yang terbelah.Darah hangat memercik ke wajahnya, dunia seolah-olah berubah merah seketika. Dia mendengar detak jantungnya sendiri begitu keras, tetapi tak bisa membedakan apakah itu karena takut atau justru karena gairah.Di medan perang yang kejam, di mana hi
Sambil bicara, Surya menoleh ke arah para pria kekar di belakang Anom, lalu berkata, "Kalian lakukan sendiri. Di sana ada kapak dan parang."Setelah itu, dia pun berbalik dan berjalan ke samping. Beberapa pria itu langsung maju dan menangkap Anom.Anom ketakutan setengah mati, berteriak dan menangis sambil terus memohon ampun. Namun, kekuatan para pria itu terlalu besar. Tangan Anom ditarik dan ditekan ke tanah.Kapak pun diangkat tinggi-tinggi, memantulkan kilatan dingin cahaya, lalu dihantamkan dengan keras."Argh!" Anom menjerit. Bagian selangkangannya langsung terasa hangat, seluruh tubuhnya jatuh lemas ke tanah. Namun ... ternyata tangannya masih utuh.Salah satu pria berkata dengan dingin, "Kalau masih berani ulangi lagi, kami nggak akan biarkan begitu mudah!"Pria lain mengeluarkan kantong uang dari balik bajunya dan menyerahkannya kepada Surya. "Ini, Kak.""Terima kasih. Kalian makan saja dulu sebelum pergi," ucap Surya."Siap! Nanti teman kita akan bawa daging dan arak ke sini
Endah masih terus menangis. Surya tidak tahu harus bagaimana menenangkannya. Meskipun sosoknya besar dan kekar, dia justru tampak kewalahan saat berdiri di samping Endah.Akhirnya, Andini yang menenangkan Endah untuk beberapa saat. Suasana hati Endah pun membaik. Melihat waktu sudah tidak pagi lagi dan dia masih harus turun ke ladang, Endah pun tidak berlama-lama di situ.Setelah mengantar Endah pergi, Surya menuju ke sisi barat halaman dan mulai sibuk bekerja. Dia berencana membangun atap untuk berteduh. Soalnya kalau hujan turun, dia tidak punya tempat untuk tidur.Melihat Surya sesibuk seperti itu, Andini akhirnya tak tahan untuk bertanya, "Kak Arjuna, kamu benar-benar percaya kalau Anom ambil uang itu buat bayar utang?"Uang itu bukan hasil kerja Andini, jadi dia merasa tidak berhak ikut campur. Namun, dia juga tidak tega melihat penyelamatnya ditipu.Tangan Surya tak berhenti bekerja, suaranya terdengar dalam dan tenang. "Dia pergi judi."Mendengar itu, Andini terkejut. "Kalau beg