Andini merasa agak terkejut. Dianti telah meninggalkan tempat itu, lalu kenapa Rangga tidak mengejarnya? Untuk apa dia berdiri di luar aula leluhur?Mau menunggunya? Apakah ada sesuatu yang ingin dikatakan Rangga padanya?Namun, Andini malah tidak ingin berbicara sepatah kata pun dengan pria itu. Oleh karena itu, dia berpura-pura tidak melihat Rangga dan berjalan melewatinya.Hanya saja, saat melewati sisi Rangga, suara Rangga yang dingin terdengar di telinga Andini. "Nona Andini ingin sekali jadi putri ya?" Suaranya yang rendah menyiratkan sindiran.Langkah Andini sedikit terhenti, tetapi dia tidak menoleh untuk melihat Rangga. Dia hanya menjawab dengan tenang, "Menurut Jenderal Rangga, kalau aku jadi putri, apakah aku masih harus menjalani hari-hari sulit seperti ini?"Bahkan untuk menghadapi seorang pelayan kecil saja, dia harus menghabiskan seluruh energinya.Rangga tidak menjawab dan Andini juga tidak menunggunya untuk berbicara. Dia langsung pergi tanpa menoleh. Pasalnya, mereka
Namun, Abimana langsung mengibaskan tangannya. "Aku nggak peduli! Aku nggak akan biarkan dia ikut Pangeran Baskoro ke Kota Gatra!"Begitu tiba di Kota Gatra, bukankah Baskoro akan semakin tidak terkendalikan? Dia takut pada saat itu, jika Andini benar-benar dipukuli sampai mati, dia baru akan mendengar kabar itu tiga atau lima bulan kemudian!Mengingat saat Andini kembali dengan tubuh penuh luka hari itu, hati Abimana terasa sangat perih. Namun, memikirkan sikap keras kepala Andini yang bersikeras ingin menikah dengan Baskoro, dia merasa sangat marah!Abimana langsung menenggak habis araknya untuk mencoba meredam amarah di hatinya. Namun, suara Rangga terdengar di telinganya, "Kalau dia nggak menikah sama Pangeran Baskoro, lalu mau nikah sama siapa?"Abimana melotot padanya, "Dia nikah sama siapa itu bukan urusanmu! Menikah sama siapa saja lebih baik daripada menikah sama Pangeran Baskoro! Bahkan kalau jadi selir sekalipun, itu masih lebih baik daripada dipukuli sampai mati!"Gerakan t
Dengan tatapan yang tenang, gerakan tangan Rangga yang memegang cawan itu terhenti seketika. Namun, suaranya terdengar sangat kejam. "Itu kejahatan besar yang bisa buat semua keluargaku dihukum mati. Abi, jangan bercanda soal itu."Mendengar itu, Abimana mulai merasa ragu dan menatap Rangga dengan penuh curiga. Dugaannya tadi memang terlalu ekstrem.Jika Rangga benar-benar berencana membunuh Baskoro, itu berarti dia mempertaruhkan seluruh Keluarga Maheswara. Namun, demi Andini, apakah itu sepadan?Abimana jelas merasa itu tidak sepadan. Dia juga tidak percaya Rangga akan mengambil risiko sebesar itu. Namun, ekspresi Rangga yang terlihat begitu tenang dan sulit diterka membuat Abimana mulai berpikir macam-macam.Abimana juga tahu bahwa dia tidak akan pernah bisa menebak isi pikiran Rangga jika Rangga tidak menjelaskannya secara langsung.Oleh karena itu, dia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan hal itu. Dengan dahi yang sedikit berkerut, dia berkata, "Rencana ini memang bagus, tapi
Rangga menatap Abimana dengan tatapan tajam. Abimana tiba-tiba menyadari maksud tersembunyinya. Tidak semua hal harus benar-benar terjadi untuk dianggap nyata. Selama orang lain percaya bahwa itu benar, maka tujuannya sudah tercapai.Abimana merasa bulu kuduknya merinding, lalu menghela napas panjang sambil menatap Rangga dengan sedikit kesal. "Setelah beberapa tahun di medan perang, kamu ternyata semakin licik!"Rangga hanya menganggapnya sebagai pujian, sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman dingin. Namun, Abimana menghela napas panjang. "Tapi kalau ini benar-benar terjadi, Andini mungkin akan membenciku seumur hidupnya."Sampai sekarang saja, Andini tidak mau memanggilnya Kakak. Kalau nanti benar-benar harus menikah dengan Kalingga, mungkin Andini akan memandangnya sebagai musuh selama sisa hidupnya.Rangga menunduk sedikit, lalu tersenyum tipis. "Cepat atau lambat, dia akan tahu bahwa semua ini demi kebaikannya."Mendengar ucapannya, Abimana hanya mendengus dingin. "Gadis itu
Namun, tentu saja Ratih tidak akan semudah itu dibawa oleh Laras. Dianti begitu protektif terhadap Ratih, ditambah lagi dia tahu jelas apa yang akan dilakukan Andini jika Ratih dibawa ke Paviliun Anaya. Jadi, mana mungkin dia akan membiarkan Ratih pergi semudah itu?Saat Andini keluar dari halaman Ainun dan melihat wajah muram Laras, dia bisa menebak apa yang telah terjadi."Nona …." Baru saja hendak mengadu, Laras telah dihentikan oleh Andini. "Ayo, kita ke Paviliun Persik."Sambil berbicara, mereka bergegas ke arah Paviliun Persik.Laras segera mengikuti dari belakang. "Nona benar-benar ingin pergi ke Paviliun Persik? Kalau Tuan dan Nyonya tahu ....""Biarkan mereka tahu." Andini mengangkat dagunya sedikit dengan senyuman tipis di sudut bibirnya. "Bahkan lebih baik lagi kalau Abimana juga tahu."Mendengar hal itu, Laras tampak bingung. Dia tidak mengerti maksud Andini, tetapi tetap memberi isyarat kepada beberapa pelayan lain untuk menyampaikan kabar bahwa Andini pergi ke Paviliun Pe
"Nyonya, Nona Dianti tiba-tiba demam. Aku takut kamu tertular, lebih baik jangan dekat-dekat."Jika terlalu dekat, segalanya lebih mudah terbongkar.Mendengar itu, Kirana langsung menghentikan langkahnya dan memandang dari kejauhan. "Gimana bisa tiba-tiba sakit seperti itu?"Ratih tidak menjawab, sementara Dianti yang berbaring di tempat tidur masih pura-pura tidur tanpa berkata apa-apa.Hanya Andini yang menenangkan dengan lembut, "Jangan khawatir, Nyonya. Tabib kediaman akan segera datang."Mendengar bahwa tabib akan datang, Ratih langsung terlihat tegang, tetapi dia tetap menunduk tanpa berkata apa-apa.Sementara itu, Abimana mengalihkan perhatiannya kepada Andini. "Kenapa kamu kelihatan peduli sekali?" Ini sangat tidak biasa.Andini tersenyum. "Aku bukan datang untuk memberi perhatian, tapi untuk menepati janji yang dibuat di aula leluhur. Dianti sendiri yang bilang aku bisa membawa Ratih kapan pun kalau aku ingin menghukumnya. Itu sebabnya, aku kemari."Mendengar itu, wajah Abiman
Begitu mendengarnya, Dianti hanya bisa tertegun di tempat. Dia menatap Andini dengan kaget, panik, gelisah, dan ... takut?Andini tidak mengerti. Dia hanya menanyakan identitas seorang pelayan, kenapa Dianti sampai menunjukkan ekspresi ketakutan? Bahkan, dia lupa menangis dan hanya diam tertegun tanpa berkata apa pun.Di sisi lain, Abimana tidak tahan lagi. Dia maju, lalu mendorong Andini dan membungkuk untuk membantu Dianti berdiri. "Ratih tumbuh bersama Dian. Mereka seperti saudara. Kamu pikir semua orang sekejam dirimu?"Kirana ikut berkata, "Andin, Ibu tahu kamu pasti khawatir ada orang jahat di sekitar adikmu. Tapi, tenang saja. Saat Dian dibawa kemari, kami sudah menyelidiki semua. Ratih adalah putri tetangga dari orang tua kandungmu, jadi hubungannya dengan Dianti memang sangat dekat."Kirana sengaja menyebutkan orang tua kandung Andini, entah untuk menjelaskan bahwa identitas Ratih bersih atau untuk mempermalukan Andini.Namun, itu tidak penting bagi Andini. Dia tidak peduli pa
Baru saja melewati jembatan batu, Laras langsung menendang bagian belakang lutut Ratih dengan satu kaki dan membentak, "Berlutut!"Seorang pelayan yang sigap segera membawakan kursi untuk Andini. Andini duduk di kursi itu, lalu Laras menyodorkan secangkir teh panas. Andini menerimanya dan memegang penutup cangkir dengan ringan, menyisihkan daun teh yang mengapung di atas permukaan air dengan santai.Bunyi jernih dari penutup cangkir yang menyentuh tepi cangkir terdengar begitu tajam, seolah-olah menjadi pisau yang menusuk hati Ratih berulang kali.Ratih yang sedang berlutut di sana mulai gemetaran, tidak lagi terlihat keberanian atau ketegasan seperti saat dia memfitnah Andini tiga tahun lalu.Setelah menyeruput teh, Andini tersenyum tipis. "Apa kamu pernah membayangkan suatu hari kamu akan jatuh ke tanganku?"Pertanyaan itu seolah-olah menyentuh tombol tersembunyi di dalam diri Ratih. Dia langsung merangkak maju dengan berlutut, memegang pergelangan kaki Andini, dan memohon ampun."Ma
Dalam keadaan linglung, Andini teringat saat dulu dirinya ditangkap oleh Panji dan dibawa masuk ke gua.Waktu itu, dia juga berlari sekuat tenaga ke dalam hutan, hingga akhirnya tidak tahu sudah berapa lama dia terjebak di sana. Pada akhirnya, Rangga yang menggendongnya keluar dari hutan itu.Andini tak ingin mengulang nasib yang sama. Jadi, sambil terus berlari, dia juga memperhatikan keadaan di belakangnya. Melihat Anom masih belum menyerah mengejar, dia mulai panik.Malam kian larut. Hanya dalam waktu singkat setelah menerobos masuk ke hutan, Andini sudah tidak bisa melihat apa-apa saking gelapnya. Hal yang paling dia khawatirkan akhirnya terjadi.Krek! Suara tajam menggema. Kakinya terjepit jebakan hewan!"Anom! Jangan ke sini lagi!" teriak Andini panik. "Di sini banyak jebakan! Aku juga kena!"Mendengar itu, suara langkah kaki Anom pun terhenti. Mungkin karena teringat pada temannya yang juga cedera, Anom akhirnya memutuskan untuk tidak lanjut mengejar, lalu berbalik dan pergi.Di
Tepat saat itu, terdengar suara samar-samar dari arah halaman.Andini tersentak, segera bangkit dan mengintip ke luar. Dia pun melihat bayangan seseorang yang mondar-mandir di halaman."Siapa di sana?""Aku."Suara itu terdengar cukup familier.Andini mencoba menebak, "Anom?""Benar!" sahut Anom, lalu berjalan ke depan pintu sambil berkata, "Ibuku masak sup ayam malam ini. Tapi gara-gara kejadian Bi Diah, jadi lupa. Tadi baru dipanaskan lagi, terus aku disuruh antar ke sini."Memang benar, Endah sering membuatkan sup ayam untuknya setiap beberapa hari sekali. Andini tidak terlalu curiga, jadi berkata, "Taruh saja di depan pintu, nanti aku ambil.""Baik!" Jawaban Anom cepat dan ringan.Tak lama kemudian, Andini melihat Anom keluar dari halaman. Dia bangkit, tertatih-tatih menuju pintu.Begitu membuka pintu, memang benar ada semangkuk sup ayam di atas lantai. Dia perlahan berjongkok, hendak mengambil mangkuk itu.Tepat saat itu, dari sudut halaman, tiba-tiba muncul bayangan. Sebelum Andi
Saat Surya kembali ke Desa Teluk Horta, matahari sudah terbenam. Dari kejauhan, dia langsung melihat halaman rumahnya dikerumuni oleh banyak orang.Hatinya langsung mencelos, tak tahu apa yang sedang terjadi. Seseorang melihatnya dan langsung berteriak, "Itu dia! Dia sudah kembali!"Semua orang pun serentak menoleh ke arah Surya.Begitu memasuki halaman, Surya langsung melihat Diah terbaring di tengah halaman. Di samping, Andini sedang berlutut.Terlihat dia memegang sebatang jarum sulam dan sedang menusukkannya ke tubuh Diah, yang matanya tampak sayu, antara sadar dan tidak."Ada apa ini?" Suara Surya terdengar dalam.Endah segera melangkah ke depan, menjelaskan, "Ihatra bertengkar sama ayahnya, terus kabur ke dalam hutan. Ayahnya takut terjadi apa-apa, jadi ikut masuk hutan juga.""Diah menunggu di rumah sampai langit hampir gelap. Dia panik dan langsung pingsan. Untungnya gadis ini menguasai ilmu medis. Baru dua tusukan jarum saja, Diah langsung siuman."Mendengar itu, tatapan Surya
Melihat punggung Surya yang semakin menjauh, Endah hanya bisa menghela napas, lalu berbalik dan berkata kepada Andini, "Aku rebus dulu ayamnya, nanti aku balik lagi ke sini."Usai berkata begitu, dia pun pergi.Andini duduk di dalam rumah, memandangi punggung Endah yang perlahan menghilang. Dia juga melihat dengan jelas bahwa Anom belum pergi.Anak itu masih berdiri di tempatnya, menatap Andini dari balik jendela. Saat Andini memandang balik ke arahnya, Anom buru-buru mengalihkan pandangan dan berseru, "Bu, tunggu aku!"Setelah itu, dia pun berbalik dan pergi. Namun, sorot mata Anom tak luput dari pandangan Andini.Tatapan yang dilontarkan padanya mengandung kebencian. Perasaan itu terlalu familier bagi Andini. Dulu ketika Dianti diam-diam memandangnya, sorot mata itu sama persis.Dua jam kemudian, Surya akhirnya tiba di kota kecil. Dia menjual hasil buruannya ke rumah makan yang sudah akrab dengannya, lalu berkeliling sesaat dan masuk ke sebuah gang kecil. Kemudian, dia mendorong pint
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it
Rangga pernah menculik Andini dan akhirnya membuat Andini terjatuh ke Sungai Mentari. Dendam itu masih terus disimpan Laras di dalam hati sampai sekarang.Meskipun statusnya hanyalah seorang pelayan biasa dan tak bisa berbuat apa-apa pada Rangga, jangan harap dia bersedia mengikuti Rangga!Selesai bicara, Laras pun membalikkan badan dan melangkah ke arah Kalingga. Kalingga masih tidak mengatakan apa-apa. Setelah mendengar kata-kata Laras barusan, seulas senyuman tipis tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.Senyuman ringan itu, sekalipun sangat tipis, tetap menyakitkan mata Rangga. Dia tidak mengerti. Kenapa Andini tidak mau bersamanya, bahkan pelayannya pun menolaknya?Rangga sontak melangkah maju, hendak menarik tangan Laras. Namun, baru satu langkah diambil, terdengar suara Kalingga yang datar. "Rangga."Hanya satu panggilan pelan, tetapi makna ancamannya sangat jelas. Apabila Rangga benar-benar menahan Laras, Kalingga pasti akan bertindak.Rangga pun berhenti. Aura yang dipancarkan
Jabal mencari tiga kuda terbaik dari kediaman dan berangkat malam itu juga menuju lokasi yang berjarak lebih dari 50 kilometer.Perjalanan tidak sepenuhnya mulus. Mayat perempuan itu ditemukan di sebuah desa kecil. Ketika mereka tiba, matahari sudah bersinar terik.Di luar desa, anak buah mereka sudah menunggu. Begitu turun dari kuda, Kalingga segera masuk ke desa. "Di mana?""Masih di tepi sungai," kata anak buah itu sambil menurunkan suaranya. "Jenderal Rangga juga ada di sana."Mendengar itu, Kalingga sempat tercengang sejenak. Dia mengikuti arah yang ditunjuk. Benar saja, di tepi sungai tak jauh dari sana, terlihat Rangga sedang membuka kain putih penutup mayat. Wajahnya memperlihatkan ekspresi jijik.Melihat itu, Kalingga merasa lega. Dari ekspresi Rangga, seharusnya itu bukan Andini. Namun, detik berikutnya, hatinya kembali diliputi amarah. Informasi itu datang dari bawahannya sendiri, kenapa Rangga bisa lebih dulu sampai di sini?Di belakang, Laras yang melihat mayat tertutup ka
Tingkah mereka yang berpura-pura mabuk tadi memang tak terlihat mencurigakan. Namun, akting setelah mereka "sadar" barusan sungguh buruk. Beberapa dari mereka bahkan langsung terbangun, padahal tidak disiram.Andini mengernyit pelan saat memikirkan hal ini, lalu secara refleks menoleh ke arah jendela. Di sana, dia melihat sosok tinggi besar itu berjalan ke arah barat, menuju ke bawah atap.Dia tak ingin berpikiran buruk tentang orang lain, tetapi saat itu di halaman hanya ada dia seorang yang bukan dari kalangan mereka. Mereka semua pura-pura mabuk, jelas-jelas untuk diperlihatkan kepadanya.Kenapa? Sedang mengujinya? Apakah karena sebelumnya dia secara tidak sengaja menunjukkan sedikit kemampuan bela dirinya?Namun, jika Surya hanya pemburu biasa, bagaimana mungkin dia bisa terpikir menggunakan cara semacam ini? Jangan-jangan identitasnya pun tidak sesederhana itu?Begitu benih kecurigaan tertanam, hal itu mulai tumbuh liar dalam hati. Andini berusaha keras mengingat semua kejadian se
Andini sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di belakangnya. Begitu keluar dari pagar bambu, kaki kirinya terasa sakit lagi. Langkahnya semakin pincang. Sebelum berjalan jauh, dia sudah mulai memanggil, "Bi Endah! Bi Endah!"Dia sama sekali tidak tahu, sebelum dia membuka mulut, sebilah belati nyaris menyentuh leher putihnya dari belakang, hanya sedikit lagi sudah akan menggorok tenggorokannya.Namun, saat dia memanggil nama Endah, belati itu tiba-tiba ditarik mundur, lalu pemiliknya buru-buru kembali ke dalam halaman.Tak lama kemudian, lampu di rumah Endah kembali menyala. Wanita itu bertanya, "Ada apa? Ada apa ini?"Andini memandang Endah dengan wajah penuh rasa bersalah. "Kak Arjuna dan teman-temannya mabuk semua, mereka tidur di luar. Aku khawatir mereka masuk angin kalau tidur di luar. Bisa Bibi bantu aku?"Di dalam pagar, para pria yang mendengarnya saling melirik, masing-masing mulai merasa bersalah."Aduh, ya sudah, aku ke sana sekarang!" sahut Endah cepat-cepat. Tak la