Saat ini Eric sudah berada di dalam mobilnya, dia dalam perjalanan kembali ke kantornya setelah membakar rumah milik Arya Subagja.
Eric menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi mobil, pandangan dinginnya itu menatap ke luar kaca jendela mobilnya, melihat jalanan yang dia lewati. Tiba-tiba terlintas di benaknya wanita yang tadi mencoba melarikan diri darinya. Dia melihat dengan jelas, bahwa perut dari wanita itu buncit. Itu artinya dia sedang hamil, apa mungkin putri dari Arya Subagja sudah menikah?“Jeff, apa putri dari ular tua itu memang sudah menikah?” tanyanya.“Maksud Anda Alana Tuan, menurut informasi yang saya terima. Dia belum menikah Tuan.”“Lalu, kenapa perutnya tadi buncit. Apa mungkin dia punya penyakit tumor di perut?” tanyanya lagi.“Buncit? Hmm, setahu saya dia juga tidak menderita penyakit apa pun Tuan. Tapi, tidak mungkin juga dia hamil tanpa punya suami. Atau mungkin, dia hamil di luar nikah?”Mendengar jawaban Jeff, tampak sudut kanan bibir Eric terangkat. Terlihat jelas bahwa dia memberikan senyuman ejekan pada Alana. “Jika benar dia hamil di luar nikah, apakah sifat ayah dan anak itu sama sampahnya? Ha, memang benar. Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Putrinya itu pasti sama sampahnya seperti ayahnya,” ucapnya.Drrtt, drttt!Jeff merasa bahwa ponselnya yang berada di dalam saku jasnya itu bergetar. Dia pun meminta izin kepada Eric untuk menerima panggilan itu. “Maaf, Tuan. Sepertinya ada telepon masuk ke ponsel saya, saya izin untuk menerimanya.”“Terimalah!” jawabnya singkat.Jeff mengangguk, dia lalu menekan bluetooth handsfree yang ada di telinganya, dan menjawab panggilan yang masuk ke ponselnya itu. “Iya, katakan,” ucapnya.Seseorang yang menelepon Jeff pun menjelaskan maksud dirinya menghubungi Jeff. “Tuan Jeff, saya baru saja menerima laporan bahwa ternyata Arya sudah meninggal dunia, dan dia baru saja dimakamkan,” ucap seseorang itu dari seberang telepon.“Apa?!”Ckiitttttt!Jeff terkejut, dia mengerem mobilnya itu dengan mendadak, bahkan sampai membuat Eric ikut tersentak, tubuhnya itu maju ke depan dan keningnya membentur kursi di depannya. Tampak tangannya itu terangkat, dan memegangi keningnya yang terasa sakit karena benturan itu. Matanya langsung menajam, menatap Jeff di depannya yang masih sibuk dengan orang yang menghubunginya itu.“Apa kau serius?” tanya Jeff.“Saya serius Tuan, maafkan saya. Karena saya terlambat memberitahukan hal ini kepada Anda.”“Baiklah, tidak papa. Kali ini aku memaafkanmu, tapi jika kau terlambat memberitahukan informasi penting seperti ini lagi, aku pasti akan memecatmu!” ucapnya penuh tekanan.“Iya Tuan, saya mengerti.”Jeff pun menutup panggilan di ponselnya, saat dia hendak memberitahukan informasi yang di dapatnya pada Eric. Dia tidak sengaja melihat ke kaca spion tengah mobilnya, tubuhnya langsung merinding, saat melihat tatapan tajam Eric dari kaca spion itu.“Tu-tuan,” ucap Jeff yang langsung menciut.“Kau sepertinya benar-benar ingin mati Jeff,” ujar Eric dengan suara dan ekspresi wajahnya yang benar-benar dingin.“Ma-maafkan saya Tuan. Saya tidak sengaja mengerem mendadak, karena saya terkejut dengan informasi yang saya terima dari anak buah saya,” jawabnya.“Apa itu? Awas saja kalau informasi itu ternyata tidak terlalu penting. Aku benar-benar akan memotong lidah dan tanganmu.”Bbrrrhhhh!Mendengar ucapan Eric, tubuh Jeff semakin merinding. Padahal dia sudah sangat lama bekerja dengan Eric, mereka bahkan sudah saling mengenal sejak kecil. Tapi sifat dingin dan kejam Eric ini selalu tidak biasa dia terima.Ya, Eric memang sudah seperti ini sejak kecil. Karena lahir di keluarga yang tidak harmonis, dan egois. Eric yang kekurangan perhatian dan kasih sayang sejak kecil dari kedua orang tuanya, tumbuh menjadi anak yang begitu dingin dan kejam seperti tidak memiliki perasaan sedikit pun di dalam hatinya. Ekspresi yang ada di wajahnya itu tidak pernah berubah. Hanya ada datar dan dingin. Tidak pernah ada senyuman di wajah itu. Andaikan dia tidak terlahir dari keluarga Carlson, mungkin dia tidak akan tumbuh seperti ini. Dia bahkan harus selalu berhati-hati dengan kakaknya sendiri, yang terus berusaha untuk selalu menjatuhkannya di depan keluarga besarnya.Di dunia ini, tidak sedikit pebisnis muda yang terkenal dingin dan kejam. Tetapi, jika dibandingkan dengan Eric Filbert Carlson, kekejaman mereka tidak ada apa-apanya. Bahkan para pebisnis di dunia mengakui, bahwa sifat dingin Eric itu paling di takuti. Karena memang keluarga Carlson terkenal dengan kekejaman dan sikap egois mereka. Jika orang lain memiliki rasa kasih sayang kepada kedua orang tua dan juga keluarganya. Hal itu tidak demikian pada Eric. Di hatinya tidak ada yang namanya kasih sayang. Karena sejak kecil, tidak ada yang mengajarinya hal seperti itu. Pelajaran yang dia dapatkan hanya bagaimana cara menjatuhkan lawan dan juga menyingkirkan orang-orang yang berkhianat. Cinta dan rasa kasih sayang tidak diajarkan di keluarga Carlsson. Karena menurut mereka, kedua hal itu hanya membuat mereka lemah.Glek!Jeff menelan salivanya, saat ini dia takut membuka mulutnya. Tapi, informasi yang di terimanya ini memanglah sangat penting. Hanya saja anak buahnya itu terlambat memberi tahu, dan kemungkinan besar tuannya ini akan marah.“Tuan, ternyata ... Arya sudah meninggal dunia. Dia meninggal hari ini dan baru saja dimakamkan,” jawabnya kemudian.Tampak pupil mata Eric melebar, kedua tangannya juga langsung mengepal. “Kau bilang apa?” tanyanya dengan dingin yang di barengi dengan tatapan matanya yang menajam.Deg!Tubuh Jeff sudah bergetar, seperti dugaannya tuannya ini akan marah, karena keterlambatan informasi ini.“A-arya Subagja, sudah meninggal dunia Tuan,” jawabnya lagi.Teg!“Tu-tuan.” Jeff terkejut, saat satu tangan Eric mencekik lehernya.“Terlalu banyak kesalahan yang kau lakukan Jeff, sepertinya kau memang sudah bosan hidup,” ucapnya.“Ma, uhuk maaf ...kan sa ...ya Tu ... an,” jawab Jeff dengan susah payah.Eric mempererat cekikannya pada leher Jeff, tanpa peduli ucapan Jeff yang meminta maaf. “Kau membuatku seperti orang bodoh dengan terus mencari orang yang sudah meninggal. Aku bahkan datang ke rumahnya untuk mencari orang yang sudah terkubur di dalam tanah. Pecat anak buah tidak bergunamu itu, atau kau yang akan menggantikannya!”“Ba ...ik Tu ... an,” jawab Jeff.Eric melepaskan tangannya dari leher Jeff dengan kasar. Biasanya dia tidak pernah memaafkan siapa pun yang membuat kesalahan. Tapi Jeff, dia adalah teman kecilnya. Dia tahu semua sifatnya. Jika dia merekrut orang baru, akan membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi dengannya. Terlebih, orang baru itu belum tentu bisa dipercaya.“Jeff, aku memberimu kesempatan lagi. Aku harap kau tidak menyia-nyiakannya lagi. Bekerjalah dengan baik!” tekannya.“Saya mengerti Tuan,” jawabnya. Tampak Jeff terbatuk-batuk setelah menerima cekikan dari Eric, di lehernya juga terdapat bekas merah dari tangan Eric.“Dan ....” Eric menghentikan ucapannya, dia kembali mengingat putri dari Arya yang baru saja kabur darinya. Tampak tatapannya itu semakin menajam. “Dan cari putri dari ular tua itu. Karena jika ayahnya sudah tidak ada, maka putrinya pun tidak jadi masalah. Kau harus bisa mendapatkannya Jeff!”“Baik Tuan, saya akan terus mencarinya dan saya pasti akan mendapatkannya,” jawab Jeff dengan yakinnya.Eric kembali menyandarkan punggungnya itu pada sandaran kursi mobil. Dia melipat kedua tangannya di dadanya, dan pandangannya pun kembali melihat ke luar kaca jendela mobilnya. Dimana mobilnya itu sudah melaju kembali dan memperlihatkan pemandangan lain yang dia lewati.‘Kurang ajar, beraninya kau mati begitu saja Arya. Kau harusnya mati di tanganku, karena kau harus membayar semuanya!’ batinnya.6 tahun kemudian.“Kau sudah menemukannya?” tanya Eric kepada sekretarisnya Jeff. Tampak Jeff berdiri di depan meja kerja Eric dengan wajahnya yang menunduk. “Saya masih belum menemukannya Tuan, tapi saya baru saja mengetahui dimana tempat tinggalnya sekarang,” jawabnya.Brakk!Eric menggebrak meja kerjanya dengan sangat keras, hingga membuat Jeff terlonjak dan semakin menundukkan wajahnya. “Ini sudah 6 tahun Jeff, apa saja yang kau lakukan selama itu. Hanya mencari seorang gadis lemah saja kau membutuhkan waktu selama ini? Dan apa kau bilang, kau baru saja mengetahui letak tempat tinggalnya? Apa kau sedang bercanda Jeff?!”“Ma-maafkan saya Tuan, saya bersalah,” akunya.“Aku memberikanmu kesempatan karena kau adalah orang yang bisa kupercayai, tapi apa ini. Kerjamu sangat buruk, aku mempertahankanmu selama 6 tahun ini. Tapi, sepertinya aku memang harus menendangmu!” marahnya.“Tolong maafkan saya Tuan, ini adalah kesalahan saya yang terakhir. Saya pasti akan segera menemukanny
“Bunda, ayo cepat. Nanti Alden terlambat, ini kan hari pertama sekolah Alden,” ucapnya pada Mely yang saat ini tengah mengunci pintu rumahnya.“Iya Alden, tunggu sebentar. Bunda kunci pintu rumah dulu ya.”“Ayo cepet Bunda.” Alden menarik-narik tangan Mely agar cepat berangkat ke sekolahnya.“Iya, ini sudah selesai. Ayo kita berangkat,” jawabnya. Mely pun menggenggam tangan Alden dan berjalan menuju sekolahnya.Alden terlihat sangat senang saat tengah berjalan menuju sekolahnya, dia benar-benar bersemangat hari ini. Karena dia sudah berjanji kepada mamanya kalau dia akan belajar dengan giat dan menjadi anak yang cerdas dan menjadi kebanggaan mamanya yang sangat dia sayangi.Setelah mereka berjalan kurang lebih 5 menit, mereka pun tiba di jalan raya dan menunggu taksi online untuk mereka naiki menuju sekolahan Alden yang memang jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggal mereka.Karena kendaraan seperti mobil tidak bisa masuk ke gang rumah mereka, mereka pun harus jalan terlebih d
“Tuan, rumah yang kita cari sudah dekat dari sini,” ucap Jeff yang menghampiri Eric setelah menanyakan alamat kepada orang yang berada di sana. Namun tampaknya Eric hanya terdiam. Dia seperti tidak mendengarkan apa yang Jeff katakan, dan hanya sibuk dengan pikirannya sendiri. “Tuan?” ujar Jeff.Mendengar itu, akhirnya Eric pun tersadar. Anak laki-laki tadi sudah mengganggu pikirannya. Karena terlalu mirip dengannya, rasanya dia tidak percaya jika anak itu bukanlah miliknya.“Tuan, ada apa? Apa terjadi sesuatu?” tanya Jeff. Ini adalah pertama kalinya dia melihat tuannya yang tidak fokus. Biasanya dia selalu waspada akan apa pun. Tapi, sepertinya saat ini tuannya tengah memikirkan sesuatu.“Tidak ada, ayo kita lanjutkan perjalanan,” jawab Eric.“Baik Tuan.” Mereka pun kembali masuk ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan mereka.Ketika di perjalanan menuju tempat tujuan mereka, Eric tak henti-hentinya memikirkan anak kecil tadi. Bisakah ada seorang anak yang begitu mirip dengan d
Saat melihat warna mata itu. Ada sesuatu yang lain juga, yang tiba-tiba merasuk ke dalam ingatannya. Tapi Alana tidak bisa mengingat apa itu.“Siapa kau?! Kenapa kau mengejarku?” tanyanya memberanikan diri.“Aku?” Eric menunjuk dirinya sendiri. Dia lalu memamerkan smirk menakutkannya dan kembali melanjutkan ucapannya, “aku adalah orang yang akan memberikan penderitaan padamu.”Alana tersentak dengan apa yang pria di depannya ini katakan. “Kenapa? Kenapa kau ingin membuatku menderita. Memangnya apa salahku? Aku bahkan tidak mengenalmu, dan kau seenaknya berkata akan memberikan penderitaan padaku?”Eric menjepit pipi Alana dengan tangannya begitu keras, hingga membuat Alana meringis.“Karena itu semua sudah takdirmu, putrinya Arya Subagja.”Mendengar itu, lagi-lagi Alana terkejut, dia bahkan sampai melebarkan matanya.“Jika kau ingin menyalahkan seseorang untuk hal ini, maka salahkan ayahmu yang seorang penjahat itu!” Lanjut Eric.Clakkk!Air mata Alana menetes, saat Eric menga
Alana menelan salivanya dengan gugup. Dia melihat Eric yang dengan tenangnya melihat jalanan yang tengah dilewati. Berbeda dengan perasaannya saat ini yang terasa begitu takut dan panik.Alana mengedipkan matanya sekali, hingga saat dia berkedip air matanya itu kembali menetes. Pandangannya itu kembali fokus pada Eric. Namun, bukan pandangan yang mengagumi sosok Eric yang tampan dan gagah. Melainkan pandangan benci, dan ingin menampar wajah itu dengan kerasnya.“Pandanganmu itu terlihat jelas,” ujar Eric yang mengagetkan Alana. Sontak, Alana pun langsung mengalihkan pandangannya dari Eric dan menundukkan wajahnya. Tangannya yang gemetar itu dia pautkan untuk mengurangi getarannya. Alana memejamkan matanya, untuk menenangkan jantungnya yang terus berpacu dengan cepat, bahkan sangat cepat. Jujur, saat ini dia benar-benar begitu takut.Eric meraih dagu Alana dan memaksanya untuk menatap padanya. Dan hal itu tentu saja membuat Alana terkejut, bahkan rasanya jantungnya tadi hampir saj
Alana hanya bisa terdiam, saat mendengarkan semua yang Eric katakan. Tubuhnya terasa membeku, hanya detak jantungnya saja yang terus bergerak dengan kencangnya. Iblis di hadapannya ini sangat menakutkan, hingga tidak ada celah baginya untuk melawannya.“Bangun, dan ikut denganku!” Eric kembali menggenggam dengan kuat pergelangan tangan Alana dan memaksanya untuk bangun. Ringisan itu terdengar kembali saat Eric kembali memaksa Alana untuk ikut dengannya. “Ahhh sakitt.”Namun, sepertinya Eric tidak memedulikan hal itu, dia hanya terus menarik Alana sampai di tempat tujuannya.Hingga mereka tiba di sebuah ruangan, Eric membuka pintu ruangan itu dan membawa Alana untuk masuk ke dalam.Brukk! Eric menutup pintu ruangan itu dengan kerasnya saat dia dan Alana sudah berada di dalam ruangan itu. Lagi-lagi Eric menghempaskan tangan Alana dengan kasarnya hingga dia kembali tersungkur ke lantai.“Ahhh,” ringis Alana lagi. Karena memang lututnya sudah terluka, sehingga gesekan lututnya pada l
Siang berganti malam, sinar matahari sudah berganti dengan sinar rembulan. Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, Alana masih terkurung di kamar itu. Dia duduk meringkuk dengan memeluk erat kedua lututnya, dan punggungnya yang menyandar ke sisi depan ranjang tempat tidur. Dengan air matanya yang masih berlinang, Alana melihat ke sisi kanan dan kirinya. Dia merasa sangat takut, rumah ini benar-benar menakutkan. Alana lalu membenamkan wajahnya pada sela-sela kedua lututnya. Air matanya masih terus menetes, karena mengingat ucapan terakhir ayahnya.2 hari lalu.Alana tampak baru saja pulang dari bekerjanya. Di tangannya sudah ada sebuah kantung keresek hitam berisi makanan yang dia tenteng.“Ayah, aku pulang,” ucapnya. Alana masuk ke dalam rumahnya dan langsung menuju kamar ayahnya untuk memberikan makanan yang dia bawa. “Ayah ini makanan untuk Ayah,” lanjutnya. Alana melihat ayahnya yang masih menutup mata. Sepertinya ayahnya itu masih tertidur.Dia duduk di samping ayah
Kini, tangan Eric sudah menjalar ke setiap inci tubuh Alana dan membuatnya tersentak. 'Tidak, aku tidak mau diperlakukan seperti ini. Cukup sekali aku melakukan kesalahan, sekarang tidak lagi, bagaimana pun caranya. Aku harus bisa terlepas dari genggaman iblis ini,' batinnya.“Hah, hah, hah.” Nafas Eric terdengar sudah memburu, sepertinya nafsu sudah menyelimutinya saat ini. Sehingga dia tidak bisa menghentikan apa yang sekarang dia lakukan, rasanya tubuhnya tidak mau berhenti dan ingin menuntaskan semuanya.Berbeda dengan Eric yang tidak bisa berhenti atas tindakannya saat ini, kepanikan Alana justru semakin memuncak, terlebih ketika dia mendengar nafas memburu dari Eric, membuat tubuhnya bergetar seketika. Air matanya menetes, dia sungguh tidak mau melakukan hal ini. Dia tidak mau membuat kesalahan untuk yang kedua kalinya. “Berhenti, kumohon. Kumohon jangan lakukan ini,” pintanya sambil menangis. Namun, Eric tidak mendengarkannya. Rasa amarah sekaligus nafsu yang bercampur men
"A-ada apa? Sudah kubilang kan untuk jangan banyak bicara, istirahatlah!”“Da-dadaku sakit,” ucap Alana dengan begitu lemahnya.Dada Eric kembali berdebar dengan begitu kerasnya, saat mendengar apa yang Alana katakan. “A-aku akan memanggil dokter, dokter akan memeriksamu dan menyembuhkannya.” Dia kembali berbalik, dan hendak melangkah pergi. Namun, langkahnya itu kembali terhenti saat dia merasakan tangan Alana yang menahannya.Sontak, Eric pun kembali berbalik dan melihat pada Alana. Tampak Alana yang menggeleng, berusaha mencegah Eric agar tetap di sisinya. “Tidak usah, jangan panggil dokter. Tetaplah di sisiku, aku merasa waktuku tidak lama lagi, aku tidak bisa menahannya,” ucapnya.“A-apa yang kau katakan, kenapa kau mengatakan hal itu Alana. Tolong jangan membuatku takut!” ucap Eric.“Eric, bolehkah aku meminta sesuatu padamu?” tanyanya.“Katakanlah, apa pun yang kau inginkan. Aku akan mengabulkannya, aku pasti mengabulkannya,” jawabnya.“Tersenyumlah, aku ingin melihatmu
Eric terpaku, melihat keadaan Alana saat ini. Ruangan itu begitu sunyi, hanya terdengar suara alat monitor yang mengukur detak jantung Alana saat ini. Tangannya yang bergetar itu lalu terangkat, menyentuh dahi Alana yang basah karena keringat. “Istriku, Alana,” ucapnya, “apa kau mendengarku? Aku memanggilmu istriku, bukankah kau selalu memintaku untuk memanggilmu seperti itu? Karena itu bangunlah, dan dengarkan hal itu sepuasmu. Aku akan mengucapkannya berkali-kali sampai kau puas. Aku akan selalu pamit padamu ketika aku akan berangkat ke mana pun dan mengecup keningmu. Jadi kumohon, bangunlah. Bangunlah.” Air mata Eric terus mengalir. Dia lalu membungkuk, menempelkan keningnya pada kening Alana, hingga air matanya itu mengenai kening Alana.Tanpa Eric sadari, jari telunjuk Alana bergerak. Matanya yang tertutup itu juga mulai bergerak-gerak, menunjukkan bahwa Alana akan segera sadar. “A-aku ingin me-mendengarnya la-lagi,” ucapnya dengan suara lemah.Deg!Eric terperanjat ketika
Eric saat ini sudah berada kembali di rumah sakit. Dia masih berada di dalam mobilnya, menunduk menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Matanya terus terbuka dan sesaat kemudian air mata pun jatuh membasahi telapak tangannya.Jeff menoleh ke belakang, melihat keadaan Eric yang benar-benar kacau. “Tuan,” panggilnya dengan lirih.Eric masih bergeming, dia masih menunduk dengan wajahnya yang masih tertutup kedua tangannya. Entah kenapa, saat ini perasaannya begitu takut, dadanya berdebar dengan begitu keras, hatinya juga terasa begitu sakit. Dia juga enggan untuk turun dari mobil dan kembali kepada Alana. Kenapa tubuhnya begitu bergetar, seakan ingin memberitahu keadaan yang saat ini sebenarnya sedang terjadi.“Jeff, aku merasa takut,” ucapnya seraya membuka kedua tangannya dan memperlihatkan wajahnya yang saat ini sudah dipenuhi dengan air mata.Jeff tersentak melihat itu. Ini sungguh pertama kalinya dia melihat tuannya yang menangis sampai seperti ini. “Tuan, apakah Anda baik-baik
Eric masuk ke dalam mobilnya, tampak dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jasnya dan menghubungi seseorang. “Jeff, apa kau sudah menemukan pelakunya?” tanyanya.“Tuan, pelakunya sudah melarikan diri. Ini adalah pembunuhan berencana, jadi sepertinya mereka sudah menyiapkannya dengan baik. Dan sepertinya orang yang merencanakan ini bukan orang sembarangan,” jawab Jeff dari seberang telepon.“Tidak papa, tidak usah kau lanjutkan. Sekarang kau pergilah ke kediaman Carlson. Karena aku juga akan ke sana.”“Baik Tuan,” jawab Jeff. Dan setelah itu sambungan telepon pun terputus. Eric langsung menyalakan mesin mobilnya dan bergerak melaju meninggalkan area rumah sakit.Di perjalanan menuju kediaman Carlson, Eric mencengkeram erat kemudi mobilnya, menunjukkan kemarahannya saat ini yang begitu besar. Terlebih, dia tidak menyangkanya sama sekali, bahwa papa dan juga kakaknya akan tega membunuhnya. Baiklah, dia memang mengakui bahwa hubungannya dengan keluarganya memang tidak baik. Tapi,
Eric membelokkan mobilnya, memasuki pintu gerbang rumah sakit. Dia lalu memarkirkan mobilnya dan langsung keluar dari sana. Dengan cepat Eric membuka pintu mobil bagian belakangnya dan menggendong Alana masuk ke dalam rumah sakit dengan diikuti oleh Silvia dan juga yang lainnya.“Dokter! Dokter!” teriak Eric seraya melihat ke sana kemari mencari keberadaan dokter untuk menangani Alana. Dia terus berjalan, dengan Alana yang berada di gendongannya dan mulutnya tak henti-hentinya memanggil dokter. Air matanya sudah semakin deras menetes, tubuhnya juga sudah bergetar dengan sangat hebatnya.Setelah berkali-kali memanggil nama dokter dengan suara kerasnya. Tampak dari kejauhan terlihat beberapa perawat dan juga seorang dokter yang datang menghampirinya. “Ada apa, Pak?” tanya dokter itu dengan raut wajah seriusnya.“I-istriku, to-tolong selamatkan istriku, di-dia tertembak,” jawab Eric dengan terbata-bata.“Kalau begitu kita harus langsung mengoperasinya untuk mengeluarkan peluru itu.
Alana meminta pada Ronald untuk menghentikan mobilnya di saat dia melihat Eric yang sedang berdiri sembari memegang ponsel di telinganya. “Mama tunggu di sini. Biar aku yang menemui Eric,” ucapnya.Liana pun mengangguk, dia memegang tangan Alana terlebih dulu sebelum Alana keluar dari mobil. “Terima kasih sayang, terima kasih karena sudah mau menolong Eric,” ucapnya.Alana membalas pegangan tangan Liana itu dengan lembut. Dia lalu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Ini sudah tugasku sebagai istri Ma, aku harus melindungi suamiku,” jawabnya. Alana pun lalu turun dari mobil, dia berjalan hendak menghampiri Eric. Di sisi jalan yang lain. Terlihat Silvia dan Christ yang sedang berada di dalam mobil mereka. Silvia membuka kaca mobilnya, dan melihat jalanan yang sedikit sepi saat ini. “Sayang, bukankah itu Alana?” ucapnya pada Christ.Deg! Christ langsung menghentikan mobilnya sesaat setelah mendengar nama Alana yang terlontar dari mulut Silvia. Dia lalu menoleh pada sesosok wa
Liana terus berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, tampak dia menggigiti kuku jarinya karena perasaan takut dan panik yang saat ini dia rasakan. “Bagaimana aku harus memberitahu Alana tentang masalah ini, aku harus segera memberitahunya sebelum semuanya terlambat,” gumamnya.Tubuh Liana bergetar saat mengingat kembali obrolan antara suami dan putranya. Air matanya kembali menetes, dia masih merasa tidak percaya bahwa suaminya dan Erland akan merencanakan hal sekejam ini kepada Eric.“Aku harus pergi ke rumah Eric sekarang, tapi aku harus memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tahu mengenai kepergianku. Aku harus berhati-hati atau semuanya akan gagal,” gumamnya lagi.***Eric’s MansionSaat ini Alana tengah duduk di ruang keluarga seorang diri. Dia sedang melukis wajah Eric yang ada di ingatannya. Sudah lama dia tidak melukis, rasanya tangannya ini begitu tegang. Tapi entah kenapa, hari ini rasanya dia sangat ingin sekali melukis, dan wajah yang ingin dia lukis adalah Eric
Alana menaruh kembali gelas itu di nakas yang ada di samping tempat tidur, dia lalu berjalan memutari tempat tidur dan naik ke atas ranjang. Alana menarik selimutnya, dan membaringkan tubuhnya dengan posisi miring menghadap pada Eric. Dia kembali tersenyum, memperhatikan Eric yang sudah menutup matanya.Eric yang sebenarnya memang belum sepenuhnya tertidur itu merasa risi dengan apa yang Alana lakukan saat ini, dia tahu bahwa Alana terus menatapnya tanpa mau memalingkan wajahnya itu darinya. Dengan terpaksa dia pun membuka kembali matanya dan melihat Alana yang tersenyum padanya.“Apa kau hanya akan melihatku?” tanyanya.“Iya, biarkan aku melihatmu sampai aku puas. Kau sangat tampan Eric, aku suka melihat wajahmu,” jawab Alana dengan beraninya.Psshhh! Seketika wajah Eric kembali memerah, sesaat setelah mendengar apa yang Alana katakan. 'Wajahku memanas lagi, kenapa aku merasa wanita ini semakin berani menggodaku,' batinnya.“Kemarikan tanganmu,” pinta Alana.“Kenapa?” tanya Eri
“Aku ada satu rencana, dan sepertinya hanya rencana ini yang harus kita lakukan. Jika Papa mengizinkannya, maka aku akan langsung melakukannya,” ucap Erland.“Apa itu?” tanya Erian lagi.“Membunuhnya,” jawab Erland dengan raut wajah dingin.Tidak ada raut keterkejutan atau pun marah dari wajah Erian setelah mendengar rencana dari Erland, justru dia lebih terlihat memikirkan rencana yang Erland lontarkan itu.“Hanya itu satu-satunya cara Pa, jika kita ingin menghentikan pergerakan Eric untuk menghancurkan Carlson Group, jalan satu-satunya adalah dengan menyingkirkannya. Maka semuanya akan kembali seperti semula,” ujar Erland yang mencoba meyakinkan papanya agar mengizinkannya untuk melakukan rencana itu.Tampak Erian yang kembali melihat pada Erland, dia lalu menepuk bahu Erland dengan senyum yang tersungging di bibirnya. “Kamu memang putraku Erland, sifatmu benar-benar sama denganku. Baiklah, lakukan rencana itu. Aku mengandalkanmu,” ucapnya kemudian, yang memberikan persetujuan