“Bunda, ayo cepat. Nanti Alden terlambat, ini kan hari pertama sekolah Alden,” ucapnya pada Mely yang saat ini tengah mengunci pintu rumahnya.
“Iya Alden, tunggu sebentar. Bunda kunci pintu rumah dulu ya.”“Ayo cepet Bunda.” Alden menarik-narik tangan Mely agar cepat berangkat ke sekolahnya.“Iya, ini sudah selesai. Ayo kita berangkat,” jawabnya. Mely pun menggenggam tangan Alden dan berjalan menuju sekolahnya.Alden terlihat sangat senang saat tengah berjalan menuju sekolahnya, dia benar-benar bersemangat hari ini. Karena dia sudah berjanji kepada mamanya kalau dia akan belajar dengan giat dan menjadi anak yang cerdas dan menjadi kebanggaan mamanya yang sangat dia sayangi.Setelah mereka berjalan kurang lebih 5 menit, mereka pun tiba di jalan raya dan menunggu taksi online untuk mereka naiki menuju sekolahan Alden yang memang jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggal mereka.Karena kendaraan seperti mobil tidak bisa masuk ke gang rumah mereka, mereka pun harus jalan terlebih dahulu sampai ke depan jalan raya. Hingga sekitar 2 menit menunggu, akhirnya taksi online yang Mely pesan pun datang dan mengantar mereka sampai ke sekolah Alden.Di dalam mobil, Alden terus saja melihat ke arah jalanan untuk memastikan apakah dia sudah sampai atau belum di sekolahannya.“Wahh Bunda, apakah itu sekolah Alden?” tanyanya kemudian, saat melihat bangunan sekolah yang tinggi dan terlihat dari dalam taksi.“Iya sayang, itu sekolah Alden. Sebentar lagi kita akan sampai,” jawab Mely.Dan benar saja, mobil pun berhenti. Mely turun terlebih dahulu dan mengangkat Alden untuk turun dari sana. “Alden tunggu di sini dulu ya, bunda mau beli camilan dan minum dulu oke,” ucapnya.Alden mengangguk dan menuruti apa yang Mely katakan. Tampak Mely yang kemudian pergi ke sebuah warung kaki lima yang ada di jalan itu.“Hah, bunda kebiasaan. Kalo ke mana-mana pasti beli camilan. Memang tukang makan,” gerutu Alden.Alden menunggu di tempatnya dengan wajah kesal, karena Mely terlalu lama berada di warung itu, entah berapa banyak makanan yang dia beli hingga selama ini.“Hmm, apa aku masuk duluan aja ya, biar nanti bunda nyusul. Iyalah, begitu saja.” Dengan semangatnya Alden pun berlari menuju sekolahnya, dia benar-benar tidak sabar untuk masuk ke sana dan memulai pelajarannya.Namun, saat dia berlari dengan begitu senang. Dia tidak sengaja menabrak tubuh seseorang di depannya. Hingga membuatnya terjatuh ke trotoar jalan.Terdengar ringisan dari Alden, karena rasa sakit pada bokongnya.“Hei bocah, kau berlarian di pinggir jalan seperti ini. Ini berbahaya, kau tahu!” bentak seorang pria yang ditabrak oleh Alden.Mendengar itu, Alden pun mendongak, melihat kepada seorang pria yang tadi berbicara. “Paman, bukankah kita sama-sama salah. Paman juga menabrak Alden, dan lihat! Alden bahkan sampai terjatuh,” ujarnya.Tidak ada jawaban dari pria itu, dia hanya terus menatap pada Alden, tampak tatapannya itu tertuju pada bola mata Alden yang berwarna amber. Pria itu menyipitkan matanya yang juga berwarna amber, tampak keningnya juga berkerut. Dia seperti terkejut karena melihat seorang anak laki-laki yang memiliki manik mata yang sama dengannya, bahkan sangat sama. Terlebih, anak laki-laki itu mengingatkannya sewaktu dia kanak-kanak.Alden yang masih tersungkur di trotoar itu juga hanya menatap pria itu dengan wajah bingungnya, dia tidak tahu kenapa pria ini hanya diam saja dan tidak menjawabnya.Dari kejauhan, tampak Mely yang sudah selesai dengan belanjanya, dan sedang menuju ke tempat tadi Alden berdiri. Namun saat sampai di sana, Mely justru terkejut karena Alden sudah tidak ada. Sontak dia pun merasa panik dan mengedarkan pandangannya untuk mencari keberadaan Alden, hingga pandangannya itu tertuju pada Alden yang tersungkur di trotoar dengan seorang pria tinggi di depannya.“Hah?” Mely sangat terkejut, dia berpikir mungkin itu adalah seorang penculik yang akan menculik Alden. Wajar saja jika orang itu tertarik menculiknya, karena Alden sangat menonjol dengan rambut coklat gelap dan juga manik mata ambernya. Siapa yang tidak mau memiliki anak setampan itu.Tanpa banyak berpikir lagi, Mely pun langsung berlari ke arah Alden dan pria itu. Dia berlari dengan tergesa-gesa karena takut terlambat menyelamatkan Alden.“Hei bocah, dimana ibumu?” tanya pria itu yang tak lain adalah Eric, tidak bisa dia ungkiri. Bahwa saat ini dia merasa terkejut dengan penampakan bocah di hadapannya ini. Baik dari warna rambut, warna mata dan juga wajahnya. Bagaimana bisa sangat mirip dengannya. Apakah dia ini putranya dari gadis yang tidur dengannya, apakah gadis itu hamil? Pikirnya.“Mama ....”“Aldennn!”Baru saja Alden akan menjawab, namun teriakan dari Mely yang memanggilnya itu membuat Alden menghentikan ucapannya.“Alden, apa yang terjadi?” tanya Mely dengan wajah paniknya. Dia berjongkok dan membersihkan bokong Alden yang kotor karena jalanan trotoar.Kini tatapan Eric mengarah pada Mely. Sama seperti pada Alden, Eric juga menatap lekat pada Mely, matanya menyipit dan keningnya juga berkerut.“Alden tidak papa Bunda,” jawabnya. ‘Bunda?’ Eric tampak kaget, matanya bahkan sampai membelalak saat mendengar Alden memanggil bunda pada wanita yang tiba-tiba menghampiri mereka ini. ‘Apa itu artinya, dia ibunya? Apa ... wanita ini yang tidur denganku?’ batinnya.“Apa kau ibu dari bocah ini?” tanyanya kemudian.Mely menatap tajam pada Eric, karena dia berpikir bahwa Eric adalah orang jahat yang akan menculik Alden. “Iya, saya ibunya. Jangan harap Anda bisa menculik anak saya!” jawabnya dengan suara kasar.‘Menculik? Apa wanita ini menganggapku sebagai penculik? Aku? Eric Filbert Carlsson, dianggap penculik?’ batinnya tidak percaya. Namun, sepertinya dia tidak ingin memperpanjang masalah itu, dia ingin fokus menanyakan perihal anak ini pada wanita di depannya. “Siapa ayah dari bocah ini?” tanyanya lagi.“Tentu saja suamiku, masa kau!” jawab Mely kembali dengan kasarnya.'Suami? Jadi itu artinya bocah ini memiliki ayah. Dan itu sudah pasti, bahwa anak ini bukanlah anakku. Tapi ....’ Eric terus berkecamuk dengan pikirannya sendiri. Dia tidak mengerti bagaimana anak ini sangat mirip dengannya. Apakah itu artinya suami dari wanita ini juga memiliki mata amber seperti dirinya. Tapi masalahnya, bukan hanya mata itu yang mirip. Tapi wajah dan warna rambut, semuanya sama.Mely melihat Eric dari bawah sampai atas. Dia berpikir pria ini sepertinya bukan pria sembarangan, terlihat dari penampilannya yang berkelas, dia sepertinya dari keluarga yang terhormat dan berpengaruh. Tapi, kenapa dia bisa ada bersama Alden.Pupil mata Mely langsung melebar, saat dia melihat wajah dari Eric dan menyadari sesuatu. ‘Astaga, pria ini. Dia, bagaimana dia bisa sangat mirip dengan Alden. Bola mata, dan warna rambutnya. Bagaimana bisa semirip ini? Apa mungkin?’ Mely menutup mulutnya dengan satu tangannya. Dia tidak percaya dengan apa yang dipikirkannya. ‘Apakah mungkin, dia ayahnya Alden?’ batinnya lagi.“Permisi Tuan, kami harus masuk ke dalam gedung sekolah. Karena kami sudah terlambat.” Mely dengan cepat langsung menarik Alden untuk mengikutinya. Karena saat ini dia merasa tidak tenang. Jika benar pria itu adalah ayahnya Alden, apakah dia akan merebut Alden dari Alana? Ini tidak bisa dibiarkan, hidup Alana sudah sangat menderita, jika Alden diambil maka apalagi yang tersisa untuk wanita malang itu.Eric menoleh ke belakangnya, menatap Alden yang berjalan semakin menjauhinya. ‘Benarkah dia anak dari perempuan itu dan juga suaminya? Entah kenapa aku merasa ragu?’ batinnya.“Tuan, rumah yang kita cari sudah dekat dari sini,” ucap Jeff yang menghampiri Eric setelah menanyakan alamat kepada orang yang berada di sana. Namun tampaknya Eric hanya terdiam. Dia seperti tidak mendengarkan apa yang Jeff katakan, dan hanya sibuk dengan pikirannya sendiri. “Tuan?” ujar Jeff.Mendengar itu, akhirnya Eric pun tersadar. Anak laki-laki tadi sudah mengganggu pikirannya. Karena terlalu mirip dengannya, rasanya dia tidak percaya jika anak itu bukanlah miliknya.“Tuan, ada apa? Apa terjadi sesuatu?” tanya Jeff. Ini adalah pertama kalinya dia melihat tuannya yang tidak fokus. Biasanya dia selalu waspada akan apa pun. Tapi, sepertinya saat ini tuannya tengah memikirkan sesuatu.“Tidak ada, ayo kita lanjutkan perjalanan,” jawab Eric.“Baik Tuan.” Mereka pun kembali masuk ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan mereka.Ketika di perjalanan menuju tempat tujuan mereka, Eric tak henti-hentinya memikirkan anak kecil tadi. Bisakah ada seorang anak yang begitu mirip dengan d
Saat melihat warna mata itu. Ada sesuatu yang lain juga, yang tiba-tiba merasuk ke dalam ingatannya. Tapi Alana tidak bisa mengingat apa itu.“Siapa kau?! Kenapa kau mengejarku?” tanyanya memberanikan diri.“Aku?” Eric menunjuk dirinya sendiri. Dia lalu memamerkan smirk menakutkannya dan kembali melanjutkan ucapannya, “aku adalah orang yang akan memberikan penderitaan padamu.”Alana tersentak dengan apa yang pria di depannya ini katakan. “Kenapa? Kenapa kau ingin membuatku menderita. Memangnya apa salahku? Aku bahkan tidak mengenalmu, dan kau seenaknya berkata akan memberikan penderitaan padaku?”Eric menjepit pipi Alana dengan tangannya begitu keras, hingga membuat Alana meringis.“Karena itu semua sudah takdirmu, putrinya Arya Subagja.”Mendengar itu, lagi-lagi Alana terkejut, dia bahkan sampai melebarkan matanya.“Jika kau ingin menyalahkan seseorang untuk hal ini, maka salahkan ayahmu yang seorang penjahat itu!” Lanjut Eric.Clakkk!Air mata Alana menetes, saat Eric menga
Alana menelan salivanya dengan gugup. Dia melihat Eric yang dengan tenangnya melihat jalanan yang tengah dilewati. Berbeda dengan perasaannya saat ini yang terasa begitu takut dan panik.Alana mengedipkan matanya sekali, hingga saat dia berkedip air matanya itu kembali menetes. Pandangannya itu kembali fokus pada Eric. Namun, bukan pandangan yang mengagumi sosok Eric yang tampan dan gagah. Melainkan pandangan benci, dan ingin menampar wajah itu dengan kerasnya.“Pandanganmu itu terlihat jelas,” ujar Eric yang mengagetkan Alana. Sontak, Alana pun langsung mengalihkan pandangannya dari Eric dan menundukkan wajahnya. Tangannya yang gemetar itu dia pautkan untuk mengurangi getarannya. Alana memejamkan matanya, untuk menenangkan jantungnya yang terus berpacu dengan cepat, bahkan sangat cepat. Jujur, saat ini dia benar-benar begitu takut.Eric meraih dagu Alana dan memaksanya untuk menatap padanya. Dan hal itu tentu saja membuat Alana terkejut, bahkan rasanya jantungnya tadi hampir saj
Alana hanya bisa terdiam, saat mendengarkan semua yang Eric katakan. Tubuhnya terasa membeku, hanya detak jantungnya saja yang terus bergerak dengan kencangnya. Iblis di hadapannya ini sangat menakutkan, hingga tidak ada celah baginya untuk melawannya.“Bangun, dan ikut denganku!” Eric kembali menggenggam dengan kuat pergelangan tangan Alana dan memaksanya untuk bangun. Ringisan itu terdengar kembali saat Eric kembali memaksa Alana untuk ikut dengannya. “Ahhh sakitt.”Namun, sepertinya Eric tidak memedulikan hal itu, dia hanya terus menarik Alana sampai di tempat tujuannya.Hingga mereka tiba di sebuah ruangan, Eric membuka pintu ruangan itu dan membawa Alana untuk masuk ke dalam.Brukk! Eric menutup pintu ruangan itu dengan kerasnya saat dia dan Alana sudah berada di dalam ruangan itu. Lagi-lagi Eric menghempaskan tangan Alana dengan kasarnya hingga dia kembali tersungkur ke lantai.“Ahhh,” ringis Alana lagi. Karena memang lututnya sudah terluka, sehingga gesekan lututnya pada l
Siang berganti malam, sinar matahari sudah berganti dengan sinar rembulan. Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, Alana masih terkurung di kamar itu. Dia duduk meringkuk dengan memeluk erat kedua lututnya, dan punggungnya yang menyandar ke sisi depan ranjang tempat tidur. Dengan air matanya yang masih berlinang, Alana melihat ke sisi kanan dan kirinya. Dia merasa sangat takut, rumah ini benar-benar menakutkan. Alana lalu membenamkan wajahnya pada sela-sela kedua lututnya. Air matanya masih terus menetes, karena mengingat ucapan terakhir ayahnya.2 hari lalu.Alana tampak baru saja pulang dari bekerjanya. Di tangannya sudah ada sebuah kantung keresek hitam berisi makanan yang dia tenteng.“Ayah, aku pulang,” ucapnya. Alana masuk ke dalam rumahnya dan langsung menuju kamar ayahnya untuk memberikan makanan yang dia bawa. “Ayah ini makanan untuk Ayah,” lanjutnya. Alana melihat ayahnya yang masih menutup mata. Sepertinya ayahnya itu masih tertidur.Dia duduk di samping ayah
Kini, tangan Eric sudah menjalar ke setiap inci tubuh Alana dan membuatnya tersentak. 'Tidak, aku tidak mau diperlakukan seperti ini. Cukup sekali aku melakukan kesalahan, sekarang tidak lagi, bagaimana pun caranya. Aku harus bisa terlepas dari genggaman iblis ini,' batinnya.“Hah, hah, hah.” Nafas Eric terdengar sudah memburu, sepertinya nafsu sudah menyelimutinya saat ini. Sehingga dia tidak bisa menghentikan apa yang sekarang dia lakukan, rasanya tubuhnya tidak mau berhenti dan ingin menuntaskan semuanya.Berbeda dengan Eric yang tidak bisa berhenti atas tindakannya saat ini, kepanikan Alana justru semakin memuncak, terlebih ketika dia mendengar nafas memburu dari Eric, membuat tubuhnya bergetar seketika. Air matanya menetes, dia sungguh tidak mau melakukan hal ini. Dia tidak mau membuat kesalahan untuk yang kedua kalinya. “Berhenti, kumohon. Kumohon jangan lakukan ini,” pintanya sambil menangis. Namun, Eric tidak mendengarkannya. Rasa amarah sekaligus nafsu yang bercampur men
Dengan menggendong Alden yang masih tertidur, Mely membuka pintu rumahnya, dia lalu masuk ke dalam kamarnya dan membangunkan suaminya yang sepertinya sudah tertidur lelap.“Ayah, bangun Yah,” ucapnya seraya menepuk-nepuk lengan suaminya itu agar terbangun.Tak butuh waktu lama, akhirnya sang suami pun bangun, dia mengucek-ngucek matanya agar bisa segera tersadar sepenuhnya.“Ada apa Bun? Kok malam-malam gini udah bangunin Ayah?” tanyanya. Dia lalu melihat Alden yang berada di gendongan istrinya, “loh kok Alden ada sama Bunda? Memangnya Alana belum pulang?” Lanjutnya.“Itu dia Yah, Alana masih belum pulang sampai sekarang, padahal dari tadi Alden udah nunggu di luar rumahnya sendirian. Dan ini sudah malam Yah, mustahil jika Alana belum pulang bekerja sampai sekarang. Bunda khawatir Yah, gimana kalo sekarang kita ke tempat kerjanya Alana dan memastikan keberadaannya. Kasian Alden Yah, udah pengen ketemu mamanya,” jelas Mely.Andri pun mengangguk, dia lalu bergegas turun dari tempat
Hari semakin gelap, Mely dan suaminya juga Alden masih terus mencari keberadaan Alana. Mereka menyusuri jalan raya, berharap Alana ada di sana. Di jalanan itu memang masih banyak orang-orang yang sedang berlalu lalang dengan berjalan kaki walaupun sebenarnya hari sudah tengah malam, mungkin mereka sedang menikmati indahnya malam di kota Jakarta ini.Mely berharap, Alana ada di salah satu orang-orang yang berjalan kaki itu. Tapi ternyata harapannya itu nihil, karena dia tidak melihat wanita dengan ciri-ciri seperti Alana. ‘Na, kau dimana,' batinnya.Mely menoleh ke arah samping kirinya, melihat Alden yang sangat mengkhawatirkan mamanya. Melihat raut wajah Alden saat ini, membuatnya tidak tahan. Dia kasihan dengan anak kecil di sampingnya ini. Bagaimana di usia sekecil ini, dia harus mengalami ini semua. Tidak memiliki ayah dan hanya tinggal bersama mamanya yang sangat dia sayangi. Tapi sekarang, justru mamanya juga tidak ada, menghilang entah kemana. Takdir macam apa ini sebenarnya.
"A-ada apa? Sudah kubilang kan untuk jangan banyak bicara, istirahatlah!”“Da-dadaku sakit,” ucap Alana dengan begitu lemahnya.Dada Eric kembali berdebar dengan begitu kerasnya, saat mendengar apa yang Alana katakan. “A-aku akan memanggil dokter, dokter akan memeriksamu dan menyembuhkannya.” Dia kembali berbalik, dan hendak melangkah pergi. Namun, langkahnya itu kembali terhenti saat dia merasakan tangan Alana yang menahannya.Sontak, Eric pun kembali berbalik dan melihat pada Alana. Tampak Alana yang menggeleng, berusaha mencegah Eric agar tetap di sisinya. “Tidak usah, jangan panggil dokter. Tetaplah di sisiku, aku merasa waktuku tidak lama lagi, aku tidak bisa menahannya,” ucapnya.“A-apa yang kau katakan, kenapa kau mengatakan hal itu Alana. Tolong jangan membuatku takut!” ucap Eric.“Eric, bolehkah aku meminta sesuatu padamu?” tanyanya.“Katakanlah, apa pun yang kau inginkan. Aku akan mengabulkannya, aku pasti mengabulkannya,” jawabnya.“Tersenyumlah, aku ingin melihatmu
Eric terpaku, melihat keadaan Alana saat ini. Ruangan itu begitu sunyi, hanya terdengar suara alat monitor yang mengukur detak jantung Alana saat ini. Tangannya yang bergetar itu lalu terangkat, menyentuh dahi Alana yang basah karena keringat. “Istriku, Alana,” ucapnya, “apa kau mendengarku? Aku memanggilmu istriku, bukankah kau selalu memintaku untuk memanggilmu seperti itu? Karena itu bangunlah, dan dengarkan hal itu sepuasmu. Aku akan mengucapkannya berkali-kali sampai kau puas. Aku akan selalu pamit padamu ketika aku akan berangkat ke mana pun dan mengecup keningmu. Jadi kumohon, bangunlah. Bangunlah.” Air mata Eric terus mengalir. Dia lalu membungkuk, menempelkan keningnya pada kening Alana, hingga air matanya itu mengenai kening Alana.Tanpa Eric sadari, jari telunjuk Alana bergerak. Matanya yang tertutup itu juga mulai bergerak-gerak, menunjukkan bahwa Alana akan segera sadar. “A-aku ingin me-mendengarnya la-lagi,” ucapnya dengan suara lemah.Deg!Eric terperanjat ketika
Eric saat ini sudah berada kembali di rumah sakit. Dia masih berada di dalam mobilnya, menunduk menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Matanya terus terbuka dan sesaat kemudian air mata pun jatuh membasahi telapak tangannya.Jeff menoleh ke belakang, melihat keadaan Eric yang benar-benar kacau. “Tuan,” panggilnya dengan lirih.Eric masih bergeming, dia masih menunduk dengan wajahnya yang masih tertutup kedua tangannya. Entah kenapa, saat ini perasaannya begitu takut, dadanya berdebar dengan begitu keras, hatinya juga terasa begitu sakit. Dia juga enggan untuk turun dari mobil dan kembali kepada Alana. Kenapa tubuhnya begitu bergetar, seakan ingin memberitahu keadaan yang saat ini sebenarnya sedang terjadi.“Jeff, aku merasa takut,” ucapnya seraya membuka kedua tangannya dan memperlihatkan wajahnya yang saat ini sudah dipenuhi dengan air mata.Jeff tersentak melihat itu. Ini sungguh pertama kalinya dia melihat tuannya yang menangis sampai seperti ini. “Tuan, apakah Anda baik-baik
Eric masuk ke dalam mobilnya, tampak dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jasnya dan menghubungi seseorang. “Jeff, apa kau sudah menemukan pelakunya?” tanyanya.“Tuan, pelakunya sudah melarikan diri. Ini adalah pembunuhan berencana, jadi sepertinya mereka sudah menyiapkannya dengan baik. Dan sepertinya orang yang merencanakan ini bukan orang sembarangan,” jawab Jeff dari seberang telepon.“Tidak papa, tidak usah kau lanjutkan. Sekarang kau pergilah ke kediaman Carlson. Karena aku juga akan ke sana.”“Baik Tuan,” jawab Jeff. Dan setelah itu sambungan telepon pun terputus. Eric langsung menyalakan mesin mobilnya dan bergerak melaju meninggalkan area rumah sakit.Di perjalanan menuju kediaman Carlson, Eric mencengkeram erat kemudi mobilnya, menunjukkan kemarahannya saat ini yang begitu besar. Terlebih, dia tidak menyangkanya sama sekali, bahwa papa dan juga kakaknya akan tega membunuhnya. Baiklah, dia memang mengakui bahwa hubungannya dengan keluarganya memang tidak baik. Tapi,
Eric membelokkan mobilnya, memasuki pintu gerbang rumah sakit. Dia lalu memarkirkan mobilnya dan langsung keluar dari sana. Dengan cepat Eric membuka pintu mobil bagian belakangnya dan menggendong Alana masuk ke dalam rumah sakit dengan diikuti oleh Silvia dan juga yang lainnya.“Dokter! Dokter!” teriak Eric seraya melihat ke sana kemari mencari keberadaan dokter untuk menangani Alana. Dia terus berjalan, dengan Alana yang berada di gendongannya dan mulutnya tak henti-hentinya memanggil dokter. Air matanya sudah semakin deras menetes, tubuhnya juga sudah bergetar dengan sangat hebatnya.Setelah berkali-kali memanggil nama dokter dengan suara kerasnya. Tampak dari kejauhan terlihat beberapa perawat dan juga seorang dokter yang datang menghampirinya. “Ada apa, Pak?” tanya dokter itu dengan raut wajah seriusnya.“I-istriku, to-tolong selamatkan istriku, di-dia tertembak,” jawab Eric dengan terbata-bata.“Kalau begitu kita harus langsung mengoperasinya untuk mengeluarkan peluru itu.
Alana meminta pada Ronald untuk menghentikan mobilnya di saat dia melihat Eric yang sedang berdiri sembari memegang ponsel di telinganya. “Mama tunggu di sini. Biar aku yang menemui Eric,” ucapnya.Liana pun mengangguk, dia memegang tangan Alana terlebih dulu sebelum Alana keluar dari mobil. “Terima kasih sayang, terima kasih karena sudah mau menolong Eric,” ucapnya.Alana membalas pegangan tangan Liana itu dengan lembut. Dia lalu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Ini sudah tugasku sebagai istri Ma, aku harus melindungi suamiku,” jawabnya. Alana pun lalu turun dari mobil, dia berjalan hendak menghampiri Eric. Di sisi jalan yang lain. Terlihat Silvia dan Christ yang sedang berada di dalam mobil mereka. Silvia membuka kaca mobilnya, dan melihat jalanan yang sedikit sepi saat ini. “Sayang, bukankah itu Alana?” ucapnya pada Christ.Deg! Christ langsung menghentikan mobilnya sesaat setelah mendengar nama Alana yang terlontar dari mulut Silvia. Dia lalu menoleh pada sesosok wa
Liana terus berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, tampak dia menggigiti kuku jarinya karena perasaan takut dan panik yang saat ini dia rasakan. “Bagaimana aku harus memberitahu Alana tentang masalah ini, aku harus segera memberitahunya sebelum semuanya terlambat,” gumamnya.Tubuh Liana bergetar saat mengingat kembali obrolan antara suami dan putranya. Air matanya kembali menetes, dia masih merasa tidak percaya bahwa suaminya dan Erland akan merencanakan hal sekejam ini kepada Eric.“Aku harus pergi ke rumah Eric sekarang, tapi aku harus memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tahu mengenai kepergianku. Aku harus berhati-hati atau semuanya akan gagal,” gumamnya lagi.***Eric’s MansionSaat ini Alana tengah duduk di ruang keluarga seorang diri. Dia sedang melukis wajah Eric yang ada di ingatannya. Sudah lama dia tidak melukis, rasanya tangannya ini begitu tegang. Tapi entah kenapa, hari ini rasanya dia sangat ingin sekali melukis, dan wajah yang ingin dia lukis adalah Eric
Alana menaruh kembali gelas itu di nakas yang ada di samping tempat tidur, dia lalu berjalan memutari tempat tidur dan naik ke atas ranjang. Alana menarik selimutnya, dan membaringkan tubuhnya dengan posisi miring menghadap pada Eric. Dia kembali tersenyum, memperhatikan Eric yang sudah menutup matanya.Eric yang sebenarnya memang belum sepenuhnya tertidur itu merasa risi dengan apa yang Alana lakukan saat ini, dia tahu bahwa Alana terus menatapnya tanpa mau memalingkan wajahnya itu darinya. Dengan terpaksa dia pun membuka kembali matanya dan melihat Alana yang tersenyum padanya.“Apa kau hanya akan melihatku?” tanyanya.“Iya, biarkan aku melihatmu sampai aku puas. Kau sangat tampan Eric, aku suka melihat wajahmu,” jawab Alana dengan beraninya.Psshhh! Seketika wajah Eric kembali memerah, sesaat setelah mendengar apa yang Alana katakan. 'Wajahku memanas lagi, kenapa aku merasa wanita ini semakin berani menggodaku,' batinnya.“Kemarikan tanganmu,” pinta Alana.“Kenapa?” tanya Eri
“Aku ada satu rencana, dan sepertinya hanya rencana ini yang harus kita lakukan. Jika Papa mengizinkannya, maka aku akan langsung melakukannya,” ucap Erland.“Apa itu?” tanya Erian lagi.“Membunuhnya,” jawab Erland dengan raut wajah dingin.Tidak ada raut keterkejutan atau pun marah dari wajah Erian setelah mendengar rencana dari Erland, justru dia lebih terlihat memikirkan rencana yang Erland lontarkan itu.“Hanya itu satu-satunya cara Pa, jika kita ingin menghentikan pergerakan Eric untuk menghancurkan Carlson Group, jalan satu-satunya adalah dengan menyingkirkannya. Maka semuanya akan kembali seperti semula,” ujar Erland yang mencoba meyakinkan papanya agar mengizinkannya untuk melakukan rencana itu.Tampak Erian yang kembali melihat pada Erland, dia lalu menepuk bahu Erland dengan senyum yang tersungging di bibirnya. “Kamu memang putraku Erland, sifatmu benar-benar sama denganku. Baiklah, lakukan rencana itu. Aku mengandalkanmu,” ucapnya kemudian, yang memberikan persetujuan