6 tahun kemudian.
“Kau sudah menemukannya?” tanya Eric kepada sekretarisnya Jeff.Tampak Jeff berdiri di depan meja kerja Eric dengan wajahnya yang menunduk. “Saya masih belum menemukannya Tuan, tapi saya baru saja mengetahui dimana tempat tinggalnya sekarang,” jawabnya.Brakk!Eric menggebrak meja kerjanya dengan sangat keras, hingga membuat Jeff terlonjak dan semakin menundukkan wajahnya. “Ini sudah 6 tahun Jeff, apa saja yang kau lakukan selama itu. Hanya mencari seorang gadis lemah saja kau membutuhkan waktu selama ini? Dan apa kau bilang, kau baru saja mengetahui letak tempat tinggalnya? Apa kau sedang bercanda Jeff?!”“Ma-maafkan saya Tuan, saya bersalah,” akunya.“Aku memberikanmu kesempatan karena kau adalah orang yang bisa kupercayai, tapi apa ini. Kerjamu sangat buruk, aku mempertahankanmu selama 6 tahun ini. Tapi, sepertinya aku memang harus menendangmu!” marahnya.“Tolong maafkan saya Tuan, ini adalah kesalahan saya yang terakhir. Saya pasti akan segera menemukannya. Alamat yang saya terima sangat terpencil, karena itu saya kesulitan untuk mencarinya Tuan,” jujurnya.Eric menatap tajam pada Jeff, terlihat ketidak puasan yang begitu jelas dari wajahnya. Dia masih mempertahankan Jeff sampai sekarang, karena sungguh yang dia percayai hanyalah Jeff. Diluaran sana banyak sekali musuh-musuhnya yang menyamar sebagai kawan. Padahal mereka adalah mata-mata yang ditaruh oleh kakaknya sendiri Erland.“Tidak ada satu pun tugas yang kau selesaikan dengan benar Jeff, bahkan gadis yang tidur denganku pun kau masih belum mendapatkannya!” kesalnya.“Untuk masalah itu, sepertinya tuan Erland sangat merencanakannya dengan rapi Tuan. Tidak mudah bagi saya untuk melacak siapa gadis itu. Karena bisa saja gadis itu adalah suruhan dari tuan Erland,” jelasnya.Eric mengepalkan tangannya, jika dia tidak bisa menemukan siapa gadis itu, dan jika benar bahwa gadis itu adalah suruhan dari Erland, maka benar-benar akan sulit untuk menemukan gadis itu. Tapi, sudah hampir 6 tahun berlalu, namun Erland tidak melakukan pergerakan untuk masalah itu.‘Apa dia sedang mencari waktu yang tepat,' batinnya, ‘tapi, jika gadis itu bukan suruhan Erland dan jika dia hamil. Akan sangat berbahaya jika Erland mengetahuinya, mungkin dia akan menghabisi anak itu.’ Lanjutnya, ‘sekarang, aku akan fokus mencari putri dari si ular tua Arya itu dulu, dan setelah itu aku akan mencari gadis itu. Kali ini, aku pasti akan menemukannya,' tekadnya.“Baiklah, aku masih mempercayaimu Jeff. Sekarang, bawa aku ke tempat yang kau katakan. Karena aku sudah tidak sabar untuk melihat air mata dari si putri ular tua itu,” ucapnya dengan dingin.“Baik Tuan.”Eric pun berdiri dan keluar dari ruangannya dengan diikuti oleh Jeff di belakangnya.Eric berjalan dengan gagahnya, dengan balutan jas hitamnya juga dengan tubuh tinggi menjulang dan kekarnya, yang disertai wajah tampan dan kulit eksotisnya membuatnya terlihat sangat berkarisma namun juga menakutkan.***Di sisi lain, seorang wanita cantik sedang mendandani seorang anak kecil dengan seragam sekolahnya, anak laki-laki itu terlihat sangat tampan, manis dan juga imut.Balutan seragam taman kanak-kanak berwarna putih dengan celana merah bermotif kotak-kotak itu sangat cocok dengannya dan semakin menambah kesan manis, imut dan tampan pada anak itu.Wanita yang tak lain adalah Alana itu lalu menyisir rambut anaknya hingga tampak sangat rapi.“Wahh anak mama sangat tampan, sangat cocok menggunakan seragam ini,” pujinya.Anak laki-laki itu tersenyum dengan senangnya, ketika mendapatkan pujian dari mamanya. Manik matanya yang berwarna amber itu terlihat semakin indah saat disertai senyuman pada wajah itu. Dan semakin menambah kesan tampan padanya.“Apa Alden senang, karena ini adalah hari pertama Alden sekolah?” tanya Alana.Alden mengangguk. “Tentu saja Ma, Alden sangat menantikan hari ini. Alden sudah tidak sabar untuk mendapatkan banyak pelajaran dari bu guru,” jawabnya dengan lantang.“Hmm, anak mama memang yang terbaik,” pujinya lagi.Alana lalu memeluk putranya dengan rasa kasih sayang yang berlimpah. Walaupun dia tidak tahu siapa ayah dari Alden. Tapi itu tidak papa, karena dia bisa menjadi ibu sekaligus ayah untuk putranya ini. Walaupun Alden tetap tidak mendapatkan kasih sayang yang sempurna, namun dia tidak akan pernah kekurangan kasih sayang itu.“Ayo, hari ini Alden dianter sama bunda Mely ya. Mama mau kerja, cari uang buat uang sekolah Alden. Alden anak yang baik, kan?”Alde kembali mengangguk, mereka pun lalu keluar dari dalam rumah mereka. Dan berjalan menuju rumah Mely yang berada di samping rumahnya.Alana mengetuk pintu rumah Mely yang tertutup dengan rapat itu, sepertinya Mely masih sibuk menyiapkan sarapan untuk suaminya.Ya, Mely memang sudah menikah dengan suaminya selama 6 tahun. Namun sampai sekarang, mereka belum dikaruniai seorang anak. Padahal mereka sangat menunggu hari dimana mereka akan memiliki seorang buah hati. Karena itu, mereka sangat menyayangi Alden dan menganggapnya sebagai putra mereka sendiri.Ceklek!Pintu pun terbuka dan terlihatlah Mely yang berada di balik pintu itu dengan senyumnya yang sudah terukir dengan lebar. “Wahh, siapa ini. Apakah ini Alden si tampan bermata ambernya bunda,” ucap Mely.“Ini, Alden Bunda. Bagaimana, Alden tampan kan memakai seragam ini?” ucapnya menyombongkan diri.“Mmm, Alden selalu tampan memakai apa pun,” puji Mely.“Hehe.” Alden tersenyum senang karena sudah mendapatkan banyak pujian dari wanita-wanita yang dia sayangi.“Mel, aku titip Alden ya. Hari ini aku kerja pagi, apa kamu bisa anter Alden ke sekolah. Ini adalah hari pertamanya. Jadi takutnya dia masih belum terbiasa,” pinta Alana.“Sip, tenang aja Al. Aku akan anter Alden si tampan ini sekolah, dan menunggunya sampai pulang. Gimana, Alden mau kan dianter sama bunda?”“Eumm, Alden mau. Karena Bunda juga ibunya Alden,” jawabnya.Entah kenapa, mendengar hal itu dari Alden membuat Mely merasa terharu. Dia benar-benar menyayangi anak laki-laki ini, dan sudah menganggapnya seperti putranya sendiri.“Kalau begitu mama berangkat ya.”“Iya Ma,” jawab Alden.Mereka pun melambaikan tangannya pada Alana, dan Alana pun membalasnya. Sebenarnya Alana ingin mengantar Alden ke sekolah, karena ini adalah hari pertamanya. Namun sayang, di hari ini dia mendapatkan jatah kerja di pagi hari.Pekerjaannya memang tidak bergengsi, dia hanya seorang pelayan di sebuah toko kue. Namun, dia bersyukur, karena setidaknya dia mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari pada dulu yang hanya sebagai penyapu jalanan.“Nahh, sekarang sebelum berangkat sekolah Alden sarapan dulu ya. Bunda tahu deh, Alden pasti belum sarapan, kan?”Alden menggeleng. “Alden udah sarapan kok Bun, tapi emang belum kenyang hehe,” jawabnya.“Hmm, udah bunda duga. Kalo gitu ayo masuk dan sarapan lagi,” ajaknya.Alden mengangguk dan mengikuti Mely masuk ke dalam rumahnya.Saat tiba di ruang makan rumah Mely, di sana sudah ada Andri yang merupakan suami dari Mely yang sedang memakan sarapannya dengan setelan jas kantornya.“Halo, selamat pagi Ayah,” sapa Alden.Andri pun menoleh pada Alden, dan tersenyum saat melihatnya. “Wahh, siapa anak tampan yang memakai seragam sekolah ini, Bun?” tanyanya pura-pura tidak tahu.“Ini Alden Yah, Bunda juga tadi salah mengira siapa anak tampan ini. Ternyata Alden,” jawab Mely yang meladeni candaan suaminya.“Ini hari pertama sekolah Alden?” tanya Andri.Alden mengangguk. “Iya Ayah, Alden sangat menunggu hari ini.”“Wahh begitu, semoga hari pertama Alden sekolah lancar ya.”“Terima kasih Ayah,” ujar Alden yang dijawab senyuman oleh Andri.“Bunda, ayo cepat. Nanti Alden terlambat, ini kan hari pertama sekolah Alden,” ucapnya pada Mely yang saat ini tengah mengunci pintu rumahnya.“Iya Alden, tunggu sebentar. Bunda kunci pintu rumah dulu ya.”“Ayo cepet Bunda.” Alden menarik-narik tangan Mely agar cepat berangkat ke sekolahnya.“Iya, ini sudah selesai. Ayo kita berangkat,” jawabnya. Mely pun menggenggam tangan Alden dan berjalan menuju sekolahnya.Alden terlihat sangat senang saat tengah berjalan menuju sekolahnya, dia benar-benar bersemangat hari ini. Karena dia sudah berjanji kepada mamanya kalau dia akan belajar dengan giat dan menjadi anak yang cerdas dan menjadi kebanggaan mamanya yang sangat dia sayangi.Setelah mereka berjalan kurang lebih 5 menit, mereka pun tiba di jalan raya dan menunggu taksi online untuk mereka naiki menuju sekolahan Alden yang memang jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggal mereka.Karena kendaraan seperti mobil tidak bisa masuk ke gang rumah mereka, mereka pun harus jalan terlebih d
“Tuan, rumah yang kita cari sudah dekat dari sini,” ucap Jeff yang menghampiri Eric setelah menanyakan alamat kepada orang yang berada di sana. Namun tampaknya Eric hanya terdiam. Dia seperti tidak mendengarkan apa yang Jeff katakan, dan hanya sibuk dengan pikirannya sendiri. “Tuan?” ujar Jeff.Mendengar itu, akhirnya Eric pun tersadar. Anak laki-laki tadi sudah mengganggu pikirannya. Karena terlalu mirip dengannya, rasanya dia tidak percaya jika anak itu bukanlah miliknya.“Tuan, ada apa? Apa terjadi sesuatu?” tanya Jeff. Ini adalah pertama kalinya dia melihat tuannya yang tidak fokus. Biasanya dia selalu waspada akan apa pun. Tapi, sepertinya saat ini tuannya tengah memikirkan sesuatu.“Tidak ada, ayo kita lanjutkan perjalanan,” jawab Eric.“Baik Tuan.” Mereka pun kembali masuk ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan mereka.Ketika di perjalanan menuju tempat tujuan mereka, Eric tak henti-hentinya memikirkan anak kecil tadi. Bisakah ada seorang anak yang begitu mirip dengan d
Saat melihat warna mata itu. Ada sesuatu yang lain juga, yang tiba-tiba merasuk ke dalam ingatannya. Tapi Alana tidak bisa mengingat apa itu.“Siapa kau?! Kenapa kau mengejarku?” tanyanya memberanikan diri.“Aku?” Eric menunjuk dirinya sendiri. Dia lalu memamerkan smirk menakutkannya dan kembali melanjutkan ucapannya, “aku adalah orang yang akan memberikan penderitaan padamu.”Alana tersentak dengan apa yang pria di depannya ini katakan. “Kenapa? Kenapa kau ingin membuatku menderita. Memangnya apa salahku? Aku bahkan tidak mengenalmu, dan kau seenaknya berkata akan memberikan penderitaan padaku?”Eric menjepit pipi Alana dengan tangannya begitu keras, hingga membuat Alana meringis.“Karena itu semua sudah takdirmu, putrinya Arya Subagja.”Mendengar itu, lagi-lagi Alana terkejut, dia bahkan sampai melebarkan matanya.“Jika kau ingin menyalahkan seseorang untuk hal ini, maka salahkan ayahmu yang seorang penjahat itu!” Lanjut Eric.Clakkk!Air mata Alana menetes, saat Eric menga
Alana menelan salivanya dengan gugup. Dia melihat Eric yang dengan tenangnya melihat jalanan yang tengah dilewati. Berbeda dengan perasaannya saat ini yang terasa begitu takut dan panik.Alana mengedipkan matanya sekali, hingga saat dia berkedip air matanya itu kembali menetes. Pandangannya itu kembali fokus pada Eric. Namun, bukan pandangan yang mengagumi sosok Eric yang tampan dan gagah. Melainkan pandangan benci, dan ingin menampar wajah itu dengan kerasnya.“Pandanganmu itu terlihat jelas,” ujar Eric yang mengagetkan Alana. Sontak, Alana pun langsung mengalihkan pandangannya dari Eric dan menundukkan wajahnya. Tangannya yang gemetar itu dia pautkan untuk mengurangi getarannya. Alana memejamkan matanya, untuk menenangkan jantungnya yang terus berpacu dengan cepat, bahkan sangat cepat. Jujur, saat ini dia benar-benar begitu takut.Eric meraih dagu Alana dan memaksanya untuk menatap padanya. Dan hal itu tentu saja membuat Alana terkejut, bahkan rasanya jantungnya tadi hampir saj
Alana hanya bisa terdiam, saat mendengarkan semua yang Eric katakan. Tubuhnya terasa membeku, hanya detak jantungnya saja yang terus bergerak dengan kencangnya. Iblis di hadapannya ini sangat menakutkan, hingga tidak ada celah baginya untuk melawannya.“Bangun, dan ikut denganku!” Eric kembali menggenggam dengan kuat pergelangan tangan Alana dan memaksanya untuk bangun. Ringisan itu terdengar kembali saat Eric kembali memaksa Alana untuk ikut dengannya. “Ahhh sakitt.”Namun, sepertinya Eric tidak memedulikan hal itu, dia hanya terus menarik Alana sampai di tempat tujuannya.Hingga mereka tiba di sebuah ruangan, Eric membuka pintu ruangan itu dan membawa Alana untuk masuk ke dalam.Brukk! Eric menutup pintu ruangan itu dengan kerasnya saat dia dan Alana sudah berada di dalam ruangan itu. Lagi-lagi Eric menghempaskan tangan Alana dengan kasarnya hingga dia kembali tersungkur ke lantai.“Ahhh,” ringis Alana lagi. Karena memang lututnya sudah terluka, sehingga gesekan lututnya pada l
Siang berganti malam, sinar matahari sudah berganti dengan sinar rembulan. Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, Alana masih terkurung di kamar itu. Dia duduk meringkuk dengan memeluk erat kedua lututnya, dan punggungnya yang menyandar ke sisi depan ranjang tempat tidur. Dengan air matanya yang masih berlinang, Alana melihat ke sisi kanan dan kirinya. Dia merasa sangat takut, rumah ini benar-benar menakutkan. Alana lalu membenamkan wajahnya pada sela-sela kedua lututnya. Air matanya masih terus menetes, karena mengingat ucapan terakhir ayahnya.2 hari lalu.Alana tampak baru saja pulang dari bekerjanya. Di tangannya sudah ada sebuah kantung keresek hitam berisi makanan yang dia tenteng.“Ayah, aku pulang,” ucapnya. Alana masuk ke dalam rumahnya dan langsung menuju kamar ayahnya untuk memberikan makanan yang dia bawa. “Ayah ini makanan untuk Ayah,” lanjutnya. Alana melihat ayahnya yang masih menutup mata. Sepertinya ayahnya itu masih tertidur.Dia duduk di samping ayah
Kini, tangan Eric sudah menjalar ke setiap inci tubuh Alana dan membuatnya tersentak. 'Tidak, aku tidak mau diperlakukan seperti ini. Cukup sekali aku melakukan kesalahan, sekarang tidak lagi, bagaimana pun caranya. Aku harus bisa terlepas dari genggaman iblis ini,' batinnya.“Hah, hah, hah.” Nafas Eric terdengar sudah memburu, sepertinya nafsu sudah menyelimutinya saat ini. Sehingga dia tidak bisa menghentikan apa yang sekarang dia lakukan, rasanya tubuhnya tidak mau berhenti dan ingin menuntaskan semuanya.Berbeda dengan Eric yang tidak bisa berhenti atas tindakannya saat ini, kepanikan Alana justru semakin memuncak, terlebih ketika dia mendengar nafas memburu dari Eric, membuat tubuhnya bergetar seketika. Air matanya menetes, dia sungguh tidak mau melakukan hal ini. Dia tidak mau membuat kesalahan untuk yang kedua kalinya. “Berhenti, kumohon. Kumohon jangan lakukan ini,” pintanya sambil menangis. Namun, Eric tidak mendengarkannya. Rasa amarah sekaligus nafsu yang bercampur men
Dengan menggendong Alden yang masih tertidur, Mely membuka pintu rumahnya, dia lalu masuk ke dalam kamarnya dan membangunkan suaminya yang sepertinya sudah tertidur lelap.“Ayah, bangun Yah,” ucapnya seraya menepuk-nepuk lengan suaminya itu agar terbangun.Tak butuh waktu lama, akhirnya sang suami pun bangun, dia mengucek-ngucek matanya agar bisa segera tersadar sepenuhnya.“Ada apa Bun? Kok malam-malam gini udah bangunin Ayah?” tanyanya. Dia lalu melihat Alden yang berada di gendongan istrinya, “loh kok Alden ada sama Bunda? Memangnya Alana belum pulang?” Lanjutnya.“Itu dia Yah, Alana masih belum pulang sampai sekarang, padahal dari tadi Alden udah nunggu di luar rumahnya sendirian. Dan ini sudah malam Yah, mustahil jika Alana belum pulang bekerja sampai sekarang. Bunda khawatir Yah, gimana kalo sekarang kita ke tempat kerjanya Alana dan memastikan keberadaannya. Kasian Alden Yah, udah pengen ketemu mamanya,” jelas Mely.Andri pun mengangguk, dia lalu bergegas turun dari tempat
"A-ada apa? Sudah kubilang kan untuk jangan banyak bicara, istirahatlah!”“Da-dadaku sakit,” ucap Alana dengan begitu lemahnya.Dada Eric kembali berdebar dengan begitu kerasnya, saat mendengar apa yang Alana katakan. “A-aku akan memanggil dokter, dokter akan memeriksamu dan menyembuhkannya.” Dia kembali berbalik, dan hendak melangkah pergi. Namun, langkahnya itu kembali terhenti saat dia merasakan tangan Alana yang menahannya.Sontak, Eric pun kembali berbalik dan melihat pada Alana. Tampak Alana yang menggeleng, berusaha mencegah Eric agar tetap di sisinya. “Tidak usah, jangan panggil dokter. Tetaplah di sisiku, aku merasa waktuku tidak lama lagi, aku tidak bisa menahannya,” ucapnya.“A-apa yang kau katakan, kenapa kau mengatakan hal itu Alana. Tolong jangan membuatku takut!” ucap Eric.“Eric, bolehkah aku meminta sesuatu padamu?” tanyanya.“Katakanlah, apa pun yang kau inginkan. Aku akan mengabulkannya, aku pasti mengabulkannya,” jawabnya.“Tersenyumlah, aku ingin melihatmu
Eric terpaku, melihat keadaan Alana saat ini. Ruangan itu begitu sunyi, hanya terdengar suara alat monitor yang mengukur detak jantung Alana saat ini. Tangannya yang bergetar itu lalu terangkat, menyentuh dahi Alana yang basah karena keringat. “Istriku, Alana,” ucapnya, “apa kau mendengarku? Aku memanggilmu istriku, bukankah kau selalu memintaku untuk memanggilmu seperti itu? Karena itu bangunlah, dan dengarkan hal itu sepuasmu. Aku akan mengucapkannya berkali-kali sampai kau puas. Aku akan selalu pamit padamu ketika aku akan berangkat ke mana pun dan mengecup keningmu. Jadi kumohon, bangunlah. Bangunlah.” Air mata Eric terus mengalir. Dia lalu membungkuk, menempelkan keningnya pada kening Alana, hingga air matanya itu mengenai kening Alana.Tanpa Eric sadari, jari telunjuk Alana bergerak. Matanya yang tertutup itu juga mulai bergerak-gerak, menunjukkan bahwa Alana akan segera sadar. “A-aku ingin me-mendengarnya la-lagi,” ucapnya dengan suara lemah.Deg!Eric terperanjat ketika
Eric saat ini sudah berada kembali di rumah sakit. Dia masih berada di dalam mobilnya, menunduk menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Matanya terus terbuka dan sesaat kemudian air mata pun jatuh membasahi telapak tangannya.Jeff menoleh ke belakang, melihat keadaan Eric yang benar-benar kacau. “Tuan,” panggilnya dengan lirih.Eric masih bergeming, dia masih menunduk dengan wajahnya yang masih tertutup kedua tangannya. Entah kenapa, saat ini perasaannya begitu takut, dadanya berdebar dengan begitu keras, hatinya juga terasa begitu sakit. Dia juga enggan untuk turun dari mobil dan kembali kepada Alana. Kenapa tubuhnya begitu bergetar, seakan ingin memberitahu keadaan yang saat ini sebenarnya sedang terjadi.“Jeff, aku merasa takut,” ucapnya seraya membuka kedua tangannya dan memperlihatkan wajahnya yang saat ini sudah dipenuhi dengan air mata.Jeff tersentak melihat itu. Ini sungguh pertama kalinya dia melihat tuannya yang menangis sampai seperti ini. “Tuan, apakah Anda baik-baik
Eric masuk ke dalam mobilnya, tampak dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jasnya dan menghubungi seseorang. “Jeff, apa kau sudah menemukan pelakunya?” tanyanya.“Tuan, pelakunya sudah melarikan diri. Ini adalah pembunuhan berencana, jadi sepertinya mereka sudah menyiapkannya dengan baik. Dan sepertinya orang yang merencanakan ini bukan orang sembarangan,” jawab Jeff dari seberang telepon.“Tidak papa, tidak usah kau lanjutkan. Sekarang kau pergilah ke kediaman Carlson. Karena aku juga akan ke sana.”“Baik Tuan,” jawab Jeff. Dan setelah itu sambungan telepon pun terputus. Eric langsung menyalakan mesin mobilnya dan bergerak melaju meninggalkan area rumah sakit.Di perjalanan menuju kediaman Carlson, Eric mencengkeram erat kemudi mobilnya, menunjukkan kemarahannya saat ini yang begitu besar. Terlebih, dia tidak menyangkanya sama sekali, bahwa papa dan juga kakaknya akan tega membunuhnya. Baiklah, dia memang mengakui bahwa hubungannya dengan keluarganya memang tidak baik. Tapi,
Eric membelokkan mobilnya, memasuki pintu gerbang rumah sakit. Dia lalu memarkirkan mobilnya dan langsung keluar dari sana. Dengan cepat Eric membuka pintu mobil bagian belakangnya dan menggendong Alana masuk ke dalam rumah sakit dengan diikuti oleh Silvia dan juga yang lainnya.“Dokter! Dokter!” teriak Eric seraya melihat ke sana kemari mencari keberadaan dokter untuk menangani Alana. Dia terus berjalan, dengan Alana yang berada di gendongannya dan mulutnya tak henti-hentinya memanggil dokter. Air matanya sudah semakin deras menetes, tubuhnya juga sudah bergetar dengan sangat hebatnya.Setelah berkali-kali memanggil nama dokter dengan suara kerasnya. Tampak dari kejauhan terlihat beberapa perawat dan juga seorang dokter yang datang menghampirinya. “Ada apa, Pak?” tanya dokter itu dengan raut wajah seriusnya.“I-istriku, to-tolong selamatkan istriku, di-dia tertembak,” jawab Eric dengan terbata-bata.“Kalau begitu kita harus langsung mengoperasinya untuk mengeluarkan peluru itu.
Alana meminta pada Ronald untuk menghentikan mobilnya di saat dia melihat Eric yang sedang berdiri sembari memegang ponsel di telinganya. “Mama tunggu di sini. Biar aku yang menemui Eric,” ucapnya.Liana pun mengangguk, dia memegang tangan Alana terlebih dulu sebelum Alana keluar dari mobil. “Terima kasih sayang, terima kasih karena sudah mau menolong Eric,” ucapnya.Alana membalas pegangan tangan Liana itu dengan lembut. Dia lalu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Ini sudah tugasku sebagai istri Ma, aku harus melindungi suamiku,” jawabnya. Alana pun lalu turun dari mobil, dia berjalan hendak menghampiri Eric. Di sisi jalan yang lain. Terlihat Silvia dan Christ yang sedang berada di dalam mobil mereka. Silvia membuka kaca mobilnya, dan melihat jalanan yang sedikit sepi saat ini. “Sayang, bukankah itu Alana?” ucapnya pada Christ.Deg! Christ langsung menghentikan mobilnya sesaat setelah mendengar nama Alana yang terlontar dari mulut Silvia. Dia lalu menoleh pada sesosok wa
Liana terus berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, tampak dia menggigiti kuku jarinya karena perasaan takut dan panik yang saat ini dia rasakan. “Bagaimana aku harus memberitahu Alana tentang masalah ini, aku harus segera memberitahunya sebelum semuanya terlambat,” gumamnya.Tubuh Liana bergetar saat mengingat kembali obrolan antara suami dan putranya. Air matanya kembali menetes, dia masih merasa tidak percaya bahwa suaminya dan Erland akan merencanakan hal sekejam ini kepada Eric.“Aku harus pergi ke rumah Eric sekarang, tapi aku harus memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tahu mengenai kepergianku. Aku harus berhati-hati atau semuanya akan gagal,” gumamnya lagi.***Eric’s MansionSaat ini Alana tengah duduk di ruang keluarga seorang diri. Dia sedang melukis wajah Eric yang ada di ingatannya. Sudah lama dia tidak melukis, rasanya tangannya ini begitu tegang. Tapi entah kenapa, hari ini rasanya dia sangat ingin sekali melukis, dan wajah yang ingin dia lukis adalah Eric
Alana menaruh kembali gelas itu di nakas yang ada di samping tempat tidur, dia lalu berjalan memutari tempat tidur dan naik ke atas ranjang. Alana menarik selimutnya, dan membaringkan tubuhnya dengan posisi miring menghadap pada Eric. Dia kembali tersenyum, memperhatikan Eric yang sudah menutup matanya.Eric yang sebenarnya memang belum sepenuhnya tertidur itu merasa risi dengan apa yang Alana lakukan saat ini, dia tahu bahwa Alana terus menatapnya tanpa mau memalingkan wajahnya itu darinya. Dengan terpaksa dia pun membuka kembali matanya dan melihat Alana yang tersenyum padanya.“Apa kau hanya akan melihatku?” tanyanya.“Iya, biarkan aku melihatmu sampai aku puas. Kau sangat tampan Eric, aku suka melihat wajahmu,” jawab Alana dengan beraninya.Psshhh! Seketika wajah Eric kembali memerah, sesaat setelah mendengar apa yang Alana katakan. 'Wajahku memanas lagi, kenapa aku merasa wanita ini semakin berani menggodaku,' batinnya.“Kemarikan tanganmu,” pinta Alana.“Kenapa?” tanya Eri
“Aku ada satu rencana, dan sepertinya hanya rencana ini yang harus kita lakukan. Jika Papa mengizinkannya, maka aku akan langsung melakukannya,” ucap Erland.“Apa itu?” tanya Erian lagi.“Membunuhnya,” jawab Erland dengan raut wajah dingin.Tidak ada raut keterkejutan atau pun marah dari wajah Erian setelah mendengar rencana dari Erland, justru dia lebih terlihat memikirkan rencana yang Erland lontarkan itu.“Hanya itu satu-satunya cara Pa, jika kita ingin menghentikan pergerakan Eric untuk menghancurkan Carlson Group, jalan satu-satunya adalah dengan menyingkirkannya. Maka semuanya akan kembali seperti semula,” ujar Erland yang mencoba meyakinkan papanya agar mengizinkannya untuk melakukan rencana itu.Tampak Erian yang kembali melihat pada Erland, dia lalu menepuk bahu Erland dengan senyum yang tersungging di bibirnya. “Kamu memang putraku Erland, sifatmu benar-benar sama denganku. Baiklah, lakukan rencana itu. Aku mengandalkanmu,” ucapnya kemudian, yang memberikan persetujuan