Fathan menatap tajam Aina sembari melangkah mendekat. Sedangkan wanita bercadar itu berdiri kokoh di tempatnya tanpa gentar. "Kamu bilang apa barusan? Kamu lupa saya ayahnya Bintang? Harus berapa kali saya mengingatkanmu kalau Bintang juga anak saya!" Wajah Fathan terlihat memerah."Katakan apa yang bisa membuatmu menerima saya sebagai ayahnya Bintang?" Fatan melirik Danis yang berdiri kaku di sudut ruangan. Melihat Aina di sudutkan oleh pria yang mengaku sebagai bapaknya Bintang itu Danis tidak terima. Tentu saja lelaki itu tidak suka dengan sikap Fathan yang arogan."Tolong yang sopan kalau bicara sama wanita, Bung!" ujar Danis.Spontan Fatan tersenyum miring mendengar kalimat Danis."Oh jadi karena pria ini kamu selalu menolak saya? Apa karena dia juga kamu berani melarang saya untuk bertemu dengan darah daging saya sendiri?" Fathan menunjuk Danis.Aina mendengus. Inilah sifat yang dia benci dari Fathan. Meski belum lama kenal Fathan, Aina sedikit banyak bisa membaca sifat pria i
Aina mendongak. Sepasang mata bulatnya membola melihat Fatan sudah ada di hadapannya. Ia pikir pria itu menunggu Bintang di dalam ruangan."Kenapa kamu ada di sini?" tanya Aina gugup.Bukan karena kepergok sedang berbicara berdua dengan Danis, melainkan karena jarak mereka yang begitu dekat. Jantung Aina sampai berdentam-dentam di dalam dadanya. "Kenapa? Takut ketahuan sedang berduaan dengan mantan tunangan?" tanya Fatan dengan menekan kata terakhir.Lagi, Aina membulatkan matanya. Dari mana pria ini tahu kalau Danis adalah mantan tunangannya? Bukan tunangan, lebih tepatnya mantan calon istri. Tapi bukan itu pointnya. Aina hanya heran kenapa pria ini tahu masa lalunya."Aku hanya berbicara dengan dia. Tidak ada yang perlu ditakutkan," ujar Aina. Secara tidak langsung wanita itu menegaskan kalau dirinya sudah tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Danis. Atau lebih tepatnya meyakinkan Fathan tentang status dirinya. Tanpa sadar pria itu tersenyum tipis. Sangat tipis hingga Aina tidak
"Anak Papa udah siap pulang?" Sesuai janjinya Fathan benar-benar menjemput Bintang. "Siap, Papa!" Bintang berlari menyambut kedatangan papanya.Aina hanya bisaembuang napas kasar melihat betapa semangatnya Bintang jika Fatan datang. Bahkan bocah yang dia besarkan sendirian itu seolah lupa kalau ada Mamanya di sini."Jagoan Papa sudah sehat?" Fatan mengangkat tubuh Bintang yang sudah besar. Tinggi bocah itu menuruni tinggi badannya sehingga ketika diangkat kakinya menjuntai panjang.Lelaki berwajah tampan itu menciumi setiap jengkal wajah anaknya. Rasa sayang Fatan pada Bintang memang benar-benar tak terukur. Bahkan saking sayangnya, dia rela meninggalkan rapat penting demi bisa menjemput sang buah hati pulang dari rumah sakit. Aina menunggu dua lelaki beda usia itu selesai bercengkerama sembari duduk membaca ayat suci Alquran. Memanfaatkan waktu agar tidak bosan."Pulang sekarang?" tanya Fatan yang entah sejak kapan sudah berdiri menjulang di hadapannya. Aina mendongak dan tatapan
Aina tak ingin terlibat gurauan dengan Fathan dan memilih untuk masuk bersama Laura. Bik Esih sudah menyiapkan makan siang untuk mereka karena sebelum sampai tadi ainah sudah memberitahu padanya kalau dia akan pulang membawa teman."Ra, kamu mau mandi dulu atau langsung makan? Ganti aja pakai bajuku," tawar Aina."Mandi dulu aja deh, ya lengket badan!" Laura mengibas-ngibaskan kerudungnya seraya mengangkat tangan dan mencium ketiaknya. "Mandi aja di kamarku di lantai 2 terus kamu pilih sendiri bajunya mau pakai yang seperti apa," ucap Aina. "Nggak papa nih aku ke kamarmu?" "Ya nggak papa. Udah sana mandi! Aku mau bantuin Bik Esih dulu untuk menyiapkan makan siang kita." Selama Laura mandi Aina pergi ke dapur untuk menemui sosok wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya selama ini. "Bik, makan siangnya sudah siap?" tanya Aina.Wanita paruh baya itu tersenyum melihat majikannya sudah berada di dapur. Beberapa hari berada di rumah sakit membuat Bik Esih kangen pada sosok wanita Man
Aina menunduk malu karena berteriak. Tindakan spontanitasnya barusan membuat semua pasang mata menatap ke arahnya. "Maaf," lirih Aina. "Tapi ... Jumat terlalu cepat, Abi."Abi Hanif tersenyum teduh memandang putrinya. Rasa bersalah kembali merayap dalam hatinya setiap kali mengingat tindakannya dulu. "Niat baik harus disegerakan, Nak. Jangan menunda niat baik. Apalagi Abi lihat Bintang sangat bahagia dengan kehadiran Nak Fatan. Apa yang membuatmu masih ragu, Sayang?" tanya Abi Hanif lembut tapi penuh wibawa.Entahlah. Aina tak tahu apa yang membuatnya ragu. Meski dalam hati ia mencoba untuk memantapkan diri dengan mengiringi shalat istikharah, keraguan itu datang lagi sekarang. Padahal kemarin dia sudah mendapatkan kemantapan itu."Maafkan Ai, Abi. Ai hanya shock aja mendengar acara pernikahan dilaksanakan lusa. Ai pikir masih sekitar dua atau tiga bulan lagi sehingga Ai bisa mempersiapkan diri," jawab Aina lembut.Bu Yunita dan suaminya semakin respect pada Aina. Melihat bagaimana
Aina dibimbing oleh Bu Yunita dan Umi Widuri berjalan menuju meja ijab qobul. Dengan langkah yang sangat pelan Aina menundukkan kepala hingga tak terasa sudah berhadapan dengan pria bernama Fatan.Semua pasang mata memandang Aina yang terlihat begitu anggun dengan cadar putih menutupi wajahnya. Tentu para tamu undangan dari kalangan pebisnis bertanya-tanya sejak kapan selera sang big Boss berubah menjadi agamis begitu. Melihat istrinya sebelumnya yang seorang model dengan pakaian serba minim tentu melihat Aina yang sangat tertutup membuat kena mereka jadi bertanya-tanya. Apakah alasan perceraian mereka karena tidak rela memiliki istri seorang model di mana kemuliakan tubuhnya dia nikmati oleh semua pasang mata? Gadis bercadar yang wajahnya saja tidak bisa dilihat oleh semua orang kecuali dirinya."Angkat wajahmu, Aina!" Suara bariton itu membuat tubuh gemetar. Wanita yang baru saja menyandang status istri itu tidak menyadari kalau ternyata dua wanita yang mengapitnya tadi sudah perg
Fatan membungkukkan badannya di hadapan Aina hingga tatapannya lurus menembus retina sang istri. Untuk sesaat Fatan mengagumi mata jernih yang dibingkai bulu mata panjang nan lentik itu. Aina mengerjapkan matanya karena merasa gugup dengan jarak sedekat itu. "A-apa Anda tidak ingin mandi?" tanya Aina dengan suara gemetar."Apa kamu takut padaku? Kita ini sudah suami istri kenapa kamu begitu takut? Apa aku terlihat sangat menakutkan bagimu?" Fatan merasa kecewa dengan respon Aina yang demikian."Sa-saya akan menyiapkan air untuk Anda!" Aina berdiri berjalan cepat menuju kamar mandi.Sementara Fathan hanya bisa melihat punggung istrinya yang menghilang di balik pintu dengan geleng-geleng kepala."Kenapa kalau seperti ini Kamu tampak menggemaskan di mataku?" gumam Fatan. Lelaki yang baru saja menyandang status suami setelah menduda beberapa hari itu melepas jasnya dan ia letakkan di atas sofa. Satu persatu kain yang menutupi tubuhnya ia lepas hingga menyisakan sporot dan boxer saja. I
Tubuh Fatan mendadak menjadi kaku. Tatapan mereka bertemu dengan tangan Fatan masih memegang ujung cadar Aina."A-apa yang Anda lakukan?" tanya Aina.Spontan Fatan melepas tangannya lalu berpura-pura mengibas-ngibaskan tangan seolah mengusir nyamuk. "Kamu tidur nyenyak sekali sampai tidak tahu ada nyamuk yang hinggap," ucap Fatan datar. Ia lalu turun dari ranjang dan berjalan menuju lemari untuk mengambil baju ganti.Aina menatap punggung Fatan lalu kembali memejamkan mat ketika pria itu melepas jubah mandinya begitu saja. Beruntung posisinya membelakangi Aina sehingga wanita itu tidak menjerit histeris melihat pemandangan asing itu."Kenapa dia tidak punya malu?" batin Aina.Sembari mencoba untuk menetralkan detak jantungnya agar kembali normal, Aina memejamkan mata. Mendadak ingatannya berputar saat Fatan mencoba menyingkap cadarnya saat dia tertidur barusan. Ada perasaan tak nyaman dalam diri Aina. Meskipun mereka sudah menikah sekarang, tapi ibu satu anak itu masih belum siap unt