"Anak Papa udah siap pulang?" Sesuai janjinya Fathan benar-benar menjemput Bintang. "Siap, Papa!" Bintang berlari menyambut kedatangan papanya.Aina hanya bisaembuang napas kasar melihat betapa semangatnya Bintang jika Fatan datang. Bahkan bocah yang dia besarkan sendirian itu seolah lupa kalau ada Mamanya di sini."Jagoan Papa sudah sehat?" Fatan mengangkat tubuh Bintang yang sudah besar. Tinggi bocah itu menuruni tinggi badannya sehingga ketika diangkat kakinya menjuntai panjang.Lelaki berwajah tampan itu menciumi setiap jengkal wajah anaknya. Rasa sayang Fatan pada Bintang memang benar-benar tak terukur. Bahkan saking sayangnya, dia rela meninggalkan rapat penting demi bisa menjemput sang buah hati pulang dari rumah sakit. Aina menunggu dua lelaki beda usia itu selesai bercengkerama sembari duduk membaca ayat suci Alquran. Memanfaatkan waktu agar tidak bosan."Pulang sekarang?" tanya Fatan yang entah sejak kapan sudah berdiri menjulang di hadapannya. Aina mendongak dan tatapan
Aina tak ingin terlibat gurauan dengan Fathan dan memilih untuk masuk bersama Laura. Bik Esih sudah menyiapkan makan siang untuk mereka karena sebelum sampai tadi ainah sudah memberitahu padanya kalau dia akan pulang membawa teman."Ra, kamu mau mandi dulu atau langsung makan? Ganti aja pakai bajuku," tawar Aina."Mandi dulu aja deh, ya lengket badan!" Laura mengibas-ngibaskan kerudungnya seraya mengangkat tangan dan mencium ketiaknya. "Mandi aja di kamarku di lantai 2 terus kamu pilih sendiri bajunya mau pakai yang seperti apa," ucap Aina. "Nggak papa nih aku ke kamarmu?" "Ya nggak papa. Udah sana mandi! Aku mau bantuin Bik Esih dulu untuk menyiapkan makan siang kita." Selama Laura mandi Aina pergi ke dapur untuk menemui sosok wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya selama ini. "Bik, makan siangnya sudah siap?" tanya Aina.Wanita paruh baya itu tersenyum melihat majikannya sudah berada di dapur. Beberapa hari berada di rumah sakit membuat Bik Esih kangen pada sosok wanita Man
Aina menunduk malu karena berteriak. Tindakan spontanitasnya barusan membuat semua pasang mata menatap ke arahnya. "Maaf," lirih Aina. "Tapi ... Jumat terlalu cepat, Abi."Abi Hanif tersenyum teduh memandang putrinya. Rasa bersalah kembali merayap dalam hatinya setiap kali mengingat tindakannya dulu. "Niat baik harus disegerakan, Nak. Jangan menunda niat baik. Apalagi Abi lihat Bintang sangat bahagia dengan kehadiran Nak Fatan. Apa yang membuatmu masih ragu, Sayang?" tanya Abi Hanif lembut tapi penuh wibawa.Entahlah. Aina tak tahu apa yang membuatnya ragu. Meski dalam hati ia mencoba untuk memantapkan diri dengan mengiringi shalat istikharah, keraguan itu datang lagi sekarang. Padahal kemarin dia sudah mendapatkan kemantapan itu."Maafkan Ai, Abi. Ai hanya shock aja mendengar acara pernikahan dilaksanakan lusa. Ai pikir masih sekitar dua atau tiga bulan lagi sehingga Ai bisa mempersiapkan diri," jawab Aina lembut.Bu Yunita dan suaminya semakin respect pada Aina. Melihat bagaimana
Aina dibimbing oleh Bu Yunita dan Umi Widuri berjalan menuju meja ijab qobul. Dengan langkah yang sangat pelan Aina menundukkan kepala hingga tak terasa sudah berhadapan dengan pria bernama Fatan.Semua pasang mata memandang Aina yang terlihat begitu anggun dengan cadar putih menutupi wajahnya. Tentu para tamu undangan dari kalangan pebisnis bertanya-tanya sejak kapan selera sang big Boss berubah menjadi agamis begitu. Melihat istrinya sebelumnya yang seorang model dengan pakaian serba minim tentu melihat Aina yang sangat tertutup membuat kena mereka jadi bertanya-tanya. Apakah alasan perceraian mereka karena tidak rela memiliki istri seorang model di mana kemuliakan tubuhnya dia nikmati oleh semua pasang mata? Gadis bercadar yang wajahnya saja tidak bisa dilihat oleh semua orang kecuali dirinya."Angkat wajahmu, Aina!" Suara bariton itu membuat tubuh gemetar. Wanita yang baru saja menyandang status istri itu tidak menyadari kalau ternyata dua wanita yang mengapitnya tadi sudah perg
Fatan membungkukkan badannya di hadapan Aina hingga tatapannya lurus menembus retina sang istri. Untuk sesaat Fatan mengagumi mata jernih yang dibingkai bulu mata panjang nan lentik itu. Aina mengerjapkan matanya karena merasa gugup dengan jarak sedekat itu. "A-apa Anda tidak ingin mandi?" tanya Aina dengan suara gemetar."Apa kamu takut padaku? Kita ini sudah suami istri kenapa kamu begitu takut? Apa aku terlihat sangat menakutkan bagimu?" Fatan merasa kecewa dengan respon Aina yang demikian."Sa-saya akan menyiapkan air untuk Anda!" Aina berdiri berjalan cepat menuju kamar mandi.Sementara Fathan hanya bisa melihat punggung istrinya yang menghilang di balik pintu dengan geleng-geleng kepala."Kenapa kalau seperti ini Kamu tampak menggemaskan di mataku?" gumam Fatan. Lelaki yang baru saja menyandang status suami setelah menduda beberapa hari itu melepas jasnya dan ia letakkan di atas sofa. Satu persatu kain yang menutupi tubuhnya ia lepas hingga menyisakan sporot dan boxer saja. I
Tubuh Fatan mendadak menjadi kaku. Tatapan mereka bertemu dengan tangan Fatan masih memegang ujung cadar Aina."A-apa yang Anda lakukan?" tanya Aina.Spontan Fatan melepas tangannya lalu berpura-pura mengibas-ngibaskan tangan seolah mengusir nyamuk. "Kamu tidur nyenyak sekali sampai tidak tahu ada nyamuk yang hinggap," ucap Fatan datar. Ia lalu turun dari ranjang dan berjalan menuju lemari untuk mengambil baju ganti.Aina menatap punggung Fatan lalu kembali memejamkan mat ketika pria itu melepas jubah mandinya begitu saja. Beruntung posisinya membelakangi Aina sehingga wanita itu tidak menjerit histeris melihat pemandangan asing itu."Kenapa dia tidak punya malu?" batin Aina.Sembari mencoba untuk menetralkan detak jantungnya agar kembali normal, Aina memejamkan mata. Mendadak ingatannya berputar saat Fatan mencoba menyingkap cadarnya saat dia tertidur barusan. Ada perasaan tak nyaman dalam diri Aina. Meskipun mereka sudah menikah sekarang, tapi ibu satu anak itu masih belum siap unt
Pukul 07.00 pagi Aina sudah bersiap untuk pulang ke rumah. Wanita bercadar itu terlihat sangat semangat ketika membereskan semua barang-barangnya. "Kamu semangat sekali mau pulang apa tidak betah berduaan dengan aku, hem?" Fathan Fathan menyilangkan kedua tangannya di dada sembari mengawasi Aina yang tengah bersiap."Saya sudah sangat kangen sama Bintang." Aina berbicara tanpa menghentikan aktivitasnya. "Dia aman bersama Oma dan Opanya. Kenapa kita tidak menikmati bulan madu saja dulu?" Terdengar nada kecewa dalam kalimat yang keluar dari mulut Fathan.Aina mengunci kopernya lalu menegakkan badan dan menghadap ke arah suaminya. Menghembuskan nafas panjang lalu berkata, "bukankah kita menikah demi Bintang? Agar bintang memiliki keluarga yang lengkap seperti teman-temannya yang lain?""Itu benar sekali. Tapi bukankah kita sudah resmi menjadi pasangan suami istri? Apa perlu saya ingatkan peran dan tugas dari seorang istri?" Fathan melangkah mendekati Aina yang menunduk karena tak ingin
"Yey! Bintang punya banyak mainan baru!" Bintang berlari dan langsung naik ke atas perosotan yang ada di dalam kamar barunya. Di sebelah perosotan tersebut terdapat sebuah tenda lengkap dengan matras dan alat-alat kemping lainnya. "Yuhu!" Bintang kembali teriak sembari meluncur dari atas dengan kedua tangan terlentang. Seperti tak pernah lelah, Bintang lalu menaiki tangga yang terhubung dengan rak buku. Ada berbagai jenis buku cerita anak dan kisah para nabi tertata rapi di rak tersebut. Ketika ia mendongak ke atas, bocah itu bisa melihat gambar antariksa tiga dimensi di langit-langit ruangan berukuran 8 x 8 meter tersebut. "Kamu lihat betapa bahagianya putra kita? Coba dari dulu kamu terima lamaranku," ucap Fatan.Aina tersenyum di balik cadarnya lalu mengangguk setuju. Tak bisa dipungkiri hatinya menghangat saat ini ketika melihat buah hatinya sebahagia itu."Tapi tolong jangan dibelikan barang-barang mahal lagi. Saya nggak mau dia menjadi arogan nantinya karena semua yang dia m