Setelah Janu menyanggupi pekerjaan yang ditawarkan padanya. Rombongan dagang saudagar itu akhirnya berangkat. Selisih dua hari sejak kepergian rombongan dagang Jahan. "Nona, kenapa anda ikut berjalan. Naiklah kembali kedalam kereta." Ucap salah satu anggota. "Ayah harus banyak istirahat, jadi aku membiarkannya berbaring di tempat dudukku." Saudagar itu hanya tersenyum mendengar ucapan putrinya. Tidak salah, tapi tidak benar seratus persen juga. Alasan lain yang membuat putri manja itu tiba-tiba berubah adalah Janu. Ayahnya paham betul sikap putrinya. Dia berubah setelah mengenal Janu. Berubah dalam artian baik. Makannya saudagar itu membiarkan saja putrinya untuk terus kasmaran pada Janu. Untuk masa depan mereka, bisa dipikirkan nanti. Disisi lain Janu masih takjub dengan semua yang ada diluar hutan terlarang. Janu tidak menyangka begitu banyak manusia yang memiliki kebudayaan, peradaban dan ilmu pengetahuan yang luas.Belum lagi lingkungan yang asing baginya dan berbagai ma
Nalini mulai merasakan efek mengkonsumsi tanaman beracun. Lupa bahwa setiap orang memiliki reaksi yang berbeda-beda. Begitu juga yang terjadi pada dirinya. Belum pernah Nalini menangani Janu yang keracunan seperti ini. Badannya terasa panas tapi sesungguhnya Nalini merasa kedinginan. Lidahnya menjadi kelu dan kerongkongannya terasa terbakar. Untuk mengambil napas saja Nalini sudah kewalahan apalagi menggerakkan tubuh atau berteriak minta tolong. Tubuh Nalini melemas dan terkapar diatas tanah. Mulutnya mulai mengeluarkan buih. "Ah... apa ini akhir kematianku." Ucap Nalini dalam hati. Dia sedih karena tidak bisa bertemu untuk terakhir kalinya dan meminta maaf pada Janu. "Nanda!" Suara itu, Nalini sudah tidak kuat membuka kelopak matanya, dia pun hilang kesadaran. Jahan langsung berlari menghampiri Nalini. Pertama yang dia lakukan adalah mengguncang tubuh Nalini, mencoba membangunkannya. Malam sudah sangat larut. Jika dia berteriak dan meminta pertolongan. Jahan akan membangun
"Nanda!" Janu terbangun sambil berteriak. Akibatnya beberapa orang yang satu tenda dengannya ikut terbangun dan menanyakan apa yang terjadi. "Aku bermimpi buruk. Orang yang aku cari tenggelam di dasar sungai." Jelas Janu. "Mungkin kamu sangat merindukannya. Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja." Ucap orang yang dituakan dalam kelompok tersebut. Maunya Janu juga begitu, tapi sudah lama dia tidak pernah bermimpi buruk. Bahkan untuk bermimpi pun jarang. Dan perasaannya saat ini sangat tidak enak. Dia terus memikirkan apakah Nalini dalam bahaya.Anggota yang lainnya bersiap untuk tidur kembali setelah menenangkan Janu. Tidak bisa dengan Janu mau sebagaimana pun posisinya dan mencoba memejamkan mata. Hatinya belum bisa tenang. Janu lebih memilih keluar dari Tenda. Dia berjalan mondar mandir sambil berpikir. "Setidaknya Nalini bisa ilmu bela diri." Janu terus mengatakan itu berulang-ulang. "Tapi, argh!" Janu kesal sendiri, pikirannya selalu di penuhi dengan hal-hal buruk. Dia me
"Tuan Muda sebaiknya anda beristirahat. Sudah semalaman anda terjaga." "Tidak apa Paman. Aku masih bisa bertahan.""Jangan sampai kesehatan Tuan Muda terabaikan. Lalu apakah anggota dagang yang lain sudah tahu mengenai kejadian ini?"Jahan lupa, ditambah rencana mereka hari ini akan menonton pertarungan. Rumornya wali kota sampai menyokong acara tersebut Saking banyaknya pendekar dan yang lainnya datang ke kota ini. "Benar juga Paman, kalau begitu saya boleh titip Dia sebentar.""Tentu Tuan Muda tidak usah khawatir." Jahan pergi meninggalkan rumah tabib. Belum ada setengah jam, badan Nalini mulai kejang. Suhu tubuhnya jadi menurun dengan sangat drastis. Tabib yang panik segera memanggil istrinya. "Siapkan tungku, kita akan memasak air untuk dia." Perintahnya dan istri tabib itu langsung cekatan.Sambil menunggu suhu air hangat dan bisa di tuangkan ke dalam bak mandi. Tabib itu menghitung hari. "Mereka seharusnya sudah sampai di kota. Jika barang yang aku pesan sampai tepat wakt
Nira menunggu di halaman rumah tabib. Sementara istri tabib sibuk menjemur beberapa tanaman herbal untuk di keringkan."Apa Bibi dan Paman tidak ikut menonton pertarungan yang heboh dibicarakan sana sini.""Mau bagaimana lagi, kondisi Nona itu tidak bisa ditinggalkan. Salah tindakan saja, nyawa taruhannya."Padahal suamiku sudah membeli tiketnya dari jauh-jauh hari agar tidak kehabisan. Sekarang tiket itu jadi terbuang sia-sia." Istri tabib yang sudah menyelesaikan tugasnya jadi ikut duduk di pelataran bersama Nira. "Bibi, memangnya siapa yang sedang dirawat oleh Paman, sampai segitunya. Apa dia orang penting?""Ya, mungkin dia orang yang spesial bagi Tuan Muda Jahan. Sebab--"Jelas terlihat sekali istri tabib itu langsung menahan diri di akhir kalimatnya. Wajahnya pun langsung dipalingkan dari hadapan Nira. Dia lupa bahwa dahulu Nira dan Jahan sudah bertunangan dan hampir menikah. Entah alasan apa yang pada akhirnya membuat mereka berpisah. Orang-orang sudah mengira bahwa pernika
Disana sudah sangat ramai dengan orang-orang yang menyetorkan tiket mereka untuk melihat pertarungan. Termasuk Janu dan Nira juga ikut berdesak-desakan masuk kedalam.Janu bersikap sebagai seorang lelaki tangguh. Dia mencoba melindungi Nira dengan tubuhnya, sedikit merengkuh agar Nira tidak ditabrak orang lain. Akibat sikap Janu, Nira malah semakin menginginkan Janu dan tidak mau melepaskan Janu untuk nona di kediaman tabib. "Maaf, pasti enggak nyaman. Tapi kamu akan terombang ambing dalam lautan manusia kalau aku biarkan begitu saja.""Janu, apa kamu selalu baik terhadap permepuan?""Hah? aku tidak mendengarmu. Kamu bicara apa?" "Tidak lupakan." Dengan sedikit tenaga ekstra Janu berhasil menarik Nira ke tepian yang tidak terlalu ramai. Walau mereka tidak dapat tempat yang bagus untuk menonton pertarungan. Banyaknya orang memadati barisan paling depan. Janu memilih undakan tangga paling tinggi untuk menonton. ---Nalini sudah berpindah ke kamar tamu, pakaiannya juga sudah di g
Mungkin hingar bingar di pusat kota, membuat hal yang di luar dari itu nampak sepi. Termasuk sepanjang jalan yang dilalui Jahan untuk kembali ke penginapan. Toko-toko yang biasanya selalu buka, pada hari ini pun tutup serempak. Semua anggota dagangnya juga ikut menonton. Keadaan sudah dirasa aman. Jahan mengeluakan sebuah peluit dari dalam baju, kemudian meniupnya beberapa menit. Pendengaran manusia memang tidak bisa menangkap suara yang dihasilkan oleh peluit tersebut. Karena hampir tidak bersuara sama sekali. Tanpa menunggu lama. Satu ekor merpati putih terbang menghampiri Jahan sampai hinggap di pundak Jahan. Merpati tersebut hewan yang sudah dilatih Jahan selama bertahun-tahun dan peluit itu sebagai pemanggilannya. Disalah satu kaki merpati tersebut terdapat gulungan kertas. Surat balasan yang Jahan kirim pada putra mahkota kerajaan timur. Jahan terkejut dengan kertas gulungan yang kosong. Tidak ada tulisan sama sekali. "Jahan!" Dengan semangat putra mahkota kerajaan timu
"Sebentar lagi. Setelah tidur sebentar, aku akan pergi dari sini." Gumam Nalini sambil memejamkan matanya yang sudah mulai turun. Efek samping mengonsumsi obat herbal yang dibawakan oleh Jahan membuatnya selalu merasa mengantuk. Jika Jahan bersikeras untuk membawanya kembali ke kerajaan timur. Maka Nalini harus segera pergi dari jangkauan Jahan. Belum lama Nalini tertidur, Jahan dan putra mahkota kerajaan timur datang ke rumah tabib. "Nona mungki baru saja tertidur, dia perlu istirahat yang cukup." Mau bagaimana pun Nalini adalah pasien, sang tabib harus membuat batas demi kesembuhan pasiennya. "Aku berjanji tidak akan mengganggunya. Hanya ingin menemaninya." Jelas putra mahkota.Tabib itu menoleh pada Jahan, sekaligus bertanya melalui ekspresi wajahnya. "Dia salah satu keluarga Nona yang ada didalam. Aku yang memberitahukannya sehingga beliau datang kesini." Tabib juga tidak bisa berkutik dengan hubungan keluarga. Maka dia pun menunjukan jalan menuju kamar tamu yang bangunanny
"Tuan Muda, Nona Nalini membuat masalah lagi. Kali ini Nona menyekap pelayan yang mengantarkan makanan ke dalam kamarnya." Lapor salah satu pelayan di kediaman Jahan.Jahan hanya tersenyum menanggapi. Namun raut wajah penuh kehawatiran pelayan itu tidak kunjung sirna. "Dia bukan orang jahat, temanmu akan aman disana. Biarkan saja." Jahan seperti harus memberi penjelasan agar para pelayannya tidak khawatir berlebihan.Satu hari berlalu, sekarang sudah tiga orang pelayan yang berada di dalam kamar Nalini.Suasananya canggung sekali. Mereka diam dimeja tamu, sementara Nalini berbaring seharian diatas tempat tidur. Tiga pelayan itu juga manusia, suara perut yang kelaparan sampai terdengar oleh Nalini. "Makan saja hidangan yang kalian bawa. Aku tidak lapar.""Tidak Nona, ini untuk mu. Kami tidak berhak memakan milik tamu Tuan Muda.""Disini hanya ada kita saja dan aku tidak akan mengadukan hal ini pada Tuan Muda mu." Dari mereka bertiga, tidak ada yang berani bergerak sedikitpun. Nal
"Tuan, selama kota dibawah pengawasan anda. Baru kali ini begitu kacau dan ricuh." Ayah Nira bertanya di sela-sela makan malam mereka. Wali kota tersebut menghela napas dengan panjang sambil mengeluarkan selembar kertas keatas meja makan. Sebuah pencarian orang, buronan. Tidak seperti kebanyakan yang berparas seram dan bermasalah. "Karena ada berita yang mengabarkan kalau buronan ini masuk ke kota, kebetulan karena pertandingan besar sedang berlangsung. "Putra Mahkota yang berada disini, langsung menurunkan perintah. Kalau sudah begitu, mana bisa saya melawan perintah mutlak tersebut." Untungnya dimeja itu, hanya terdapat Janu Nira dan saudagar dagang.Anggota lainnya duduk di meja yang terpisah. Kalau tidak mereka bisa heboh melihat lukisan wajah yang terpampang disana. Perempuan itulah yang sempat menolong dan memberikan obat pada rombongan dagang. Serta perempuan itu adalah orang yang sedang Janu cari selama ini. Entah reaksi apa yang akan mereka berikan tentang Nalini. "Se
"Nalini, deng--" "Nanda! Namaku, tolong panggil aku dengan itu. Nalini sudah mati di hari saat orang-orang menjebaknya." Putra mahkota dan Jahan terdiam dan saling padang untuk sesaat. "Dengar, saat ini dirimu sedang menjadi buronan di semua kerajaan. Tempat yang paling aman adalah bersembunyi di sini." "Oh ya? Aku rasa tidak begitu. Lebih baik penjarakan aku seumur hidup atau bunuh saja sekalian!" Nalini maju ke hadapan putra mahkota sambil memasang wajah yang menantang. Tidak ada raut ketakutan sama sekali.Sekilas Nalini memandang pada tempat penyimpanan pedang di dekat pintu masuk. Nalini jadi memikirkan sebuah rencana. Dia terus mendesak putra mahkota hingga Nalini bisa menjangkau tempat pedang tersebut. Selajutnya, gerakan tangan Nalini sangat cepat, dia mencabut pedang dari sarungnya dan hendak menebaskan pada batang leher dirinya.Namun gerakan tangan Jahan tidak kalah cepat untuk menghentikan aksi bunuh diri yang akan Nalini lalukan. Jaha cekatan melemparkan jarum-jar
Putra mahkota kerajaan timur memang benar memilki cinta yang besar pada Nalini. Namun Jahan tidak merasakan cinta itu akan kuat untuk beberapa tahun kedepan. Akan terlalu banyak hal yang direlakan putra mahkota untuk bisa bersama Nalini. "Sebenarnya aku kurang nyaman dengan situasi ini. Aku tidak suka kamu terus memandangi Nalini." Putra mahkota menutup tirai untuk memisahkan Nalini dengan mereka. "Aku hanya sedang menebak kelanjutan apa yang terjadi setelah Nalini terbangun di kerjaan timur.""Aku sudah mengatur semuanya dengan baik. Walau tidak suka, kamu diam saja. Karena amarahku belum cukup reda untuk menganggapmu sebagai sahabatku lagi." "Kalau aku bilang untuk kebaikan Nalini, apa Yang Mulia Putra Mahkota bisa memahami itu?" Hening sesaat dianatara mereka, putra mahkota juga enggan menanggapi pertanyaan terkahir Jahan. Kereta kuda berhenti, Jahan harus kembali berpura-pura terbaring. Artinya dia akan tidur di samping Nalini. Suka tidak suka, putra mahkota harus merelakan
Janu hanya bisa menghela napas panjang, begitu pintu gerbang ditutup dan menampilkan rombongan kereta kuda yang hanya terlihat sepersekian detik oleh dirinya. Kericuhan mulai lagi terjadi, bahkan sekarang penjaga kota mulai menunjukan sisi keras mereka. Tidak segan untuk mendorong, memukul dan melakukan serangan fisik lainnya bagi siapapun yang menentang. "Jika ingin semua ini cepat selesai, kendalikan diri kalia dan ikuti aturan yang berlaku!" Beberapa luka lebam didapatkan oleh para pengunjung kota. Para penjaga juga tidak memandang status mereka. Bangsawan dan rakyat biasa juga terkena hantaman penjaga. Seolah mereka mendapat kekuatan yang sulit dibantah, karena mendapat kuasa yang diturunkan langsung oleh keluarga kerajaan. "Kerajaan kami akan mengadukan sikap kalian yang kasar pada para tamu seperti ini.""Silahkan saja! Ini masih wilayah kekuasaan negara timur. Kalian bisa pulang hanya tinggal nama." Jauh dari keramaian, Nira masih saja menghadang Janu untuk maju kearah p
"Sudahlah, hentikan semua keributan ini dan kembali pada pos masing-masing." "Terima kasih Yang Mulia Putra Mahkota." Penjaga itu bangkit sambil undur diri dan diikuti oleh beberapa rekannya. Sementara para pengawal berjirah emas masih dia didalam kamar. "Apa masih ada urusan yang mau kamu sampaikan kepadaku?" "Mengapa Yang Mulia pergi keluar dari istana dan Ibu Kota secara diam-diam, tanpa pengawalan sama sekali?""Aku hanya tidak mau menimbulkan keributan. Lagi pula banyak dari para bangsawan yang lain datang kesini untuk menonton pertandingan dengan menggunakan pakai merakyat."Tadinya aku hanya ingin menonton pertarungan final yang katanya akan spektakuler. Ternyata sahabatku terluka dan aku datang untuk mengobatinya. "Sayang sekali obat-obatan disini tidak selengkap di ibu kota. Makannya aku berencana untuk membawanya pulang bersamaku."Oh iya, tolong sekalian siapkan kereta kuda untuk membawa sahabatku dan bagaimana kalau penjagaan kota di perketat. "Siapa tahu berita soal
Sebelum pengepungan oleh penjaga dan pengawal berjirah emas. "Tunggu sebentar Yang Mulia. Ada barang tertinggal yang harus aku bawa." Putra mahkota mengangguk memberikan izin, Jahan masuk kedalam penginapan. Lebih tepatnya masuk kedalam kamar yang dia sewa. Diatas meja masih berserakan kuas, tinta dan juga kertas. Dengan buru-buru Jahan mengambil kuas dan menuliskan sesuatu di kertas. Hanya beberapa kalimat yang ditulisnya. Kemudian Jahan melipat kertas tersebut sampai ukuran paling kecil. "Jika ada kesempatan sekecil apapun, akan aku manfaatkan dengan baik." Putra mahkota dan Jahan kemudian pergi ke rumah tabib, menyusuri jalanan yang lenggang. Kebetulan segerombolan anak kecil datang dari arah berlawanan. Mungkin mereka bebas seperti sekarang ini lantaran para orang tua sedang sibuk menonton pertarungan final yang heboh. Ide itu langsung saja terbersit dalam pikiran Jahan. Dia dengan menyengajakan diri, berjalan diantara anak-anak yang berlari kearahnya tanpa disadari oleh a
"Sebentar lagi. Setelah tidur sebentar, aku akan pergi dari sini." Gumam Nalini sambil memejamkan matanya yang sudah mulai turun. Efek samping mengonsumsi obat herbal yang dibawakan oleh Jahan membuatnya selalu merasa mengantuk. Jika Jahan bersikeras untuk membawanya kembali ke kerajaan timur. Maka Nalini harus segera pergi dari jangkauan Jahan. Belum lama Nalini tertidur, Jahan dan putra mahkota kerajaan timur datang ke rumah tabib. "Nona mungki baru saja tertidur, dia perlu istirahat yang cukup." Mau bagaimana pun Nalini adalah pasien, sang tabib harus membuat batas demi kesembuhan pasiennya. "Aku berjanji tidak akan mengganggunya. Hanya ingin menemaninya." Jelas putra mahkota.Tabib itu menoleh pada Jahan, sekaligus bertanya melalui ekspresi wajahnya. "Dia salah satu keluarga Nona yang ada didalam. Aku yang memberitahukannya sehingga beliau datang kesini." Tabib juga tidak bisa berkutik dengan hubungan keluarga. Maka dia pun menunjukan jalan menuju kamar tamu yang bangunanny
Mungkin hingar bingar di pusat kota, membuat hal yang di luar dari itu nampak sepi. Termasuk sepanjang jalan yang dilalui Jahan untuk kembali ke penginapan. Toko-toko yang biasanya selalu buka, pada hari ini pun tutup serempak. Semua anggota dagangnya juga ikut menonton. Keadaan sudah dirasa aman. Jahan mengeluakan sebuah peluit dari dalam baju, kemudian meniupnya beberapa menit. Pendengaran manusia memang tidak bisa menangkap suara yang dihasilkan oleh peluit tersebut. Karena hampir tidak bersuara sama sekali. Tanpa menunggu lama. Satu ekor merpati putih terbang menghampiri Jahan sampai hinggap di pundak Jahan. Merpati tersebut hewan yang sudah dilatih Jahan selama bertahun-tahun dan peluit itu sebagai pemanggilannya. Disalah satu kaki merpati tersebut terdapat gulungan kertas. Surat balasan yang Jahan kirim pada putra mahkota kerajaan timur. Jahan terkejut dengan kertas gulungan yang kosong. Tidak ada tulisan sama sekali. "Jahan!" Dengan semangat putra mahkota kerajaan timu