Hati Fradhella semakin gundah. Pikirannya bercabang ke mana-mana. Setelah taksi online yang ia pesan datang, Fradhella langsung pergi ke rumah sakit. Sekitar lima belas menit akhirnya ia sampai, Fradhella datang masih memeluk pialanya. Ia mencari Geovano yang telah menunggunya di UGD.
“Si … siapa yang sakit, Pah?” tanya Fradhella lirih.
Geovano memeluk putri kesayangannya itu. Ia tersenyum saat melihat Fradhella datang dengan pialanya.
“Selamat ya, Princess. Kamu memang selalu menjadi kebanggaan Papa,” puji Geovano mengecup puncak rambut Fradhella.
“Siapa yang ada di dalam sana, Pah? Mama mana?” tanya Fradhella sekali lagi.
“Ma … Mama ada di dalam sana,” jawab Geovano lirih yang membuat Fradhella lemas begitu saja.
Geovano menopang tubuh kecil milik putri kesayangannya itu. Ia menuntun Fradhella untuk duduk di kursi tunggu depan UGD. Rasanya hancur, apa ini penyebab Zahra tidak kunjung hadir untuk menjemputnya?
“Mama kenapa, Pah?” tanya Fradhella dengan suara gemetar.
“Mama kamu mengalami kecelakaan.”
“Tapi Mama baik-baik saja ‘kan, Pah?”
Geovano mendekap Fradhella erat. Air mata Fradhella tidak mampu terbendung lagi. Padahal dua jam lalu ia baru saja video call dengan Zahra. Varell baru saja datang dengan mengenakan jersey futsal. Langkahnya pelan saat melihat Fradhella menangis dalam dekapan Geovano.
“Pah, Kak, bagaimana kondisi Mama?”
Varell duduk di samping Geovano. Keduanya dalam pelukan Geovano. Padahal keluarga mereka baru saja kembali. Seorang dokter telah keluar dari ruangan, ketiganya bergegas untuk menanyakan bagaimana kondisi Zahra saat ini.
“Dok, bagaimana kondisi Mama saya?”
“Bagaimana kondisi istri saya?”
Terlihat raut gusar dari dokter yang baru saja menangani Zahra. Dokter tersebut menepuk pelan bahu Geovano.
“Maaf, Pak. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun, sepertinya Tuhan lebih sayang pada Ibu Zahra,” terang dokter tersebut dengan berat hati.
Dunia Fradhella benar-benar runtuh, bahkan saat ini ia jatuh pingsan dalam dekapan Geovano. Geovano menyuruh beberapa perawat untuk segera menangani Fradhella. Ia dan Varell hanya mampu menatap kosong jenazah Zahra yang telah dibersihkan.
***
Gadis cantik dengan kerudung hitam itu menatap sendu seorang wanita yang telah terbungkus kain kafan di dalam peti. Banyak sekali karangan bunga yang sedari kemarin berdatangan. Tidak hanya dari kolega bisnis Geovano, bahkan beberapa artis manca negara juga hadir untuk mengucapkan belasungkawa.
Seorang wanita paruh baya memeluk cucu kesayangannya tersebut. Baru pertama kali ia melihat cucunya seterpukul ini. Fradhella yang biasanya selalu tertawa dan ceria, saat ini hanya terdiam menatap kosong jenazah Zahra.
“Dhella, ikhlaskan, Nak. Biarkan Mama kamu pergi dengan tenang,” bisik Maharani membujuk Fradhella.
“Ini semua salah Dhella, Eyang. Kalau saja Dhella gak memaksa Mama untuk jemput Dhella, Mama pasti gak akan kaya gini,” kilah Fradhella yang masih terus-terusan menyalahkan dirinya.
“Fradhella, ini itu namanya takdir. Ini bukan salah kamu. Allah lebih sayang dengan Mama kamu. Biarkan Mama kamu pergi dengan tenang, sekarang tugas kamu adalah berdoa untuk kepergian Mama kamu,” terang Maharani lembut.
Tidak ada jawaban dari Fradhella. Ia hanya masih terus terdiam di samping jenazah Zahra. Banyak tatapan iba dari para pelayat yang berdatangan. Setelah ini, pemakaman Zahra akan segera dilakukan. Geovano sendiri yang mengangkat peti milik istrinya tersebut.
Fradhella, Varell, Maharani, dan Zelina memasuki ambulans yang akan membawa jenazah Zahra ke pemakaman setempat. Varell memeluk kakak perempuannya itu, sementara Fradhella masih setia memeluk peti Almarhumah Zahra.
Fradhella tidak menyangka ternyata banyak juga yang ikut iring-iringan jenazah Zahra, bahkan beberapa media juga meliputnya secara eksklusif. Kepergian Zahra secara tiba-tiba juga membuat banyak orang terkejut. Padahal minggu lalu, Zahra baru saja selesai konser solo bermain biola di Korea Selatan.
“Mama!” pekik Fradhella saat peti milik Zahra hendak dikebumikan.
Varell dan Zelina memegang Pundak Fradhella. Gadis cantik berambut merah menyala itu menatap sendu ponakan yang hanya berbeda satu setengah tahun darinya. Tidak lama kemudian tubuh Fradhella kembali limbung karena memang sedari kemarin dia belum makan apa pun.
Varell menggendong Fradhella bridal style membawa gadis itu ke tempat yang lebih teduh. Banyak kamera yang menyorot keduanya membuat Varell risi. Ia menanyakan di mana rasa empati mereka. Bukannya menolong, mereka justru sibuk mengabadikan momen tersebut demi kepentingan rating berita mereka.
“Tidak bisakah kalian berhenti merekam dan beri Kakak saya ruang? Saya sedang berduka saat ini dan Kakak saya sedang pingsan. Pergilah, beri saya dan Kakak saya ruang,” murka Varell saat para media justru mengikutinya.
Beberapa bodyguard milik Geovano akhirnya turun tangan. Mereka menghalau media untuk menyorot Varell dan Fradhella. Di dalam mobil, Varell membuka kerudung Fradhella dan memberikan minyak kayu putih agar Fradhella bisa segera sadar. Beberapa saat kemudian akhirnya Fradhella kembali sadar dan menangis lagi.
“Minum dulu, Kak,” titah Varell lembut.
“Gue mau lihat Mama,” balas Fradhella lemah.
“Kalau lo gak kuat, lebih baik jangan. Minum dulu sama ini makan rotinya sedikit. Lo dari kemarin belum makan apa pun, Kak. Gue takut nanti lo sakit,” bujuk Varell menyerahkan sebungkus roti untuk Fradhella.
“Gue gak mau makan, Rell. Gue cuman mau lihat Mama.”
“Kak, dikit aja.”
Fradhella hanya meneguk sedikit air mineral yang diberikan oleh Varell, kemudian dia memaksa kembali untuk melihat proses pemakaman Zahra. Varell yang awalnya tidak setuju akhirnya mengalah. Ia meminta untuk beberapa bodyguard mengawal mereka agar para media tidak mengerumuni mereka dan menanyakan hal yang membuat Fradhella sedih.
Geovano yang baru saja ikut mengubur Zahra ia memeluk Fradhella. Fradhella kembali menangis dalam pelukan Geovano. Mimpi terburuk untuk Fradhella adalah kehilangan Zahra. Saat ini hal itu terjadi tentu saja membuat Fradhella sangat terpukul.
“Ikhlaskan Mama, Sayang. Jangan seperti ini, Mama pasti bakal sedih,” ucap Geovano mendekap Fradhella.
Prosesi pemakaman selesai, saat ini dengan seluruh badan yang bergetar Fradhella harus menaburkan bunga di atas makam Zahra. Fradhella dan yang lainnya kembali ke rumahnya karena mereka masih harus menjamu para pelayat yang datang di rumahnya. Namun, sesampainya di rumah Fradhella lebih memilih mengurung dirinya di kamar.
Fradhella mengusap lembut foto keluarganya yang sekitar tiga bulan lalu diambil. Fradhella dan Zahra kompak menggunakan dress berwarna merah, sementara Geovano dan Varell keduanya tampak tampan dengan jas yang senada.
“Ma … setelah ini siapa yang akan melatih permainan biola Fradhella? Ma, maafkan Fradhella ya. Mama di sana kesepian gak? Pasti di sana gelap dan tidak nyaman. Mama … ayo katakan kalau ini mimpi. Ayo bangunkan Fradhella, Ma,” celoteh Fradhella perih.
Fradhella memeluk foto keluarganya tersebut, dia meringkuk di atas kasurnya dengan derai kristal bening yang masih senantiasa mengalir tanpa bisa ia hentikan.
“Ma, Fradhella boleh ikut Mama aja? Fradhella gak bisa hidup tanpa Mama.” Sesaat setelah mengucapkan kalimat itu, Fradhella terlelap dalam mimpinya.
Maharani menatap cucu kesayangannya itu pilu. Fradhella sangat dekat dengan Zahra, wajar jika gadis itu sangat terpukul saat ini. Maharani mencari Geovano yang tengah duduk santai.
“Vano, Ibu ingin bicara sama kamu.” Geovano menatap sejenak mertuanya tersebut, kemudian dia memberi ruang untuk Maharani duduk di sampingnya.
“Ada apa, Bu?”
“Sepertinya lebih baik Fradhella ikut saya ke Yogyakarta untuk sementara waktu. Mengingat kondisi dia, Ibu takut jika jiwa dia akan terguncang. Biarkan dia menenangkan diri di Yogyakarta untuk sementara waktu,” urai Maharani.
Berat sebenarnya untuk Geovano. Namun, yang dikatakan Maharani ada benarnya. Jika Fradhella ada di Surabaya, pasti dia akan dikejar banyak media untuk diliput. Apalagi beberapa stasiun tv telah menghubunginya untuk memberikan klarifikasi eksklusif.
“Jika itu yang terbaik, baiklah, Bu. Aku akan suruh beberapa bodyguard untuk mengawal Ibu dan Fradhella kembali ke Yogyakarta,” putus Geovano.
“Kamu tenang saja, Vano. Dia akan aman di sana.”
Gadis cantik itu tengah menyiapkan semua pakaiannya untuk ia masukkan ke dalam koper. Waktunya di sini telah selesai, ia harus kembali dan menyelesaikan semua masalahnya. Setelah memasukkan seluruh pakaiannya ke dalam koper, Fradhella duduk di tepian jendela. Ia menatap kosong cakrawala petang bertabur bintang.“Lo udah selesai nata baju?” tanya seorang gadis dengan warna rambut yang mencolok itu.“Udah, Kak.”“Lebih baik lo istirahat sekarang. Pesawat kita take off cukup pagi besok,” titah Zelina.“Iya, setelah ini gue tidur.”Zelina mendekati Fradhella. Dulu, keduanya tumbuh bersama. Sampai akhirnya Zahra membawa Fradhella untuk tinggal bersama Geovano di Surabaya. Ia mengenal jelas bagaimana gadis itu. Fradhella yang selalu ceria, cerewet, dan selalu banyak tertawa. Sempat terlintas iri pada kehidupan gadis itu. Fradhella memiliki segalanya, sampai tidak ada celah kekurangannya.“Lo harus mulai menerima semuanya, Dhell. Gak selamanya lo akan terus ada di atas,” tukas Zelina membuya
Kedua iris coklat terang milik Fradhella memanas saat mendapati beberapa foto dan video kekasihnya tengah bercumbu dengan sahabatnya sendiri. Fradhella membekap kedua mulutnya tidak percaya. Rentetan kristal cair mulai menetes deras. Ia memukul dadanya yang terasa sesak.“Tidak mungkin. Va … Varo … “ Fradhella kembali terisak.Varo adalah laki-laki yang sangat menyayanginya selain Geovano dan Varell. Mana mungkin Varo mengkhianatinya apalagi dengan sahabatnya sendiri. Fradhella kembali menangis dalam diam. Rasanya hatinya tengah dihunjami ribuan pisau.Padahal luka atas kepergian Zahra masih menganga. Namun, hari ini ia mendapati luka yang tak kalah besarnya. Fradhella membanting ponselnya kasar, dia berteriak dan membuang seluruh barang yang ada di hadapannya. Beberapa makeup, parfum, dan skincare miliknya berceceran di lantai, bahkan pecah.“AAAAA … GAK MUNGKIN! BOHONG, SEMUANYA PEMBOHONG!” teriak Fradhella marah.Maharani, Varell, dan Zelina yang mendengar teriakan Fradhella berbon
Suasana kafe dengan gaya vintage itu tampak ramai dikunjungi beberapa pelanggan. Kabarnya akan ada permainan piano dari salah satu violinis yang terkenal. Lampu utama mendadak padam, beberapa pengunjung kafe berteriak terkejut.Teriakan terhenti tatkala sebuah lampu menyorot ke arah seorang gadis yang tengah membelakangi mereka. Biola yang ia tenteng telah ia pikul di pundak kirinya. Gesekan senar biola yang mulai ia mainkan menghanyutkan suasana kafe menjadi hening.Suara merdu dari gadis sang pemain biola itu terdengar, membuat beberapa orang bertepuk tangan dan bertanya siapa sebenarnya gadis itu. Lagu yang dibawakan terdengar pilu, apalagi suara biola yang syahdu membuat seluruh pengunjung hanyut dibawanya.Sebuah lagi berjudul “Traitor” karya Olivia Rodrigo menggema. Banyak yang terhanyut dan bertanya siapa yang memainkan biola sebagus itu. Selain itu, suara merdu sang penyanyi juga membuat mereka seakan ikut merasakan apa yang tengah dirasakan sosok dalam cerita lagu itu.Lagu s
Tengah malam dengan keadaan yang tidak bisa dibilang baik-baik saja Fradhella pulang. Dress coklat yang ia kenakan tampak kusut dan basah. Di luar sana, hujan mengguyur sejak sejam yang lalu.Seorang pria berkepala empat itu menatap tajam putrinya yang baru saja pulang padahal jam telah menunjukkan pukul dua dini hari. Ia bangkit menghampiri Fradhella, entah bisikan dari mana tangannya terhempas menampar Fradhella. Fradhella yang terkejut sembari memegang pipi kirinya itu menatap Geovano luka.“Dari mana saja kamu! Apa yang sudah kamu lakukan pada Carabella. Papa tidak pernah mengajarkan kamu untuk menindas orang. Papa kecewa sama kamu. Apa ini didikan dari Mamamu?” murka Geovano.Bukannya menjawab, Fradhella justru tertawa pilu. Jadi Geovano menamparnya karena gadis itu?“Jangan bawa-bawa Mama! Aku tidak pernah menindas cewek sialan itu. Lagi pula menyentuhnya seujung kuku saja tidak. Terserah Papa mau percaya atau tidak. Aku lebih kecewa sama Papa. Karena Papa yang aku kenal, tidak
Varell langsung menggendong Fradhella untuk keluar dari bath up. Tubuh gadis itu telah memucat biru. Varell menidurkan Fradhella di kasur milik gadis itu. Ia memanggil salah seorang asisten rumah tangga untuk menggantikan baju Fradhella. Baru setelah itu, Varell akan membawa Fradhella ke rumah sakit.Maharani tergopoh-gopoh menuju kamar Fradhella. Ia mendengar kondisi Fradhella dari salah satu penjaga yang tadi ikut membantu Varell untuk mendobrak pintu kamar gadis itu. Seusai mengganti pakaian Fradhella, Varell bergegas menggendong Fradhella untuk membawanya ke rumah sakit.Di tangga, ia bertemu dengan Geovano. Geovano terkejut dengan kondisi gadis itu. Paras ayu milik Fradhella tampak sangat pucat, bahkan tubuh gadis itu sudah tampak membiru. Saat hendak menyentuh Fradhella, Varell menjauhkan tubuh Fradhella dari papanya.“Puas, Pah? Andai aja malam tadi Papa gak larang aku untuk mendobrak kamar Kakak, pasti keadaan Kakak gak akan seperti ini. Sampai terjadi sesuatu sama Kakak, Vare
Seorang wanita paruh baya itu menatap penuh kecewa kepada seorang pria berkepala empat yang berstatus menantunya tersebut. Varell telah memberitahu semua apa penyebab keadaan Fradhella bisa seperti ini, bahkan gadis yang baru satu jam itu siuman, saat ini harus kembali terlelap karena obat penenang.Setelah kesadarannya kembali, Fradhella histeris dan terus berteriak. Apalagi saat Geovano mencoba mendekatinya. Fradhella tampak takut dan enggan disentuh oleh pria yang berstatus sebagai ayah kandungnya itu. Dokter yang menangani Fradhella menyarankan jika Fradhella harus dibawa ke psikiater melihat bagaimana terguncangnya jiwa gadis itu saat ini.“Ibu kecewa sama kamu, Vano. Ibu titipkan anak Ibu dan cucu Ibu ke kamu agar mereka bahagia, namun nyatanya kamu justru menyakiti mereka. Kamu lihat tadi, ‘kan? Bagaimana Fradhella ketakutan, bahkan hanya karena melihatmu. Apa yang kamu lakukan sudah sangat keterlaluan. Ibu tidak akan membiarkan kamu menyakiti cucu Ibu lagi.” Maharani menjeda u
Sudah dua bulan Fradhella menjalani pengobatannya. Keadaannya juga mulai membaik. Namun naasnya, psikiaternya telah mendiagnosis dia “Alexithymia” atau sebuah kondisi di mana ia kesulitan untuk mengenali emosi. Itu adalah alasan kenapa saat ini ia bersikap dingin seperti saat ini.Fradhella sudah tidak lagi mengamuk. menangis, bahkan tertawa. Gadis itu selalu berwajah datar dan menanggapi semuanya menggunakan otak. Seperti saat ini, Zelina baru saja tersungkur di hadapannya karena tali sepatunya tidak terikat sempurna. Bukannya menolong, Fradhella hanya menatap Fradhella datar kemudian pergi ke meja makan dan mengacuhkan Zelina.“Woy! Tolongin gue dulu kali,” tegur Zelina memekik.Tidak ada tanggapan dari Fradhella, dia menaruh tas putih miliknya di salah satu kursi yang ada di meja makan, kemudian dia mulai menyantap sarapan yang telah disiapkan oleh Maharani.“Hari ini kamu berangkat dengan Kak Zelina dulu, ya? Nanti juga biar dia mengantar kamu ke ruang guru,” terang Maharani yang
Dengan langkah riangnya gadis cantik itu turun dari mobil membawa sebuah piala hasil olimpiadenya. Senyum merekah tercetak cantik sangat bersemangat ingin menunjukkan piala tersebut kepada kedua orang tuanya. Namun sejenak, ia menghentikan langkahnya saat pintu rumahnya terbuka lebar-lebar.Kondisi ruang tamu yang biasanya tertata rapi saat ini sangat berantakan. Ada banyak pecahan keramik guci yang berserakan. Langkah kaki Fradhella mengecil. Ia harus berhati-hati agar pecahan keramik itu tidak melukainya.Zahra, mamanya, tampak menangis sesenggukan di sofa ruang tengah, sementara Geovano, ayahnya, tampak acuh duduk di pantri dapur dengan menyesap rokok. Fradhella mencoba mencerna apa yang tengah terjadi. Mengapa mamanya menangis? Mengapa papanya hanya diam saja?"Mah? Pah? Ini ada apa? Kenapa berantakan rumahnya? Tadi ada perampok?" tanya Fradhella begitu lugu.Zahra yang menyadari putri kesayangannya telah pulang, ia mengusap air matanya kasar. Ia berusaha tersenyum lebar mendekati
Sudah dua bulan Fradhella menjalani pengobatannya. Keadaannya juga mulai membaik. Namun naasnya, psikiaternya telah mendiagnosis dia “Alexithymia” atau sebuah kondisi di mana ia kesulitan untuk mengenali emosi. Itu adalah alasan kenapa saat ini ia bersikap dingin seperti saat ini.Fradhella sudah tidak lagi mengamuk. menangis, bahkan tertawa. Gadis itu selalu berwajah datar dan menanggapi semuanya menggunakan otak. Seperti saat ini, Zelina baru saja tersungkur di hadapannya karena tali sepatunya tidak terikat sempurna. Bukannya menolong, Fradhella hanya menatap Fradhella datar kemudian pergi ke meja makan dan mengacuhkan Zelina.“Woy! Tolongin gue dulu kali,” tegur Zelina memekik.Tidak ada tanggapan dari Fradhella, dia menaruh tas putih miliknya di salah satu kursi yang ada di meja makan, kemudian dia mulai menyantap sarapan yang telah disiapkan oleh Maharani.“Hari ini kamu berangkat dengan Kak Zelina dulu, ya? Nanti juga biar dia mengantar kamu ke ruang guru,” terang Maharani yang
Seorang wanita paruh baya itu menatap penuh kecewa kepada seorang pria berkepala empat yang berstatus menantunya tersebut. Varell telah memberitahu semua apa penyebab keadaan Fradhella bisa seperti ini, bahkan gadis yang baru satu jam itu siuman, saat ini harus kembali terlelap karena obat penenang.Setelah kesadarannya kembali, Fradhella histeris dan terus berteriak. Apalagi saat Geovano mencoba mendekatinya. Fradhella tampak takut dan enggan disentuh oleh pria yang berstatus sebagai ayah kandungnya itu. Dokter yang menangani Fradhella menyarankan jika Fradhella harus dibawa ke psikiater melihat bagaimana terguncangnya jiwa gadis itu saat ini.“Ibu kecewa sama kamu, Vano. Ibu titipkan anak Ibu dan cucu Ibu ke kamu agar mereka bahagia, namun nyatanya kamu justru menyakiti mereka. Kamu lihat tadi, ‘kan? Bagaimana Fradhella ketakutan, bahkan hanya karena melihatmu. Apa yang kamu lakukan sudah sangat keterlaluan. Ibu tidak akan membiarkan kamu menyakiti cucu Ibu lagi.” Maharani menjeda u
Varell langsung menggendong Fradhella untuk keluar dari bath up. Tubuh gadis itu telah memucat biru. Varell menidurkan Fradhella di kasur milik gadis itu. Ia memanggil salah seorang asisten rumah tangga untuk menggantikan baju Fradhella. Baru setelah itu, Varell akan membawa Fradhella ke rumah sakit.Maharani tergopoh-gopoh menuju kamar Fradhella. Ia mendengar kondisi Fradhella dari salah satu penjaga yang tadi ikut membantu Varell untuk mendobrak pintu kamar gadis itu. Seusai mengganti pakaian Fradhella, Varell bergegas menggendong Fradhella untuk membawanya ke rumah sakit.Di tangga, ia bertemu dengan Geovano. Geovano terkejut dengan kondisi gadis itu. Paras ayu milik Fradhella tampak sangat pucat, bahkan tubuh gadis itu sudah tampak membiru. Saat hendak menyentuh Fradhella, Varell menjauhkan tubuh Fradhella dari papanya.“Puas, Pah? Andai aja malam tadi Papa gak larang aku untuk mendobrak kamar Kakak, pasti keadaan Kakak gak akan seperti ini. Sampai terjadi sesuatu sama Kakak, Vare
Tengah malam dengan keadaan yang tidak bisa dibilang baik-baik saja Fradhella pulang. Dress coklat yang ia kenakan tampak kusut dan basah. Di luar sana, hujan mengguyur sejak sejam yang lalu.Seorang pria berkepala empat itu menatap tajam putrinya yang baru saja pulang padahal jam telah menunjukkan pukul dua dini hari. Ia bangkit menghampiri Fradhella, entah bisikan dari mana tangannya terhempas menampar Fradhella. Fradhella yang terkejut sembari memegang pipi kirinya itu menatap Geovano luka.“Dari mana saja kamu! Apa yang sudah kamu lakukan pada Carabella. Papa tidak pernah mengajarkan kamu untuk menindas orang. Papa kecewa sama kamu. Apa ini didikan dari Mamamu?” murka Geovano.Bukannya menjawab, Fradhella justru tertawa pilu. Jadi Geovano menamparnya karena gadis itu?“Jangan bawa-bawa Mama! Aku tidak pernah menindas cewek sialan itu. Lagi pula menyentuhnya seujung kuku saja tidak. Terserah Papa mau percaya atau tidak. Aku lebih kecewa sama Papa. Karena Papa yang aku kenal, tidak
Suasana kafe dengan gaya vintage itu tampak ramai dikunjungi beberapa pelanggan. Kabarnya akan ada permainan piano dari salah satu violinis yang terkenal. Lampu utama mendadak padam, beberapa pengunjung kafe berteriak terkejut.Teriakan terhenti tatkala sebuah lampu menyorot ke arah seorang gadis yang tengah membelakangi mereka. Biola yang ia tenteng telah ia pikul di pundak kirinya. Gesekan senar biola yang mulai ia mainkan menghanyutkan suasana kafe menjadi hening.Suara merdu dari gadis sang pemain biola itu terdengar, membuat beberapa orang bertepuk tangan dan bertanya siapa sebenarnya gadis itu. Lagu yang dibawakan terdengar pilu, apalagi suara biola yang syahdu membuat seluruh pengunjung hanyut dibawanya.Sebuah lagi berjudul “Traitor” karya Olivia Rodrigo menggema. Banyak yang terhanyut dan bertanya siapa yang memainkan biola sebagus itu. Selain itu, suara merdu sang penyanyi juga membuat mereka seakan ikut merasakan apa yang tengah dirasakan sosok dalam cerita lagu itu.Lagu s
Kedua iris coklat terang milik Fradhella memanas saat mendapati beberapa foto dan video kekasihnya tengah bercumbu dengan sahabatnya sendiri. Fradhella membekap kedua mulutnya tidak percaya. Rentetan kristal cair mulai menetes deras. Ia memukul dadanya yang terasa sesak.“Tidak mungkin. Va … Varo … “ Fradhella kembali terisak.Varo adalah laki-laki yang sangat menyayanginya selain Geovano dan Varell. Mana mungkin Varo mengkhianatinya apalagi dengan sahabatnya sendiri. Fradhella kembali menangis dalam diam. Rasanya hatinya tengah dihunjami ribuan pisau.Padahal luka atas kepergian Zahra masih menganga. Namun, hari ini ia mendapati luka yang tak kalah besarnya. Fradhella membanting ponselnya kasar, dia berteriak dan membuang seluruh barang yang ada di hadapannya. Beberapa makeup, parfum, dan skincare miliknya berceceran di lantai, bahkan pecah.“AAAAA … GAK MUNGKIN! BOHONG, SEMUANYA PEMBOHONG!” teriak Fradhella marah.Maharani, Varell, dan Zelina yang mendengar teriakan Fradhella berbon
Gadis cantik itu tengah menyiapkan semua pakaiannya untuk ia masukkan ke dalam koper. Waktunya di sini telah selesai, ia harus kembali dan menyelesaikan semua masalahnya. Setelah memasukkan seluruh pakaiannya ke dalam koper, Fradhella duduk di tepian jendela. Ia menatap kosong cakrawala petang bertabur bintang.“Lo udah selesai nata baju?” tanya seorang gadis dengan warna rambut yang mencolok itu.“Udah, Kak.”“Lebih baik lo istirahat sekarang. Pesawat kita take off cukup pagi besok,” titah Zelina.“Iya, setelah ini gue tidur.”Zelina mendekati Fradhella. Dulu, keduanya tumbuh bersama. Sampai akhirnya Zahra membawa Fradhella untuk tinggal bersama Geovano di Surabaya. Ia mengenal jelas bagaimana gadis itu. Fradhella yang selalu ceria, cerewet, dan selalu banyak tertawa. Sempat terlintas iri pada kehidupan gadis itu. Fradhella memiliki segalanya, sampai tidak ada celah kekurangannya.“Lo harus mulai menerima semuanya, Dhell. Gak selamanya lo akan terus ada di atas,” tukas Zelina membuya
Hati Fradhella semakin gundah. Pikirannya bercabang ke mana-mana. Setelah taksi online yang ia pesan datang, Fradhella langsung pergi ke rumah sakit. Sekitar lima belas menit akhirnya ia sampai, Fradhella datang masih memeluk pialanya. Ia mencari Geovano yang telah menunggunya di UGD.“Si … siapa yang sakit, Pah?” tanya Fradhella lirih.Geovano memeluk putri kesayangannya itu. Ia tersenyum saat melihat Fradhella datang dengan pialanya.“Selamat ya, Princess. Kamu memang selalu menjadi kebanggaan Papa,” puji Geovano mengecup puncak rambut Fradhella.“Siapa yang ada di dalam sana, Pah? Mama mana?” tanya Fradhella sekali lagi.“Ma … Mama ada di dalam sana,” jawab Geovano lirih yang membuat Fradhella lemas begitu saja.Geovano menopang tubuh kecil milik putri kesayangannya itu. Ia menuntun Fradhella untuk duduk di kursi tunggu depan UGD. Rasanya hancur, apa ini penyebab Zahra tidak kunjung hadir untuk menjemputnya?“Mama kenapa, Pah?” tanya Fradhella dengan suara gemetar.“Mama kamu menga
Siang ini cakrawala tampak tertutup mega kelabu. Meski bulan ini telah memasuki bulan si Taurus, namun hujan terkadang masih suka mengguyur kota pahlawan tersebut.Fradhella memejamkan matanya sejenak. Rasanya ia ingin memukul apa pun yang ada di depanya, bahkan ketika lihat muka Carabella, ia ingin sekali memaki-maki gadis itu. Namun, ia sadar jika di sini yang salah adalah Rikka."Huh, gue butuh kopi," Monolog Fradhella.Dari dalam mobil, Fradhella menajamkan pandangannya ke sebuah restoran seafood di samping kafe yang ingin ia kunjungi. Ia seperti mengenal pria yang ada di dalam sana. Dari posturnya, dia seperti Geovano. Di hadapan pria tersebut, seorang wanita dengan pakaian ketat tampak mesra mengelap wajah Geovano.Cengkeraman tangan Fradhella mengencang. Ia bergegas keluar dari mobilnya untuk menemui papanya tersebut. Bisa-bisanya ia melihat langsung kemesraan papanya bersama wanita yang bukan mamanya. Pantas saja Zahra lebih memilih untuk pergi lagi. Ya, tadi pagi Zahra pergi