Varell langsung menggendong Fradhella untuk keluar dari bath up. Tubuh gadis itu telah memucat biru. Varell menidurkan Fradhella di kasur milik gadis itu. Ia memanggil salah seorang asisten rumah tangga untuk menggantikan baju Fradhella. Baru setelah itu, Varell akan membawa Fradhella ke rumah sakit.
Maharani tergopoh-gopoh menuju kamar Fradhella. Ia mendengar kondisi Fradhella dari salah satu penjaga yang tadi ikut membantu Varell untuk mendobrak pintu kamar gadis itu. Seusai mengganti pakaian Fradhella, Varell bergegas menggendong Fradhella untuk membawanya ke rumah sakit.
Di tangga, ia bertemu dengan Geovano. Geovano terkejut dengan kondisi gadis itu. Paras ayu milik Fradhella tampak sangat pucat, bahkan tubuh gadis itu sudah tampak membiru. Saat hendak menyentuh Fradhella, Varell menjauhkan tubuh Fradhella dari papanya.
“Puas, Pah? Andai aja malam tadi Papa gak larang aku untuk mendobrak kamar Kakak, pasti keadaan Kakak gak akan seperti ini. Sampai terjadi sesuatu sama Kakak, Varell gak akan pernah maafin Papa,” ujar Varell kecewa.
Varell bergegas membawa Fradhella ke rumah sakit dengan Maharani dan Zelina, sementara Geovano, ia menatap tangan kirinya yang semalam ia gunakan untuk menampar gadis itu. Geovano menyesal, rasa khawatir menggerogoti hatinya. Ia pun bergegas untuk menyusul Fradhella ke rumah sakit.
Setibanya di rumah sakit, Fradhella langsung ditangani oleh dokter. Kondisi gadis itu benar-benar parah. Ia mengalami hipotermia berat akibat berendam semalaman. Suhu tubuhnya bahkan mencapai dua puluh derajat celsius. Denyut jantung milik Fradhella juga sudah sangat melemah.
“Bagaimana keadaan Fradhella?” tanya Geovano khawatir.
Varell berdecih, ia bahkan enggan menatap papanya tersebut. Varell memilih untuk duduk dan memunggungi Geovano.
“Dia sedang ditangani dokter, Vano,” jawab Maharani lembut.
Geovano duduk di samping Varell. “Maafkan, Papa, Varell.”
“Untuk apa?”
“Papa yang sudah membuat kondisi Kakakmu seperti saat ini. Papa kemarin tidak sengaja menamparnya,” ungkap Geovano yang membuat Varell murka.
“Kak Dhella salah apa sampai Papa tambar dia? Kenapa Papa berubah? Pantas saja Kakak sehancur itu. Jika tahu seperti itu, aku tidak akan mendengarkan perintah Papa semalam,” murka Varell kecewa.
“Maafkan Papa, Varell. Papa khilaf semalam.”
“Percuma, Pah. Papa seharusnya meminta maaf pada Kakak, bukan ke aku. Dan aku, tidak akan memaafkan Papa kalau sampai terjadi sesuatu pada Kak Dhella.”
***
Gadis cantik itu tersadar, dia bangun di sebuah taman yang sangat indah. Sejenak, ia menatap sekitar. Dahinya menyirit saat menyadari bahwa ia tengah mengenakan dress putih yang indah. Fradhella yakin, seharunya dia tengah berendam di bath up kamar mandinya dan menggunakan dress coklat.
Seorang wanita yang tampak sepuluh tahun lebih muda itu tersenyum ke arah Fradhella. Dia mengusap pelan surai hitam milik Fradhella.
“Mama … ”
“Sayang … kenapa kamu ada di sini?” tanya Zahra lembut.
Fradhella memeluk Zahra erat. Ia sangat merindukan wanita tersebut.
“Fradhella sangat merindukan Mama. Maafkan Fradhella, jangan pergi, Ma.”
Zahra tersenyum manis. Ia membenarkan anak rambut milik Fradhella, kemudian membelai lembut paras ayu milik anak gadisnya tersebut.
“Kembalilah, Sayang. Ini bukan tempatmu.” Fradhella menggeleng tegas.
“Fradhella, kamu sayang Mama?” Fradhella mengangguk cepat.
“Kembalilah, ini bukan tempatmu.”
“Dhella mau sama Mama di sini. Memangnya Dhella harus kembali ke mana?”
“Sayang … banyak yang menyayangimu di sana. Kamu dengar?”
“Kak Dhella… bangun, Kak. Jangan tinggalin Varell.”
“Dhell, lo harus kuat. Lo harus bertahan.”
“Cucuku … Ya Allah, berilah kemudahan untuk cucuku. Jangan bawa pergi dia. Aku berjanji akan merawatnya dengan baik.”
“Princess … maafkan, Papa.”
Fradhella tertegun dengan suara bariton yang samar-samar ia dengar barusan. Mengingat kejadian semalam, hati Fradhella sakit.
“Papa jahat, Mah. Papa tampar aku. Papa udah gak sayang aku lagi,” ucap Fradhella terisak.
Zahra memeluk putrinya tersebut. Ia mencium kening Fradhella cukup lama. Mungkin untuk saat ini Fradhella memang membutuhkan waktu.
“Papa itu sangat menyayangimu, Sayang. Mungkin saja malam itu Papa memang sedang ada banyak pikiran. Percaya sama Mama, banyak yang menyayangimu. Berjanjilah juga, apa pun yang terjadi nanti kamu gak boleh menyerah.”
Fradhella menatap Zahra penuh harap. Ia ingin bersama Zahra saja di sini. Dia tidak ingin kembali setelah apa yang Geovano, Varo, Carabella, dan Cheara lakukan terhadapnya.
“Semuanya jahat, Mah. Mereka semua jahat, buat aku sakit. Dada aku sakit banget, Mah. Mereka jahat,” rengek Fradhella.
“Sayang … dengarkan Mama,” titah Zahra.
Fradhella menatap Zahra yang terlihat sangat cantik saat ini. Wanita itu seperti lebih muda dari pertama kali yang ia lihat. Wajahnya bersinar dan sangat memukau.
“Di dunia ini, tidak mungkin ada kebahagiaan jika tidak ada kesedihan. Senang dan susah itu berdampingan. Tuhan tidak mungkin memberi masalah yang Fradhella tidak bisa hadapi. Fradhella itu gadis yang kuat, Allah tahu Pundak Fradhella itu pasti kuat buat pikul semuanya.”
“Kalau nanti Fradhella merasa gak ada yang sayang sama Fradhella. Fradhella harus ingat Mama, Varell, Eyang, dan Kak Zelina. Papa juga, Papa pasti menyayangi kamu. Kamu tahu, waktu kamu lahir Papa sedang ada di Belanda. Tapi saat tahu kamu akan lahir, Papa langsung pulang ke Indonesia, bahkan membatalkan meetingnya saat itu,” sambung Zahra.
“Papa kehilangan proyek besar. Tapi Papa gak peduli, karena kamu lebih berharga dari pada proyek Papa tersebut. Kamu jangan merasa kalau Mama ninggalin kamu. Mama selalu ada di sini.” Zahra menunjuk dada Fradhella.
“Tapi, Ma … “
“Kembalilah, Sayang. Ini bukan tempat kamu. Kamu harus terus melanjutkan cerita ini,” sela Zahra.
“Fradhella boleh peluk Mama lagi?” pinta Fradhella.
Zahra memeluk Fradhella kembali. Ia mengusap pelan rambut Fradhella dan mencium puncak kepala gadis itu. Sampai kapan pun, ia akan menyayangi dan melindungi kedua anaknya.
***
Perlahan iris terang itu terbuka. Ia memerjap lucu untuk menyesuaikan cahaya yang masuk. Di sekelilingnya berbagai alat medis mengelilinginya, bahkan sebuah ventilator terpasang untuk membantunya bernafas.
“Syukurlah kamu bisa melewati masa kritismu,” ujar seorang pria berjas putih.
Seorang wanita paruh baya itu menatap penuh kecewa kepada seorang pria berkepala empat yang berstatus menantunya tersebut. Varell telah memberitahu semua apa penyebab keadaan Fradhella bisa seperti ini, bahkan gadis yang baru satu jam itu siuman, saat ini harus kembali terlelap karena obat penenang.Setelah kesadarannya kembali, Fradhella histeris dan terus berteriak. Apalagi saat Geovano mencoba mendekatinya. Fradhella tampak takut dan enggan disentuh oleh pria yang berstatus sebagai ayah kandungnya itu. Dokter yang menangani Fradhella menyarankan jika Fradhella harus dibawa ke psikiater melihat bagaimana terguncangnya jiwa gadis itu saat ini.“Ibu kecewa sama kamu, Vano. Ibu titipkan anak Ibu dan cucu Ibu ke kamu agar mereka bahagia, namun nyatanya kamu justru menyakiti mereka. Kamu lihat tadi, ‘kan? Bagaimana Fradhella ketakutan, bahkan hanya karena melihatmu. Apa yang kamu lakukan sudah sangat keterlaluan. Ibu tidak akan membiarkan kamu menyakiti cucu Ibu lagi.” Maharani menjeda u
Sudah dua bulan Fradhella menjalani pengobatannya. Keadaannya juga mulai membaik. Namun naasnya, psikiaternya telah mendiagnosis dia “Alexithymia” atau sebuah kondisi di mana ia kesulitan untuk mengenali emosi. Itu adalah alasan kenapa saat ini ia bersikap dingin seperti saat ini.Fradhella sudah tidak lagi mengamuk. menangis, bahkan tertawa. Gadis itu selalu berwajah datar dan menanggapi semuanya menggunakan otak. Seperti saat ini, Zelina baru saja tersungkur di hadapannya karena tali sepatunya tidak terikat sempurna. Bukannya menolong, Fradhella hanya menatap Fradhella datar kemudian pergi ke meja makan dan mengacuhkan Zelina.“Woy! Tolongin gue dulu kali,” tegur Zelina memekik.Tidak ada tanggapan dari Fradhella, dia menaruh tas putih miliknya di salah satu kursi yang ada di meja makan, kemudian dia mulai menyantap sarapan yang telah disiapkan oleh Maharani.“Hari ini kamu berangkat dengan Kak Zelina dulu, ya? Nanti juga biar dia mengantar kamu ke ruang guru,” terang Maharani yang
Dengan langkah riangnya gadis cantik itu turun dari mobil membawa sebuah piala hasil olimpiadenya. Senyum merekah tercetak cantik sangat bersemangat ingin menunjukkan piala tersebut kepada kedua orang tuanya. Namun sejenak, ia menghentikan langkahnya saat pintu rumahnya terbuka lebar-lebar.Kondisi ruang tamu yang biasanya tertata rapi saat ini sangat berantakan. Ada banyak pecahan keramik guci yang berserakan. Langkah kaki Fradhella mengecil. Ia harus berhati-hati agar pecahan keramik itu tidak melukainya.Zahra, mamanya, tampak menangis sesenggukan di sofa ruang tengah, sementara Geovano, ayahnya, tampak acuh duduk di pantri dapur dengan menyesap rokok. Fradhella mencoba mencerna apa yang tengah terjadi. Mengapa mamanya menangis? Mengapa papanya hanya diam saja?"Mah? Pah? Ini ada apa? Kenapa berantakan rumahnya? Tadi ada perampok?" tanya Fradhella begitu lugu.Zahra yang menyadari putri kesayangannya telah pulang, ia mengusap air matanya kasar. Ia berusaha tersenyum lebar mendekati
Siang ini cakrawala tampak tertutup mega kelabu. Meski bulan ini telah memasuki bulan si Taurus, namun hujan terkadang masih suka mengguyur kota pahlawan tersebut.Fradhella memejamkan matanya sejenak. Rasanya ia ingin memukul apa pun yang ada di depanya, bahkan ketika lihat muka Carabella, ia ingin sekali memaki-maki gadis itu. Namun, ia sadar jika di sini yang salah adalah Rikka."Huh, gue butuh kopi," Monolog Fradhella.Dari dalam mobil, Fradhella menajamkan pandangannya ke sebuah restoran seafood di samping kafe yang ingin ia kunjungi. Ia seperti mengenal pria yang ada di dalam sana. Dari posturnya, dia seperti Geovano. Di hadapan pria tersebut, seorang wanita dengan pakaian ketat tampak mesra mengelap wajah Geovano.Cengkeraman tangan Fradhella mengencang. Ia bergegas keluar dari mobilnya untuk menemui papanya tersebut. Bisa-bisanya ia melihat langsung kemesraan papanya bersama wanita yang bukan mamanya. Pantas saja Zahra lebih memilih untuk pergi lagi. Ya, tadi pagi Zahra pergi
Hati Fradhella semakin gundah. Pikirannya bercabang ke mana-mana. Setelah taksi online yang ia pesan datang, Fradhella langsung pergi ke rumah sakit. Sekitar lima belas menit akhirnya ia sampai, Fradhella datang masih memeluk pialanya. Ia mencari Geovano yang telah menunggunya di UGD.“Si … siapa yang sakit, Pah?” tanya Fradhella lirih.Geovano memeluk putri kesayangannya itu. Ia tersenyum saat melihat Fradhella datang dengan pialanya.“Selamat ya, Princess. Kamu memang selalu menjadi kebanggaan Papa,” puji Geovano mengecup puncak rambut Fradhella.“Siapa yang ada di dalam sana, Pah? Mama mana?” tanya Fradhella sekali lagi.“Ma … Mama ada di dalam sana,” jawab Geovano lirih yang membuat Fradhella lemas begitu saja.Geovano menopang tubuh kecil milik putri kesayangannya itu. Ia menuntun Fradhella untuk duduk di kursi tunggu depan UGD. Rasanya hancur, apa ini penyebab Zahra tidak kunjung hadir untuk menjemputnya?“Mama kenapa, Pah?” tanya Fradhella dengan suara gemetar.“Mama kamu menga
Gadis cantik itu tengah menyiapkan semua pakaiannya untuk ia masukkan ke dalam koper. Waktunya di sini telah selesai, ia harus kembali dan menyelesaikan semua masalahnya. Setelah memasukkan seluruh pakaiannya ke dalam koper, Fradhella duduk di tepian jendela. Ia menatap kosong cakrawala petang bertabur bintang.“Lo udah selesai nata baju?” tanya seorang gadis dengan warna rambut yang mencolok itu.“Udah, Kak.”“Lebih baik lo istirahat sekarang. Pesawat kita take off cukup pagi besok,” titah Zelina.“Iya, setelah ini gue tidur.”Zelina mendekati Fradhella. Dulu, keduanya tumbuh bersama. Sampai akhirnya Zahra membawa Fradhella untuk tinggal bersama Geovano di Surabaya. Ia mengenal jelas bagaimana gadis itu. Fradhella yang selalu ceria, cerewet, dan selalu banyak tertawa. Sempat terlintas iri pada kehidupan gadis itu. Fradhella memiliki segalanya, sampai tidak ada celah kekurangannya.“Lo harus mulai menerima semuanya, Dhell. Gak selamanya lo akan terus ada di atas,” tukas Zelina membuya
Kedua iris coklat terang milik Fradhella memanas saat mendapati beberapa foto dan video kekasihnya tengah bercumbu dengan sahabatnya sendiri. Fradhella membekap kedua mulutnya tidak percaya. Rentetan kristal cair mulai menetes deras. Ia memukul dadanya yang terasa sesak.“Tidak mungkin. Va … Varo … “ Fradhella kembali terisak.Varo adalah laki-laki yang sangat menyayanginya selain Geovano dan Varell. Mana mungkin Varo mengkhianatinya apalagi dengan sahabatnya sendiri. Fradhella kembali menangis dalam diam. Rasanya hatinya tengah dihunjami ribuan pisau.Padahal luka atas kepergian Zahra masih menganga. Namun, hari ini ia mendapati luka yang tak kalah besarnya. Fradhella membanting ponselnya kasar, dia berteriak dan membuang seluruh barang yang ada di hadapannya. Beberapa makeup, parfum, dan skincare miliknya berceceran di lantai, bahkan pecah.“AAAAA … GAK MUNGKIN! BOHONG, SEMUANYA PEMBOHONG!” teriak Fradhella marah.Maharani, Varell, dan Zelina yang mendengar teriakan Fradhella berbon
Suasana kafe dengan gaya vintage itu tampak ramai dikunjungi beberapa pelanggan. Kabarnya akan ada permainan piano dari salah satu violinis yang terkenal. Lampu utama mendadak padam, beberapa pengunjung kafe berteriak terkejut.Teriakan terhenti tatkala sebuah lampu menyorot ke arah seorang gadis yang tengah membelakangi mereka. Biola yang ia tenteng telah ia pikul di pundak kirinya. Gesekan senar biola yang mulai ia mainkan menghanyutkan suasana kafe menjadi hening.Suara merdu dari gadis sang pemain biola itu terdengar, membuat beberapa orang bertepuk tangan dan bertanya siapa sebenarnya gadis itu. Lagu yang dibawakan terdengar pilu, apalagi suara biola yang syahdu membuat seluruh pengunjung hanyut dibawanya.Sebuah lagi berjudul “Traitor” karya Olivia Rodrigo menggema. Banyak yang terhanyut dan bertanya siapa yang memainkan biola sebagus itu. Selain itu, suara merdu sang penyanyi juga membuat mereka seakan ikut merasakan apa yang tengah dirasakan sosok dalam cerita lagu itu.Lagu s
Sudah dua bulan Fradhella menjalani pengobatannya. Keadaannya juga mulai membaik. Namun naasnya, psikiaternya telah mendiagnosis dia “Alexithymia” atau sebuah kondisi di mana ia kesulitan untuk mengenali emosi. Itu adalah alasan kenapa saat ini ia bersikap dingin seperti saat ini.Fradhella sudah tidak lagi mengamuk. menangis, bahkan tertawa. Gadis itu selalu berwajah datar dan menanggapi semuanya menggunakan otak. Seperti saat ini, Zelina baru saja tersungkur di hadapannya karena tali sepatunya tidak terikat sempurna. Bukannya menolong, Fradhella hanya menatap Fradhella datar kemudian pergi ke meja makan dan mengacuhkan Zelina.“Woy! Tolongin gue dulu kali,” tegur Zelina memekik.Tidak ada tanggapan dari Fradhella, dia menaruh tas putih miliknya di salah satu kursi yang ada di meja makan, kemudian dia mulai menyantap sarapan yang telah disiapkan oleh Maharani.“Hari ini kamu berangkat dengan Kak Zelina dulu, ya? Nanti juga biar dia mengantar kamu ke ruang guru,” terang Maharani yang
Seorang wanita paruh baya itu menatap penuh kecewa kepada seorang pria berkepala empat yang berstatus menantunya tersebut. Varell telah memberitahu semua apa penyebab keadaan Fradhella bisa seperti ini, bahkan gadis yang baru satu jam itu siuman, saat ini harus kembali terlelap karena obat penenang.Setelah kesadarannya kembali, Fradhella histeris dan terus berteriak. Apalagi saat Geovano mencoba mendekatinya. Fradhella tampak takut dan enggan disentuh oleh pria yang berstatus sebagai ayah kandungnya itu. Dokter yang menangani Fradhella menyarankan jika Fradhella harus dibawa ke psikiater melihat bagaimana terguncangnya jiwa gadis itu saat ini.“Ibu kecewa sama kamu, Vano. Ibu titipkan anak Ibu dan cucu Ibu ke kamu agar mereka bahagia, namun nyatanya kamu justru menyakiti mereka. Kamu lihat tadi, ‘kan? Bagaimana Fradhella ketakutan, bahkan hanya karena melihatmu. Apa yang kamu lakukan sudah sangat keterlaluan. Ibu tidak akan membiarkan kamu menyakiti cucu Ibu lagi.” Maharani menjeda u
Varell langsung menggendong Fradhella untuk keluar dari bath up. Tubuh gadis itu telah memucat biru. Varell menidurkan Fradhella di kasur milik gadis itu. Ia memanggil salah seorang asisten rumah tangga untuk menggantikan baju Fradhella. Baru setelah itu, Varell akan membawa Fradhella ke rumah sakit.Maharani tergopoh-gopoh menuju kamar Fradhella. Ia mendengar kondisi Fradhella dari salah satu penjaga yang tadi ikut membantu Varell untuk mendobrak pintu kamar gadis itu. Seusai mengganti pakaian Fradhella, Varell bergegas menggendong Fradhella untuk membawanya ke rumah sakit.Di tangga, ia bertemu dengan Geovano. Geovano terkejut dengan kondisi gadis itu. Paras ayu milik Fradhella tampak sangat pucat, bahkan tubuh gadis itu sudah tampak membiru. Saat hendak menyentuh Fradhella, Varell menjauhkan tubuh Fradhella dari papanya.“Puas, Pah? Andai aja malam tadi Papa gak larang aku untuk mendobrak kamar Kakak, pasti keadaan Kakak gak akan seperti ini. Sampai terjadi sesuatu sama Kakak, Vare
Tengah malam dengan keadaan yang tidak bisa dibilang baik-baik saja Fradhella pulang. Dress coklat yang ia kenakan tampak kusut dan basah. Di luar sana, hujan mengguyur sejak sejam yang lalu.Seorang pria berkepala empat itu menatap tajam putrinya yang baru saja pulang padahal jam telah menunjukkan pukul dua dini hari. Ia bangkit menghampiri Fradhella, entah bisikan dari mana tangannya terhempas menampar Fradhella. Fradhella yang terkejut sembari memegang pipi kirinya itu menatap Geovano luka.“Dari mana saja kamu! Apa yang sudah kamu lakukan pada Carabella. Papa tidak pernah mengajarkan kamu untuk menindas orang. Papa kecewa sama kamu. Apa ini didikan dari Mamamu?” murka Geovano.Bukannya menjawab, Fradhella justru tertawa pilu. Jadi Geovano menamparnya karena gadis itu?“Jangan bawa-bawa Mama! Aku tidak pernah menindas cewek sialan itu. Lagi pula menyentuhnya seujung kuku saja tidak. Terserah Papa mau percaya atau tidak. Aku lebih kecewa sama Papa. Karena Papa yang aku kenal, tidak
Suasana kafe dengan gaya vintage itu tampak ramai dikunjungi beberapa pelanggan. Kabarnya akan ada permainan piano dari salah satu violinis yang terkenal. Lampu utama mendadak padam, beberapa pengunjung kafe berteriak terkejut.Teriakan terhenti tatkala sebuah lampu menyorot ke arah seorang gadis yang tengah membelakangi mereka. Biola yang ia tenteng telah ia pikul di pundak kirinya. Gesekan senar biola yang mulai ia mainkan menghanyutkan suasana kafe menjadi hening.Suara merdu dari gadis sang pemain biola itu terdengar, membuat beberapa orang bertepuk tangan dan bertanya siapa sebenarnya gadis itu. Lagu yang dibawakan terdengar pilu, apalagi suara biola yang syahdu membuat seluruh pengunjung hanyut dibawanya.Sebuah lagi berjudul “Traitor” karya Olivia Rodrigo menggema. Banyak yang terhanyut dan bertanya siapa yang memainkan biola sebagus itu. Selain itu, suara merdu sang penyanyi juga membuat mereka seakan ikut merasakan apa yang tengah dirasakan sosok dalam cerita lagu itu.Lagu s
Kedua iris coklat terang milik Fradhella memanas saat mendapati beberapa foto dan video kekasihnya tengah bercumbu dengan sahabatnya sendiri. Fradhella membekap kedua mulutnya tidak percaya. Rentetan kristal cair mulai menetes deras. Ia memukul dadanya yang terasa sesak.“Tidak mungkin. Va … Varo … “ Fradhella kembali terisak.Varo adalah laki-laki yang sangat menyayanginya selain Geovano dan Varell. Mana mungkin Varo mengkhianatinya apalagi dengan sahabatnya sendiri. Fradhella kembali menangis dalam diam. Rasanya hatinya tengah dihunjami ribuan pisau.Padahal luka atas kepergian Zahra masih menganga. Namun, hari ini ia mendapati luka yang tak kalah besarnya. Fradhella membanting ponselnya kasar, dia berteriak dan membuang seluruh barang yang ada di hadapannya. Beberapa makeup, parfum, dan skincare miliknya berceceran di lantai, bahkan pecah.“AAAAA … GAK MUNGKIN! BOHONG, SEMUANYA PEMBOHONG!” teriak Fradhella marah.Maharani, Varell, dan Zelina yang mendengar teriakan Fradhella berbon
Gadis cantik itu tengah menyiapkan semua pakaiannya untuk ia masukkan ke dalam koper. Waktunya di sini telah selesai, ia harus kembali dan menyelesaikan semua masalahnya. Setelah memasukkan seluruh pakaiannya ke dalam koper, Fradhella duduk di tepian jendela. Ia menatap kosong cakrawala petang bertabur bintang.“Lo udah selesai nata baju?” tanya seorang gadis dengan warna rambut yang mencolok itu.“Udah, Kak.”“Lebih baik lo istirahat sekarang. Pesawat kita take off cukup pagi besok,” titah Zelina.“Iya, setelah ini gue tidur.”Zelina mendekati Fradhella. Dulu, keduanya tumbuh bersama. Sampai akhirnya Zahra membawa Fradhella untuk tinggal bersama Geovano di Surabaya. Ia mengenal jelas bagaimana gadis itu. Fradhella yang selalu ceria, cerewet, dan selalu banyak tertawa. Sempat terlintas iri pada kehidupan gadis itu. Fradhella memiliki segalanya, sampai tidak ada celah kekurangannya.“Lo harus mulai menerima semuanya, Dhell. Gak selamanya lo akan terus ada di atas,” tukas Zelina membuya
Hati Fradhella semakin gundah. Pikirannya bercabang ke mana-mana. Setelah taksi online yang ia pesan datang, Fradhella langsung pergi ke rumah sakit. Sekitar lima belas menit akhirnya ia sampai, Fradhella datang masih memeluk pialanya. Ia mencari Geovano yang telah menunggunya di UGD.“Si … siapa yang sakit, Pah?” tanya Fradhella lirih.Geovano memeluk putri kesayangannya itu. Ia tersenyum saat melihat Fradhella datang dengan pialanya.“Selamat ya, Princess. Kamu memang selalu menjadi kebanggaan Papa,” puji Geovano mengecup puncak rambut Fradhella.“Siapa yang ada di dalam sana, Pah? Mama mana?” tanya Fradhella sekali lagi.“Ma … Mama ada di dalam sana,” jawab Geovano lirih yang membuat Fradhella lemas begitu saja.Geovano menopang tubuh kecil milik putri kesayangannya itu. Ia menuntun Fradhella untuk duduk di kursi tunggu depan UGD. Rasanya hancur, apa ini penyebab Zahra tidak kunjung hadir untuk menjemputnya?“Mama kenapa, Pah?” tanya Fradhella dengan suara gemetar.“Mama kamu menga
Siang ini cakrawala tampak tertutup mega kelabu. Meski bulan ini telah memasuki bulan si Taurus, namun hujan terkadang masih suka mengguyur kota pahlawan tersebut.Fradhella memejamkan matanya sejenak. Rasanya ia ingin memukul apa pun yang ada di depanya, bahkan ketika lihat muka Carabella, ia ingin sekali memaki-maki gadis itu. Namun, ia sadar jika di sini yang salah adalah Rikka."Huh, gue butuh kopi," Monolog Fradhella.Dari dalam mobil, Fradhella menajamkan pandangannya ke sebuah restoran seafood di samping kafe yang ingin ia kunjungi. Ia seperti mengenal pria yang ada di dalam sana. Dari posturnya, dia seperti Geovano. Di hadapan pria tersebut, seorang wanita dengan pakaian ketat tampak mesra mengelap wajah Geovano.Cengkeraman tangan Fradhella mengencang. Ia bergegas keluar dari mobilnya untuk menemui papanya tersebut. Bisa-bisanya ia melihat langsung kemesraan papanya bersama wanita yang bukan mamanya. Pantas saja Zahra lebih memilih untuk pergi lagi. Ya, tadi pagi Zahra pergi