Langit pagi itu dipenuhi cahaya lembut matahari, seolah memberikan kehangatan yang baru kepada Aisyah. Di sebuah taman kecil, ia dan Farhan duduk di bangku panjang, menikmati udara segar. Suasana di antara mereka terasa canggung namun penuh harapan. Setelah pertemuan terakhir yang penuh emosi, Farhan berusaha membangun kembali kepercayaan Aisyah dengan cara yang berbeda.
"Aku ingin memperbaiki semuanya, Aisyah," kata Farhan pelan, memecah kesunyian. "Aku sadar, kejujuran itu hal yang nggak bisa ditawar dalam hubungan kita."Aisyah menatap Farhan, matanya memancarkan kelelahan yang bercampur dengan sisa keraguan. "Aku butuh waktu, Farhan. Semua yang terjadi ... terlalu banyak yang harus aku pikirkan."Farhan mengangguk, menghormati perasaan Aisyah. Ia menyadari bahwa cinta saja tidak cukup. Perlu tindakan nyata untuk menunjukkan kesungguhannya."Makanya, aku ingin kita nggak cuma bicara soal cinta. Aku mau kita sama-sama bergerak. Kamu tahu, selamaSuara adzan Subuh menggema lembut, menggugah hati siapa pun yang mendengarnya. Di dalam rumah sederhana mereka, Farhan membuka matanya perlahan, menghela napas panjang, seolah mengumpulkan energi untuk hari yang baru. Di sampingnya, Aisyah sudah bangkit lebih dulu, menyiapkan air wudhu di kamar mandi kecil mereka."Farhan, ayo bangun," panggil Aisyah lembut.Farhan mengangguk sambil tersenyum kecil. Ia bergegas mengambil wudhu, bergabung dengan Aisyah untuk melaksanakan salat Subuh berjamaah. Saat sujud terakhir, hati Farhan bergetar. Ia memohon pada Allah agar hubungan mereka yang sempat retak kini dikuatkan dengan kasih sayang dan kepercayaan yang baru.Usai salat, mereka duduk berdampingan di sajadah. Aisyah membuka Al-Quran dan mulai melantunkan ayat-ayat suci dengan suara yang penuh kekhusyukan. Farhan hanya bisa memandangnya dengan rasa syukur yang dalam. Ia tahu, apa yang mereka miliki saat ini bukanlah sesuatu yang mudah didapatkan kembali.
Pagi itu, udara di sekitar yayasan terasa lebih sejuk dari biasanya. Terlihat anak-anak berlarian dengan tawa riang, sementara para ibu yang mengikuti pelatihan keterampilan tampak penuh semangat. Farhan dan Aisyah sedang mengatur segala persiapan untuk merayakan keberhasilan program pemberdayaan ibu-ibu yang baru saja mereka jalankan. Sebuah bazar kecil akan digelar, memamerkan hasil karya para ibu, dan banyak orang yang datang untuk melihatnya.Farhan mengamati dengan penuh rasa syukur bagaimana segala usaha mereka akhirnya membuahkan hasil. Aisyah, dengan senyum tulusnya, menyapa para ibu dan anak-anak dengan hangat, memberikan motivasi kepada mereka agar tetap melanjutkan perjuangan mereka.Di tengah kesibukan tersebut, seorang anak perempuan kecil muncul di pintu gerbang yayasan. Wajahnya tampak letih, rambut ikalnya kusut dan tubuhnya tampak lemah. Farhan yang sedang berdiri di samping Aisyah terdiam sejenak ketika melihat anak itu. Ada sesuatu yang aneh di m
Hari itu, seperti biasa, cuaca cerah dan udara terasa segar setelah hujan semalam. Farhan dan Aisyah sedang duduk di beranda rumah, menikmati secangkir teh hangat sambil menatap anak-anak yang bermain di halaman yayasan. Namun, pikirannya tak bisa lepas dari satu sosok-Safira.Anak kecil itu, meskipun baru saja muncul dalam hidup mereka, rasanya sudah mengisi ruang yang kosong di hati Farhan. Setiap kali ia menatap Safira, ada perasaan yang sulit dijelaskan, seperti sebuah ikatan yang tak terlihat, namun sangat kuat. Aisyah pun merasakannya, meskipun dengan cara yang berbeda."Aisyah," Farhan memulai, suaranya pelan namun penuh makna. "Kamu merasa apa dengan anak itu?"Aisyah yang duduk di sampingnya menatap Safira yang sedang duduk di dekat meja belajar, sibuk menggambar dengan pulpen warna-warni. Safira tampak tenang dan jauh dari kesan gelisah seperti yang pertama kali mereka lihat."Aku merasa dia seperti anak kita sendiri," jawab Aisyah sambi
Sudah beberapa hari berlalu sejak Farhan dan Aisyah memutuskan untuk mengadopsi Safira. Keputusan yang tampaknya membawa kebahagiaan itu, lama kelamaan, justru memunculkan perasaan-perasaan yang tak terduga. Mereka merasakan ikatan yang semakin kuat dengan Safira, namun ada juga rasa kebingungan yang tak bisa dijelaskan. Safira, yang baru berusia empat tahun, ternyata memiliki kebiasaan-kebiasaan yang mengingatkan Farhan pada dirinya sendiri. Setiap kali mereka makan bersama, Safira seakan-akan tahu apa yang harus ada di meja. Tanpa kata-kata, hanya gerakan tangannya yang gemetar saat ia menunjuk hidangan tertentu. Seperti Farhan, Safira menyukai hidangan pedas dengan porsi yang tak sedikit, dan mereka bahkan memilih makanan yang sama tanpa saling mengingatkan.****Pagi itu, Aisyah sedang sibuk di dapur, menyiapkan sarapan. Farhan duduk di meja makan, menatap anak perempuan yang duduk di depannya. Safira sibuk dengan sendok dan piringnya, sesekali menole
Malam itu, Aisyah terjaga lebih lama dari biasanya. Di luar, udara sejuk menembus jendela kamar mereka, sementara Farhan sudah terlelap di sampingnya. Namun, mata Aisyah tidak bisa terpejam. Pikirannya berkelana jauh, menyusuri segala yang telah terjadi selama beberapa minggu terakhir. Safira. Anak kecil yang baru datang ke dalam hidup mereka, yang kini sudah menjadi bagian dari keluarga mereka. Ia mengingat betul bagaimana mereka pertama kali bertemu di panti asuhan. Safira yang cemas, tampak takut untuk percaya pada orang lain, dan tentu saja, Aisyah tahu perasaan itu. Tetapi sekarang, setelah beberapa waktu berlalu, ada perasaan yang mulai mengganjal di hati Aisyah. Perasaan yang sulit dijelaskan, tapi jelas ada.Sudah beberapa hari ini, Aisyah merasa ada sesuatu yang aneh antara Farhan dan Safira. Sesuatu yang tak terucapkan. Sesuatu yang lebih dari sekadar ikatan orang tua dan anak. Mungkin itu hanya perasaannya saja, atau mungkin ia hanya terlalu sensitif. T
Farhan menggenggam surat itu erat-erat. Tulisan tangan di atas kertas tua itu seperti bergema di pikirannya. "Dia adalah milikmu ...." Kalimat itu terus terulang, memenuhi hatinya dengan perasaan yang sulit ia jelaskan. Safira. Anak kecil yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya. Siapa sebenarnya dia? Setelah beberapa saat termenung di ruangan sederhana itu, Farhan mengembalikan surat itu ke dalam amplop dan menatap Pak Arman dengan tatapan penuh tekad. "Pak Arman," suara Farhan bergetar, tapi tetap tenang, "saya ingin tahu lebih banyak. Apa ada yang pernah bertanya tentang Safira sebelumnya? Atau mungkin ada seseorang yang meninggalkan pesan lain tentang dia?" Pak Arman menggeleng perlahan, raut wajahnya menyiratkan keraguan. "Setahu saya, tidak ada, Pak Farhan. Tapi, ada satu hal aneh. Waktu itu, beberapa bulan setelah Safira datang, seorang pria tua pernah bertanya tentang bayi perempuan yang ditinggalkan di panti ini. Dia hanya bertanya sebentar, tidak memberikan nama atau i
"Ada apa, Sayang?" tanya Aisyah dengan suara lembut, mencoba menenangkan.Safira mengangkat wajahnya yang basah, matanya masih terlihat bingung dan ketakutan. "Safira takut, Ummi," jawabnya dengan suara yang terisak. "Ada yang bilang ... ada yang bilang kalau Safira bukan anak siapa-siapa."Aisyah merasakan dadanya sesak. Kata-kata itu seperti menembus jantungnya. "Siapa yang bilang seperti itu, Sayang?"Safira menggigit bibirnya, tidak tahu bagaimana menjelaskan. Aisyah merasakan ada sesuatu yang aneh. Ini bukan pertama kalinya Safira mengungkapkan hal-hal yang sulit dimengerti. Biasanya anak sekecil itu tidak akan memikirkan hal-hal seperti itu. Tetapi kali ini, ada sesuatu dalam tatapan Safira yang tidak bisa ia abaikan.Farhan, yang sedari tadi hanya mengamati dari pintu, akhirnya masuk dan duduk di sisi lain Safira. Ia menarik anak itu ke pelukannya. "Apa yang kamu rasakan, Sayang?" tanya Farhan dengan suara yang penuh kasih sayang, mencoba m
Farhan berdiri tegak di depan pintu, matanya berkilat tajam menatap pria tua itu. Suasana malam yang sunyi mendalam, hanya terdengar suara angin yang berdesir lembut di luar. Aisyah berdiri di belakangnya, matanya memandang pria itu dengan curiga, seolah setiap gerakannya bisa mengungkapkan sesuatu yang lebih besar.Pria itu menghela napas panjang, seakan-akan mengumpulkan kekuatan untuk mengungkapkan sesuatu yang tak bisa dihindari lagi. Wajahnya yang keriput itu terlihat lelah, namun ada sesuatu yang tajam di balik mata tuanya. Sesuatu yang Aisyah rasakan, tapi tak bisa ia jelaskan."Ada apa, Pak?" Farhan akhirnya membuka suara, meski suaranya terdengar serak, seperti ada ketegangan yang menyesakkan dada.Pria itu tidak langsung menjawab. Ia menatap Farhan lebih lama, seolah mengukur, mencoba melihat apakah lelaki muda di depannya ini benar-benar siap mendengar kebenaran yang akan diungkapkannya. Aisyah bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang besar, yang j
Farhan menatap Aisyah, berharap menemukan jawaban di matanya. Tapi Aisyah hanya diam. Tatapan lembutnya menyimpan kebimbangan yang sama. Ia tahu, di satu sisi, Arman adalah saudara kandung Farhan, darah daging yang harus diselamatkan. Tapi di sisi lain, situasi ini menyeret mereka semakin dalam ke dalam bahaya. Aisyah ingin bicara, tapi kata-katanya seolah tercekat di tenggorokan.Yusuf memecah keheningan. "Farhan, waktu terus berjalan. Kalau kamu terus terjebak dalam kebimbangan ini, kita bisa kehilangan dua hal sekaligus-Arman, dan mungkin, kesempatan untuk memperbaiki semuanya."Farhan menarik napas dalam-dalam. Ia menunduk lagi, kedua tangannya masih mengepal erat. "Aku tahu, Yusuf. Tapi bagaimana aku bisa membuat keputusan ini? Safira masih kecil. Dia butuh aku di sini. Di sisi lain, aku tidak bisa membiarkan Arman begitu saja. Kalau dia benar-benar dalam bahaya, apa aku tega membiarkannya?"Aisyah akhirnya membuka suara, suaranya tenang, tapi sarat d
"π ππ πππΎπππ, π ππππΊπ. π ππ ππππΊ πππΎππΊππΊ ππΊπ ππΊππ ππΊππΊ. π³πΊππ ππππΊ ππππΊπ π»ππ πΎπ πππΎππΊπ. πͺπππΊ ππΊπππ πππΊπ." π ππππΊπ ππΎπππΊπππππ ππΎπΌππ , ππΎπππ ππΊπππππΊ ππΊπππ π½πππΎππππ ππΎππΊπππΊπ. π¨πΊ ππΊππ π»πΎππΊππΊ π»πΎππΊπ πΌππππΊ π₯πΊπππΊπ ππΎππΊπ½πΊ π πππΊπ, ππΊππ½πΊππΊ ππΎππ»πΊππππΊ. π³πΊππ πππππΊππ πππ ππΊππ π πΎπ»ππ πππππ π½πΊππππΊπ½πΊ ππΊππ ππΎπππΊπ ππΊ π»πΊππΊππππΊπ. π²ππΊππΊππΊ ππΎππππ π πΊππ. π§πΊπππΊ πππΊππΊ π½πΎππΊπ ππΊπ π½πππ½πππ ππΊππ ππΎππ½πΎπππΊπ, ππΎππ»ππΊπ ππΊπ πΊπ ππΎππΊππΊ ππΎππΊπππ π πΊππ»πΊπ. **** π―πΊππ ππΊπππππΊ, π₯πΊπππΊπ ππΎππΎππππΊ ππΎπ»ππΊπ ππΎππΊπ ππΊπ π½πππΎππΊπ ππΎπ πΊπ ππ πππππΎπ πππΊ. πππππ πππ πππ½πΊπ ππΎππππππΊπ, π½πΊπ πππ
Malam itu begitu sunyi, hanya suara angin yang sesekali berdesir di antara dedaunan. Aisyah berdiri di belakang Farhan, tubuhnya sedikit gemetar. Pintu depan rumah mereka diketuk lagi, kali ini lebih keras, seperti seseorang yang tidak sabar menunggu. "Mas, hati-hati," bisik Aisyah, suaranya nyaris tak terdengar. Farhan menoleh sebentar, memberikan senyuman tipis yang seolah ingin menenangkan istrinya. Tapi Aisyah tahu, di balik senyuman itu, ada kegelisahan yang sama. Farhan melangkah perlahan ke pintu, tangannya terulur ke gagang pintu. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membuka pintu itu.Dan di sana, berdiri seorang pria dengan wajah yang tak asing. Rambutnya sedikit berantakan, matanya tajam, dan tubuhnya terlihat kurus. Farhan tertegun, mulutnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. "Kamu ...?" bisiknya, nyaris tak percaya.Pria itu tersenyum tipis, tapi senyumnya tidak membawa kehangatan. Ada sesuatu yang dingin di
Langit malam mulai gelap, menyelimuti kota dengan keheningan yang terasa berat. Di ruang tamu rumah sederhana mereka, Farhan duduk di sofa dengan wajah tegang. Aisyah berdiri di dekat jendela, memandang keluar dengan tatapan kosong. Suasana di antara mereka terasa berbeda malam itu, seperti ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang tak terucapkan."Mas," suara Aisyah memecah keheningan. Ia berbalik, menatap Farhan yang masih diam. "Aku nggak ngerti kenapa semua ini terjadi. Rasanya ... seperti kita nggak bisa percaya siapa pun lagi."Farhan menghela napas panjang, lalu menatap Aisyah dengan mata yang penuh kelelahan. "Aku juga nggak ngerti, Aisyah. Tapi aku janji, aku akan cari tahu siapa yang ada di balik semua ini. Aku nggak akan biarkan Safira terus dalam bahaya."Aisyah mendekat, duduk di samping Farhan. Ia menggenggam tangan suaminya, mencoba mencari kekuatan dari kehangatan itu. "Tapi, Mas ... kalau ternyata orang yang kita percaya selama i
Pagi itu terasa berbeda. Udara di luar jendela sejuk, dengan cahaya matahari yang lembut menyusup ke dalam rumah melalui celah-celah tirai yang terbuka. Farhan duduk di meja makan, memandangi secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Pikirannya masih berkelana, namun kali ini ada rasa tenang yang menyelimuti hatinya. Setelah berbulan-bulan melalui ketegangan, ada secercah harapan yang mulai muncul di antara mereka.Aisyah datang dari arah dapur, membawa sepiring roti bakar dengan selai stroberi kesukaan Farhan. Dia tersenyum pelan, meski senyum itu belum sepenuhnya menghapus kelelahan di wajahnya. Sudah lama sekali mereka tak merasakan ketenangan seperti ini-waktu yang benar-benar hanya untuk mereka berdua."Aku buat roti bakar. Pasti kamu lapar, kan?" Aisyah duduk di sebelah Farhan, menatapnya dengan mata yang penuh harapan. Matanya yang dulu penuh keraguan kini mulai terbuka, meskipun tak semua pertanyaan sudah terjawab.Farhan memandang Aisyah, lalu menat
Suasana malam itu masih tetap tegang. Di ruang tamu yang terasa semakin sempit, Farhan dan Aisyah duduk berdampingan, berhadapan dengan kenyataan yang semakin mendekat. Keputusan yang mereka buat tadi seolah memberi angin segar, namun dalam hati keduanya, kegelisahan masih mengular. Masa depan mereka sudah di depan mata, namun jalan menuju ke sana terasa sangat kabur."Aisyah ...." Farhan memecah keheningan yang telah lama membungkamnya, suaranya rendah namun penuh dengan ketegasan. "Aku nggak bisa janji kalau semua ini bakal mudah. Tapi aku janji, aku bakal berusaha lebih terbuka. Aku nggak mau ada rahasia lagi di antara kita. Kamu harus tahu semuanya, supaya kamu bisa buat keputusan sendiri."Aisyah menatapnya, matanya mencari kejujuran dalam setiap kata yang keluar dari bibir Farhan. Ia ingin percaya, tetapi kadang-kadang kepercayaan itu sulit didapatkan setelah banyak rahasia yang disembunyikan. "Farhan, aku sudah terlalu lama hidup dalam ketidakpastian. Aku ng
Aisyah duduk terdiam di sudut ruang tamu, matanya menatap kosong ke luar jendela, meski pandangannya lebih pada pikiran yang berputar-putar dalam kepalanya daripada pemandangan di luar. Udara malam terasa begitu berat, seolah menyelimuti setiap inci ruang yang ada di sekitar mereka. Di sampingnya, Farhan berdiri dengan punggung tegak, matanya menatap jauh ke depan, seperti mencari jawaban di ruang kosong yang sama. Mereka berada di persimpangan jalan yang tak terlihat, dan tak ada petunjuk mana yang harus diambil. Keputusan ini bukan sekadar memilih jalan, tetapi memilih hidup."Aisyah," suara Farhan terdengar perlahan, penuh keraguan, "kamu harus tahu, aku nggak bisa tinggal diam. Aku nggak bisa hidup dengan rahasia ini lebih lama lagi. Safira... dia adalah bagian dari masa lalu yang harus aku tanggung. Aku nggak bisa melepaskannya begitu saja."Aisyah memutar tubuhnya, menatap Farhan. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda, sesuatu yang membuat hatinya sema
Malam itu, suasana di rumah Farhan terasa semakin mencekam. Ketegangan yang sebelumnya ada di antara Farhan dan Aisyah kini semakin memuncak. Keduanya terdiam sejenak, masing-masing terperangkap dalam pikirannya sendiri, berusaha menyaring apa yang baru saja terjadi."Aisyah ...." Farhan memulai kalimat dengan suara berat, penuh kecemasan, tapi juga ketegasan. "Kita nggak bisa mundur. Apa pun yang terjadi, kita harus siap menghadapi semua ini."Aisyah hanya menatap Farhan dengan tatapan kosong. Meskipun bibirnya tak mengucapkan kata-kata, matanya berbicara banyak. Ada rasa takut, bingung, dan cemas yang tercermin jelas di wajahnya. Ketakutan akan apa yang akan datang dan ketegangan antara mereka yang semakin terasa begitu sulit untuk dipahami."Apa yang kita hadapi sekarang lebih besar dari apa yang kita bayangkan, Farhan," Aisyah akhirnya berkata, suara itu lebih rendah dari biasanya, seperti menyembunyikan rasa sakit yang dalam. "Tapi aku nggak bisa menu
Farhan terdiam sejenak, matanya yang penuh tekad bertemu dengan tatapan Aisyah yang cemas. Dalam keheningan itu, Aisyah bisa merasakan ada sesuatu yang tak beres. Ada beban yang lebih berat yang sedang dipikul oleh Farhan, sesuatu yang akan mengubah segalanya. Ketegangan di udara malam itu semakin mengeras, seperti mendung yang menggantung di langit, siap turun menjadi hujan deras."Aisyah ...." Farhan akhirnya membuka suara, suara itu berat, seperti mengandung beban yang berat. "Aku tahu ini sulit untuk diterima, tapi aku harus memberitahumu. Safira ... dia bukan hanya anak dari Arman. Dia ... dia lebih dari itu."Aisyah memandang Farhan dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Apa maksudmu? Apa yang kamu coba katakan, Farhan?"Farhan menarik napas panjang, merasa setiap kata yang akan diucapkannya seperti tusukan yang mengiris hatinya. "Safira ... dia adalah hasil dari perjanjian yang dibuat oleh ibunya, Ratna, dan orang-orang yang berkuasa di belakangnya.