Pagi itu, udara di sekitar yayasan terasa lebih sejuk dari biasanya. Terlihat anak-anak berlarian dengan tawa riang, sementara para ibu yang mengikuti pelatihan keterampilan tampak penuh semangat. Farhan dan Aisyah sedang mengatur segala persiapan untuk merayakan keberhasilan program pemberdayaan ibu-ibu yang baru saja mereka jalankan. Sebuah bazar kecil akan digelar, memamerkan hasil karya para ibu, dan banyak orang yang datang untuk melihatnya.
Farhan mengamati dengan penuh rasa syukur bagaimana segala usaha mereka akhirnya membuahkan hasil. Aisyah, dengan senyum tulusnya, menyapa para ibu dan anak-anak dengan hangat, memberikan motivasi kepada mereka agar tetap melanjutkan perjuangan mereka.Di tengah kesibukan tersebut, seorang anak perempuan kecil muncul di pintu gerbang yayasan. Wajahnya tampak letih, rambut ikalnya kusut dan tubuhnya tampak lemah. Farhan yang sedang berdiri di samping Aisyah terdiam sejenak ketika melihat anak itu. Ada sesuatu yang aneh di mHari itu, seperti biasa, cuaca cerah dan udara terasa segar setelah hujan semalam. Farhan dan Aisyah sedang duduk di beranda rumah, menikmati secangkir teh hangat sambil menatap anak-anak yang bermain di halaman yayasan. Namun, pikirannya tak bisa lepas dari satu sosok-Safira.Anak kecil itu, meskipun baru saja muncul dalam hidup mereka, rasanya sudah mengisi ruang yang kosong di hati Farhan. Setiap kali ia menatap Safira, ada perasaan yang sulit dijelaskan, seperti sebuah ikatan yang tak terlihat, namun sangat kuat. Aisyah pun merasakannya, meskipun dengan cara yang berbeda."Aisyah," Farhan memulai, suaranya pelan namun penuh makna. "Kamu merasa apa dengan anak itu?"Aisyah yang duduk di sampingnya menatap Safira yang sedang duduk di dekat meja belajar, sibuk menggambar dengan pulpen warna-warni. Safira tampak tenang dan jauh dari kesan gelisah seperti yang pertama kali mereka lihat."Aku merasa dia seperti anak kita sendiri," jawab Aisyah sambi
Sudah beberapa hari berlalu sejak Farhan dan Aisyah memutuskan untuk mengadopsi Safira. Keputusan yang tampaknya membawa kebahagiaan itu, lama kelamaan, justru memunculkan perasaan-perasaan yang tak terduga. Mereka merasakan ikatan yang semakin kuat dengan Safira, namun ada juga rasa kebingungan yang tak bisa dijelaskan. Safira, yang baru berusia empat tahun, ternyata memiliki kebiasaan-kebiasaan yang mengingatkan Farhan pada dirinya sendiri. Setiap kali mereka makan bersama, Safira seakan-akan tahu apa yang harus ada di meja. Tanpa kata-kata, hanya gerakan tangannya yang gemetar saat ia menunjuk hidangan tertentu. Seperti Farhan, Safira menyukai hidangan pedas dengan porsi yang tak sedikit, dan mereka bahkan memilih makanan yang sama tanpa saling mengingatkan.****Pagi itu, Aisyah sedang sibuk di dapur, menyiapkan sarapan. Farhan duduk di meja makan, menatap anak perempuan yang duduk di depannya. Safira sibuk dengan sendok dan piringnya, sesekali menole
Malam itu, Aisyah terjaga lebih lama dari biasanya. Di luar, udara sejuk menembus jendela kamar mereka, sementara Farhan sudah terlelap di sampingnya. Namun, mata Aisyah tidak bisa terpejam. Pikirannya berkelana jauh, menyusuri segala yang telah terjadi selama beberapa minggu terakhir. Safira. Anak kecil yang baru datang ke dalam hidup mereka, yang kini sudah menjadi bagian dari keluarga mereka. Ia mengingat betul bagaimana mereka pertama kali bertemu di panti asuhan. Safira yang cemas, tampak takut untuk percaya pada orang lain, dan tentu saja, Aisyah tahu perasaan itu. Tetapi sekarang, setelah beberapa waktu berlalu, ada perasaan yang mulai mengganjal di hati Aisyah. Perasaan yang sulit dijelaskan, tapi jelas ada.Sudah beberapa hari ini, Aisyah merasa ada sesuatu yang aneh antara Farhan dan Safira. Sesuatu yang tak terucapkan. Sesuatu yang lebih dari sekadar ikatan orang tua dan anak. Mungkin itu hanya perasaannya saja, atau mungkin ia hanya terlalu sensitif. T
Farhan menggenggam surat itu erat-erat. Tulisan tangan di atas kertas tua itu seperti bergema di pikirannya. "Dia adalah milikmu ...." Kalimat itu terus terulang, memenuhi hatinya dengan perasaan yang sulit ia jelaskan. Safira. Anak kecil yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya. Siapa sebenarnya dia? Setelah beberapa saat termenung di ruangan sederhana itu, Farhan mengembalikan surat itu ke dalam amplop dan menatap Pak Arman dengan tatapan penuh tekad. "Pak Arman," suara Farhan bergetar, tapi tetap tenang, "saya ingin tahu lebih banyak. Apa ada yang pernah bertanya tentang Safira sebelumnya? Atau mungkin ada seseorang yang meninggalkan pesan lain tentang dia?" Pak Arman menggeleng perlahan, raut wajahnya menyiratkan keraguan. "Setahu saya, tidak ada, Pak Farhan. Tapi, ada satu hal aneh. Waktu itu, beberapa bulan setelah Safira datang, seorang pria tua pernah bertanya tentang bayi perempuan yang ditinggalkan di panti ini. Dia hanya bertanya sebentar, tidak memberikan nama atau i
"Ada apa, Sayang?" tanya Aisyah dengan suara lembut, mencoba menenangkan.Safira mengangkat wajahnya yang basah, matanya masih terlihat bingung dan ketakutan. "Safira takut, Ummi," jawabnya dengan suara yang terisak. "Ada yang bilang ... ada yang bilang kalau Safira bukan anak siapa-siapa."Aisyah merasakan dadanya sesak. Kata-kata itu seperti menembus jantungnya. "Siapa yang bilang seperti itu, Sayang?"Safira menggigit bibirnya, tidak tahu bagaimana menjelaskan. Aisyah merasakan ada sesuatu yang aneh. Ini bukan pertama kalinya Safira mengungkapkan hal-hal yang sulit dimengerti. Biasanya anak sekecil itu tidak akan memikirkan hal-hal seperti itu. Tetapi kali ini, ada sesuatu dalam tatapan Safira yang tidak bisa ia abaikan.Farhan, yang sedari tadi hanya mengamati dari pintu, akhirnya masuk dan duduk di sisi lain Safira. Ia menarik anak itu ke pelukannya. "Apa yang kamu rasakan, Sayang?" tanya Farhan dengan suara yang penuh kasih sayang, mencoba m
Farhan berdiri tegak di depan pintu, matanya berkilat tajam menatap pria tua itu. Suasana malam yang sunyi mendalam, hanya terdengar suara angin yang berdesir lembut di luar. Aisyah berdiri di belakangnya, matanya memandang pria itu dengan curiga, seolah setiap gerakannya bisa mengungkapkan sesuatu yang lebih besar.Pria itu menghela napas panjang, seakan-akan mengumpulkan kekuatan untuk mengungkapkan sesuatu yang tak bisa dihindari lagi. Wajahnya yang keriput itu terlihat lelah, namun ada sesuatu yang tajam di balik mata tuanya. Sesuatu yang Aisyah rasakan, tapi tak bisa ia jelaskan."Ada apa, Pak?" Farhan akhirnya membuka suara, meski suaranya terdengar serak, seperti ada ketegangan yang menyesakkan dada.Pria itu tidak langsung menjawab. Ia menatap Farhan lebih lama, seolah mengukur, mencoba melihat apakah lelaki muda di depannya ini benar-benar siap mendengar kebenaran yang akan diungkapkannya. Aisyah bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang besar, yang j
Aisyah duduk di sudut ruang tamu, menatap kosong ke luar jendela. Pagi itu, matahari menyinari rumah mereka dengan lembut, tetapi di dalam hati Aisyah, gelap yang lebih dalam dari hujan sekalipun menguasai segalanya. Dunia terasa begitu berat. Farhan, suaminya, yang dulu begitu dekat dan bisa ia percayai, kini seperti sosok asing yang terjebak dalam bayang-bayang masa lalu.Setiap kali ia melihat Farhan, ia merasakan ada tembok tak terlihat di antara mereka. Tembok yang semakin tinggi, semakin lebar, dan semakin sulit untuk dihancurkan. Ia ingin bicara, tetapi kata-kata terasa menyakitkan untuk diucapkan. Sementara di sisi lain, Farhan terus berusaha, seolah ingin memperbaiki segala sesuatu. Namun, Aisyah merasa semakin jauh. Farhan memerhatikan Aisyah dari jauh.Di luar, Aisyah berdiri, wajahnya tampak jauh, seolah-olah memandang dunia yang jauh darinya. Farhan merasakan perasaan cemas yang semakin tumbuh di dalam dadanya. Ia tahu, ia harus menjelaskan semuanya pa
Angin malam berhembus lembut, seperti bisikan yang tak bisa dimengerti, menyentuh wajah Farhan yang kini berdiri di balkon rumahnya. Matanya kosong, menatap ke arah kegelapan yang terhampar di depan. Hatinya sedang berkecamuk, terbagi antara dua dunia yang begitu bertolak belakang. Di satu sisi, ada Aisyah, istrinya, yang dia cintai dengan sepenuh hati. Di sisi lain, ada Safira, anak yang kini dia yakini sebagai darah dagingnya, anak yang harus ia lindungi, meskipun kenyataan itu datang begitu tiba-tiba."Farhan ...," Suara Aisyah memecah keheningan malam, lembut namun penuh pertanyaan.Farhan menoleh. Aisyah berdiri di ambang pintu, matanya yang biasanya penuh cahaya kini tampak redup, seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. Farhan menahan napas. Ia tahu, Aisyah sedang berjuang melawan perasaan yang sama beratnya."Aisyah ...," Farhan menyebut nama istrinya pelan, hampir seperti bisikan. "Kita harus bicara."Aisyah mengangguk pelan, lalu me
Ponsel di tangan Farhan terdiam setelah suara Aisyah menghilang. Bibirnya kering, jantungnya berdegup kencang. Itu bukan percakapan yang diharapkannya, dan Farhan merasa ada sesuatu yang hilang. Sebuah ketidakpastian yang mengambang, lebih berat dari apapun yang ia rasakan sebelumnya. Aisyah meminta waktu. Waktu untuk berpikir, untuk menilai. Tetapi Farhan tahu, waktu itu bukan hanya miliknya, bukan hanya milik Aisyah. Waktu itu adalah milik mereka berdua, dan siapa yang bisa menjamin bahwa waktu akan menjawab semua keraguan?Farhan melemparkan ponselnya ke meja dengan pelan, kemudian menyandarkan punggungnya ke kursi. Pandangannya kosong, menatap layar komputer yang terletak di depannya. Setiap detik terasa semakin lama. Seolah dunia berjalan lebih lambat. Seperti ada ruang yang terbuka begitu lebar di antara dirinya dan Aisyah. Ruang yang harus mereka lewati dengan hati-hati, karena satu langkah salah bisa membuat semuanya runtuh.****Di sisi lain, Aisy
Angin malam berhembus lembut, seperti bisikan yang tak bisa dimengerti, menyentuh wajah Farhan yang kini berdiri di balkon rumahnya. Matanya kosong, menatap ke arah kegelapan yang terhampar di depan. Hatinya sedang berkecamuk, terbagi antara dua dunia yang begitu bertolak belakang. Di satu sisi, ada Aisyah, istrinya, yang dia cintai dengan sepenuh hati. Di sisi lain, ada Safira, anak yang kini dia yakini sebagai darah dagingnya, anak yang harus ia lindungi, meskipun kenyataan itu datang begitu tiba-tiba."Farhan ...," Suara Aisyah memecah keheningan malam, lembut namun penuh pertanyaan.Farhan menoleh. Aisyah berdiri di ambang pintu, matanya yang biasanya penuh cahaya kini tampak redup, seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. Farhan menahan napas. Ia tahu, Aisyah sedang berjuang melawan perasaan yang sama beratnya."Aisyah ...," Farhan menyebut nama istrinya pelan, hampir seperti bisikan. "Kita harus bicara."Aisyah mengangguk pelan, lalu me
Aisyah duduk di sudut ruang tamu, menatap kosong ke luar jendela. Pagi itu, matahari menyinari rumah mereka dengan lembut, tetapi di dalam hati Aisyah, gelap yang lebih dalam dari hujan sekalipun menguasai segalanya. Dunia terasa begitu berat. Farhan, suaminya, yang dulu begitu dekat dan bisa ia percayai, kini seperti sosok asing yang terjebak dalam bayang-bayang masa lalu.Setiap kali ia melihat Farhan, ia merasakan ada tembok tak terlihat di antara mereka. Tembok yang semakin tinggi, semakin lebar, dan semakin sulit untuk dihancurkan. Ia ingin bicara, tetapi kata-kata terasa menyakitkan untuk diucapkan. Sementara di sisi lain, Farhan terus berusaha, seolah ingin memperbaiki segala sesuatu. Namun, Aisyah merasa semakin jauh. Farhan memerhatikan Aisyah dari jauh.Di luar, Aisyah berdiri, wajahnya tampak jauh, seolah-olah memandang dunia yang jauh darinya. Farhan merasakan perasaan cemas yang semakin tumbuh di dalam dadanya. Ia tahu, ia harus menjelaskan semuanya pa
Farhan berdiri tegak di depan pintu, matanya berkilat tajam menatap pria tua itu. Suasana malam yang sunyi mendalam, hanya terdengar suara angin yang berdesir lembut di luar. Aisyah berdiri di belakangnya, matanya memandang pria itu dengan curiga, seolah setiap gerakannya bisa mengungkapkan sesuatu yang lebih besar.Pria itu menghela napas panjang, seakan-akan mengumpulkan kekuatan untuk mengungkapkan sesuatu yang tak bisa dihindari lagi. Wajahnya yang keriput itu terlihat lelah, namun ada sesuatu yang tajam di balik mata tuanya. Sesuatu yang Aisyah rasakan, tapi tak bisa ia jelaskan."Ada apa, Pak?" Farhan akhirnya membuka suara, meski suaranya terdengar serak, seperti ada ketegangan yang menyesakkan dada.Pria itu tidak langsung menjawab. Ia menatap Farhan lebih lama, seolah mengukur, mencoba melihat apakah lelaki muda di depannya ini benar-benar siap mendengar kebenaran yang akan diungkapkannya. Aisyah bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang besar, yang j
"Ada apa, Sayang?" tanya Aisyah dengan suara lembut, mencoba menenangkan.Safira mengangkat wajahnya yang basah, matanya masih terlihat bingung dan ketakutan. "Safira takut, Ummi," jawabnya dengan suara yang terisak. "Ada yang bilang ... ada yang bilang kalau Safira bukan anak siapa-siapa."Aisyah merasakan dadanya sesak. Kata-kata itu seperti menembus jantungnya. "Siapa yang bilang seperti itu, Sayang?"Safira menggigit bibirnya, tidak tahu bagaimana menjelaskan. Aisyah merasakan ada sesuatu yang aneh. Ini bukan pertama kalinya Safira mengungkapkan hal-hal yang sulit dimengerti. Biasanya anak sekecil itu tidak akan memikirkan hal-hal seperti itu. Tetapi kali ini, ada sesuatu dalam tatapan Safira yang tidak bisa ia abaikan.Farhan, yang sedari tadi hanya mengamati dari pintu, akhirnya masuk dan duduk di sisi lain Safira. Ia menarik anak itu ke pelukannya. "Apa yang kamu rasakan, Sayang?" tanya Farhan dengan suara yang penuh kasih sayang, mencoba m
Farhan menggenggam surat itu erat-erat. Tulisan tangan di atas kertas tua itu seperti bergema di pikirannya. "Dia adalah milikmu ...." Kalimat itu terus terulang, memenuhi hatinya dengan perasaan yang sulit ia jelaskan. Safira. Anak kecil yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya. Siapa sebenarnya dia? Setelah beberapa saat termenung di ruangan sederhana itu, Farhan mengembalikan surat itu ke dalam amplop dan menatap Pak Arman dengan tatapan penuh tekad. "Pak Arman," suara Farhan bergetar, tapi tetap tenang, "saya ingin tahu lebih banyak. Apa ada yang pernah bertanya tentang Safira sebelumnya? Atau mungkin ada seseorang yang meninggalkan pesan lain tentang dia?" Pak Arman menggeleng perlahan, raut wajahnya menyiratkan keraguan. "Setahu saya, tidak ada, Pak Farhan. Tapi, ada satu hal aneh. Waktu itu, beberapa bulan setelah Safira datang, seorang pria tua pernah bertanya tentang bayi perempuan yang ditinggalkan di panti ini. Dia hanya bertanya sebentar, tidak memberikan nama atau i
Malam itu, Aisyah terjaga lebih lama dari biasanya. Di luar, udara sejuk menembus jendela kamar mereka, sementara Farhan sudah terlelap di sampingnya. Namun, mata Aisyah tidak bisa terpejam. Pikirannya berkelana jauh, menyusuri segala yang telah terjadi selama beberapa minggu terakhir. Safira. Anak kecil yang baru datang ke dalam hidup mereka, yang kini sudah menjadi bagian dari keluarga mereka. Ia mengingat betul bagaimana mereka pertama kali bertemu di panti asuhan. Safira yang cemas, tampak takut untuk percaya pada orang lain, dan tentu saja, Aisyah tahu perasaan itu. Tetapi sekarang, setelah beberapa waktu berlalu, ada perasaan yang mulai mengganjal di hati Aisyah. Perasaan yang sulit dijelaskan, tapi jelas ada.Sudah beberapa hari ini, Aisyah merasa ada sesuatu yang aneh antara Farhan dan Safira. Sesuatu yang tak terucapkan. Sesuatu yang lebih dari sekadar ikatan orang tua dan anak. Mungkin itu hanya perasaannya saja, atau mungkin ia hanya terlalu sensitif. T
Sudah beberapa hari berlalu sejak Farhan dan Aisyah memutuskan untuk mengadopsi Safira. Keputusan yang tampaknya membawa kebahagiaan itu, lama kelamaan, justru memunculkan perasaan-perasaan yang tak terduga. Mereka merasakan ikatan yang semakin kuat dengan Safira, namun ada juga rasa kebingungan yang tak bisa dijelaskan. Safira, yang baru berusia empat tahun, ternyata memiliki kebiasaan-kebiasaan yang mengingatkan Farhan pada dirinya sendiri. Setiap kali mereka makan bersama, Safira seakan-akan tahu apa yang harus ada di meja. Tanpa kata-kata, hanya gerakan tangannya yang gemetar saat ia menunjuk hidangan tertentu. Seperti Farhan, Safira menyukai hidangan pedas dengan porsi yang tak sedikit, dan mereka bahkan memilih makanan yang sama tanpa saling mengingatkan.****Pagi itu, Aisyah sedang sibuk di dapur, menyiapkan sarapan. Farhan duduk di meja makan, menatap anak perempuan yang duduk di depannya. Safira sibuk dengan sendok dan piringnya, sesekali menole
Hari itu, seperti biasa, cuaca cerah dan udara terasa segar setelah hujan semalam. Farhan dan Aisyah sedang duduk di beranda rumah, menikmati secangkir teh hangat sambil menatap anak-anak yang bermain di halaman yayasan. Namun, pikirannya tak bisa lepas dari satu sosok-Safira.Anak kecil itu, meskipun baru saja muncul dalam hidup mereka, rasanya sudah mengisi ruang yang kosong di hati Farhan. Setiap kali ia menatap Safira, ada perasaan yang sulit dijelaskan, seperti sebuah ikatan yang tak terlihat, namun sangat kuat. Aisyah pun merasakannya, meskipun dengan cara yang berbeda."Aisyah," Farhan memulai, suaranya pelan namun penuh makna. "Kamu merasa apa dengan anak itu?"Aisyah yang duduk di sampingnya menatap Safira yang sedang duduk di dekat meja belajar, sibuk menggambar dengan pulpen warna-warni. Safira tampak tenang dan jauh dari kesan gelisah seperti yang pertama kali mereka lihat."Aku merasa dia seperti anak kita sendiri," jawab Aisyah sambi