Kali ini aku menggosok-gosok mata, lalu mengerjap-ngerjap, berharap apa yang terlihat ini salah.
Rambut wanita ini berubah menjadi putih.
Di dahinya muncul benda seperti mahkota dengan bagian tengahnya bertahta batu mulia berbentuk trapesium yang mengeluarkan cahaya menyilaukan.
Telinga wanita ini bagian atasnya terlihat berubah menjadi runcing.
Dalam wujudnya yang berubah itu, wanita ini masih kelihatan cantik dan anggun.
Wanita bergaun putih itu masuk ke kamar mandi yang berada di dekat tempat duduk ini.
Secepat kilat, aku beranjak dan melaksanakan saran Sinna untuk berada di dekat meja platting saja melaksanakan tugas tanpa harus mendekat pada orang-orang yang mungkin memiliki penampilan ganda.
“Penampilan ganda?!” gumamku tanpa suara.
Aku terkejut dengan apa yang baru saja terlintas di pikiran, begitu saja pikiran ini memberikan nama pada wujud-wujud yang mendadak muncul dalam satu badan manusia itu.
Memang ada ya, hal seperti itu di dunia ini?
Hei Sinna! Ini bukan penyakit alergi dengan orang kaya ya? Diagnosis tanpa dasar itu terbukti ngaco, ini penyakit melihat penampilan ganda.
Ya, aku sebut saja seperti itu.
Sebaiknya aku segera berusaha berkonsentrasi pada tugasku mengawasi hidangan saja, daripada sakit kepala yang masih terasa dan tubuh yang masih sedikit gemetar ini makin menjadi.
Lebih dari satu jam kemudian makan malam itu usai.
Bel terdengar.
Sekelompak anak muda laki-laki dan perempuan dengan berbagai dandanan apik dipersilahkan naik ke lantai dua. Kemudian, para tamu yang semula duduk di meja makan, beranjak dan mengikuti orang-orang yang baru datang itu.
Setelah mereka semua naik, empat orang anggota tim Sinna yang terdiri dari tiga orang laki-laki dan seorang perempuan terlihat turun dari tangga dan bergabung dengan yang lain di lantai ini. Kini seluruh anggota tim membereskan apa-apa yang ada di sini dan membuat ruangan ini rapi seperti sedia kala.
“Apa Kamu bisa membantu membawa barang-barang ini ke mobil?” ucap laki-laki muda yang menuduhku terkena goncangan jiwa.
Aku mengangguk.
Dan mengatakan aku baik-baik saja ketika ia kembali menanyakan kabar dari “gunjangan jiwaku”.
Kemudian, dalam waktu tiga puluh menit, barang-barang sudah terkumpul di dekat pintu dan siap dibawa ke bawah. Begitu juga dengan orang-orang yang menangani makanan di bawah pimpinan chef sudah siap-siap untuk turun.
“Katanya masih ada yang harus tinggal di sini untuk membereskan lantai dua?” tanyaku pada laki-laki muda itu untuk mengkonfirmasi apa yang dikatakan Sinna.
“Iya, tetapi kita tidak dizinkan tinggal di sini, jadi beberapa dari kita akan menunggu di lobi hotel lantai dasar dan naik ketika dipanggil,” jelasnya sambil menyerahkan tas dengan ukuran besar.
"Oh," ucapku pendek memahami penjelasan singkat itu.
“Letakkan saja barang-barang ini di mobil kita, dua orang akan menyambutmu,” ucap laki-laki muda itu sambil menunjuk pada dua laki-laki yang sedang berjalan menuju pintu keluar.
Aku mengangguk dan menyusul mereka keluar ruangan, ingin sekali segera menjauh dari tempat mewah ini.
Pintu lift tertutup ketika kaki ini sedang berusaha menyusul mereka.
Aku terpaksa berdiri di depan pintu lift menunggu pintu ini terbuka lagi.
Pintu lift terbuka, tapi empat orang anggota tim Sinna meminta izin untuk turun lebih dulu. Keempat perempuan itu mendorong dua meja yang memiliki roda dengan tumpukan barang yang menggunung.
Aku mengalah dengan sedikit menggeser posisi berdiri.
Kemudian pintu lift tertutup kembali dan aku yang sudah menjinjing tas-tas besar itu hanya berdiri mematung di depan pintunya.
“Hah!” jeritku terkejut.
Tiba-tiba perempuan cantik dengan gaun putih yang tadi muncul di dekat kamar mandi itu sudah berdiri di depanku.
“Gadis bodoh! Pergi dari sini!” Sebuah suara kembali terdengar di telinga dan otomatis kepala ini menoleh ke kiri ke kanan.
Mataku kembali menatap wanita cantik ini karena hanya dia yang berdiri di dekatku, tetapi ... wanita ini tidak mengucapkan apa-apa. Bibirnya sama sekali tak bergerak.
“Ya?” ucapku pada wanita yang sudah beberapa menit hanya berdiri mematung menatapku.
“Gadis bodoh! Pergi dan jangan pernah kembali ke sini!” Kembali kuping ini mendengar satu suara.
“Hah!” seruku tertahan.
Apa wanita ini yang melakukannya? Whoah! Bag-bagaimana bi-sa ...?
“Aaa.”
Belum sempat mulut ini bertanya, tiba-tiba angin berhembus dengan kencang dan membuatku terjerembab, padahal wanita yang masih berdiri mematung itu, terlihat tidak melakukan gerakan apapun.
Sepasang langkah kaki tergesa mendekat.
“Hei! Apa tas-tas itu terlalu berat?” seru suara laki-laki muda anak buah Sinna.
“Oh! Tidak,” jawabku sambil celingukan, wanita cantik tadi sudah tidak nampak.
“Mungkin Kamu masih terguncang ya jiwanya?” ucap laki-laki muda itu.
“Tidak, aku hanya terjatuh,” jawabku pasrah.
Sepertinya, apa saja yang aku katakan, tuduhan itu tidak akan berubah.
Aku menghela napas sambil berusaha bangkit dari tas-tas besar yang sedang kutindih.
“Untung isinya bukan sesuatu yang mudah pecah, kalau tidak, bisa kena omelan full satu minggu sama si pemilik,” sahutku sambil tersenyum.
Laki-laki muda itu ikut tersenyum, mungkin ia membayangkan Sinna mengomel tak berhenti selama satu minggu penuh.
Ia seperti ingin membantuku, tetapi kedua tangannya juga menenteng banyak barang.
Tak lama kemudian, lift terbuka dan kami masuk ke dalam diikuti oleh tiga laki-laki anggota tim yang akan menunggu di lobi lantai satu hotel megah ini. Sebelum pintu lift tertutup, terlihat kelompok yang mengurusi hidangan mengantri di depan pintu lift.
Nggak sampai lima menit lift sampai di lantai satu. Kami keluar ke depan hotel.
“Kamu bisa naik taksi, maaf tak bisa mengantar,” ucap laki-laki muda itu terdengar tulus, lirikan matanya di arahkan pada mobil van yang penuh dengan barang.
Aku mengangguk.
“Nggak papa. Terima kasih sudah banyak membantuku tadi, entah gimana jika tidak ada Kamu,” balasku tulus.
Laki-laki muda itu tersenyum.
“Jangan hiraukan tamparan tadi, oke! Jangan biarkan hal sepele membuat jiwamu terguncang! Aku tahu, selain cantik, Kamu adalah gadis yang kuat,” ucapnya sambil menatapku seakan menyalurkan aliran semangat dari pandangan mata.
“Hah!” seruku ternganga.
Luar biasa, dia baik, tapi sisi gelap anak buah Sinna ini adalah halusinasi dan tak masuk akal.
Aku hanya mengangguk agar ucapannya tidak diperpanjang dan kadar ketidakmasukakalannya nggak bertambah. Namun, aku tertawa terbahak-bahak dalam hati.
Sebuah taksi terlihat mendekat.
“Taksi!” teriak laki-laki muda itu.
Ia mencegat dua taksi untuk keempat perempuan anggota tim yang sedang berdiri tak jauh dari mobil van.
Dua buah taksi berhenti dan dengan segera membawa keempat anggota tim itu pergi.
“Sayang sekali, hanya satu mobil yang bisa beroperasi,” ujar laki-laki itu ketika giliranku yang pergi dengan taksi.
Aku tersenyum dan mengangguk.
"Nggak apa-apa," sahutku sambil berlalu.
Taksi yang kutumpangi meluncur membelah jalan raya.
Aku menyandarkan punggung di jok penumpang dan berharap bisa sejenak istirahat dari semua keanehan yang terjadi.
“Hek!”
Mendadak hidung ini mencium bau yang menyengat. Pandangan mata berusaha mencari sumber bau dengan berusaha menahan napas.
“Hah! Apalagi ini?”
Aku tercekat.
“Hek!” Perutku terasa diaduk-aduk. Mata ini membelalak maksimal, sedang tubuh ini tegang dicekam kengerian. Sebuah ekor reptil berwarna hijau yang ternyata keluar dari kursi pengemudi, menjulur-julur ke arahku. Ekor yang terlihat licin menjijikan itu seperti menggapai-gapai sesuatu. Tapi, mendadak benda itu berhenti di dekat kaki-kaki ini, lalu ekor itu tegak. Inilah sumber bau yang aku sejak duduk di dalam taksi ini terasa begitu menyengat. “Sedang sakit ya, Kak?” ucap sopir taksi ketika sekilas sedikit menoleh. "I-iya" Aku menyahut, lalu mengalihkan pandangan dari ekor yang masih berada di dekatku ke wajah sopir taksi itu. “Hah!” seruku kencang. Sopir taksi ini juga memilki penampilan ganda? Napas ku tertahan. Kenapa beberapa orang yang kulihat malam ini memiliki penampilan ganda? Kenapa mereka berubah menjadi wujud menjadi tak wajar? “Mau turun di mana, Kak?” ucapnya sambil mempercepat laju kendaraan. “Si-si-sini saja, Pak. Saya mual!” teriakku cepat dan tergagap. Aku
“Hah! Bagaimana pekerjaanku itu?” seruku panik.Badan ini otomatis bangkit duduk.Aku baru sadar bahwa sejak tadi ada handuk basah kecil yang bertengger di dahi.“Jika itu lepas ... akan kusiram langsung air es ke kepalamu!” ancam Sinna ketika tangan ini bergerak menyingkirkan handuk kecil itu.Aku mengurungkan niat, lalu segera meletakkan kembali benda itu sebelum emak tiri bajakan ini melancarkan apa yang ia ancamkan."Aduh! Tapi bagaimana itu? Pekerjaanku? Di mana handphoneku?" ucapku lemah dengan kepanikan yang belum sirna.Ah!Aku baru ingat, tentu handphone yang tidak terurus selama tiga hari, baterainya bakal habis.“Izinmu sudah diurus,” jelasnya pendek.“Sudah?” seruku terperanjat."Oleh?" lanjutku ingin tahu.“Satu jam setelah seharusnya Kamu berada di tempat kerja, temanmu menghubungiku dan memintaku untuk mencarimu. Sedangkan, ketika ku cek dengan Aaron, anak buahnya melaporkan bahwa tidak sedikit pun makanan yang biasanya lesap tak bersisa itu disentuh. Karena itu, aku la
Sinna menatapku dengan ekspresi tak percaya. Mulutnya tampak sedikit terbuka.Aku membalasnya dengan berusaha melebarkan kelopak mata yang masih terasa berat.“Setiap wanita akan merasa mabuk bila ada di dekatnya, apalagi ketika ia mengajak bicara, wah! Terasa melayang tiga puluh senti di atas tanah,” jelas Sinna antusias.Sinna menelangkupkan tangan dan memandang langit-langit. Jari-jarinya bergerak seolah mengetuk-ngetuk pipi, mungkin di pikirannya saat ini sedang membayangkan suasana ketika berada di dekat laki-laki tampan itu.“Semua ... wanita?” tanyaku heran.Kurasa walaupun seorang laki-laki memiliki ketampanan level kebangetan, tidak akan membuat para wanita semabuk itu.“Ah!” Sinna mendesah lelah.Wanita ini menurunkan tangan, sedangkan bahunya bergerak turun.Kini pandangan matanya tertuju tepat ke manik mataku, sesaat kemudian terlihat ekspresi terperanjat bercampur rasa kesal terlihat di wajahnya.“Ka-mu ti-dak?” serunya seolah sedang mengalami shock.“Em,” sahutku mantap.
“Aduh sudah deh! Pokoknya gadis aneh sepertimu tidak akan paham. Ini hanya dialami aku dan sesamaku yang masih normal saja. N-O-R-M-A-L,” rajuknya geram sambil menunjukku.Aku tertawa mendengar ilmu “pokoknya” itu dikeluarkan. Biasanya jika pembuka kalimat menggunakan kata itu, itu berarti berbantahan harus segera dihentikan.Sinna kemudian bangkit dan menarik selimutku hingga menutupi leher.“Istirahat yang cukup, semoga cepat sembuh dan bisa kerja lagi,” ucapnya terdengar hangat di hati.Aku mengangguk perlahan dan tersenyum di dalam hati merasakan kehangatan seorang ibu dari sahabatku ini. Setelah itu, aku memejamkan mata dan mendengar suara kegiatan yang dilakukan Sinna. Mungkin temanku itu sedang membersihkan tempat ini atau apa saja yang menurutnya bisa membantu mengurangi pekerjaan rumah.Andai ... andai saja bisa menceritakan apa yang baru-baru ini kualami pada sahabat terdekat itu ..., tetapi jika diri ini nekad melakukannya, jangan-jangan sebelum detik berganti, aku langsung
“Hah!”Aku ternganga ketika sumber suara itu mendekat.Manajer laboratorium mendekat sambil tersenyum ramah. Tetapi bukan itu yang membuat aku terkejut.Di belakang badan gempal manajer, menjulang sosok setinggi seratus delapan puluh sembilan koma sembilan sentimeter itu, pemilik penthouse.Em ... apa hubungannya pemilik penthouse itu dengan laboratorium ini ini? Seketika, apa yang kulihat dan kualami di hari itu kembali terbayang.“Anneth,” panggil Pak Badzan sekali lagi.Kali ini dia sudah berdiri tepat di depan meja yang kugunakan untuk melakukan pekerjaan.“Y-ya, Pak,” ujarku sambil mengangguk.Tetapi, mata ini tetap sebentar-sebentar menatap sosok tinggi tegap yang ada di belakang manajer lab itu.Laki-laki tampan itu sekarang sedang menatapku sambil tersenyum menyeringai, lalu ia menganggukkan kepala.“Bagaimana kabarmu? Apa demammu benar-benar sudah sembuh?” ucap Pak Badzan dengan tersenyum.Aku mengiyakan sambil mengangguk, lalu mengucapkan terima kasih untuk perhatian yang di
Allen sibuk menatap pemilik penthouse dengan kagum, tak menghiraukan panggilanku. Mata ini masih membelalak menyaksikan kini pelan-pelan kaki-kaki Allen bergerak turun perlahan dan akhirnya kembali menjejak lantai. “Daffar, ayo kita segera pergi dari ruangan ini sebelum ketampananmu membuat anak-anak buahku berteriak-teriak,” saran Pak Badzan yang ternyata sudah berada di ambang pintu keluar. Laki-laki ini menatap seolah tidak ada kejadian yang mengkhawatirkan yang baru saja terjadi. “Oke, sepertinya kita akan sering berjumpa Anneth,” sahut laki-laki ganteng ini sambil mengerling dan berbalik untuk mengikuti langkah manajer lab. Kedua orang itu akhirnya keluar dari ruangan ini dan itu membuat Allen sekali lagi menjerit kagum dan terus memuji-muji pemilik penthouse itu. Lain halnya denganku, aku yang merasakan tubuh ini kembali gemetar dan merasa sedikit mual. Kepala yang terasa sedikit berdenyut juga melengkapi apa yang terasa ketika pintu ruangan ini tertutup. “Tom, tolong gant
Manajer lab dengan badan gempal dan rambut yang sudah mulai memutih itu tersenyum bijak.“De-par-te-men khu-sus,” ejanya dengan pelan, tentu tujuannya agar aku merasa tak salah dengar.Aku termenung mendengar kepastian ini.Siapa pegawai di Omega Laboratorium ini yang belum mendengar informasi tentang departemen yang satu ini?Informasi dalam taraf bisik-bisik sering terdengar di antara para pegawai. Hal ini disebabkan karena departemen tersebut sangat tertutup bahkan untuk pegawai yang bekerja di sini.Ruangan untuk departemen tersebut juga terpisah dari bangunan utama ini. Dan yang paling khusus, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memasuki departemen itu.“Anneth,” tegur manajer lab dengan lembut.“E ... iya, Pak. Em ... apa saya saja yang dipindahkan ke sana?” tanyaku lebih lanjut.“Oh, tidak. Ada Evan dari lab fisika dan beberapa nama lain, sebentar!” ucapnya, lalu mengambil sebuah kertas yang ada di tumpukan berkas paling atas dan membacakan beberapa nama lain itu.Andai .
Allen mengangguk-angguk.“Itu bukan seperti yang kita inginkan, bagaimana ya jelasinnya?” ucapnya dengan ekspresi bingung.“Itu bukan karena sekarang ada Aaron ‘kan?” godaku lagi.Gadis itu kembali menggeleng dan mengacungkan dua jari tepat di depan mataku sebagai simbol swear.“Tunggu! Memang Kamu gak merasa begitu?” ucapnya dengan ekspresi wajah terkejut, sepertinya kini ia yang terheran-heran.“Apa harus?” jawabku dengan bingung.“Wah! Wah! Beneran, coba ke klinik besok, sepertinya Kamu gak normal,” seru Allen, komentarnya mengingatkan aku pada kata-kata Sinna.“Em apa yang membuatmu berpikir begitu?” tanyaku penuh selidik sambil mencondongkan badan ke arah Allen.“Tommy yang laki-laki juga merasakan hal yang sama,” jelasnya sambil mengambil tisue dan mengelap bagian meja yang sudah bersih.“Oh ya?” seruku sambil kembali ingat apa yang dikatakan Sinna dan reaksi salah satu anggota timnya yang mengiraku mengalami guncangan jiwa.Apa yang sedang kurangkai di pikiran sekonyong-konyong
Dengan cepat aku menggelesot di lantai.“Daffar!” teriakku kencang.Daffar terbangun dengan bingung. Lalu, ia berjalan ke arahku dan memelukku.“Apa yang terjadi?” bisik Daffar lirih.“Nggak tahu. Tiba-tiba aku mendengar ledakan yang seolah datang dari jauh. Kemudian rumah ini bergetar,” jelasku yang masih berada dalam pelukan Daffar.Aku dan Daffar masih berpelukan ketika getaran di rumah ini tak mereda dan bahkan makin menghebat.“Ayo, kita keluar!” seru Daffar dengan cepat.Ia menarik tanganku dan berjalan dengan cepat.“Agh!” seruku kencang.Tiba-tiba ada satu kekuatan tak terlihat yang menghentakan tubuhku. Aku terlepas dari pegangan Daffar.Aku berhasil menguasai diri sebelum terjerembab ke lantai. Lalu, aku kembali menggelesot di lantai.Rumah masih bergetar hebat.Ini mengingatkanku akan goncangan yang terjadi di Anbar ketika itu.Daffar hendak mendekat ke arahku, tapi-“Clap!”“Agh!”Tiba-tiba sebuah sinar mendekat ke arahku. Sinar itu menghalangi gerakan Daffar. Laki-laki it
Tubuhku menegang. Aku menatapnya lekat.“Kamu juga mengingat wajah gadis itu?” tanyaku dengan laju jantung yang berdetak kencang.Daffar menggeser posisi duduknya hingga menghadap ke arahku, ia menatap tajam dan penuh arti.Aku menahan napas.“Ya. Aku mengingatnya,” jawabnya dengan suara yang dalam.Ah?!“Gadis itu adalah Kamu,” ungkapnya dengan wajah yang terlihat serius.Aah ....Aku menunduk lesu, memejamkan mata dan menutup wajahku dengan telapak tangan.Sunyi menyela kami berdua.“Anneth,” ucap Daffar sambil menyentuh bahu ku.Aku nggak sanggup menatap wajahnya. Mata ini merebak.“Aku juga mengingat hal lain,” sambung Daffar masih dengan suara yang dalam.Pelan-pelan, aku mengangkat kepala dan memberanikan menatap matanya.“Awalnya, aku merasa sakit sekali begitu mengingat apa yang Kamu lakukan ketika itu. Tapi, kesakitan itu mengundang ingatan lain. Aku mengingat ada kekuatan kegelapan yang mengejarmu,” jelasnya dengan serius.Dia mengingat Anbar?!Lalu, Daffar mengembuskan napa
“Kamu tahu tentang Daf-?”“Tunggu!”Dua celetukan itu diakhiri dengan diam, ia menatapku penuh selidik.“Ah ...,” ucapnya di ujung selidiknya.“Aku paham sekarang kenapa ada gadis manusia dari kota Shrim mengenal Pangeran kegelapan Anbar, banyak sekali jejak Ardasyr dalam dirimu, Nona,” ucapnya penuh kepahaman.Kurasa laki-laki ini memang mengetahui dua dunia pendamping itu.Laki-laki itu mengembuskan napas dalam.“Jujur saja, aku terkejut bagaimana seorang yang sangat dicintai Anbar masih berada di Shrim setelah penarikan besar itu,” sambungnya lebih lanjut.“Apa penarikan itu yang membuatnya mati?” tanyanya kemudian.Aku menggeleng pelan.“Aku membunuhnya,” kataku jujur.“Hah?!!” serunya terperangah.Ia kembali menatapku penuh selidik.“Apa Kamu-?”“Kamu-?”“Apa Si Darah-?!”“Ya,” sahutku memotong kegaguannya.Ia menelan ludah.“Phuh .... pantas saja,” komentarnya singkat.Lalu, ia mengembuskan napas panjang.“Aku akan menceritakan apa yang kutahu sejak terlepasnya Anbar dari dunia
Aku menatap Kayla dengan antusias.“Apa ada seseorang dari dunia manusia yang mengetahui tentang Anbar?” celetuk ku tak sabar.Kayla mengangguk tanpa ragu.“Aku juga terkejut begitu dia mendatangi rumah ini. Aku benar-benar nggak menyangka ada manusia yang sangat tahu tentang Anbar,” jelasnya bersemangat.Mendengar itu, seketika harapan untuk mendapat jawaban tentang Daffar tumbuh.“Laki-laki itu datang dan memperkenalkan diri sebagai pencari jejak Anbar di dunia manusia. Dan dia langsung mengetahui jika aku menyimpan bagian dari Anbar di rumah ini,” sambung Kayla dengan cepat.“Awalnya aku nggak percaya. Tapi, ia bisa menberikan penawar bagi Nadec agar bisa bertahan di dunia manusia ini tanpa menyerap energi manusia,” sambungnya riang.“Oh, ya?!” sahutku terkejut.Kayla mengangguk dengan cepat.“Dan itu sangat berguna sekali bagi Nadec, karena setelah lepasnya Anbar dari dunia manusia, perubahan dirinya nggak bisa dikontrol,” sambung Kayla lega.“Oh, gitu,” sahutku paham.“Jadi, baga
“Anneth,” panggil Barkiya lirih.Mungkin ia membaca apa yang tersirat di wajahku, suaranya terdengar sedih.Aku menatapnya dan mengangguk pelan.“Kalau begitu, aku akan kembali ke Shrim dan mencoba mencari tahu tentang ini. Semoga ada satu petunjuk yang mungkin tercecer di sekitar Daffar,” balasku mencoba tetap semangat.Barkiya mengangguk pelan.“Anneth, maaf, kali ini kami nggak bisa membantu mu.” Yarim turut mengucapkan itu dengan sedih.Aku tersenyum pada ratu cantik itu, lalu, menatap Barkiya dan Eldona.“Aku harus segera meninggalkan Ardasyr, kita semua tahu apa yang akan terjadi jika aku berada di sini dalam waktu yang lama,” ucapku lirih.“Terima kasih untuk pesta yang akan diadakan untuk ku,” pungkasku dengan menyertakan anggukan hormat.Yarim berdiri, lalu turun dari singgasana kacanya. Ia berjalan mendekat dan memeluk ku erat.“Kini Kamu yang akan menjaga Shrim dan orang-orang yang Kamu cintai di dunia manusia. Terima kasih sudah kembali ke Ardasyr,” ucap Yarim lembut.Beri
Tarikan ini terasa makin kencang, aku memejamkan mata dan membiarkan daya tarik ini membawa ku ke satu arah.Entah berapa lama aku merasa diriku tertarik ke satu arah sampai pada akhirnya kaki ini merasa menapak pada rumput yang rimbun. Bau yang padang rumput yang kukenali tercium hidung.Aku yakin sekali beberapa meter dari sini ada sebuah danau yang terlihat tenang dan indah.“Anneth!”Panggilan itu membuatku dengan cepat membuka mata.“Eldona!” balas ku riang.Wanita berpipi gembul itu mendekat dengan gerakan terburu, di belakangnya seekeor rusa mengikutinya.“Aku tahu Kamu akan kembali lagi ke sini setelah peperangan di tanah perbatasan, meskipun, pintu gerbang ke dunia manusia nggak lagi bisa dibuka,” sambutnya antusias.“Maksudnya?” tanyaku cepat, penasaran.Aku memandang penjaga perbatasan Ardasyr itu dengan nggak sabar.“Kamu pasti tahu bagaimana rekatan Anbar terlepas dari kota-kota manusia seperti Shrim,” jelasnya mengawali.Aku mengangguk dengan cepat dan tak sabar menunggu
Daffar mengusap-usapkan kepalanya dengan pelan di perutku, dan itu membuat tubuhku bereaksi dengan sedikit bergerak mundur.Tanganku hendak menyentuh rambutnya, tapi tiba-tiba terhenti di udara. Aku memutuskan untuk membatalkannya.“Pulanglah! Kita akan bicarakan ini begitu Kamu telah mengingat semua,” ucapku lirih.Daffar menggeleng pelan.“Jangan usir aku!” ulangnya pelan.“Detik di mana aku meninggalkan mu kemarin, detik itu juga aku begitu ingin kembali ke sini,” ujarnya lirih.Aku mengembuskan napas panjang.Aku diam sejenak, mencari jalan tengah untuk membuatnya ... setidaknya mendengarkan kata-kata ku.“Daffar,” ucapku lirih.“Aku akan mengantarkan mu pulang,” lanjutku masih dengan suara lirih.Daffar kembali menggeleng dan malah mempererat lingkaran tangannya di pinggang ku.Aku menahan sesak di dada, diam sesaat, lalu dengan pelan, ragu dan kaku mulai menyentuh sehelai rambut Daffar.Tanganku berhenti ketika ketakutan dalam hatiku menggeliat.Tapi, sedetik kemudian, aku menep
Aku merasa seluruh tubuhku tegang. Ketakutan dalam hatiku yang semalam telah beristirahat kembali bangkit. Sesaat tubuhku gemetar samar.Telinga ini menempel di dadanya, bisa mendengar degup jantungnya yang terdengar samar.Jantungnya ....Jantung yang pernah kutusuk dengan belati ini kembali berdetak?Ini ....Bagaimana bisa?Aku tersadar dari keterkejutan, lalu dengan cepat menarik tubuhku ke belakang untuk menjauh dari pelukan Daffar. Tapi, alih-alih pelukan itu mengendur, pelukan itu justru makin erat.“Daf-far,” ucapku seolah hampir kehabisan napas.“Anneth,” bisiknya lirih dengan suara parau.Parau?Daffar menahan isak tangis.Apa yang kulihat di matanya tadi benar?Aku berusaha melepaskan pelukan ini sekali lagi, tapi Daffar kembali menarikku ke arah yang sebaliknya.“Anneth, aku mengingatnya,” ucapnya lirih.Aku terperanjat, mata ini membelalak. Ini yang tadi kutebak!“Aku mengingatnya ... mengingatnya dengan baik. Gimana ... gimana aku bisa melupakannya? Gimana bisa aku melup
Daffar menatapku dengan sorot mata menuntut jawaban yang mendesak.“Kalaupun ada, tempat itu benar-benar nggak ada di Shrim, itu ada di tempat lain,” jelasku pada akhirnya.“Oh, ya? Bisakah Kamu menunjukkan tempat itu?” tanyanya tak berhenti.Aku menggeleng dengan tegas.Daffar mendesah kecewa.“Kamu bisa menunjukkan alamatnya kalau begitu, aku bisa mengunjungi tempat itu sendiri,” ucapnya dengan agak kesal.Aku terus menatapnya lekat dengan perasaan campur aduk.“Nama tempat itu adalah Paradise, tapi tempat itu nggak beralamat, kabarnya tak ada seorang pun yang bisa ke sana, kecuali orang-orang yang beruntung menemukannya,” paparku makin berani.Mungkin karena aku tak sanggup melihat kekecewaan dalam wajah Daffar, jadi aku memutuskan untuk sedikit membocorkan apa yang ia tanyakan itu.Daffar menatapku dengan ekspresi bingung.“Atau ...,” sambungku dengan penuh penekanan.“Alamat Paradise mungkin akan muncul dalam ingatanmu di saat berikutnya,” imbuhku untuk membuatnya tidak begitu te